• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM PELAKSANAAN LANDREFORM

A. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar 1. Pengertian Kewenangan

Kewenangan (authority) berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah

kuasa atau berhak.43

Menurut H.D Stout, kewenangan adalah pengertian yang berasal dari hukum pemerintah, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan-perolehan dan penggunaan kewenangan dari pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat atau melakukan sesuatu.

44

43 Kamus Besar Bahasa Indonesia, opcit.

44 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2013. hal 71. Sedangkan P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara

negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.45

Bedanya antara kekuasaan dan wewenang ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan, sedang wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang dengan mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan dari masyarakat itu maka di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian tugas yang terperinci wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan caranya menggunakan kekuasaan itu.

Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum. Terkait dengan kekuasaan hukum maka ada hal yang perlu dicermati yaitu berkaitan dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan kekuasaan hukum. Suatu tindak pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum dan suatu tindak pemerintah mempunyai kekuasaan hukum jika dapat mempengaruhi pergaulan hukum.

46

Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu wewenang personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal bersumber pada

45 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

46 Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi Dan Sosiologi Hukum, Cetakan Ketiga, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2013, hlm. 77.

intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada diatasnya.

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui tiga (3) cara yaitu dengan atribusi, delegasi dan mandat.

a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan.47

b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

Artibusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit). Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

48

47

Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5816ab6ea74a7/pengertian-atribusi--delegasi-dan-mandat. Diakses pada tanggal 22 April 2017.

c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan

dijalannya oleh organ lain atas namanya.49

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.

Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan.

50

2. Pengertian Penertiban

Penertiban yaitu proses, cara, dan perbuatan menertibkan.51

49

Ibid.

50 A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 219.

Dalam Hukum Tata Ruang, penertiban adalah usaha atau kegiatan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang sesuai rencana dapat terwujud. Kegiatan penertiban dapat

dilakukan dalam bentuk penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. Penertiban langsung dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penertiban tidak langsung dilakukan dalam bentuk sanksi disinsentif, antara lain melalui pengenaan retribusi secara progresif atau membatasi penyediaan sarana dan prasarana lingkungannya.

Bentuk-bentuk pengenaan sanksi yang berkenaan dengan penertiban antara lain :52

a) Sanksi administratif, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang. Sanksi dapat berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan hak.

b) Sanksi perdata, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok orang, atau badan hukum. Sanksi dapat berupa tindakan pengenaan denda atau ganti rugi.

c) Sanksi pidana, dikenakan terhadap pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan umum. Sanksi dapat berupa tindakan penahanan dan kurungan.

3. Organ yang Berwenang dalam Penertiban Tanah Terlantar dan Ruang Lingkup Kewenangannya

Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah (presiden) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik

52

Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam pasal 17 PP No. 11 Tahun 2010 yang

menyatakan bahwa :53

1) “identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.

“pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan berkala kepada Presiden”.

Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010 yaitu :

2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi

terkait yang diatur oleh Kepala”.54

Pasal 14 menyatakan :

“ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah terlantar diatur

dalam Peraturan Kepala”.55

a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No. 11 Tahun 2010, dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 ini dijelaskan panitia yang dimaksud dalam Pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010. Panitia tersebut adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukkan tanah yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Berdasarkan pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :

b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan

53

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

54 Ibid.

Pemberdayaan Masyarakat merangkap anggota

c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya

3. Dinas/Instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya

4. Kepala Kantor Pertanahan.56

1) Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :

Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan pasal 7 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 11 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, panitia C memiliki wewenang untuk melakukan :

57

a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis

b. Mengecek buku tanah dan/ atau warkah dan dokumen lainnya untuk penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak

c. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan

56 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

d. Melaksanakan pemeriksaan fisik

e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan

f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian h. Melaksanakan sidang panitia

i. Membuat berita acara.

2) Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan berita acara kepada Kepala Kantor Wilayah.

Adapun kewenangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yaitu :

1) Memberikan peringatan kepada pemegang hak yang telah menelantarkan tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan oleh panitia C. Berdasarkan pasal 8 PP No 11 Tahun 2010 dan pasal 14 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan :

1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/ keputusan/ surat sebagai dasar penguasaannya. 2) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.

3) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah

memberikan peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama

dengan peringatan kedua.58

2) Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam pasal 8 ayat (6) yang menyatakan bahwa, apabia pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kepala kantor wilayah mengusulkan kepada kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.

Sedangkan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :

1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor Wilayah

2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan

bahwa tanah yang dimaksud dikuasai langsung oleh negara.59

4. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar

Penertiban tanah terlantar akan dilakukan secara sistematis, teliti, adil, dan transparan. Oleh sebab itu, penertiban tanah terlantar akan mengikuti tahapan-tahapan yang jelas dan mudah diikuti oleh semua pihak. Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang

58 Lihat pasal 8 PP Nomor 11 Tahun 2010.

ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu :

1. Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar

Tahap inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan tanah hak dan dasar penguasaan atas tanah oleh pemegang hak. Dengan demikian dapat diketahui pemegang hak telah menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan atas tanahnya, atau sebaliknya masih terdapat tanah yang tidak diusahakan atau diterlantarkan.

Informasi tanah hak sekala besar terindikasi terlantar (HGU, HGB induk, Hak Pakai berjangka waktu), Hak Pengelolaan, dan dasar penguasaan atas tanah (Ijin Lokasi) diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat atau dari laporan pemegang hak.

Pemegang hak atas tanah dan pemegang dasar penguasaan atas tanah wajib mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak dan dasar penguasaan atas tanahnya. Oleh karena itu pemegang hak berkewajiban melaporkan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya secara berkala setiap triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar, meliputi data tekstual dan spasial. Data tekstual diantaranya adalah nama dan alamat pemegang hak, nomor, dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal, dan berakhirnya sertipikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar, dan data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar. Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar selanjutnya dilakukan rekapitulasi oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional menjadi basis data tanah terindikasi terlantar.

2. Tahapan Identifikasi dan Penelitian.

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menetapkan target tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar untuk dilakukan identifikasi dan penelitian, dengan mempertimbangkan lamanya tanah hak tersebut diterlantarkan dan/atau luas bidang tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar, meliputi:

a. Verifikasi terhadap data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah

b. Mengecek buku tanah, warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah saat pengajuan hak

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak bahwa dalam waktu yang telah ditentukan akan

dilaksanakan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat dan domisilinya, maka pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di lokasi, bahwa tanah tersebut sedang dilaksanakan identifikasi dan penelitian oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional

d. meminta keterangan pemegang hak dan pihak lain yang terkait

e. melaksanakan pemeriksanaan fisik lapangan untuk menentukan letak batas penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan GPS hand-held f. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah

g. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang

h. menyusun konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian i. menyusun konsep (draft) Berita Acara Panitia C.

Setelah proses tersebut dilaksanakan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional membentuk Panitia C, dan Sekretariat Panitia C. Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan bahan konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapang. Panitia C menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C), disimpulkan terdapat tanah tersebut diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemegang hak telah mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Jika pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan kedua. Pada setiap peringatan disebutkan tindakan konkret yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang tidak melaksanakannya.

Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan

dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional pada setiap akhir peringatan.

4. Tahap Penetapan Tanah Terlantar

Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi peringatan, adalah apabila :

a. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak;

b. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

c. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

d. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

e. tanah yang telah diberikan dasar panguasaan dan sebagian atau seluruhnya telah digunakan sesuai dengan peruntukkannya, tetapi belum mengajukan permohonan hak; dan/atau

Sebagai bahan pertimbangan penetapan tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut:

a. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100% diterlantarkan;

b. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% - < 100% diterlantarkan;

c. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.

Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar.

Atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar, sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI tersebut disampaikan kepada pemegang hak atau bekas pemegang hak, dengan tembusan kepada Gubernur, Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan, instansi terkait serta kepada pemegang Hak Tanggungan apabila terdapat Hak Tanggungan. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak.

Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan

tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan.

Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Penertiban tanah terlantar sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, hanya diberlakukan terhadap pemegang hak atas tanah atau dasar penguasaan atas tanah yang menelantarkan tanahnya sebagai bentuk sanksi terhadap penyimpangan yang dilakukan para pemegang hak. Sedangkan bagi pemegang hak yang melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Surat Keputusan Pemberian Hak atau dasar penguasaan atas tanah, tidak terkena Peraturan Pemerintah ini.

B. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Pelaksanaan Landreform

Dokumen terkait