• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI IMPLEMENTASI PELAKSANAAN LANDREFORM. tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI IMPLEMENTASI PELAKSANAAN LANDREFORM. tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KETERIKATAN TANAH TERLANTAR SEBAGAI IMPLEMENTASI PELAKSANAAN LANDREFORM

A. Pengertian Landreform

Secara harfiah istilah landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata “land” yang berarti tanah dan kata “reform” yang berarti perombakan. Oleh karena itu secara sederhana landreform dapat diartikan sebagai perombakan tanah. Akan tetapi dalam konsep landreform yang sesungguhnya tidaklah sesederhana itu, artinya tidak hanya perombakan tanah atau perombakan struktur penguasaan tanah melainkan perombakan terhadap hubungan manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia yang berkenaan dengan tanah, guna

meningkatkan penghasilan petani dan perombakan ini sifatnya mendasar.20

Menurut Hj. Chadidjah Dalimunthe, landreform adalah suatu program yang memuat tuntutan terhadap ketidakadilan sosial di bidang pertanahan terutama terhadap tanah pertanian. Perbedaan tuan-tuan tanah dengan petani-petani kecil yang begitu menyolok telah menimbulkan keinginan untuk menuntut keadilan sosial dan politis guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Landreform diartikan sebagai perubahan dasar (perombakan) struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam.

21

Pengertian landreform dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) dan (Undang-Undang-(Undang-Undang Nomor 5 Prp Tahun 1960

20 Hustiati, Agrarian Reform Di Philipina Dan Perbandingannya Dengan Landreform Di

Indonesia, Mandar Maju, Medan, 1990, hlm. 33.

(2)

adalah pengertian dalam arti luas sesuai dengan pengertian menurut rumusan FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu landreform adalah dianggap meliputi suatu program tindakan yang saling berhubungan untuk menghilangkan penghalang-penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan.

Disamping istilah landreform, istilah agrarian reform tidak kalah populer penggunaannya terutama oleh lembaga-lembaga internasional. Boedi Harsono membagi pengertian landreform menjadi dua (2) yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dan dalam arti luas, landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan

hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.22

PBB memberikan pengertian landreform dan agrarian reform secara berbeda dimana landreform dimaksudkan untuk menghilangkan penghalang-penghalang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi sosial dengan jalan retribusi di bidang kekayaan, kesempatan, dan kekuasaan sebagai manifestasi dari pemilihan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya. Sedangkan agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek yang berkaitan dengan pembangunan termasuk landreform. Penghasilan produksi dan

pelayanan termasuk hubungan lembaganya.23

22

Boedi Harsono, Op Cit., hlm 364.

23Pengertian landreform dan agrarian reform oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),

sebagaimana dikutip oleh Mariati Zendrato, Bahan Ajar Hukum Agraria Lanjutan (Penjabaran UUPA No. 5 Tahun 1960), Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm. 18-19.

(3)

AP Parlindungan menyatakan bahwa kalaulah kita mau konsekuen dengan pasal 1 dan 2 UUPA, seharusnya kita mempunyai agrarian reform dimana di dalamnya terdapat landreform, water reform dan air reform. Dengan demikian kita mengadakan perombakan dari hubungan manusia dengan bumi, air dan ruang angkasa sebagai akibat hukum kolonial yang sampai kini masih saja ada beberapa hukum atas ketiga unsur itu yang masih menguasai hukum di Indonesia. Istilah landreform sering konotasinya pada sikap politik untuk memenangkan massa dengan adagium yang dipergunakan di negara-negara komunis “land to the tillers” (tanah untuk petani), sedangkan di negara lain yang bukan komunis mereka mempergunakan agrarian reform dalam artian yang sempit yang lebih bersifat

teknis untuk meningkatkan kehidupan para petaninya.24

Landreform di Taiwan menurut Tseng Hsiao merupakan tantangan secara fundamen terhadap perjuangan kelas dan perang internasional yang telah hancur secara perlahan-lahan oleh keberadaan sistem sosial yang telah gagal mempertahankan keberadaan hak asasi dan keadilan sosial. Sedangkan di Filipina

dalam Pasal 3 RA25

Disamping istilah landreform dan agrarian reform di atas, Gunawan Wiradi mengetengahkan istilah reforma agraria. Pemakaian reforma agraria Nomor 6657 menyebutkan bahwa agrarian reform itu ditujukan untuk membagi-bagikan tanah-tanah, memperhatikan hasilnya kepada petani-petani yang tidak punya tanah.

24 AP Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, 1991, hlm. 72-73,

sebagaimana dikutip oleh Tampil Anshari, dalam : Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Cetakan kelima, 2008, hlm. 76-77

25 RA 6657 atau Republic Act No. 6657 merupakan aturan hukum agarian reform di Filipina yang

biasa disebut Comprehensive Agrarian Reform Program/CARP (Program Komprehensif Reforma Agraria).

(4)

digunakannya untuk mengganti istilah landreform dan agrarian reform dengan pengertian sebagai usaha untuk melakukan perombakan struktur penguasaan tanah.

Landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah. Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.

Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses).

(5)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah landreform dan agrarian reform tidak perlu dipertentangkan. Meskipun Indonesia menggunakan istilah landreform bukan berarti pola pelaksanaan landreform tersebut mengikuti atau mencontoh kegiatan di negara komunis yang biasanya menggunakan istilah tersebut. Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang pertanahan yang bersifat menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan di dalam penataan pemilikan, penguasaan, penggunaan dan peralihannya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi

rakyat secara adil dan merata.26

Dapat disimpulkan juga bahwa landreform dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi

reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus.27

B. Dasar Hukum Landreform

Dalam membicarakan masalah dasar hukum landreform berarti membicarakan landreform baik sebagai suatu kebijakan pertanahan maupun sebagai subsistem hukum pertanahan. Oleh karena itu dalam pembahasan ini tidak terlepas dari politik hukum agraria nasional sebagaimana yang terdapat dalam

26 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan,

Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 69.

(6)

Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Pokok Agraria dan beberapa peraturan pelaksana lainnya.

1. Pancasila

Konsep keadilan sebagaimana yang dijelaskan oleh aristoteles dan para pemikir sesudahnya, demikian juga konsep keadilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 Pancasila, memang tidak mudah untuk dipahami terlebih bila harus dihadapkan pada kasus yang konkrit.

Bagi Indonesia sesuai dengan Falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk menerapkan asas keadilan sosial. Keadilan itu sendiri bersifat universal, jauh didalam lubuk hati setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.

Dalam pengertian keadilan, pada umumnya diberi arti sebagai keadilan “membagi” atau “distributive justice” yang secara sederhana menyatakan bahwa kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Namun perlu dipahami bahwa keadilan itu bukanlah hal yang statis, tetapi sesuatu proses yang dinamis dan senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri.

2. Undang-Undang Dasar 1945

Secara konstitusional pengaturan masalah perekonomian didalamnya termasuk ekonomi sumber daya alam (SDA) di Indonesia telah diatur dalam UUD 1945. Hal tersebut dapat kita lihat Pasal 33 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi :

(7)

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.28

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 33 tersebut dijelaskan bahwa :

“Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-perseorangan. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.”

Pada alinea berikutnya disebutkan :

“Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kalau tidak tampuk produksi akan jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 tersebut nampak jelas bahwa dalam rangka meningkatkan kemakmuran rakyat peranan negara sangat diperlukan. Ikut campurnya negara dalam urusan kesejahteraan rakyat sebagaimana ketentuan dimaksud mengindikasikan bahwa dalam konstitusi kita dianut sistem negara welfarestate. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa masalah ekonomi, bukan hanya monopoli ekonomi yang didasarkan pada mekanisme pasar semata-mata

(8)

tetapi juga diperlukan peranan negara, terutama yang berkaitan dengan bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Khusus mengenai pembangunan hukum agraria dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang menyebutkan :

“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Lebih lanjut pengaturan masalah agraria yang didalamnya termasuk dalam pertanahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan demikian secara historis dapat dijelaskan bahwa sebenarnya upaya pengaturan pertanahan (yang didalamnya terdapat program landreform) di Indonesia telah dimulai sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

3. Undang-Undang Pokok Agraria

Pasal 2 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) menjelaskan pengertian “dikuasai negara” yaitu memberi wewenang kepada negara untuk :

a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.29

Wewenang tersebut harus digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(9)

Payung bagi pelaksanaan landreform di Indonesia adalah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria/UU No. 5 Tahun 1960) dan UUPBH ((Undang-Undang-(Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil/UU No. 2 Tahun 1960). Diperlukan waktu 12 tahun, sejak tahun 1948 ketika panitia persiapan dibentuk, untuk menghasilkan kedua undang-undang tersebut. Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria atau yang kita kenal dengan sebutan UUPA, maka UUPA menempati posisi yang strategis dalam sistem hukum nasional Indonesia, karena UUPA mengandung nilai-nilai kerakyatan dan amanat untuk menyelenggarakan hidup dan kehidupan yang berprikemanusiaan dan berkeadilan sosial. Nilai-nilai tersebut dicerminkan oleh :

1) Tanah dalam tataran paling tinggi dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat

2) Pemilikan/penguasaan tanah yang berlebihan tidak dibenarkan

3) Tanah bukanlah komoditas ekonomi biasa oleh karena itu tanah tidak boleh diperdagangkan semata-mata untuk mencari keuntungan

4) Setiap warga negara yang memiliki/menguasai tanah diwajibkan mengerjakan sendiri tanahnya, menjaga dan memelihara sesuai dengan asas kelestarian kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumber daya alam

5) Hukum adat atas tanah diakui sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara meliputi tanah yang sudah sudah dilekati oleh suatu hak atau bekas hak perorangan, tanah yang masih ada hak ulayat dan tanah negara. Menurut Imam Soetiknjo, hak menguasai

(10)

negara yang meliputi tanah dengan hak perorangan adalah bersifat pasif, dan menjadi aktif apabila tanah tersebut dibiarkan tidak terurus atau ditelantarkan. Terhadap tanah yang tidak dipunyai oleh seseorang/badan hukum dengan hak apapun dan belum dibuka maka hak menguasai negara bersifat aktif.

Dalam lingkupnya dengan masalah landreform ketentuan tersebut diatas mengisyaratkan meskipun UUPA mengakui adanya tanah kepemilikan tanah secara perorangan, tetapi perlakuan terhadap hak-hak tersebut harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dan ini merupakan kewajiban bagi pemegang hak tersebut. Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip landreform sebagaimana yang tercantum antara lain dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA.

Pasal 7 UUPA menyatakan :

“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”

Pasal 17 UUPA menyatakan :

1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dalam peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat.

3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

(11)

1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

Dalam penjelasan Umum UUPA (II.7) disebutkan pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Ketentuan tersebut merupakan suatu asas umum yang menjadi dasar dari perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan yang hampir berlaku diseluruh negara yang telah ataupun sedang melakukan landreform ataupun agrarian reform.

Agar supaya ketentuan tersebut dapat dilaksanakan perlu dilakukan ketentuan-ketentuan batas maksimum (ceilling) penguasaan tanah pertanian oleh suatu keluarga petani. Adanya pembatasan maksimum itu adalah untuk menghindari terjadinya penguasaan tanah yang sangat luas, sementara orang lain hanya menguasai tanah yang sangat sempit, bahkan tidak mempunyai tanah sama sekali. Oleh karena itu pengaturan mengenai penguasaan tanah yang melampaui batas adalah merupakan suatu hal yang sangat logis. Dalam UUPA hal tersebut diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 17 sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Dalam hubungannya dengan penguasaan tanah tersebut Notonegoro antara lain menyebutkan bahwa perlunya diadakan batas maksimum penguasaan tanah didasarkan pada alasan-alasan. Pertama, terjadinya akumulasi penguasaan tanah pada sekelompok kecil orang, sementara banyak orang petani yang tidak mempunyai tanah. Kedua, adanya pengelompokan tanah yang luas pada sekelompok orang dapat berpengaruh terhadap orang-orang yang mempunyai

(12)

tanah yang sempit (dikesampingkan) baik secara ekonomi maupun psikologis. Ketiga, akibat penguasaan tanah yang sangat luas, kemungkinan penelantaran tanah juga lebih besar. Keempat, kemungkinan beralihnya tanah tersebut kepada orang yang tidak berminat terhadap tanah pertanian juga lebih besar (khususnya dalam hal peralihan karena warisan).

Lebih lanjut dikatakan bahwa secara ekonomi penguasaan tanah yang luas akan sangat menguntungkan, yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan bagi pemiliknya, juga merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat dan negara dibandingkan apabila tanah tersebut dikuasai oleh orang banyak dengan luasan yang sangat sempit. Demikian juga dalam hal pengelolaannya dapat dilakukan dengan efisien dengan menggunakan teknologi modern, karena biasanya para pemilik tanah yang luas kemungkinan memperoleh fasilitas kredit, dan penguasaan modal cukup baik, sehingga yang diuntungkan terhadap penguasaan tanah yang besar tersebut hanya sekelompok-sekelompok orang yang mempunyai tanah yang luas, sedangkan bagi petani kecil justru sebaliknya, bahkan bagi petani yang mempunyai lahan yang sempit dalam pengelolaan tanah tersebut ada kecenderungan minus.

Keuntungan dan kelemahan penguasaan tanah yang luas dan sempit tersebut di Indonesia telah diantisipasi dengan adanya ketentuan batas minimum penguasaan tanah oleh rumah tangga petani yaitu minimum 2 (dua) hektar berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp 1960, demikian

(13)

juga dengan adanya larangan fragmentasi lahan pertanian.30

4. Beberapa Ketentuan Pelaksanaan Landreform

Adanya batas minimum dan larangan fragmentasi tanah pertanian tersebut tidak lain adalah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga petani, dengan harapan bahwa dengan luasan tanah pertanian tersebut secara ekonomis dapat meningkatkan taraf hidup para petani.

Jika menelusuri beberapa ketentuan lain pelaksanaan dari UUPA, maka akan dijumpai beberapa peraturan yang jika dipelajari secara mendalam sesungguhnya adalah ketentuan landreform.

a. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA. Undang-undang ini mengatur tiga masalah pokok yaitu penetapan luas maksimum penguasaan tanah, masalah gadai tanah dan luas minimum tanah pertanian. Berdasarkan penjelasan umum undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perlunya penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada kenyataan. Pertama, pada saat ini lebih kurang 60% dari petani Indonesia adalah petani tidak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian lagi adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau sebagai penggarap dalam hubungan bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya menguasai tanah hanya rata-rata 0,6 hektar sawah atau 0,5

30 Fragmentasi lahan pertanian ialah penyusutan kepemilikan tanah pertanian atau terpencarnya

tanah pertanian milik seseorang atau badan hukum. Fragmentasi lahan pertanian terjadi melalui proses peralihan hak yaitu pewarisan, jual beli dan hibah sebagian tanah pertanian. Fragmentasi tanah pertanian menyebabkan berkurangnya tanah pertanian, sehingga berdampak terhadap efisiensi teknis dan pendapatan petani.

(14)

hektar tanah kering. Disamping pada petani-petani yang tidak mempunyai tanah pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian kecil petani yang menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar. Perlu diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi dikuasai dengan hak gadai atau sewa. Kedua, bahwa ada orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedangkan yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia, yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil pula atas hasil tanah-tanah tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian. Ketiga, banyak gadai yang telah berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan sampai pada

ahli warisnya karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya.31

b. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pembagian Ganti Kerugian. Pasal 1 PP 24 Tahun 1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah yang menjadi objek program landreform yang meliputi, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Prp 1960, tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, dan

31 Ira Sumaya, Tesis : “Analisis Hukum Landreform Sebagai Upaya Meningkatkan Pendapatan

Ekonomi Masyarakat (Studi Pada Kegiatan Redistribusi Tanah Di Kota Medan Periode 2007-2008)” (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 55.

(15)

tanah-tanah lain yang dikuasai secara langsung oleh negara untuk selanjutnya tanah tersebut akan dibagikan kepada petani. Disamping mengatur masalah objek landreform dan subjek program landreform peraturan ini juga mengatur tentang lembaga-lembaga pendukung landreform seperti koperasi pertanian. Keberadaan koperasi ini ditujukan

untuk mengatur tentang pengusahaan tanahnya, membantu

penggarapannya, mengusahakan kredit dan memberikan pembinaan dalam mengelola tanah pertanian.

c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Keluarnya undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang merugikan mereka dari golongan yang kuat secara ekonomis dalam perjanjian bagi hasil. Peraturan ini pada prinsipnya menghendaki adanya keadilan serta jaminan hukum antara para pihak, khususnya penggarap. Meskipun pada kenyataannya undang-undang ini dalam praktek perjanjian bagi hasil sangat jarang dilaksanakan.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam hubungannya dengan landreform pendaftaran tanah pada hakikatnya bukan saja bertujuan memberikan kepastian hak bagi pemiliknya akan tetapi juga merupakan sebagai alat untuk mengontrol, mengenai luas pemilikan dan penguasaan tanah yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum.

(16)

Selain dari beberapa ketentuan diatas sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut, terdapat beberapa peraturan landreform yang lain seperti : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform. Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh pemerintah wajib dilaporkan oleh yang menguasainya dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepala Bupati/Walikota cq.Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.

Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas maksimum tersebut diatas selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihan tersebut. Ketentuan ini juga berlaku terhadap tanah-tanah yang dimiliki secara guntai.

Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Objek Landreform Secara Swadaya. Pengaturan penguasaan tanah objek landreform secara swadaya adalah pembagian/redistribusi tanah objek landreform oleh pemerintah yang ditunjang partisipasi aktif dan dibiayai oleh petani penerima pembagian tanah tersebut. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan pembagian tanah kepada para petani penggarap yang sanggup berperan serta dalam pelaksanaannya dan pembiayaannya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sasarannya adalah untuk tertatanya penggunaan tanah objek landreform, terselenggaranya pembagian tanah yang merata dengan tidak menimbulkan perbedaan pemilikan tanah yang besar, dan tersedianya tanah yang

(17)

dapat dimanfaatkan dan dapat menjadi modal kehidupan petani yang dikelola secara koperatif.

Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi Atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee Baru. Instruksi ini ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia untuk melakukan inventarisasi subjek dan objek serta pemanfaatan atas tanah-tanah terlantar baik sebagian maupun seluruhnya yang dengan sengaja tidak digunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuannya, tanah perkebunan/HGU yang tidak diusahakan, dan tanah kelebihan maksimum dan absentee baru.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Objek Redistribusi Landreform. Keputusan ini mengatur antara lain, pertama, penertiban tanah objek landreform yang telah diredistribusikan kepada petani yang setelah lima belas tahun tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah tersebut dinyatakan batal. Kedua, menyatakan tanah tersebut sebagai tanah negara objek pengaturan penguasaan tanahnya didata kembali sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian pada tahun 1998, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan

(18)

tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas. Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Pelaksanaan Landreform.

Pada tahun 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan.

Pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu BPN bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dengan demikian, Perpres ini

(19)

merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria.

Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.

C. Tujuan dan Prinsip Landreform

Tujuan umum dari pelaksanaan landreform di masing-masing negara di dunia adalah untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya khususnya petani melalui penetapan pemilikan/penguasaan tanah secara adil dan merata. Secara khusus tujuan pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dikemukakan antara lain :

a. Usul yang dikemukakan oleh Dewan Pertimbangan Agung Sementara sehubungan dengan diajukannya undang-undang tentang landreform tersebut pada tahun 1960 yaitu :

“... bahwa landreform bertujuan : “agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara dan khususnya taraf hidup meninggi dan taraf hidup seluruh rakyat jelata meningkat”. Selanjutnya landreform bertujuan untuk :

memperkuat rakyat Indonesia, terutama kaum tani”.32

b. Pendapat yang lebih terperinci yang dikemukakan Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidato Pengantar Penyerahan Rancangan UUPA di depan sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tanggal 12

(20)

September 1960 mengatakan bahwa tujuan pelaksanaan landreform di Indonesia adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.

2) Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan obyek pemerasan.

3) Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial, suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perorangan dan turun temurun tetapi yang berfungsi sosial.

4) Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan hak terbatas dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian menyingkirkan sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomis lemah.

5) Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk

(21)

mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, dibarengi dengan suatu sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.33

c. Dilihat dari berbagai aspek, pelaksanaan landreform Indonesia meliputi : Tujuan Sosial Ekonomi :

1) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi fungsi sosial pada hak milik.

2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

Tujuan Sosial Politik :

1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan yang luas.

2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.

Tujuan Mental Psikologis

1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.

2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan

penggarapnya.34

33

Sudargo Gautama, 1986 : 22 sebagaimana dikutip oleh Tampil Anshari Siregar, Op Cit, hlm 71-72.

34 Departemen Penerangan Republik Indonesia, Pertanahan Dalam Era Pembangunan Nasional,

(22)

Undang-Undang Pokok Agraria merupakan induk landreform Indonesia, hal ini dapat dilihat dari tujuan UUPA yang juga merupakan tujuan landreform, yaitu :

1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.

2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai

hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.35

Jelaslah kiranya, bahwa tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila.36

35 Zaidar, SH., M.Hum, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan, Pustaka Bangsa Press,

2010, hlm. 81.

36 Boedi Harsono, Op Cit, hlm 367.

Di Indonesia prinsip dan landasan landreform beralaskan pada prinsip hak menguasai negara. Landreform diatur oleh siapa yang berhak mempunyai hak milik, pembatasan luas minimal dan maksimal luas tanah, pencegahan tanah menjadi terlantar, dan tanda bukti kepemilikan atas tanah. Adapun prinsip/landasan dari landreform adalah :

(23)

1) Adanya hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai dari negara bukan hak kepemilikan dari negara (kolonial) seperti asas domain tetapi sama dengan hak ulayat dalam hukum adat.

2) Memberikan kewenangan kepada negara dalam membuat tanda bukti atas kepemilikan tanah yang memiliki hak milik atau hanya warga negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin, ras, dan agama. Sedangkan warga negara asing tidak diberikan hak yang demikian itu.

3) Luas tanah dengan status hak dibatasi haknya. Pertimbangannya adalah luas maksimal pemilikan tanah dibatasi agar tidak tumbuh lagi tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui sistem persewaan tanah atau gadai tanah.

4) Pemilikan yang berhak atas tanah haruslah menggarap sendiri tanahnya secara aktif sehingga membawa manfaat bagi dirinya, keluarganya, maupun masyarakat banyak. UUPA melarang pemilikan tanah yang tidak mengerjakan sendiri oleh pemiliknya karena akan menyebabkan tanahnya akan terlantar (tanah guntai/absentee) atau meluasnya hubungan buruh tani dan pemilik tanah yang mempunyai kecenderungan yang memeras.

5) Panitia landrefrom mendaftarkan mereka yang ingin mendapatkan bukti atas kepemilikan tanah atau memulai hak atas tanah yang selanjutnya memberikan tanda bukti pemilikan hak atas tanah untuk menjamin kepastian hukum atas tanahnya.

(24)

Prinsip-prinsip landreform ini dibuat untuk mencegah beralihnya keuntungan sumber daya alam Indonesia seperti tanah partikelir yang menyebabkan rakyat Indonesia harus menjadi buruh tani ditanah milik warga negara asing. Pemilik adalah penguasa yang mengambil hasil kerja buruh tani dan pengaturan batas minimal ditujukan agar keluarga petani tidak hidup dari luas tanah yang kecil. Korelasi yang saling menguat antara kecilnya produktivitas dengan kecilnya kepemilikan atas tanah.

Pemilik tanah yang terlalu kecil tidak hanya berakibat kecilnya pendapatan pemiliknya tetapi juga secara makro merugikan, karena rendahnya produktivitas. Kepemilikan tanah yang tidak terbatas terbatas akan membuka peluang bagi sekelompok kecil orang untuk menguasai tanah yang sangat besar dan sekelompok orang lain akan menguasai tanah yang sangat kecil dan terpaksa hanya mengandalkan tenaga untuk menjadi buruh.

Dalam berbagai kesempatan, istilah Pembaruan Agraria dan landreform seringkali digunakan secara bergantian. Namun demikian, seyogianya disepakati bahwa landreform sebagai restrukturisasi pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah merupakan salah satu program pembaruan agraria, dan dengan demikian maka pembaruan agraria mempunyai dimensi yang lebih luas dari

landreform.37

Kemiskinan dan terpinggirkannya hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat adat, karena ketidakadilan dalam akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah sumber-sumber agraria lainnya mengarahkan pembaruan

Dengan kata lain dapat diartikan sebagai landreform plus.

37 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta,

(25)

agraria pada dua hal pokok, yakni keadilan dan pemberdayaan masyarakat,

khususnya masyarakat petani di pedesaan.38

1) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria atau sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaruan agraria.

Pembaruan agraria merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat, yang operasionalisasinya dapat dijumpai dalam beberapa prinsip. Prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut adalah sebagai berikut :

2) Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme).

3) Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria atau sumber daya alam (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antargenerasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria/sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya). 4) Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria/sumber daya

alam lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas.

5) Penyelesaian konflik pertanahan.

38 Ibid.

(26)

6) Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-sumber agraria/sumber daya alam.

7) Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.

8) Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria/sumber daya alam.

9) Usaha-usaha produksi di lapangan agraria.

10) Pembiayaan program-program pembaruan agraria.39

D. Keterikatan Tanah Terlantar dengan Landreform

Tanah terlantar mempunyai implikasi yang luas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, karena tanah terlantar menutup kemungkinan bagi masyarakat lain untuk memanfaatkan tanahnya bagi kehidupan dan penghidupannya. Penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak optimal berarti terjadi kehilangan peluang untuk memperoleh manfaat dari tanah terlantar dimaksud. Sementara di lain pihak masyarakat luas mempunyai akses yang sangat terbatas terhadap pemanfaatan sumber daya tanah. Oleh karena itu perlu usaha penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tersebut.

Pada penjelasan umum UUPA angka II, poin (4) tentang fungsi sosial ditegaskan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian pada masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan

39 Ibid, hlm 81.

(27)

dari sifat haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya, maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.

Tanah-tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya sebagaimana mestinya dapat diambil oleh pemerintah sebagai objek landreform

dan dibagi-bagikan kepada para petani yang berhak.40

Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agraria adalah tanah terlantar. Menurut pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek

reforma agraria.41

Hasil penertiban tanah terlantar, selain langsung untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui reforma agraria, juga diperlukan untuk kepentingan program strategis guna memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, Tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar dikuasai langsung oleh negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, merupaka tanah cadangan umum negara yang dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya.

40 Chadidjah Dalimunthe, Op Cit, hlm. 118.

41 http://www.bpn.go.id/Layanan-Publik/Program/Reforma-Agraria diakses pada tanggal 18 April

(28)

perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu tanah negara bekas tanah terlantar digunakan juga untuk cadangan negara guna memenuhi kebutuhan tanah bagi kepentingan pemerintah, pertanahan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.

Disebutkan diatas bahwa tanah-tanah yang telah ditetapkan menjadi tanah terlantar menjadi tanah cadangan umum negara yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara antara lain untuk reforma agraria. Reforma agraria sesungguhnya adalah penyelenggaraan landreform yang dilanjutkan dengan pembangunan akses (access reform) terhadap berbagai keperluan untuk berbudidaya dengan tanah yang telah didistribusikan kepada masyarakat. Sehingga formula Reforma Agraria (RA) = Landreform (LR) + Akses Reform (AR). Reforma agraria didahului dengan penataan sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA yang kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan landreform dan access reform secara

simultan.42

Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan reforma agraria tidak cukup dengan membagikan tanah negara kepada masyarakat yang dilanjutkan dengan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, namun kegiatan ini harus dilanjutkan dengan pembangunan akses berbagai keperluan masyarakat untuk membudidayakan tanahnnya. Akses yang umumnya diperlukan masyarakat adalah akses teknologi dan kelembagaan, akses terhadap permodalan, akses terhadap

42 Tanah Terlantar : Penertiban dan Pendayagunaannya Untuk Landreform, oleh Budi Mulyanto,

,http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/files/journals/27/articles/538/submission/review/538-1435-1-RV.doc diakses pada tanggal 18 April 2017

(29)

perbankan, akses terhadap pasar atas hasil-hasil budidaya yang dilakukan masyarakat dengan menggunakan tanahnya. Menghubungkan landreform dengan access reform diperlukan upaya pendampingan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria yang demikian diproyeksikan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini secara fundamental.

Landreform telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 60-an sebagai salah satu bentuk pelaks60-ana60-an UUPA, namun proses pendistribusi atau redistribusi tanah ini berjalan kurang optimal. Sumber tanah untuk pelaksanaan landreform selain tanah negara bekas tanah terlantar yang ditegaskan menjadi objek landreform, juga tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform (berasal dari kelebihan maksimum, absentee, dan bekas swapraja), tanah-tanah yang telah ditegaskan menjadi objek landreform serta tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

(30)

BAB IV

PENGATURAN KEWENANGAN PENERTIBAN DAN

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM PELAKSANAAN LANDREFORM

A. Kewenangan Dalam Penertiban Tanah Terlantar 1. Pengertian Kewenangan

Kewenangan (authority) berasal dari kata “wenang” yang artinya adalah

kuasa atau berhak.43

Menurut H.D Stout, kewenangan adalah pengertian yang berasal dari hukum pemerintah, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan-perolehan dan penggunaan kewenangan dari pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik.

Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak sehingga kewenangan berarti kekuasaan untuk membuat atau melakukan sesuatu.

44

43 Kamus Besar Bahasa Indonesia, opcit.

44 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2013. hal 71. Sedangkan P. Nicholai disebutkan bahwa kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

(31)

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara

negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.45

Bedanya antara kekuasaan dan wewenang ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dinamakan kekuasaan, sedang wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang dengan mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan dari masyarakat itu maka di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks susunannya dan sudah mengenal pembagian tugas yang terperinci wewenang itu biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan caranya menggunakan kekuasaan itu.

Kewenangan adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Kadangkala istilah wewenang dikaitkan dengan suatu kekuasaan hukum. Terkait dengan kekuasaan hukum maka ada hal yang perlu dicermati yaitu berkaitan dengan keabsahan suatu tindak pemerintahan dan kekuasaan hukum. Suatu tindak pemerintahan dianggap sah jika dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban hukum dan suatu tindak pemerintah mempunyai kekuasaan hukum jika dapat mempengaruhi pergaulan hukum.

46

Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu wewenang personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal bersumber pada

45 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

46 Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi Dan Sosiologi Hukum, Cetakan Ketiga, Pustaka

(32)

intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada diatasnya.

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui tiga (3) cara yaitu dengan atribusi, delegasi dan mandat.

a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan.47

b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

Artibusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit). Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

48

47

Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5816ab6ea74a7/pengertian-atribusi--delegasi-dan-mandat. Diakses pada tanggal 22 April 2017.

(33)

c) Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangan

dijalannya oleh organ lain atas namanya.49

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.

Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan.

50

2. Pengertian Penertiban

Penertiban yaitu proses, cara, dan perbuatan menertibkan.51

49

Ibid.

50 A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 219.

Dalam Hukum Tata Ruang, penertiban adalah usaha atau kegiatan untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang sesuai rencana dapat terwujud. Kegiatan penertiban dapat

(34)

dilakukan dalam bentuk penertiban langsung dan penertiban tidak langsung. Penertiban langsung dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penertiban tidak langsung dilakukan dalam bentuk sanksi disinsentif, antara lain melalui pengenaan retribusi secara progresif atau membatasi penyediaan sarana dan prasarana lingkungannya.

Bentuk-bentuk pengenaan sanksi yang berkenaan dengan penertiban antara lain :52

a) Sanksi administratif, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang. Sanksi dapat berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan hak.

b) Sanksi perdata, dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok orang, atau badan hukum. Sanksi dapat berupa tindakan pengenaan denda atau ganti rugi.

c) Sanksi pidana, dikenakan terhadap pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan umum. Sanksi dapat berupa tindakan penahanan dan kurungan.

3. Organ yang Berwenang dalam Penertiban Tanah Terlantar dan Ruang Lingkup Kewenangannya

Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dari pemerintah (presiden) kepada Badan Pertanahan Nasional Republik

52

(35)

Indonesia. Ketentuan ini tersirat dalam pasal 17 PP No. 11 Tahun 2010 yang

menyatakan bahwa :53

1) “identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.

“pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan oleh Kepala dan hasilnya dilaporkan berkala kepada Presiden”.

Dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dibentuk sebuah panitia. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010 yaitu :

2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi

terkait yang diatur oleh Kepala”.54

Pasal 14 menyatakan :

“ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah terlantar diatur

dalam Peraturan Kepala”.55

a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 14 PP No. 11 Tahun 2010, dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 ini dijelaskan panitia yang dimaksud dalam Pasal 5 PP No. 11 Tahun 2010. Panitia tersebut adalah Panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Pemerintah Daerah, dan instansi yang berkaitan dengan peruntukkan tanah yang mempunyai wewenang untuk melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Berdasarkan pasal 10 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, susunan keanggotaan panitia C terdiri atas :

b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan

53

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

54 Ibid. 55 Ibid

(36)

Pemberdayaan Masyarakat merangkap anggota

c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota

2. Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya

3. Dinas/Instansi Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan tanahnya

4. Kepala Kantor Pertanahan.56

1) Kegiatan identifikasi dan penelitian yang meliputi :

Dengan demikian maka organ yang berwenang dalam penertiban tanah terlantar adalah panitia C yang terdiri dari Kanwil BPN, Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah dan instansi yang berkaitan dengan peruntukan tanah yang bersangkutan berwenang dalam melakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar. Sedangkan penetapan tanah terlantar merupakan kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan pasal 7 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 11 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, panitia C memiliki wewenang untuk melakukan :

57

a. Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis

b. Mengecek buku tanah dan/ atau warkah dan dokumen lainnya untuk penggunaan dan pemanfaatan tanah pada saat pengajuan hak

c. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan

56 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang

Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

(37)

d. Melaksanakan pemeriksaan fisik

e. Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan

f. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar g. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian h. Melaksanakan sidang panitia

i. Membuat berita acara.

2) Menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian dan berita acara kepada Kepala Kantor Wilayah.

Adapun kewenangan dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yaitu :

1) Memberikan peringatan kepada pemegang hak yang telah menelantarkan tanahnya berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilakukan oleh panitia C. Berdasarkan pasal 8 PP No 11 Tahun 2010 dan pasal 14 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 dinyatakan :

1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/ keputusan/ surat sebagai dasar penguasaannya. 2) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama dengan peringatan pertama.

3) Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah

(38)

memberikan peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama

dengan peringatan kedua.58

2) Mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar. Ketentuan ini diatur dalam pasal 8 ayat (6) yang menyatakan bahwa, apabia pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), kepala kantor wilayah mengusulkan kepada kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.

Sedangkan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berwenang untuk membuat keputusan penetapan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN. Ketentuan ini diatur dalam pasal 9 PP No. 11 Tahun 2010 dan pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010. Pasal 19 Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 menyatakan bahwa :

1) Kepala menetapkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar atas usulan Kepala Kantor Wilayah

2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan

bahwa tanah yang dimaksud dikuasai langsung oleh negara.59

4. Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar

Penertiban tanah terlantar akan dilakukan secara sistematis, teliti, adil, dan transparan. Oleh sebab itu, penertiban tanah terlantar akan mengikuti tahapan-tahapan yang jelas dan mudah diikuti oleh semua pihak. Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang

58 Lihat pasal 8 PP Nomor 11 Tahun 2010. 59 Peraturan Kepala BPN, opcit.

(39)

ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu :

1. Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar

Tahap inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan tanah hak dan dasar penguasaan atas tanah oleh pemegang hak. Dengan demikian dapat diketahui pemegang hak telah menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan atas tanahnya, atau sebaliknya masih terdapat tanah yang tidak diusahakan atau diterlantarkan.

Informasi tanah hak sekala besar terindikasi terlantar (HGU, HGB induk, Hak Pakai berjangka waktu), Hak Pengelolaan, dan dasar penguasaan atas tanah (Ijin Lokasi) diperoleh dari hasil pemantauan lapangan oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan, atau dari laporan dinas/instansi lainnya, laporan tertulis dari masyarakat atau dari laporan pemegang hak.

Pemegang hak atas tanah dan pemegang dasar penguasaan atas tanah wajib mengusahakan, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak dan dasar penguasaan atas tanahnya. Oleh karena itu pemegang hak berkewajiban melaporkan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya secara berkala setiap triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

(40)

Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar, meliputi data tekstual dan spasial. Data tekstual diantaranya adalah nama dan alamat pemegang hak, nomor, dan tanggal keputusan pemberian hak, nomor, tanggal, dan berakhirnya sertipikat, letak tanah, luas tanah, penggunaan tanah, luas tanah terindikasi terlantar, dan data spasial merupakan data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan koordinat posisi bidang tanah terindikasi terlantar. Hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar selanjutnya dilakukan rekapitulasi oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional menjadi basis data tanah terindikasi terlantar.

2. Tahapan Identifikasi dan Penelitian.

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menetapkan target tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar untuk dilakukan identifikasi dan penelitian, dengan mempertimbangkan lamanya tanah hak tersebut diterlantarkan dan/atau luas bidang tanah yang terindikasi terlantar. Untuk mempercepat proses identifikasi dan penelitian, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menyiapkan data dan informasi tanah terindikasi terlantar, meliputi:

a. Verifikasi terhadap data fisik dan data yuridis meliputi jenis hak dan letak tanah

b. Mengecek buku tanah, warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah saat pengajuan hak

c. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan secara tertulis kepada pemegang hak bahwa dalam waktu yang telah ditentukan akan

(41)

dilaksanakan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar. Apabila pemegang hak tidak diketahui alamat dan domisilinya, maka pemberitahuan dilakukan melalui pengumuman di Kantor Pertanahan dan di lokasi, bahwa tanah tersebut sedang dilaksanakan identifikasi dan penelitian oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional

d. meminta keterangan pemegang hak dan pihak lain yang terkait

e. melaksanakan pemeriksanaan fisik lapangan untuk menentukan letak batas penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan GPS hand-held f. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah

g. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar antara lain menyangkut permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang

h. menyusun konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian i. menyusun konsep (draft) Berita Acara Panitia C.

Setelah proses tersebut dilaksanakan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional membentuk Panitia C, dan Sekretariat Panitia C. Panitia C melaksanakan sidang panitia dengan menggunakan bahan konsep (draft) laporan hasil identifikasi dan penelitian yang telah dilaksanakan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, dan apabila diperlukan Panitia C dapat melakukan pengecekan lapang. Panitia C menyampaikan laporan akhir hasil identifikasi dan penelitian serta Berita Acara kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

(42)

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian dan saran pertimbangan Panitia C (Berita Acara Panitia C), disimpulkan terdapat tanah tersebut diterlantarkan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberitahukan dan sekaligus memberikan peringatan tertulis pertama, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pemegang hak telah mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Jika pemegang hak tidak melaksanakan peringatan pertama, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan pertama, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu sama dengan peringatan pertama. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah pada akhir peringatan kedua, Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional memberikan peringatan tertulis ketiga yang merupakan peringatan terakhir dengan jangka waktu sama dengan peringatan kedua. Pada setiap peringatan disebutkan tindakan konkret yang harus dilakukan pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang tidak melaksanakannya.

Dalam masa peringatan (pertama, kedua, dan ketiga) pemegang hak wajib melaporkan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkala setiap 2 (dua) mingguan kepada Kepala Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan

(43)

dilakukan pemantauan dan evaluasi lapangan oleh Kantor Wilayan Badan Pertanahan Nasional pada setiap akhir peringatan.

4. Tahap Penetapan Tanah Terlantar

Apabila pada akhir peringatan ketiga, setelah dilakukan pemantauan dan evaluasi, masih terdapat tanah yang diterlantarkan (berarti pemegang hak tidak mematuhi peringatan tersebut), maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mengusulkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI agar bidang tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah terlantar. Yang dimaksud tidak mematuhi peringatan, adalah apabila :

a. seluruh bidang tanah hak tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak;

b. sebagian tanah belum diusahakan sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

c. sebagian tanah digunakan tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

d. seluruh tanah telah digunakan tetapi tidak sesuai dengan SK hak atau dasar penguasaan tanah;

e. tanah yang telah diberikan dasar panguasaan dan sebagian atau seluruhnya telah digunakan sesuai dengan peruntukkannya, tetapi belum mengajukan permohonan hak; dan/atau

(44)

Sebagai bahan pertimbangan penetapan tanah terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai berikut:

a. seluruh hamparan tanah hak/dasar penguasaan terlantar atau 100% diterlantarkan;

b. sebagian besar terlantar, dengan kisaran > 25% - < 100% diterlantarkan;

c. sebagian kecil terlantar, dengan kisaran ≤ 25 % diterlantarkan.

Tanah yang telah diusulkan sebagai tanah terlantar dinyatakan dalam kondisi status quo sampai terbitnya penetapan tanah terlantar.

Atas usulan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pertanahan Nasional RI menerbitkan Keputusan Penetapan Tanah Terlantar, sekaligus memuat hapusnya hak atas tanah, pemutusan hubungan hukum dan menegaskan tanahnya dikuasai langsung oleh negara. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI tersebut disampaikan kepada pemegang hak atau bekas pemegang hak, dengan tembusan kepada Gubernur, Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan, instansi terkait serta kepada pemegang Hak Tanggungan apabila terdapat Hak Tanggungan. Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan wajib dikosongkan oleh bekas pemegang hak.

Apabila tanah terlantar tersebut dibebani hak tanggungan, maka hak tanggungan tersebut juga menjadi hapus dengan hapusnya hak atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi hapusnya hak tanggungan

(45)

tersebut tidak menghapus perjanjian kredit atau utang piutang yang terjadi antara kreditur dengan debitur, karena hubungan hukum tersebut bersifat keperdataan.

Terhadap pemegang hak yang hanya menterlantarkan tanahnya sebagian, dan pemegang hak mengajukan permohonan hak baru atau revisi atas luas bidang tanah yang benar-benar diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan, maka setelah hak atas tanahnya yang baru terbit, pemegang hak dapat melakukan pembebanan hak tanggungan sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Penertiban tanah terlantar sebagai implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, hanya diberlakukan terhadap pemegang hak atas tanah atau dasar penguasaan atas tanah yang menelantarkan tanahnya sebagai bentuk sanksi terhadap penyimpangan yang dilakukan para pemegang hak. Sedangkan bagi pemegang hak yang melaksanakan kewajibannya sesuai dengan Surat Keputusan Pemberian Hak atau dasar penguasaan atas tanah, tidak terkena Peraturan Pemerintah ini.

B. Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Pelaksanaan Landreform 1. Pengertian Pendayagunaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendayagunaan memiliki arti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat; pengusahaan (tenaga

dsb) agar mampu menjalankan tugas dengan baik; efisien.60

60

Kemudian menurut

(46)

Nurhattati Fuad, pendayagunaan sering juga diartikan sebagai pengusahaan agar

mampu mendatangkan hasil dan manfaat.61

Penelantaran tanah merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dipenuhi para pemegang hak atau pihak yang memperoleh dasar penguasaan tanah, sehingga dampak lainnya yakni terhambatnya pencapaian berbagai program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta

Maka dapat disimpulkan bahwa pendayagunaan adalah suatu usaha untuk mendatangkan hasil atau manfaat yang lebih besar dan lebih baik dengan mamanfaatkan segala sumber daya dan potensi yang dimiliki. Pendayagunaan ditujukan untuk memanfaatkan segala potensi yang melekat pada sumber daya yang dimiliki secara optimal.

Pendayagunaan tanah sebagai sumber daya tidak hanya sebatas tanah dalam batas yang sempit, tetapi lebih luas berupa lahan. Lahan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, tumbuhan, dan makhluk lainnya. Manusia selalu berusaha memiliki dan menguasai lahan, yang ikut menentukan status sosialnya. Kebutuhan hidup manusia yang beragam, penguasaan teknologi, kondisi sosial budaya, dan ekonomi masyarakat yang berbeda merupakan faktor yang menentukan dalam penggunaan lahan. Pengelolaan lahan merupakan upaya yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan lahan sehingga produktivitas lahan tetap tinggi secara berkelanjutan (jangka panjang).

61 Nurhattati fuad, Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jakarta: FIP PRESS, 2012, hlm.

82 sebagaimana dikutip oleh Wening Yuni, Hakikat Pendayagunaan Sumber, http://www.kompasiana.com/weyea/hakikat-pendayagunaansumber_553107c86ea8347a558b4574 diakses pada tanggal 24 April 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Dari ke 5 (lima) point tersebut terhadap pembahasan 10 berita media online terhadap dihentikannya operasional Hotel Alexis dapat disimpulkan bahwa: walaupun tone pemberitaan

Secara umum ada tiga tahapan atau tingkatan pembangunan yang dialami oleh suatu negara mulai dari negara berkembang sampai menjadi negara maju, yaitu tahap pertama

1) Nilai-Nilai yang Dianut Bersama Nilai bersama digambarkan sebagai nilai-nilai yang dianut bersama yang mengacu kepada cita-cita dan tujuan bersama. Intinya, nilai bersama

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa(tawar). Warna dipersyaratankan dalam air bersih untuk masyarakat karena pertimbangan

Sedangkan dalam pasal 11 ayat (2), menyatakan sertifikat pendidik tersebut hanya dapat diperoleh melaluiprogram sertifikasi. Secara khusus sertifikat pendidik adalah

Ke depan, kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2014 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang

Menurut Widyastuti dkk (2010) pembekalan pengetahuan kesehatan reproduksi yang diperlukan remaja meliputi : 1) Perkembangan fisik, mental, dan kematangan seksual remaja, yaitu

Hal tersebut dikarenakan penelitian yang dilakukan berupa penyelidikan untuk mencari informasi atas implementasi kebijakan pembebasan sebagian pajak hiburan untuk