• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM PELAKSANAAN LANDREFORM

D. Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Tanah Terlantar

Permasalahan lainnya adalah kurangnya kesadaran hukum dan kepekaan pemilik hak atas tanah atas pentingnya pemanfaatan dan penggunaan tanah sesuai dengan fungsi dan tujuan pemberian haknya dan rencana tata ruang serta ketidaktahuan masyarakat atau para pemilik tanah terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang melarang penelantaran tanah.

Sebelum dikeluarkannya PP No 36 Tahun 1998 juncto PP No 11 Tahun 2010, pemerintah telah mengambil langkah-langkah dalam mengantisipasi tanah terlantar melalui inventarisasi tanah-tanah terlantar terutama yang dikuasai oleh Badan Hukum yang telah memperoleh izin lokasi, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Disamping itu pemerintah melakukan usaha-usaha pencegahan terjadinya tanah terlantar melalui :

a. Penertiban tanah perkebunan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah. Tanah perkebunan, yang telah diubah dan disesuaikan dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 167/KPTS/KB.110/3/90, Tahun 1982 tentang Pembinaan dan Penertiban Perkebunan Besar Swasta, khususnya kelas IV dan V.

72

Joni Harianto, Penyelesaian Masalah Tanah Terlantar dan Konsekuensi Hukumnya serta Perlindungan Hukum yang dapat Diberikan kepada Pemagang Hak atas Tanah Terlantar,

b. Penertiban di daerah perkotaan diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1982 tentang Penertiban Tanah di Daerah Perkotaan yang dikuasai Badan Hukum/perorangan yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan. Di dalam ketentuan tersebut, dimuat sanksi yang apabila sampai dengan tanggal 24 September 1982, tidak ada kegiatan Badan Hukum/perorangan yang bersangkutan untuk memanfaatkan/menggunakan tanah sesuai dengan maksud dan syarat yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Pencadangan Tanah/penunjukan lokasi, maka izin tersebut dibatalkan.

c. Permendagri Nomor 268 Tahun 1982, tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan Penertiban Pemanfaatan Tanah yang dicadangkan bagi dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan.

d. Penertiban tanah berupa pembatasan waktu perolehan tanah dengan memungkinkan pencabutan kembali izin lokasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993, tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal. (Raker DPR-RI dengan Ka. BPN tanggal 30 Juni 1994.

e. Kepastian hukum hak-hak atas tanah dengan lebih menyederhanakan ketentuan pendaftaran tanah dengan mempergunakan teknologi modern dan dalam kegiatan survey, pengembangan sistem informasi pertanahan (Land Information System/LIS) dan pengembangan sistem informasi

geografis (Geografic Information System/GIS) dapat menunjang

penatagunaan tanah.73

Upaya secara juridis untuk menangani tanah terlantar telah dilakukan Pemerintah, antara lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998. PP itu dimaksud untuk memperjelas kriteria tanah terlantar sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 27 UUPA, bagaimana melakukan penilaian serta sanksi terhadap pihak yang dipandang telah melakukan penelantaran tanah.

Dalam rangka menanggulangi banyaknya tanah-tanah yang dapat digolongkan ke dalam kriteria tanah terlantar, PP. No. 36 Tahun 1998 memberikan beberapa cara penanggulangannya sebagai berikut :

1. melakukan identifikasi adanya tanah yang dapat dinyatakan tanah terlantar, identifikasi ini dilakukan oleh kepala Kantor Pertanahan;

2. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya tanah yang diterlantarkan. Walaupun telah ada instrumen hukumnya, namun pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar belum sesuai yang diharapkan Hasil penelitian Puslitbang pada tahun 2000 menunjukkan bahwa pelaksanaan PP 36/98 belum efektif. Hal-hal yang masih menjadi kendala pelaksanaan peraturan itu antara lain, belum ada kesamaan persepsi terhadap tujuan peraturan tersebut, objek tanah terlantar yang belum jelas, masalah keperdataan bekas pemegang hak, tidak adanya jangka waktu tanah tersebut dianggap menjadi tanah terlantar, asas

publisitas, serta pendanaan untuk mengidentifikasi dan menginventarisasi tanah terlantar. Menindaklanjuti hal tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang dianggap kurang efektif.

Sesuai dengan TAP MPR No.IX /MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, permasalahan tanah terlantar yang berkaitan dengan upaya penertibannya oleh pemerintah merupakan hal yang penting untuk dikaji, karena hal itu merupakan perwujudan salah satu upaya pembaharuan di bidang agraria. Dengan demikian penertiban tanah terlantar merupakan persoalan yang baru berkembang sehingga belum banyak penelitian yang mengkaji persoalan tanah terlantar. Data dari BPN menyatakan bahwa sebanyak 7,3 juta hektar tanah dipastikan tanah yang subur dan berada di luar tanah hutan. Pemerintah berencana akan memanfaatkan tanah-tanah terlantar itu antara lain untuk:

1) Diperuntukkan untuk masyarakat dalam rangka reforma agraria.

2) Diperuntukkan untuk kepentingan strategi negara dan pemerintah di antaranya yaitu untuk ketahanan pangan, ketahanan energi, dan pengembangan perumahan rakyat.

3) Diperuntukkan untuk cadangan umum negara, tujuannya di antaranya untuk relokasi masyarakat jika ada bencana, relokasi masyarakat jika ada keperluan penting dan kepentingan hankam juga pemerintah.

Dalam upaya mengatasi tanah terlantar saat ini, pemerintah mengambil langkah tegas yaitu dengan melakukan reformasi agraria , salah satunya dengan memberikan sertifikasi lahan kepada masyarakat di seluruh Indonesia supaya

legalitas terjamin . pemerintah akan menerbitkan 5 juta ‎sertifikasi tanah di 2017.

Lalu targetnya naik menjadi 7 juta di 2018, dan meningkat lagi menjadi 9 juta sertifikat tanah pada tahun berikutnya. "Jadi seluruh tanah di Indonesia akan

tersertifikat pada 2025.74

74

Penegakan hukum di bidang pertanahan, pengetatan pemberian izin pemanfaatan tanah atau izin lokasi, serta melakukan sertifikasi, tidak cukup dilakukan apabila masyarakat pada umumnya tidak memiliki kesadaran hukum, dan juga tidak cukup dilakukan apabila partisipasi masyarakat sangat rendah dalam memberikan laporan mengenai tanah-tanah terlantar. Keseluruhannya harus berjalan secara sinergi, tidak saja menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya instansi pertanahan baik di pusat maupun di daerah tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat.

Untuk itulah diperlukan dukungan pengembangan kelembagaan pada tingkat terbawah, yaitu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam mendorong berfungsinya pengawasan, penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar oleh pemerintah desa dan masyarakat setempat.

http://bisnis.liputan6.com/read/2841777/kepala-bpn-negara-bakal-sita-tanah-terlantar diakses pada tanggal 29 April 2017

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Dasar hukum dari tanah terlantar yaitu UUPA Pasal 2 ayat (2), Pasal 6, Pasal 10 ayat (1), Pasal 15, Pasal 27 huruf a angka 3, Pasal 34 huruf e, Pasal 40 huruf e. Sebagai peraturan pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan pelaksana lainnya yang mengatur tentang tanah terlantar yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar dan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar.

2. Tanah-tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya sebagaimana mestinya dapat diambil oleh pemerintah sebagai objek landreform dan dibagi-bagikan kepada para petani yang berhak. Sebagaimana diatur di dalam PP No. 224 Tahun 1961 juncto PP No. 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pembagian Kerugian. Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agraria adalah tanah terlantar. Menurut pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria.

3. Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu: (1) Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar, (2) Tahapan Identifikasi dan Penelitian, (3) Tahapan Peringatan, (4) Tahap Penetapan Tanah Terlantar. Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan Pasal 15 PP No. 11 Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan Negara lainnya.

B. Saran

1. Penertiban dan pendayagunaan terhadap tanah terlantar hendaknya dapat menjadi sedikit solusi mengatasi kesenjangan yang ada. Terhadap tanah terlantar yang telah ditetapkan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat diredistribusikan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang utama, apakah sebagai tempat tinggal atau sebagai lahan pertanian atau dibangun fasilitas umun dan fasilitas pemerintah. Dalam hal ini, BPN diharapkan harus lebih agresif dan proaktif dalam menjalankan tugasnya di bidang pengawasan dan pengendalian penguasaan tanah, dan melakukan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini demi terciptanya cita-cita konstitusi yakni bumi, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Pada dasarnya sebagus apapun sebuah peraturan, namun yang tak kalah pentingnya adalah sosialisasi yang berkesinambungan kepada masyarakat tentang dampak negatif adanya tanah terlantar serta regulasi tanah terlantar itu sendiri, baik sebelum tanah tersebut terindikasi sebagai tanah terlantar sampai mekanisme pendayagunaan terhadap tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional dan lembaga-lembaga yang terkait untuk mencegah bertambahnya keberadaan tanah terlantar.

Dokumen terkait