• Tidak ada hasil yang ditemukan

ٱ َنوُنِمۡؤُمۡل

C. Ulama Al-Qur’an di Nusantara

8. KH. Muhammad Arwani Amin 57

Selasa Kliwon, 5 Rajab 1323 H/5 September 1905 M adalah hari yang bahagia. Pada hari itu, pasangan haji Amin dan Hj. Wanifah dikaruniai seorang putra yang kelak mengharumkan nama keluarga dan masyarakat Kudus. Bayi laki-laki ini diberi nama “Arwan” alias Kyai Arwani. Beliau 11 bersaudara. Kakak beliau perempuan bernama Muzainah, dan 10 adiknya yaitu Farkhan, Shalihah, H. Abdul Muqsith, Hafizh, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflihah dan Ulya.

Dilihat dari silsilah keluarga, H. Amin adalah putra KH.

Imam Haramain bin Minhaj. Jadi beliau merupakan seorang cucu Kyai di Kudus. Sedangkan dari jalur ibu, beliau masih keturunan Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan relijius yang memimpin perang Jawa (1825-1830). panggilan kecil beliau adalah “Ar” atau “Wan”, sedangkan adik-adiknya memanggil dengan panggilan “Kang Arwan”. Kyai Arwani mengganti namanya dari “Arwan” menjadi “Muhammad Arwani Amin” setelah menunaikan haji yang pertama pada 1927. Ada tambahan “i” dari Arwan menjadi Arwani. Adapun

56 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Para Penjaga Al-Qur’an, h.195

57 M. Solahudin, Ulama Penjaga Wahyu, (Kediri: Pt. Zam-zam dan Nous Pustaka Utama, 2013), h.124-139

90

kata Amin di belakang namanya adalah nama sang ayah, H.

Amin Sa’id.

Ketika kecil beliau dididik langsung oleh ayahnya bagaimana membaca Al-Qur’an dan belajar tata cara shalat.

Selain pada ayahnya beliau juga didik oleh kakeknya, menginjak usia 7 tahun beliau masuk Madrasah Mu’awanatul Muslimim Kenapan. Beliau juga rajin mengikuti majlis ta’lim di Masjid Aqsha Menara. Setelah menimba ilmu di sekiar Kudus, beliau melanjutkan studinya ke sejumlah pesantren di luar Kudus diantaranya adalah pesantren Jamsaren Solo, Tebuireng Jombang, Krapyak Yogyakarta dan Popongan Solo.

Pada tahun 1935, ketika beliau berusia 30 tahun, beliau menikahi seorang gadis bernama Naqiyul Khud, cucu KH.

Abdullah Sajjad yang tidak lain adalah guru beliau ketika masih belajar di Madrasah Mu’anatul Muslimin. Dari pernikahannya beliau dikarunia empat anak yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Sayangnya, kedua anak perempuan ini meninggal pada waktu masih kecil, keduanya diberi nama Ummi dan Zukhali (Ulya). Adapun kedua putranya bernama Ulinnuha Arwani aau Gus Ulin (lahir pada tahun 1948) dan Ulil Albab Arwani atau Gus Bab (lahir pada tahun 1954). Kedua putra beliau yang kemudian meneruskan perjuangan Kyai Arwani mengasuh Pondok Huffadz Yanbu’ul Qur’an (PHYQ) Kudus.

Umur selalu ada batasnya, begitu pula umur Kyai Arwani. Setelah puluhan tahun berjuang mengajar Al-Qur’an dan mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah,

tokoh kharismatik asal Kudus ini harus menghadap sang Khaliq. Murid kesayangan Kyai Munawwir ini wafat pada tanggal 25 Rabi’ul Akhir 1415 H/ 1 Oktobr 1994 dalam usia 92 tahun.

9. Dr. KH. Ahmad Fathani, MA

Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc., MA. Ia dilahirkan disebuah desa kecil wilayah kabupaten Nganjuk Jawa Timur.

Ketika duduk di kelas 4 SD ayahnya pulang ke rahmatullah, sehingga sejak saat itu ia dibesarkan oleh seorang janda petani miskin yang harus menghidupi ketiga anaknya. Namun dalam mendidik anak, baik ilmu agama maupun ilmu umum tidak kalah dengan orang lain yang berkecukupan, walaupun harus menjadi buruh tani sekalipun. Maka tidak mengherankan ketika ia tamat SD, ia juga tamat sekolah ibtidaiyyah, disamping itu pada sore hari hingga malam harinya ia mengaji AL-Qur’an dan ilmu agama disebuah surau kepada guru ngaji di kampungnya. Tidak lupa pula, setiap Minggu ia disuruh oleh ibunya untuk khusus mengaji Al-Qur’an kepada seorang Kyai yang hafal Al-Qur’an di desa tetangga yang dikenal sangat memperhatikan kefasihan pelafadzan huruf dan ketepatan bertajwid dalam membaca Al-Qur’an. Kyai tersebut merupakan salah satu alumni tamatan pondok pesantren Al-Qur’an Krapyak Yogyakarta yang masyhur kala itu hingga kini. Setelah tamat SD, ia melanjutkan ke SMP Negri dengan tidak lupa mengaji Al-Qur’an dan menimba ilmu agama pada Kyai tersebut. Dan setelah tamat SMP, ia melanjutkan ke SMA

92

Negri di Kertosono Nganjuk dan sekaligus menjadi santri pesantren salaf Miftahul Ula Nglawak dekat SMA tersebut.

Ketika masih duduk di kelas 2 SMA, ia ikut ujian extranei di Madrasah Tsanawiyah Negri, selanjutnya ketika duduk di kelas 3 SMA ia ikut menempuh lagi ujian Extranei Madrasah Aliyah Negri di pesantren Tambak Beras Jombang. Dengan demikian, ketika lulus SMA tahun 1969 M, ia juga lulus MAAIN. Kemudian setelah itu, ia tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi, akan tetapi berangkat ke pesantren Krapyak Yogyakarta untuk menghafal AL-Qur’an kepada KH. Ahmad Munawwir yang mempunyai sanad ke 30 dari Rasulullah SA.

Beliau menghafal Al-Qur’an dan bertalaqqiy kepada kakak kandungnya yaiu Kyai Abdul Qadir. Mereka berdua adalah putra KH. Muhammad Munawwir (w.1942) yang menghafal Al-Qur’an dan belajar Qira’at Sab’ah di Mekkah Mukarromah.58

Pada tahun 1973, ia mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya dan ketika itu ada kabar bahwa Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta membuka pemberian beasiswa untuk satu orang dari masing-masing utusan Provinsi di Indonesia. Maka ia beruntung mendapatkan kesempatan tersebut sebagai utusan dari Provinsi Jatim. Namun, ketika baru tingkat III (1976) ada kesempatan memperoleh beasiswa untuk kuliah pada Fakultas Qur’an wa Ad-dirasat Al-Islamiyyah di Madinah Saudi Arabia. Pada fakultas tersebut,

58 Ahmad Fathoni, Metode Maisura, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta, 2016), h.395

ia belajar Syarh Syatibiyyah fi Qiraatis Sab’. Tahun 1981, ia pulang ke tanah air dan langsung mengajar Qiraat Sab’ah, Iilmu Rasm Utsmani, Ilmu Tajwid dan Tahfidz Al-Qur’an di PTIQ dan IIQ Jakarta, menggantikan Syekh Abdul ‘Adzim yang telah pulang ke Mesir.

Program S2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997-1999), dan pada tahun 2000 melanjutkan kuliah program S3di Universitas yang sama dan meraih gelar doktornya pada tahun 2008. Pada saat ini, ia menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disamping menjai dosen tidak tetap di Institut PTIQ Jakarta, Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam Depo, tenaga pengajar di Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Qur’an (LBIQ) DKI Jakarta, dan juga sebagai anggota Lembaga PentashihAl-Qur’an Kementrian Agama. Adapun buku dan karya ilmiah yang sudah diterbitkan, selain buku Modul Petunjuk Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura, yaitu;

Kaidah Qiraat Tujuh jilid I dan II, Cara Cepat Menghafal Al-Qur’an Metode CETAK, Studi Bacaan Al-Al-Qur’an Riwayat Hafs dan Qalun-Warsy-Khalaf dan Qira’at Sab’ah, Tuntunan Praktis 99 Qiraat Mujawwad riwayat Al-Bazziy dan Qunbul, dan Tuntunan Praktis 101 Maqra Qiraat Mujawwad Abu Amr riwayat Ad-Duriy dan As-Susiy.59

59 Ahmad Fathoni, Metode Maisura, h.396

94

10. Dr. KH. Ahsin Sakho Muhamad, MA60

Dr. KH. Ahsin Sakho Muhamad, MA adalah seorang adalah pakar bidang qira’at dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Putra pasangan KH. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini lahir di Arjawinangun, Cirebon 21 Februari 1956 M. Sejak kecil beliau sudah menunjukkan bakatnya dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sewaktu duduk di kelas IV SD dan belum dikhitan, beliau telah hafal tiga juz Al-Qur’an (juz 28, 29 dan 30).

Karena itu kakeknya dari pihak ibu, yakni KH. Syathori pendiri pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, sangat menyayanginya.

Ayah lima anak ini menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD dan SMP Arjawinangun. Dasar-dasar ilmu agama beliau pelajari di pesantren milik keluarganya. Selama tiga ahun sejak tahun 1970 M beliau melanjutkan pelajaran di pesantren Lirboyo Kediri sambil belajar di SMU. Selain itu, beliau juga pernah mengaji tabarukkan kepada KH. Umar Abdul Mannan Solo) dengan menyetorkan hafalan Al-Qur’annya. Setelah itu, beliau melanjutkan belajar di pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1973-1976). Beliau juga sempat belajar kepada KH. Arwani (Kudus) sekitar dua bulan.

Pada tahun 1976-1977, beliau mengaji Al-Qur’an di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syekh Abdullah Al-Arabi, seorang Mesir yang didatangkan oleh Jamaah Tahfidz Al-Qur’an. Sore harinya beliau menuntut ilmu di Markaz

60 Ahsin Sakho Muhammad, Oase al-Qur’an, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2017), h.5-8

Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah. Karena sudah hafal Al-Qur’an, ketika belajar beliau hanya menyetorkan hafalan dan mendalami bacaannya. Pada akhir tahun, beliau mngikuti ujian dan lulus mendapat syahadah yang menyatakan kemampuannya membaca Al-Qur’an secara hafalan dari awal hingga akhir. Pada ahun 1977 beliau berangkat ke Madinah untuk mengikuti kuliah di fakultas Kulliyatul Qur’an wa Dirasah Islamiyah dari Jami’ah Al-Islamiyah. Akhirnya beliau meraih gelar doktor dengan yudisium Mumtaz Syaraful ‘Ula (summa cumlaude) pada tahun 1989. Berarti selama 12 tahun beliau menghabiskan masa mudanya di Jami’ah Al-Islamiyah Madinah.

Penguasaanya yang mendalam terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an menarik perhatian banyak kalangan. Pada 1992 beliau diajak KH. Syukron Makmun pengasuh Pesantren Darur Rahman, Jakarta Selatan, untuk mendirikan Institut Islam Darur Rahman. Pada tahun itu juga beliau mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dan di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa tahun kemudian beliau diangkat sebagai pengajar tetap di IAIN hingga sekarang. Selain dipercaya menjadi anggota dewan pendiri Organisasi Tahfidz Al-Qur’an Internasional di Jeddah, keua Tim Revisi Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Departemen Agama, dan rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta (2005-2014), kini beliau menjadi sekretaris Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementrian Agama RI dan Rais Majlis Ilmi Jami’atul Qurrawal Huffadz Nahdlatul

96

Ulama. Beliau juga pengasuh pondok pesantren Dar Al-Qur’an dan dewan penasehat pondok pesantren Darut Tauhid di Arjawinangun, Cirebon, untuk mencetak para penghafal Al-Qur’an dan para generasi Al-Qur’ani.

97

KAJIAN KITAB TAJWID KARYA ULAMA NUSANTARA

A. Kitab Tajwid pada Kurikulum Pendidikan Awal di Nusantara