• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khitbah Dalam Budaya Minangkabau

BAB II TEORI UMUM TENTANG KHITBAH DALAM ISLAM DAN

B. Khitbah Dalam Budaya Minangkabau

Khitbah (meminang)dalam tradisi perkawinan Minangkabau dikenal dengan batimbang tandoyaitu pemberian tanda dari pihak perempuan kepada pihak laki-lak berupa barang yang bernilai (cincin dan kain) sedangkan pihak laki-laki-laki-laki juga memberikan hal yang sama.

17

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h.26.

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 50.

19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.

20

Wahbah Az-Zuhaili , Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.

24

Peminangan dalam perkawinan Minangkabau dilakukan oleh mamak dari pihak perempuan. Biasanya di Minangkabau pihak kerabat perempuan lebih memprakarsai dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, mulai dari mencari jodoh, meminang dan menyelenggarakan perkawinan.Kemudian biasa diistilahkan oleh masyarakat “sia nan datang inyo nan kanai” (siapa yang datang akan lebih berperan menangguang biaya perkawinan).21

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tradisi perkawinan dapat digolongkan adat nan diadatkan. Secara umum cara pelaksanaan tradisi perkawinan termasuk di dalamnya khitbah atau meminang di Minangkabau adalah sama. Kecuali, ada penambahan rangkaian dalam tradisi tersebut yang berlaku dan dipakai oleh daerah tertentu saja dan tidak bisa dipaksakan untuk berlaku di daerah lainnya. Adapun tahap peminangan (khitbah) harus melalui beberapa tahap yaitu:

a. Maresek / maanta asok (memilih menantu)yaitu pihak keluaraga perempuan terutama saudara laki-laki dari ibu (mamak) mencarikan laki-laki yang cocok untuk kemenakan perempuanya. Jika telah ditemukan seorang laki-laki yang ingin menikahi kemenakannya lanjut pada tahap berikutnya. Hal ini bertujuan untuk. 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki (terutama orang tuanya), agar mau melepaskan anaknya untuk dijadikan menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan,

21

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990), h. 109.

menentukan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.22 b. Manilingkai (mengirim utusan), pihak keluarga perempuan mengirim utusan

untuk membicarakan secara resmi perihal peminangan mereka terhadap keluarga laki-laki. Biasanya yang melakukan penjajakan ini adalah orang terdekat dari calon perempuan, terutama angota keluarga dari pihak ibu seperti mamak, kakak, etek atau seseorang yang dapat dipercaya. Proses ini dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penajajakan pertama dari pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki dengan membawa buah tangan sebagai pembuka jalan sekaligus untuk memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Setelah ada aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua perempuan yang datang ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa pisang, kue bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Pada pertemuan ini keluarga perempuan langsung menanyakan kepada orang tua laki-laki, apakah bersedia untuk melepas anaknya untuk dijadikan menantu bagi pihak yang datang. Bila jawaban dari orang tua laki-laki menyatakan bersedia , maka dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut sertakan ninik mamak kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya.23

22 Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat,” (Disertasi S3 Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,2010), h.78.

23 Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h.79.

26

c. Batimbang/Batuka Tando (peminangan), pengukuhan perjanjian biasanya ditandai dengan pertukaran barang-barang tertentu seperti emas (cincin) dan ada pula dalam bentuk benda lain, berupa kain sarung. Acara ini tidak hanya dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap melibatkan keluarga besar dan ninik mamak keduanya, sehingga bagi masyarakat acara ini biasa disebut dengan acara duduk ninik mamak. Pertemuan ninik mamak ini tidak hanya untuk pengukuhan pertunangan saja, tetapi juga membicarakan dan menetapkan persyaratan adat khusus lainnya yang berlaku di daerah (nagari) setempat, misalnya selain menetapkan tanggal pernikahan dan pesta, di daerah Pariaman jugamenentukan uang japuik, uang hilang dan uang tungkatan.

Apapun keputusan yang diambil dalam acara duduk ninik mamak ini berlaku mengikat untuk kedua belah pihak keluarga. Apabila terjadi suatu pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuatm maka pihak yang melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua kali lipat dari biaya semula, jika benda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka harus dikembalikan sebanyak 8 emas.24 Di sinilah peran ninik mamak lebih terlihat sebagai orang yang didahulukan salangkah, di tinggikan sarantiang (didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) yang melambangkan kedudukan ninik mamak dalam adat Minangkabau.

2. Perempuan Yang Tidak Boleh diKhitbah Dalam Tradisi Perkawinan Minangkabau.

24

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h.81.

Minangkabau, selain dari yang ditetapkan oleh syarakantara lain perempuan yang setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum dan sesuku. Perkawinan se-kaum atau sesuku tidak merupakan larangan dalam arti agama, tetapi hanya sebatas patang yang ditetapkan oleh adat. Pada eksogami suku anggota masyarakat yang mempunyai suku Caniago tidak boleh kawin sesama suku Caniago, suku Piliang tidak boleh kawin sesama suku Piliang dan begitu juga dengan suku-suku yang lainnya.25

3. Sekilas Tentang Munculnya Perbedaaan Tradisi di Minangkabau

Perbedaan yang timbul dalam menjalankan tradisi Adat Nan Diadatkan tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah asal muasal pembagian wilayah di Minangkabau. Wilayah Minangkabau secara umum dibagi menjadi wilayah luhak dan wilayah rantau.26 Dalamtambo27 disebut “luhak bapangulu, rantau barajo”(luhak berpenghulu, rantau beraja), yang artinya pemerintahan di wilayah luhak diatur penghulu sedangkan rantau diatur raja. Dikisahkan dalam tambo bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), Yakni

25

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 140-141.

26

Luhak secara geografis berasal dari lereng-lereng Bukit barisan yang berhutan lebat, berjurang, terjal, dan dalam. Rantau ialah teluk-teluk kecil di pantai tempat orang memunggah dan memuat barang ke kapal. Kemudian berubah artinya menjadi tempat kediaman sementara penduduk untuk mencari harta dengan berdagang atau mengambil upah. Selanjutnya diartikan sebagai wilayah kolonisasi Kerajaan Pagaruyuang. Dalam bahasa Sanskerta artinya tempat tinggal.

27

Tambo berasal dari bahasa sanskerta tambay/tambe artinya bermula. Adalah cerita kuno atau babat suatu daerah yang sering bercampur dengan dongeng-dongeng. Ada tambo alam dan tambo adat. Tambo alam berarti silsilah keturunan nenek moyang dan bangunan kerajaan Minangkabau. Tambo adat berarti cerita adat atau sistem pemerintah Minangkabau masa lalu.

28

Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto (Lima Puluh Kota).28

Para peneliti cenderung mempermudah pembagian wilayah adat Minangkabau kepada dua bagian, yakni:29

1. Minang darat, terdiri dari Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak 50 Koto.

2. Minang Rantau, merupakan koloni dari luhak-luhak yang ada, yakni: a. Rantau Luhak Agam, meliputi Pesisir Barat, mulai dari Tiku Pariaman

sampai ke Air Bangis, Lubuk Sikaping, Pasaman.

b. Rantau Tanah Datar, meliputi Kubang Tiga Belas, Pesisir Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh.

c. Rantau Luhak 50 Koto, meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri dan Kanan serta Rokan.

Dahulunya masyarakat darek Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar,

28

A.A. Navis, AlamTerkambangJadi Guru: AdatdanKebudayaanMinangkabau, (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 104-105.

29

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 100-101

Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah pasisie.30

Secara georgrafis, ekonomis, polistis dan sosio kultural Minangkabau disebut dengan pesisir, darat dan rantau. Pesisir adalah daratan rendah yang membentang sebelah barat bukit barisan dan berbatasan dengan Samudra Indonesia, mulai dari Tiku Pariaman sebelah utara sampai ke Indrapura sebelah selatan. Darat adalah daratan tinggi bukit barisan, mulai dari Gunung Singgalang, Gunung Tandikat, Gunung Merapi dan Gunung Sago. Darat menjelma menjadi Minang Darat/ Minang Asli.Rantau adalah daerah-daerah sungai dan anak sungai dari lembah bukit barisan yang bermuara ke Selat Sumatera dan Laut Cina Selatan. Daerah ini biasa disebut dengan kolonisasi alam Minangkabau kemudian disebut Minang Rantau.31

Arus perpindahan peduduk luhak ke rantau yang demikian besarnya, baik secara individu maupun secara kelompok kampung atau suku, maka secara lambat laun nagari-nagari di wilayah itu tumbuh menjadi nagari dengan menumbuhkan jabatan penghulu, sebagai balahan dari nagari asalnya.Oleh karena itu, nagari-nagari di wilayah rantau merupakan wilayah Minangkabau secara etnis, tetapi kebudayaannya lebih berbaur dengan kebudayaan luar. Umpamanya, kewajiban membuat rumah gadang dan balairung menurut arsitektur Minangkabau tidak begitu ketat, gelar asal usul yang di sandang setiap laki-laki yang telah menikah

30

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat”, h.67.

31

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, h. 100

30

seperti yang lazim disebut ketek banamo, gadang bagala (kecil mempunyai nama, dewasa mempunyai gelar) dipakai secara berdampingan antara gelar garis keturunan ibu dan gelar garis keturunan ayah.Adakalanya dipakai hanyalah gelar garis ayah. Di wilayah rantau Pariaman, lazim setiap laki-laki yang telah beristri memakai gelar bagindo, sutan dan sidi disamping nama kecilnya.32

Begitu pula dengan pelaksanaan tradisi perkawinan yang sedikit berbeda dengan wilayah luhak dengan rantau. Salah satunya di daerah rantau Pariaman, dalam rangkaian tradisi perkawinan khususnya dalam mengkhitbah atau batimbang tando disyaratkan untuk menetapkan uang japuiksebagai salah satu ciri khas dari daerah ini.

Dokumen terkait