• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RONI ZULI PUTRA

NIM. 1112044100003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Roni Zuli Putra

NIM. 1112044100003

Dibawah Bimbingan

Dr. Hj. Isnawati Rais, MA

NIP:195710271985032001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Roni Zuli Putra

NIM : 112044100003

Fakultas : Syariah dan Hukum

Jurusan : Ahwal Syakhshiyyah

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi in merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memperoleh

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil penjiblakan karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Oktober 2016

(5)

Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa sejauhmana masyarakat Pariaman di Perantauan melestarikan tradisi uang japuik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam budaya rantau, menjelaskan tolok ukur status sosial laki-laki Pariaman di perantauan dalam tradisi uang japuik, serta mensinergikan korelasi pandangan Islam terhadap tradisi uang japuik yang berlangsung di Pariaman itu sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan antropologi hukum. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode obsevasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka, yang semuanya untuk menjawab permasalahan penelitian tentang Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masyarakat Pariaman di perantauan Kutabumi Tangerang masih mempraktekan tradisi uang japuik dalam rangkaian praperkawinan mereka sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ninik mamak dan hukum adat di Minangkabau serta tetap menjaga kedudukan status sosial laki Pariaman dalam tradisi uang japuik ini. Disamping itu tradisi uang japuik juga memberi gambaran bahwa adanya keserasian dan keselarasan antara hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau, hal ini menjadi bukti bahwa

masyarakat Minangkabau masih menjunjung tinggi nilai filosofi “Adat Basandi

Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

Kata kunci : Tradisi, Uang Japuik, Pariaman Perantauan, Status Sosial Laki-laki

(6)

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا ه مسب

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan

hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Tradisi Uang Japuik dan

Status Sosial Laki-Laki”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang

telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu

pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas

akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai.

Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila di dalam penulisan skripsi ini ada yang

kurang berkenan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis

masih jauh dari kesempurnaan.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat

tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai

ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil Dekan

(7)

penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Yayan Sopyan, M.Ag selaku Wakil Dekan III sekaligus Dosen Penasehat

Akademik penulis yang telah sabar mendampingi penulis hingga semester

akhir dan telah membantu penulis dalam perumusan desain judul skripsi inidan

seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Hj. Isnawati Rais, MA sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu

memberi pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh

keikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Ayahanda tercinta Mudarlis dan Ibunda tercinta Fitra Azidar yang selalu

mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan

skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan

dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil

penulis mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang

tua selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan

meyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada kakak dan adik-adik tercinta Ismail, Rozi Saputra, Nadila Rahma Fitri

(8)

dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi kakak dan adik-adik

yang terbaik bagi penulis.

8. Kepada segenap pengurus PKDP Kutabumi Tanggerang dan Bapak Lurah

Kutabumi beserta jajaran. Terimakasih telah bersedia memberikan informasi

dan data penelitian bagi penulis.

9. Narasumber, Bapak Mochtar Naim, Sidi Asril Caniago, Sutan Ali Wara, Sutan

Awaluddin, Bapak Agusti Esden, Uni Adek dan Uda Zamris yang telah

memberikan doa dan informasi berkenaan dengan materi skripsi yang penulis.

10. Kepada Mamak Edison M. Nur, Mak Datuak Bungsu, Mak Men dan

bapak-bapak Letting HIKRAL 88 Jaya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Terimakasih yang takterhingga penulis sampaikan karena sudah membantu

studi penulis baik moril maupun materilsehingga penulis dapat memperoleh

gelar Strata Satu.

11. Kepada Lusi Yulanda, S. Pd yang tak henti mengingatkan, memberi semangat

penulis dalam menyelesaikan skripsis ini dan juga telah berjuang selama

bertahun-tahun bersama penulis dalam mencapai visi misi yang sama.

Mudah-mudahan kebahagian akan segera kita dapatkan. Amiinn

12. Kepada teman-teman Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM) Ciputat,

teman-teman KKN Pusako Rantau (Arif, Harri, Ismail Ankai, Yudi, Harris,

Fitriyani, Fitriwati, Delima dan Uci) dan Ikatan Keluarga Alumni MAN 2

Batusangkar (IKAMANDA) CiputatAndri, Rozi, Azmi, Yusri, Suci, Fadel dan

adik-adik Alumni MAN 2 terimakasih telah memberikan semangat bagi

(9)

membuat cerita dalam hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan

pergorbanan. Tetap selalu menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.

14. Kepada teman-teman Hafiz, Okta, Wahid, Dayat, dan Ruhul Amin yang selalu

menghibur dan memberi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Selalu ada setiap penulis lagi malas, galau, bosan, bahkan sampai larut

menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.

Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan

kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan datang.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari kesempurnaan

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi

selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2016

(10)

DAFTAR ISI

4. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah ... 22

5. Hikmah Khitbah ... 23

B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau ... 23

1. Pengertian Khitbah ... 23

2. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah dalam tradisi Perkawinan Minangkabau ... 26

3. Sekilas tentang Munculnya Perbedaan Tradisi di Minangkabau ... 27

C.Khitbah dalam Tradisi Perkawinan Pariaman ... 28

Bab III SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A. Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi ... 37

B. Profil Masyarakat Pariaman di Kutabumi ... 42

Bab IV TRADISI UANG JAPUIK BAGI MASYARAKAT PARIAMAN PERANTAUAN DALAM MENJAGA STATUS SOSIAL LAKI-LAKI A. Tradisi Uang Japuik di Perantauan Kutabumi... 46

B. Hubungan Antara Besarnya Uang Japuik dengan Status Sosial Laki-laki . 49 C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Uang Japuik ... 54

Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57

B. Saran-saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

A.Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu,

sekarang, dan masa akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai

ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza), ikatan suci (transenden), suatu perjanjian

yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau

kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya

hubungan badan antara suami isteri sebagai penyaluran libido seksual manusia

yang terhormat, oleh karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.1

Untuk menyalurkan keinginan seksual tersebut tentunya harus dengan

perkawinan yang sah sesuai dengan rukun dan syarat yang diatur dalam kitab

fiqih. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam

substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena

tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan

hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya

tidak diperhitungkan.

Adapun syarat pernikahan dalam syariat Islam salah satunya adalah

pelaksanaan pranikah (peminangan). Khitbah (peminangan) bertujuan untuk

menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi

1

(12)

2

nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam.2

Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai perempuan

tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau

dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi

seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaannya

beragam, adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang

bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang

dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.3

Di Indonesia terdapat berbagai adat dan budaya yang beragam, termasuk

juga budaya pra nikah juga berbeda-beda di setiap daerah. Salah satunya dalam

kehidupan orang Minangkabau, adat dan agama merupakan ajaran moral yang

menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Agama Islam

adalah salah satu pedoman yang datang kemudian setelah adat, maka sesuai

dengan perjalanan sejarah orang Minangkabau antara adat dan agama menjadi

sebuah pedoman. Walaupun al-Quran datang kemudian bukan berarti orang

Minangkabau meninggalkan begitu saja ajaran moral yang telah ditentukan oleh

adat, tetapi mereka mensinergikan dan mengkombinasikan keduanya. Sehingga

orang Minangkabau memiliki dua pedoman hidup dalam menjalani kehidupan di

2

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (Jakarta: Amzah, 2011), h. 7.

3

(13)

dunia ini. Hal ini sesuai dengan pepatah adat, adaik basandi syara’, syara’

basandi kitabullah.4(adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah).

Di Minangkabau adat terbagi dalam empat macam yaitu: Pertama: adat nan

sabana adat, kedua: adat nan diadatkan, ketiga: adat nan taradat, keempat: adat

istiadat. Adapun adat nan sabana adat adalah adat yang asli, yang tidak berubah,

yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Aturan-aturan dan

sifat-sifat serta ketentuan-ketentuan adat nan sabana adat terletak pada setiap jenis

benda alam ini seperti: api membakar, air membasahi, laut berombak. Adat nan

diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat atau

kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari saja dan tidak boleh

dipaksakan berlaku juga untuk nagari lain. Yang termasuk dalam kategori adat

nan diadatkan adalah tentang cara, syarat-syarat yang berhubungan dengan

upacara pengangkatan penghulu, ataupun upacara perkawinan yang berlaku pada

masing-masing nagari. Adat nan taradat adalah kebiasaan seseorang dalam

kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh

ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minang, yaitu Alur

dan Patut, Rasa-Periksa, dan Musyawarah Mufakat. Adat nan taradat ini dengan

sendirinya menyangkut peraturan tingkah laku dan pribadi perorangan seperti tata

cara berpakaian, makan dan minum, ke pesta dan sebagainya. Adat istiadat adalah

aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti jalannya perkembangan

masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat. Kelaziman ini umumnya

(14)

4

menyangkut tentang apresiasi seni dan budaya masyarakat anak nagari yang

sesuai dengan alua jo patuik.5

Pinang-meminang (Khitbah) di Minangkabau termasuk dalam adat nan

diadatkan, yang lazimnya diprakarsai kerabat pihak perempuan. Bila seorang

gadis dipandang telah tiba masanya untuk berumah tangga, mulailah kerabatnya

menyalangkan mata, yang artinya melihat-lihat atau mendengar-dengar jejaka

mana yang telah pantas pula untuk beristri yang kira-kira cocok bagi anak gadis

mereka. Bila yang dicari telah ditemukan, berundinglah para kerabat untuk

memperbincangkan keadaan calon menantu mereka. Bila rundingan itu lancar,

barulah ditugasi seseorang untuk melakukan penyelidikan, apakah pihak sana

akan mau menerima pinangan mereka.6

Jika hasil penyelidikan itu memberi angin, barulah dikirim utusan untuk

melakukan pinangan. Utusan itu dipimpin mamak gadis mereka. Namun, sebelum

pinangan resmi disampaikan, beberapa penghubung telah pergi bolak-balik ke

rumah pihak laki-laki utuk merundingkan waktu dan cara peminangan yang akan

digunakan. Mamak yang datang untuk meminang itu diiringi beberapa orang

laki-laki dan perempuan. Sedangkan di rumah orang yang akan dipinang telah menanti

kerabat terdekatnya dengan pimpinan mamaknya.

Kepastian hasil dalam pinang-meminang itu belum diambil. Pihak laki-laki

akan merundingkan lebih dahulu masalahnya dengan semua kerabat. Beberapa

hari berikutnya dikirim lagi oleh pihak perempuan bisa diterima untuk

5

Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau (Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau), ( Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), h. 141.

6

(15)

mendengarkan hasil keputusan. Pada hari yang disepakati kedua belah pihak,

utusan pihak perempuan datang lagi menemui pihak kerabat laki-laki untuk

mendengarkan pinangan mereka diterima atau tidak.

Apabila pinangan telah diterima, tidaklah otomatis perkawinan bisa

dilangsungkan. Rundingan selanjutnya ialah untuk menentukan kapan hari

waktunya pertunangan dilaksanakan. Hari pertunangan itu disebutkan batimbang

tando.7 Benda yang dijadikan pertukaran tanda itu tidaklah sama pada semua

Nagari. Ia bisa berbentuk cincin emas, kain bersuji benang emas (kainbalapak),

atau keris. Namun yang umum pihak perempuan memberikan kain atau perhiasan

emas, sedangkan laki-laki memberikan keris pusaka.8

Dalam rangkaian adat perkawinan Minangkabau pada umumnya sama di

setiap wilayah kecuali di Pariaman. Adat perkawinan Pariaman ini berbeda

dengan adat perkawinan daerah Minangkabau lainnya, sebab dalam acara

batimbang tando ada acara yang dikenal dengan tradisi bajapuik (menjemput

pengantin laki-laki) yang mensyaratkan adanya uang japuik9. Adat perkawinan ini

menjadi ciri khas di daerah Pariaman yang termasuk dalam adat nan diadatkan,

karena hanya terjadi di daerah tertentu saja. Tradisi bajapuik dipandang sebagai

kewajiban pihak keluarga perempuan memberikan sejumlah uang atau benda yang

bernilai kepada pihak laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan.10

7

Timbang tando adalah pemberian tanda dari pihak perempuan berupa kain kepada pihak laki-laki sedangkan pihak laki-laki juga memberikan hal yang sama.

8

A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 200. 9

Uang Japuik adalah suatu pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki berupa barang yang berharga dengan tujuan untuk menghargai laki-laki tersebut sebagai orang yang datang atau disebut juga dengan urang sumando.

10

(16)

6

Adat perkawinan Pariaman terdiri dari berbagai rangkaian. Ada

aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas-aktivitas saat perkawinan dan sesudah

perkawinan. Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari

maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang tando (maminang) dan

menetapkan uang jemputan. Lalu saat perkawinan terdiri dari

bakampuang-kampuangan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako,manjapuik

marapulai, akad nikah,basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.

Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu manganta

limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.11

Pada awalnya uang japuik ini berlaku bagi calon menantu yang hanya

bergelar kebangsawanan seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Ketiga gelar ini

diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah. Seiring dengan

perkembangan zaman uang japuik ini tidak hanya berlaku bagi kalangan

bangsawan saja. Akan tetapi setiap laki-laki yang berasal dari Pariaman jika ingin

melangsungkan pernikahan juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut

terlepas dari status sosial kebangsawanan apa yang disandangnya. Hal ini tentu

tidak tertutup kemungkinan bagi yang berprofesi sebagai jasa angkutan (ojek)

juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut. Namun, dengan jumlah uang

japuik yang setara dengan profesinya. Begitu juga bagi yang berprofesi sebagai

PNS dan wiraswasta lainnya akan berbeda uang japuik yang akan diterimanya.

Setiap kebudayaan/tradisi suatu tempat tentu tidak sama dengan kebudayaan

di tempat yang lainnnya. Keunikan tradisi uang japuik ini termasuk salah satu dari

11

(17)

keberagaman budaya dalam Minangkabau khususnya dan budaya Indonesia

umumnya. Seperti yang dijelaskan di halaman sebelumnya bahwa tradisi uang

japuik ini hanya dipakai di daerah Pariaman saja dan tidak berlaku di daerah

lainnya.

Untuk mendapatkan kehidupan yang baru yang lebih layak, orang Pariaman

sebagaimana umumnya orang Minangkabau biasa dikenal suka merantau, boleh

dikatakan dalam cakupan deerah-daerah di Indonesia dari Sabang sampai

Marauke terdapat perantau dari Ranah Minangkabau. Prisip perantau

Minangkabau begitupun orang Pariaman yaitu dima bumi dipijak di sinan langik

dijujuang maksudnya orang Minangkabau harus pandai beradaptasi dengan adat

dan tradisi daerah rantau. Hal ini bukan berarti meninggalkan adat dan tradisi

Minangkabau atau Pariaman itu sendiri. Apalagi dalam melaksanakan

rangkaian-rangkaian tradisi perkawinan yang mesyaratkan adanya uang japuik, masyarakat

Pariaman perantauan harusnya masih melaksanakan meskipun tidak sepenuhnya.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih dalam

lagi terkait dengan tradisi yang dikenal begitu kental di daerah asal (Pariaman)

apakah tradisi ini masih dipertahankan bagi masyarakat Pariaman yang merantau?

Pertanyaan ini muncul karena sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan

informasi, masyarakat Minangkabau umumnya melakukan upacara/resepesi

perkawinan mereka di tanah rantau, tentu mungkin saja itu terjadi bagi orang

Pariaman.

Oleh karena itu, dipandang perlu penulis untuk menentukan wilayah objek

(18)

8

dipertanggungjawabkan kebenaran data dan informasinya penulis memilih daerah

perantauan Kutabumi Kabupaten Tangerang. Karena Tangerang diantaranya

wilayah perantauan yang cukup diminati oleh masyarakat Pariaman. Inilah yang

kemudian akan penulis teliti lebih lanjut tentang bagaimana pandangan

masyarakat Pariaman mempertahankan tradisi mereka di tanah rantau..

Untuk lebih terarahnya skripsi ini, maka penulis memberi judul dengan:

“Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki”.

B.Identifikasi Masalah

1. Bagaimana dan darimana asal-muasal lahirnya adat bajapuik di Pariaman?

2. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat Pariaman

perantauan?

3. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman

ditentukan oleh status sosial laki-laki?

4. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam adat bajapuik di pariaman?

5. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan tradisi bajapuik

terhadap sosial masyarakat Pariaman?

6. Apakah perbedaan dan persamaan antara uang japuik dengan uang hilang?

7. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik tersebut?

8. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat pariaman untuk tetap

mempertahankan tradisi ini?

9. Bagaimana cara mempertahankan tradisi bajapuik ini agar tetap ada di

(19)

10. Apakah tradisi bajapuik ini masih relevan untuk masyarakat modern

sekarang ini?

C.Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Salah satu tradisi perkawinan di Minangkabau yang unik dan menarik

untuk diteliti adalah tradisi uang japuik di Pariaman. Yang pada prakteknya

pihak perempuan yang memberikan sesuatu yang berharga kepada laki-laki

yang hendak menjadi pemimpin bagi dirinya dan anak-anaknya nanti. Agar

pembahasan skripsi ini tidak menyimpang dan lebih terarah, maka penulis

membatasi ruang lingkup penelitian di daerah perantauan Kelurahan

Kutabumi, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang dan data yang

akan diteliti di tahun 2015.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan

masalah yang telah dikemukan diatas, maka dapat ditentukan rumusan

masalah sebagai berikut:

a. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman

ditentukan oleh status sosial laki-laki?

b. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat

Pariaman perantauan?

(20)

10

D.Tujuan dan Manfaat

1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui status sosial yang ditentukan untuk mengukur uang

japuik dalam adat perkawinan Pariaman.

b. Untuk mengetahui tradisi uang japuik ini masih dipraktekkan oleh

masyarakat Pariaman perantauan.

c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik.

2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang hubungan

status sosial laki-laki dan jumlah uang japuik dalam tradisi masyarakat

Pariaman perantauan.

b. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang adat Minangkabau

khususnya tentang tradisi uang japuik di masyarakat Pariaman

perantauan.

c. Untuk menjelaskan kepada masyarakat apakah tradisi uang japuik yang

dilaksanakan oleh masyarakat Pariaman di Tangerang dikaitkan dengan

status sosial laki-laki

d. Sebagai tambahan literatur di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum

tentang budaya dan adat Minangkabau khususnya tentang tradisi uang

(21)

E.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang lebih banyak mengunakan kualitas subjektif, mencakup

penelaahan dan pengungkapkan berdasarkan persepsi untuk memperoleh

pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan.12

2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan antropologi hukum

yaitu memfokuskan pada telaah sistem hukum dalam lingkup norma dan

budaya manusia.13 Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada

suatu garis perilaku yang menujukkan kejadianmya secara terus-menerus

yang biasa disebut kebiasaan atau adat.14

3. Sumber Data

a. Data Primer didapat melalui wawancara dengan tokoh-tokoh adat atau

tokoh masyarakat yaitu ninik mamak atau penghulu daerah setempat.

Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini.

b. Data Sekunder adalah buku-buku, jurnal, artikel dan sumber lain yang

dianggap perlu untuk bahan penelitian.

12

Asep Hermawan, Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h.14.

13

Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, Antropologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,2012), h. 73.

14

(22)

12

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan cara wawancara dengan tokoh-tokoh adat

atau tokoh masyarakat yaitu Ninik Mamak atau penghulu daerah setempat.

Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini yang ditunjuk

langsung oleh penulis.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dimulai dengan melakukan pengkodean data dan

selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui kertas bantu.

6. Lokasi dan waktu penelitian

a. Lokasi Penelitian

Peneltian ini, penulis akan meneliti di Kelurahan Kutabumi, Pasar

Kemis, Tangerang. Penulis mengambil lokasi ini karena daerah ini

didominasi oleh perantau berasal dari Pariaman yang dieratkan dalam

sebuah organisasi Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman.

b. Waktu penelitian

Adapun waktu penelitian penulis lakukan dimulai pada bulan Desember

2015 dan berakhir pada bulan April 2016.

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu

kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas

(23)

F. Review Studi Terdahulu

Pada penulisan skripsi ini penulis juga melakukan studi keperpustakaan

dengan cara mengamati karya ilmiah orang lain yang membahas tentang tradisi

bajapuik dalam bentuk skripsi.

No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN

1. Tradisi Bajapuik

dan budaya.Penelitian ini tidak

membahas uang hilang tetapi

(24)

14

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis

membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Skripsi ini terdiri dari lima

bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari

masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi

rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun

(25)

a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan dimuat tentang latar belakang,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika

penulisan.

b. Bab Kedua, membahas teori umum tentang khitbah dalam Islam dan adat

Minangkabau: meliputi khitbah dalam islam, khitbah dalam budaya

Minangkabau, khitbah dalam tradisi perkawinan Pariaman.

c. Bab Ketiga, membahas mengenai sekilas tentang masyarakat Pariaman di

Kutabumi, Profil Daerah Kelurahan Kutabumi, Profil masyarakat

Pariaman di Kutabumi

d. Bab Keempat, membahas tentang tradisi uang japuik bagi masyarakat

Pariaman perantauan dalam menjaga status sosial laki-laki: tradisi uang

japuik di perantauan, Hubungan antara besarnya uang japuik dengan

status sosial laki-laki Pariaman, Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi

uang japuik .

e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

(26)

16 BAB II

TEORI UMUM TENTANG KHITBAH DALAM ISLAM DAN ADAT MINANGKABAU

A.Khitbah Dalam Islam 1. Pengertian Khitbah

Secara etimologi kata khitbah berasal dari kata طخ-ا طخ-بطخي-بطخyang

artinya “meminang”.1 Khitbah secara sederhana diartikan dengan: penyampaian

kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Penyampaian kehendak untuk

menikahi seseorang dalam bahasa Melayu disebut “peminangan”.2

Secara

terminologi khitbah atau meminang adalah mengungkapkan keinginan untuk

menikah dengan seorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan

tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya.3

Defenisi lain dari khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk

menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan

kebersamaan hidup atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan

kecintaannya untuk menikahi seorang perempuan yang halal dinikahi secara

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 120.

2

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 49

(27)

kepada seorang wanita untuk dijadikan istri.5

Meminang juga dapat diartikan dengan menyatakan permintaan untuk

menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan

perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut

diperbolehkan dalam Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis idddahnya,

kecuali perempuan yang masih dalam iddah ba’in sebaiknya dengan jalan sindiran

saja. Sedangkan menurut Rahmat Hakim, meminang atau khitbah mengandung

arti permintaan, yang menurut adat merupakan bentuk pernyataan dari satu pihak

kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Khitbah

ini pada umumnya dilakukan pihak laki-laki terhadap perempuan dan ada pula

yang dilakukan oleh pihak perempuan, tetapi hal ini tidak lazim dilakukan. Oleh

karena itu, jarang terjadi, kecuali pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti

di Minangkabau yang berlaku adat meminang dari pihak wanita kepada pihak

laki-laki.6

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyaria’atkan sebelum

ada ikatan suami istri. Dalam hukum adat istilah meminang mengandung arti

permintaan, yang berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak

kepada pihak yang lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.7

4

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta: 2009), h.8.

5

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.564

6

MustofaHasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.69. 7

(28)

18

2. Dasar Hukum Khitbah

Adapun landasan hukum Khitbah dalam al-Qur’an diantaranya terdapat di

dalam surat Al-Baqarah 235. sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).

Ayat diatas menjelaskan bahwa mengkhitbah secara sharih (jelas) atau

membuat janji menikah dengan perempuan yang masih berada dalam masa iddah

dari suami sebelumnya, menurut para ulama ahli fiqih telah bersepakat hukumnya

haram. Sebab diharamkannya khitbah secara tashrih adalah boleh jadi si

perempuan akan berbohong bahwa iddahnya telah usai dan juga dikarenakan

khitbah dalam masa iddah dapat menyakiti hati laki-laki yang telah mentalaq si

perempuan. Oleh karena itu, Menurut Wahbah Az-Zuhaili khitbah ada

kalanyadilakukan dengan mengungkapkan perasaan cinta secara terang-terangan.

Ada kalanya juga khitbah dilakukan secara implisit atau dengan sindiran.8

(29)

Az-Zhahiri mengatakan bahwa pinangan itu wajib, sebab meminang adalah suatu

tindakan yang menuju kebaikan.9

Disamping itu, juga banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang

peminangan. Salah satunya tentang anjuran kepada seorang laki-laki yang sholeh

untuk mencari perempuan sholehah, demikian pula dengan wali kaum perempuan

juga berkewajiban mencari laki-laki sholeh yang akan dinikahkan dengan

anaknya. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang

melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (H.R.Tirmidzi)

Hadist Nabi:

(30)

20

Artinya: “Ketika Hafshah binti Umar menjadi janda lantaran wafatnya Khunais

bin Hudzafah As Sahmi -termasuk salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan ia wafat di Madinah, Maka Umar bin Al Khaththab berkata; Aku mendatangi Utsman bin Affan dan menawarkan Hafshah padanya, maka ia pun berkata, "Aku akan berfikir terlebih dahulu." Lalu aku pun menunggu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, "Aku telah mengambil keputusan, bahwa aku tidak akan menikah untuk hari-hari ini." Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash Shiddiq dan berkata padanya, "Jika kamu mau, maka aku akan menikahkanmu dengan Hafshah." Namun ia tidak memberi jawaban apa pun padaku. Maka aku menunggu selama beberapa malam, dan akhirnya ia pun dikhithbah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, "Sepertinya kamu merasa kecewa saat menawarkan Hafshah padaku." Umar berkata; Aku berkata, "Ya." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali bahwa aku tahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutnya. Dan aku tidak mau membuka rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan sekiranya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkannya, niscaya aku akan menerimanya."(H.R. Bukhari)

Menurut Kompilasi Hukum Islam Intruksi Presiden Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1991:

Pasal 11: Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak

mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang

dapat dipercaya.

Pasal 12: (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan

atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya, (2) wanita yang

ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah haram dan

dilarang untuk dipinang, (3) dilarang juga meminang seorang wanita

yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum

11

(31)

pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya

hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah

menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal 13: (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas

memutuskan hubungan pinangan, (2) kebebasan memutuskan hubungan

pinangan dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan

agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan

saling menghargai.

3. Khitbah dalam Konsep 'Urf

Dalam nash tidak dijelaskan secara rinci terkait dengan tata cara

pelaksanaan khitbah. Tidak ada ketentuan, siapakah yang harus mengkhitbah

terlebih dahulu baik laki-laki maupun perempuan semuanya bisa mengawali

khitbah. Maka dari itu hukum Islam menyerahkan kepada 'urf (kebiasaan) yang di

lakukan di suatu tempat atau disesuaikan dengan tradisi yang berlaku di daerah

tersebut.

Dalam kajian usul fiqh kajian tentang hukum adat yang terpadu dalam

materi al-'urf. Dalam buku "Ilmu Ushul Fiqh" Abdul Wahab Khalaf menjelaskan

pengertian al-'urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalankan orang

berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan kebiasaan dan dinamakan

adat.12

12

(32)

22

Al-'urf dibedakan menjadi dua bentuk yaitu al-'urf sahih yang berarti

kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan

membawa mashlahat bagi umat, dan al-'urf fasid yaitu kebiasaan di masyarakat

yang bertentangan dengan syariat Islam yang menimbulkan mufsadat (kerusakan)

bagi umat.13

'Urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, ia bisa menjadi

dalil sekiranya tidak ditemukan dalam nash. Apabila 'urfsuatu

masyarakatbertentangan dengan nash maka'urf tersebut ditolak. Ulama Mazhab

Hanafy fan Maliky mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf

yang sahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat).14

4. Perempuan Yang Tidak Boleh di Khitbah

Seorang laki-laki dilarang mengajukan pinangan kepada perempuan, kecuali

perempuan yang akan dipinangnya memenuhi empat syarat berikut ini, yaitu:

a. Perempuan yang akan dipinang tidak mendapati sesuatu yang

menghalanginya untuk dinikahi secara syarak.

b. Perempuang yang akan dipinang tidak sedang dilamar laki-laki lain yang

dilakukan secara syar’i.15

c. Perempuan yang tidak sedang masa iddah raj’iyah.

d. Perempuan yang sedang masa iddah ba’in, sebaiknya dipinang secara

rahasia.16

13

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh,Cet. Ke-16, penerjemah, Saefullah Ma'shum dkk, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), h. 418.

14

Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh, h. 417-418. 15

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jil.3,Penerjemah, Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h.225.

16

(33)

yang haram untuk dinikahi selamanya, seperti saudara perempuan, bibi dari ayah

dan ibu. Atau yang haram secara temporal, seperti saudara perempuan istri, istri

orang lain (perempuan yang masih berada dalam masa iddah).17

5. Hikmah khitbah

Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih

menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu.18 Khitbah hanya

sekadar janji untuk menikah, bukan merupakan pernikahan itu sendiri.19Khitbah

merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat dan kecendrungan

masing-masing dari keduanya. Dengan demikian, kedua belah pihak akan dapat merasa

tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman,

bahagia, cocok, tenang, dan penuh rasa cinta.20

B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau 1. Pengertian khitbah

Khitbah (meminang)dalam tradisi perkawinan Minangkabau dikenal dengan

batimbang tandoyaitu pemberian tanda dari pihak perempuan kepada pihak

laki-lak berupa barang yang bernilai (cincin dan kain) sedangkan pihak laki-laki-laki-laki juga

memberikan hal yang sama.

17

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h.26.

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 50.

19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.

20

(34)

24

Peminangan dalam perkawinan Minangkabau dilakukan oleh mamak dari

pihak perempuan. Biasanya di Minangkabau pihak kerabat perempuan lebih

memprakarsai dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, mulai dari

mencari jodoh, meminang dan menyelenggarakan perkawinan.Kemudian biasa

diistilahkan oleh masyarakat “sia nan datang inyo nan kanai” (siapa yang datang

akan lebih berperan menangguang biaya perkawinan).21

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tradisi

perkawinan dapat digolongkan adat nan diadatkan. Secara umum cara

pelaksanaan tradisi perkawinan termasuk di dalamnya khitbah atau meminang di

Minangkabau adalah sama. Kecuali, ada penambahan rangkaian dalam tradisi

tersebut yang berlaku dan dipakai oleh daerah tertentu saja dan tidak bisa

dipaksakan untuk berlaku di daerah lainnya. Adapun tahap peminangan (khitbah)

harus melalui beberapa tahap yaitu:

a. Maresek / maanta asok (memilih menantu)yaitu pihak keluaraga perempuan

terutama saudara laki-laki dari ibu (mamak) mencarikan laki-laki yang

cocok untuk kemenakan perempuanya. Jika telah ditemukan seorang

laki-laki yang ingin menikahi kemenakannya lanjut pada tahap berikutnya. Hal

ini bertujuan untuk. 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki

(terutama orang tuanya), agar mau melepaskan anaknya untuk dijadikan

menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan

menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan,

21

(35)

menentukan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.22

b. Manilingkai (mengirim utusan), pihak keluarga perempuan mengirim utusan

untuk membicarakan secara resmi perihal peminangan mereka terhadap

keluarga laki-laki. Biasanya yang melakukan penjajakan ini adalah orang

terdekat dari calon perempuan, terutama angota keluarga dari pihak ibu

seperti mamak, kakak, etek atau seseorang yang dapat dipercaya. Proses ini

dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penajajakan pertama dari

pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki dengan

membawa buah tangan sebagai pembuka jalan sekaligus untuk

memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Setelah ada

aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua perempuan yang datang

ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa pisang, kue

bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Pada pertemuan ini keluarga

perempuan langsung menanyakan kepada orang tua laki-laki, apakah

bersedia untuk melepas anaknya untuk dijadikan menantu bagi pihak yang

datang. Bila jawaban dari orang tua laki-laki menyatakan bersedia , maka

dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut sertakan ninik mamak

kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya.23

22 Maihasni, “

Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat,” (Disertasi S3 Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,2010), h.78.

23 Maihasni, “

(36)

26

c. Batimbang/Batuka Tando (peminangan), pengukuhan perjanjian biasanya

ditandai dengan pertukaran barang-barang tertentu seperti emas (cincin) dan

ada pula dalam bentuk benda lain, berupa kain sarung. Acara ini tidak hanya

dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap melibatkan keluarga

besar dan ninik mamak keduanya, sehingga bagi masyarakat acara ini biasa

disebut dengan acara duduk ninik mamak. Pertemuan ninik mamak ini tidak

hanya untuk pengukuhan pertunangan saja, tetapi juga membicarakan dan

menetapkan persyaratan adat khusus lainnya yang berlaku di daerah (nagari)

setempat, misalnya selain menetapkan tanggal pernikahan dan pesta, di

daerah Pariaman jugamenentukan uang japuik, uang hilang dan uang

tungkatan.

Apapun keputusan yang diambil dalam acara duduk ninik mamak ini

berlaku mengikat untuk kedua belah pihak keluarga. Apabila terjadi suatu

pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuatm maka pihak yang

melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua

kali lipat dari biaya semula, jika benda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka

harus dikembalikan sebanyak 8 emas.24 Di sinilah peran ninik mamak lebih

terlihat sebagai orang yang didahulukan salangkah, di tinggikan sarantiang

(didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) yang melambangkan kedudukan

ninik mamak dalam adat Minangkabau.

2. Perempuan Yang Tidak Boleh diKhitbah Dalam Tradisi Perkawinan Minangkabau.

24

(37)

Minangkabau, selain dari yang ditetapkan oleh syarakantara lain perempuan yang

setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum dan sesuku. Perkawinan se-kaum

atau sesuku tidak merupakan larangan dalam arti agama, tetapi hanya sebatas

patang yang ditetapkan oleh adat. Pada eksogami suku anggota masyarakat yang

mempunyai suku Caniago tidak boleh kawin sesama suku Caniago, suku Piliang

tidak boleh kawin sesama suku Piliang dan begitu juga dengan suku-suku yang

lainnya.25

3. Sekilas Tentang Munculnya Perbedaaan Tradisi di Minangkabau

Perbedaan yang timbul dalam menjalankan tradisi Adat Nan Diadatkan

tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah asal muasal pembagian wilayah di

Minangkabau. Wilayah Minangkabau secara umum dibagi menjadi wilayah luhak

dan wilayah rantau.26 Dalamtambo27 disebut “luhak bapangulu, rantau

barajo”(luhak berpenghulu, rantau beraja), yang artinya pemerintahan di wilayah

luhak diatur penghulu sedangkan rantau diatur raja. Dikisahkan dalam tambo

bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), Yakni

25

Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 140-141.

26

Luhak secara geografis berasal dari lereng-lereng Bukit barisan yang berhutan lebat, berjurang, terjal, dan dalam. Rantau ialah teluk-teluk kecil di pantai tempat orang memunggah dan memuat barang ke kapal. Kemudian berubah artinya menjadi tempat kediaman sementara penduduk untuk mencari harta dengan berdagang atau mengambil upah. Selanjutnya diartikan sebagai wilayah kolonisasi Kerajaan Pagaruyuang. Dalam bahasa Sanskerta artinya tempat tinggal.

27

(38)

28

Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto

(Lima Puluh Kota).28

Para peneliti cenderung mempermudah pembagian wilayah adat

Minangkabau kepada dua bagian, yakni:29

1. Minang darat, terdiri dari Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak

50 Koto.

2. Minang Rantau, merupakan koloni dari luhak-luhak yang ada, yakni:

a. Rantau Luhak Agam, meliputi Pesisir Barat, mulai dari Tiku Pariaman

sampai ke Air Bangis, Lubuk Sikaping, Pasaman.

b. Rantau Tanah Datar, meliputi Kubang Tiga Belas, Pesisir

Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara

Labuh.

c. Rantau Luhak 50 Koto, meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri

dan Kanan serta Rokan.

Dahulunya masyarakat darek Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain

dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat

daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal

mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran

sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan

Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau

dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar,

28

A.A. Navis, AlamTerkambangJadi Guru: AdatdanKebudayaanMinangkabau, (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 104-105.

29

(39)

Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah

pasisie.30

Secara georgrafis, ekonomis, polistis dan sosio kultural Minangkabau

disebut dengan pesisir, darat dan rantau. Pesisir adalah daratan rendah yang

membentang sebelah barat bukit barisan dan berbatasan dengan Samudra

Indonesia, mulai dari Tiku Pariaman sebelah utara sampai ke Indrapura sebelah

selatan. Darat adalah daratan tinggi bukit barisan, mulai dari Gunung Singgalang,

Gunung Tandikat, Gunung Merapi dan Gunung Sago. Darat menjelma menjadi

Minang Darat/ Minang Asli.Rantau adalah daerah-daerah sungai dan anak sungai

dari lembah bukit barisan yang bermuara ke Selat Sumatera dan Laut Cina

Selatan. Daerah ini biasa disebut dengan kolonisasi alam Minangkabau kemudian

disebut Minang Rantau.31

Arus perpindahan peduduk luhak ke rantau yang demikian besarnya, baik

secara individu maupun secara kelompok kampung atau suku, maka secara lambat

laun nagari-nagari di wilayah itu tumbuh menjadi nagari dengan menumbuhkan

jabatan penghulu, sebagai balahan dari nagari asalnya.Oleh karena itu,

nagari-nagari di wilayah rantau merupakan wilayah Minangkabau secara etnis, tetapi

kebudayaannya lebih berbaur dengan kebudayaan luar. Umpamanya, kewajiban

membuat rumah gadang dan balairung menurut arsitektur Minangkabau tidak

begitu ketat, gelar asal usul yang di sandang setiap laki-laki yang telah menikah

30

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat”, h.67.

31

(40)

30

seperti yang lazim disebut ketek banamo, gadang bagala (kecil mempunyai nama,

dewasa mempunyai gelar) dipakai secara berdampingan antara gelar garis

keturunan ibu dan gelar garis keturunan ayah.Adakalanya dipakai hanyalah gelar

garis ayah. Di wilayah rantau Pariaman, lazim setiap laki-laki yang telah beristri

memakai gelar bagindo, sutan dan sidi disamping nama kecilnya.32

Begitu pula dengan pelaksanaan tradisi perkawinan yang sedikit berbeda

dengan wilayah luhak dengan rantau. Salah satunya di daerah rantau Pariaman,

dalam rangkaian tradisi perkawinan khususnya dalam mengkhitbah atau

batimbang tando disyaratkan untuk menetapkan uang japuiksebagai salah satu ciri

khas dari daerah ini.

C.Khitbah Dalam Tradisi Perkawinan Pariaman

Secara umum pengertian khitbah dan tata cara pelaksanannya tidak jauh

berbeda dengan tradisi perkawinan di Minangkabau. Masyarakat Pariaman

memiliki sistem pernikahan yang berlainan dengan daerah lainnya. Mempelai

lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan merupakan

sesuatu yang lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di

Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya

uang japuik(jemputan) adalah tradisi khas masyarakat dan merupakan ciri daerah

Pariaman.

Bajapuik (jemputan) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khusus di

daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga

32

(41)

suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.33

Uang japuik pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis.

Dalam perjalanan tradisi uang japuik terus mengalami perubahan mulai dari

model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud uang japuik

yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya berupa rupiah dan

ringgit emas.34 Karena model itu sudah ketinggal zaman, sehingga tidak diminati

masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas. Jumlah uang

japuik dalam wujud emas ini berkisar antara 2 hingga 20 emas tergantung kepada

kesepakatan dan kemampuan dari pihak perempuan. Kemudian pada dekade

terakhir ini wujud uang japuik tidak hanya berbentuk emas, tetapi juga dalam

bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda dua ataupun roda empat, hingga

dibuatkan sebuah rumah.35

Penetapan uang japuikbiasanya ditetapkan dalam acara sebelum

perkawinan, biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon

anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta)

beserta isinya termasuk uang japuikakan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila

keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan

menjual harta pusako (harta pusaka/warisan) untuk membiayai pernikahan. Uang

japuiksendiri akan ditetapkan oleh kedua belah pihak setelah acara batimbang

33

Welhendri Azwar, Matrilokal Dan Status Perempuan Dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta, Galang Press: 2001), h.52.

34

1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas

35

(42)

32

tando dan akan diberikan saat akad nikah oleh pihak keluarga mempelai wanita

kepada keluarga pria saat acara manjapuik marapulai.36

Kemudian uang japuik itu akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki

kepada pihak perempuan pada acara manjalang mintuo, biasanya jumlah yang

dikembalikan lebih banyak dari uang japuik tadi, misalnya uang japuik 1.000.000

dikembalikan oleh pihak laki-laki 1.500.000 atau 2.000.000.37Lazimnya uang

japuik ini berupa benda berharga seperti uang japuik laki-laki senilai rupiah emas

polos dan dikembalikan pada pihak perempuan dalam bentuk kalung setelah

diberi tampuk sekaligus dengan rantainya. Bagi pihak laki-laki, nilai lebih yang

diberikan pada perempuan ini merupakan prestise tersendiri. Keluarga laki-laki

akan merasa malu dan terhina apabila nilai pengembalian uang japutan sama atau

malah lebih rendah dari yang diterima.38

Jadi uang japuik mengandung makna yang sangat dalam yaitu saling

menghargai anatara pihak perempuan dan pihak laki-laki, keika laki-laki dihargai

dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan juga dihargai

dengan uang dan emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik, saat

pengembalian inilah disebut dengan uang agiah jalang.

36

Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung”, (Bandar Lampung: 2012).

37 Muhammad Rani Ismail “

Perakawinan Adat Pariaman” Talk Show di Minangtv, dipublikasikan 1 Maret 2013, diakses pada 8 september 2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=iOX1KlrwSh8

38 Bunga Moeleca, “

(43)

aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas saat perkawinan dan sesudah

perkawinan. Berikut penjelasannya:

a.Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari maratak

Tanggoyaitu jika telah merasa ada kecocokan antara keduanya maka pihak

perempuan mengunjungi keluarga laki-laki, mamendekkan hetonganyaitu

musyawarah antara kedua keluargatentang biaya baralek (pesta) beserta

uang japuik yang harus dikeluarkan oleh pihak perempuan dan berbagai

persyaratan lainnya, acara ini hanya melibatkan mamak tungganai

saja.Batimbang tando (meminang) yaitu keluarga perempuan termasuk

didalamnya ninik mamak mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai

macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini

calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka

akan menikah, kemudian setelah itu meningkat pembicaraan mengenai uang

japuik, mahar dan hari pernikahan.

b.Lalu saat perkawinan terdiri dari bakampuang-kampuangan, alek randam,

malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad

nikah, basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.

c.Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu

manganta limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.39

Setiap tradisi yang dilakukan oleh suatu masyarakat tentu terrdapat

nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Begitupun dengan tradisi uang japuik,

39Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “

(44)

34

setidaknya ada tiga nilai yang terkandung dalam tradisi ini yaitu nilai sosial, nilai

budaya dan nilai agama.40

1. Nilai sosial yang ada pada adat tradisi uang japuik ialah untuk menghargai

pihak laki-laki yang akan menjadi orang pedatang di keluarga pihak

perempuan, agar wibawanya seorang laki-laki yang akan menjadi

suaminya lebih ada dan dianggap ada dan untuk menaikkan harkat dan

martabat pihak laki-laki makanya mereka di jemput secara adat dan orang

pariaman menginterprestasikan kedalam bentuk benda dan uang jemputan

yang telah di kenal selama ini.

2. Nilai budaya yang ada pada adat tradisi uang japuikadalah, bahwa tradisi

ini merupakan tradisi yang unik yang hanya dimiliki daerah Pariaman dan

diluar Pariaman khususnya Sumatera Barat tidak ada tradisi bajapuik

dengan menggunakan uang jemputan.

3. Nilai agama yang ada pada adat tradisi uang japuik ini adalah, bahwa

dulunya masukknya Islam ke Pariaman. lazimnya Islam masuk dan

berkembang pada suatu daerah melalui pendekatan kultural, maka tradisi

bajapuik menjadi terlegitimasi oleh nilai agama. Islam dalam pandangan

orang Minangkabau adalah sebagai penyempurnaan adat, “adat basandi

syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai (adat

bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengatur adat

melaksanakan).

40 Bunga Moeleca, “

(45)

terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan

(sidi, bagindo, sutan)41dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika

pada awalnya diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan)

saat ini berubah menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu

disebabkan oleh faktor ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang

mengakibatkan menyempitnya lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan

modernisasi secara tidak langsung turut pula dalam perubahan itu.42

Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang diterima

sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu tidak

mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat perioritas

utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga perempuan

mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik. Oleh

sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul yang jelas. Sementara itu

untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh keluarganya (dari harta pusaka).

Dengan demikian pertimbangan menerima laki-laki--laki yang bergelar adalah

agar mendapatkan keturunan yang baik.

Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan

ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai

faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pertukaran

41

Gelar sidi berasal dari Syaidina: yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin.

42

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 116

(46)

36

sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi

sosial pertukaran juga mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi).43

Dalam penelitian Maihasni, terkait dengan jumlah uang japuik berdasarkan

status sosial ekonomi menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik

antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi

uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu

terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak

keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan

calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula,

maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik

yang lebih tinggi.44 Berikut di tampilkan dalam tabel dibawah:

No Uraian Jumlah

1

Seorang sarjana yang bekerja sebagai PNS 10-15 Juta

2 Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap 5-10 Juta

3 Seorang sarjana yang berpropesi sebagai dokter 25-50 Juta

4

Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 75-100 Juta

5 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS 5-10 Juta

6 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI 20-30 Juta

7 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai

swasta 5-7 Juta

8 Seorang yang tamatan SMA, SMP dengan pekerjaan

sebagai pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, 3-5 Juta

43

Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 3-4.

44

(47)

Data Primer 2008 Penelitian Disertasi Maihasni

Jadi pertukaran yang terjadi dalam tradisi uang japuik ini tidak hanya

terdiri dari satu unsur yakni pertukaran uang dengan seorang laki-laki, tetapi juga

terdiri dari unsur yaitu pertukaran uang yang berkombinasi dengan nilai/norma.

Inilah yang kemudian harus dipahami oleh masyarakat bahwa setiap tradisi itu

mempunyai nilai-nilai filosofi secara tersirat mengandung maksud dan tujuan

(48)

37 BAB III

SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A.Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi Kelurahan

Kutabumi merupakan salah satu kelurahan yang berada dalam wilayah

Kecamatan Pasarkemis Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia.1 Kelurahan ini

dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Tengerang No. 03 tahun 2005 dengan luas

wilayah 278.5 Ha. .

1

https://id.wikipedia.org/wiki/Kutabumi,_Pasarkemis,_Tangerang diakses pada 4 Februari

(49)

Secara administratif Kelurahan Kutabumi berbatas dengan:

- Sebelah Utara Kecamatan Sepatan

- Sebelah Selatan Desa Gelam Jaya dan Kelurahan Kutajaya

- Sebelah Barat Desa Sukamantri dan Desa Pangadegan

- Sebelah Timur Kelurahan Kutabaru.2

Daerah Kutabumi mempunyai jarak yang cukup jauh dari pusat

pemerintahan.

- Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan Pasar Kemis 2 Km

- Jarak dari pusat pemerintahan Kota Tangerang 17 Km

- Jarak dari Ibukota Kabupaten 17 Km

- Jarak dari Ibukota Provinsi 56 Km

Berdasarkan buku monografi Kelurahan Kutabumi tahun 2014. Mata

pencaharian masyarakat Kelurahan Kutabumi kebanyakan bekerja sebagai

karyawan swasta. Lihat tabel di bawah ini:

Tabel 1

Mata pencaharian masyakat Kutabumi

Pekerjaan/Mata Pencaharian Jumlah

Pegawai Negeri Sipil 423 orang

TNI/Polri 77 orang

Karyawan Swasta 4.156 orang

Petani 174 orang

2

(50)

39

Tukang 352 orang

Buruh Tani 7 orang

Pensiunan 85 orang

Jasa 357 orang

Sumber Data: Buku Monografi Kelurahan Kutabumi 2014

Tabel diatas dapat dipersentasekan sebagai berikut: yang berprofesi sebagai

PNS 7,5% , TNI/Polri 1,3% , karyawan swasta 73,8%, petani 3%, tukang 6,2%,

buruh tani 0,1%, pensiunan 1,5% dan jasa 6,3%. Dapat disimpulkan bahwa

tipologi Kelurahan Kutabumi merupakan wilayah yang didominasi pekerja

industri, perdagangan dan jasa. Sedikit sekali masyarakat Kutabumi yang

berprofesi sebagai petani dan buruh tani.

Penduduk Kelurahan Kutabumi terdiri dari 8.862 KK yang dibagi kedalam

22 Rukun Warga (RW) dan 157 Rukun Tetangga (RT). Dengan jumlah penduduk

berkisar 35.845 Jiwa, di dalamnya terdapat penduduk miskin menurut standar BPS

(Badan Pusat Statistik) sebanyak 1.533 jiwa/ 511 KK. Berikut data penduduk

Kutabumi menurut jenis kelamin dan umur:

-Laki-laki : 17.788 Jiwa

-Perempuan : 18.057 Jiwa

-Usia 0-15 tahun : 15.201 Jiwa

-Usia 15-65 tahun : 19.668 Jiwa

Gambar

Tabel 1
Tabel diatas dapat dipersentasekan  sebagai berikut: yang berprofesi sebagai
Tabel 3 Sarana Ibadah Kelurahan Kutabumi
Tabel 4 Tingkat pendidikan masyarakat Kutabumi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata

Kutipan hasil wawancara tersebut sebagai bukti pendukung kesimpulan. Kesimpulannya adalah Paroki Santo Petrus dan Paulus Klepu telah memiliki prosedur pencatatan

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih

“Proses penyelenggaraan pelayanan publik tidak selalu berjalan sesuai dengan yang diharapkan, Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Mimika menemui

Selain itu, sebelumnya perusahaan diketahui belum pernah melakukan pengukuran waktu kerja dan tidak memiliki waktu baku yang dapat digunakan sebagai acuan, metode ini

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Profil Lulusan Diploma III Keperawatan Indonesia adalah sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan pada individu, keluarga, dan kelompok khusus di tatanan klinik dan komunitas

terjadinya kecelakaan lalu lintas. PIRMAN yang bergerak dari arah Selatan menuju ke arah Utara menyenggol pejalan kaki yang meyebrang jalan dari arah Timur menuju arah