SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
RONI ZULI PUTRA
NIM. 1112044100003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Roni Zuli Putra
NIM. 1112044100003
Dibawah Bimbingan
Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
NIP:195710271985032001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Roni Zuli Putra
NIM : 112044100003
Fakultas : Syariah dan Hukum
Jurusan : Ahwal Syakhshiyyah
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi in merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memperoleh
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil penjiblakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2016
Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa sejauhmana masyarakat Pariaman di Perantauan melestarikan tradisi uang japuik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam budaya rantau, menjelaskan tolok ukur status sosial laki-laki Pariaman di perantauan dalam tradisi uang japuik, serta mensinergikan korelasi pandangan Islam terhadap tradisi uang japuik yang berlangsung di Pariaman itu sendiri.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan antropologi hukum. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode obsevasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi pustaka, yang semuanya untuk menjawab permasalahan penelitian tentang Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masyarakat Pariaman di perantauan Kutabumi Tangerang masih mempraktekan tradisi uang japuik dalam rangkaian praperkawinan mereka sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang, ninik mamak dan hukum adat di Minangkabau serta tetap menjaga kedudukan status sosial laki Pariaman dalam tradisi uang japuik ini. Disamping itu tradisi uang japuik juga memberi gambaran bahwa adanya keserasian dan keselarasan antara hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau, hal ini menjadi bukti bahwa
masyarakat Minangkabau masih menjunjung tinggi nilai filosofi “Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Kata kunci : Tradisi, Uang Japuik, Pariaman Perantauan, Status Sosial Laki-laki
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ه مسب
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya serta memberikan berkah, kasih sayang, dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Tradisi Uang Japuik dan
Status Sosial Laki-Laki”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah mengantarkan umatnya dari kegelapan dunia ke zaman peradaban ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Penulis sangat bahagia dan bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas
akhir dalam jenjang pendidikan Strata Satu (S1) yang penulis tempuh telah selesai.
Serta penulis tak lupa meminta maaf apabila di dalam penulisan skripsi ini ada yang
kurang berkenan dihati para pembaca, karena penulis menyadari bahwa penulis
masih jauh dari kesempurnaan.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai
ungkapan rasa hormat yang amat mendalam, penulis mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para Wakil Dekan
penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Yayan Sopyan, M.Ag selaku Wakil Dekan III sekaligus Dosen Penasehat
Akademik penulis yang telah sabar mendampingi penulis hingga semester
akhir dan telah membantu penulis dalam perumusan desain judul skripsi inidan
seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Hj. Isnawati Rais, MA sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu
memberi pengarahan, pembelajaran yang baru bagi saya dengan penuh
keikhlasan, kesabaran, dan keistiqomahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta Mudarlis dan Ibunda tercinta Fitra Azidar yang selalu
mendoakan dan memberikan semangat kepada ananda untuk menyelesaikan
skripsi ini, serta telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan
dan membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah dan mustahil
penulis mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang
tua selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
meyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada kakak dan adik-adik tercinta Ismail, Rozi Saputra, Nadila Rahma Fitri
dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi kakak dan adik-adik
yang terbaik bagi penulis.
8. Kepada segenap pengurus PKDP Kutabumi Tanggerang dan Bapak Lurah
Kutabumi beserta jajaran. Terimakasih telah bersedia memberikan informasi
dan data penelitian bagi penulis.
9. Narasumber, Bapak Mochtar Naim, Sidi Asril Caniago, Sutan Ali Wara, Sutan
Awaluddin, Bapak Agusti Esden, Uni Adek dan Uda Zamris yang telah
memberikan doa dan informasi berkenaan dengan materi skripsi yang penulis.
10. Kepada Mamak Edison M. Nur, Mak Datuak Bungsu, Mak Men dan
bapak-bapak Letting HIKRAL 88 Jaya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih yang takterhingga penulis sampaikan karena sudah membantu
studi penulis baik moril maupun materilsehingga penulis dapat memperoleh
gelar Strata Satu.
11. Kepada Lusi Yulanda, S. Pd yang tak henti mengingatkan, memberi semangat
penulis dalam menyelesaikan skripsis ini dan juga telah berjuang selama
bertahun-tahun bersama penulis dalam mencapai visi misi yang sama.
Mudah-mudahan kebahagian akan segera kita dapatkan. Amiinn
12. Kepada teman-teman Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM) Ciputat,
teman-teman KKN Pusako Rantau (Arif, Harri, Ismail Ankai, Yudi, Harris,
Fitriyani, Fitriwati, Delima dan Uci) dan Ikatan Keluarga Alumni MAN 2
Batusangkar (IKAMANDA) CiputatAndri, Rozi, Azmi, Yusri, Suci, Fadel dan
adik-adik Alumni MAN 2 terimakasih telah memberikan semangat bagi
membuat cerita dalam hidup penulis baik berupa canda tawa, tangis, dan
pergorbanan. Tetap selalu menjadi sahabat yang terbaik bagi penulis.
14. Kepada teman-teman Hafiz, Okta, Wahid, Dayat, dan Ruhul Amin yang selalu
menghibur dan memberi semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Selalu ada setiap penulis lagi malas, galau, bosan, bahkan sampai larut
menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat pada saat ini, masa yang akan datang.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih amat jauh dari kesempurnaan
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi
selanjutnya.
Jakarta, Oktober 2016
DAFTAR ISI
4. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah ... 22
5. Hikmah Khitbah ... 23
B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau ... 23
1. Pengertian Khitbah ... 23
2. Perempuan yang tidak boleh di Khitbah dalam tradisi Perkawinan Minangkabau ... 26
3. Sekilas tentang Munculnya Perbedaan Tradisi di Minangkabau ... 27
C.Khitbah dalam Tradisi Perkawinan Pariaman ... 28
Bab III SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A. Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi ... 37
B. Profil Masyarakat Pariaman di Kutabumi ... 42
Bab IV TRADISI UANG JAPUIK BAGI MASYARAKAT PARIAMAN PERANTAUAN DALAM MENJAGA STATUS SOSIAL LAKI-LAKI A. Tradisi Uang Japuik di Perantauan Kutabumi... 46
B. Hubungan Antara Besarnya Uang Japuik dengan Status Sosial Laki-laki . 49 C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Tradisi Uang Japuik ... 54
Bab V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57
B. Saran-saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 61
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu,
sekarang, dan masa akan datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai
ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza), ikatan suci (transenden), suatu perjanjian
yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau
kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya
hubungan badan antara suami isteri sebagai penyaluran libido seksual manusia
yang terhormat, oleh karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.1
Untuk menyalurkan keinginan seksual tersebut tentunya harus dengan
perkawinan yang sah sesuai dengan rukun dan syarat yang diatur dalam kitab
fiqih. Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk di dalam
substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena
tidak ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan
hakikat sesuatu, sekalipun sesuatu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya
tidak diperhitungkan.
Adapun syarat pernikahan dalam syariat Islam salah satunya adalah
pelaksanaan pranikah (peminangan). Khitbah (peminangan) bertujuan untuk
menyingkap kecintaan kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi
1
2
nikah, agar dapat membangun keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam.2
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai perempuan
tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup. Atau
dapat diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi
seorang wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaannya
beragam, adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang
bersangkutan, atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang
dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.3
Di Indonesia terdapat berbagai adat dan budaya yang beragam, termasuk
juga budaya pra nikah juga berbeda-beda di setiap daerah. Salah satunya dalam
kehidupan orang Minangkabau, adat dan agama merupakan ajaran moral yang
menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Agama Islam
adalah salah satu pedoman yang datang kemudian setelah adat, maka sesuai
dengan perjalanan sejarah orang Minangkabau antara adat dan agama menjadi
sebuah pedoman. Walaupun al-Quran datang kemudian bukan berarti orang
Minangkabau meninggalkan begitu saja ajaran moral yang telah ditentukan oleh
adat, tetapi mereka mensinergikan dan mengkombinasikan keduanya. Sehingga
orang Minangkabau memiliki dua pedoman hidup dalam menjalani kehidupan di
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (Jakarta: Amzah, 2011), h. 7.
3
dunia ini. Hal ini sesuai dengan pepatah adat, adaik basandi syara’, syara’
basandi kitabullah.4(adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah).
Di Minangkabau adat terbagi dalam empat macam yaitu: Pertama: adat nan
sabana adat, kedua: adat nan diadatkan, ketiga: adat nan taradat, keempat: adat
istiadat. Adapun adat nan sabana adat adalah adat yang asli, yang tidak berubah,
yang tak lapuk oleh hujan yang tak lekang oleh panas. Aturan-aturan dan
sifat-sifat serta ketentuan-ketentuan adat nan sabana adat terletak pada setiap jenis
benda alam ini seperti: api membakar, air membasahi, laut berombak. Adat nan
diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat atau
kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam suatu nagari saja dan tidak boleh
dipaksakan berlaku juga untuk nagari lain. Yang termasuk dalam kategori adat
nan diadatkan adalah tentang cara, syarat-syarat yang berhubungan dengan
upacara pengangkatan penghulu, ataupun upacara perkawinan yang berlaku pada
masing-masing nagari. Adat nan taradat adalah kebiasaan seseorang dalam
kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh
ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minang, yaitu Alur
dan Patut, Rasa-Periksa, dan Musyawarah Mufakat. Adat nan taradat ini dengan
sendirinya menyangkut peraturan tingkah laku dan pribadi perorangan seperti tata
cara berpakaian, makan dan minum, ke pesta dan sebagainya. Adat istiadat adalah
aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti jalannya perkembangan
masyarakat, dinamika kehidupan masyarakat. Kelaziman ini umumnya
4
menyangkut tentang apresiasi seni dan budaya masyarakat anak nagari yang
sesuai dengan alua jo patuik.5
Pinang-meminang (Khitbah) di Minangkabau termasuk dalam adat nan
diadatkan, yang lazimnya diprakarsai kerabat pihak perempuan. Bila seorang
gadis dipandang telah tiba masanya untuk berumah tangga, mulailah kerabatnya
menyalangkan mata, yang artinya melihat-lihat atau mendengar-dengar jejaka
mana yang telah pantas pula untuk beristri yang kira-kira cocok bagi anak gadis
mereka. Bila yang dicari telah ditemukan, berundinglah para kerabat untuk
memperbincangkan keadaan calon menantu mereka. Bila rundingan itu lancar,
barulah ditugasi seseorang untuk melakukan penyelidikan, apakah pihak sana
akan mau menerima pinangan mereka.6
Jika hasil penyelidikan itu memberi angin, barulah dikirim utusan untuk
melakukan pinangan. Utusan itu dipimpin mamak gadis mereka. Namun, sebelum
pinangan resmi disampaikan, beberapa penghubung telah pergi bolak-balik ke
rumah pihak laki-laki utuk merundingkan waktu dan cara peminangan yang akan
digunakan. Mamak yang datang untuk meminang itu diiringi beberapa orang
laki-laki dan perempuan. Sedangkan di rumah orang yang akan dipinang telah menanti
kerabat terdekatnya dengan pimpinan mamaknya.
Kepastian hasil dalam pinang-meminang itu belum diambil. Pihak laki-laki
akan merundingkan lebih dahulu masalahnya dengan semua kerabat. Beberapa
hari berikutnya dikirim lagi oleh pihak perempuan bisa diterima untuk
5
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau (Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau), ( Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010), h. 141.
6
mendengarkan hasil keputusan. Pada hari yang disepakati kedua belah pihak,
utusan pihak perempuan datang lagi menemui pihak kerabat laki-laki untuk
mendengarkan pinangan mereka diterima atau tidak.
Apabila pinangan telah diterima, tidaklah otomatis perkawinan bisa
dilangsungkan. Rundingan selanjutnya ialah untuk menentukan kapan hari
waktunya pertunangan dilaksanakan. Hari pertunangan itu disebutkan batimbang
tando.7 Benda yang dijadikan pertukaran tanda itu tidaklah sama pada semua
Nagari. Ia bisa berbentuk cincin emas, kain bersuji benang emas (kainbalapak),
atau keris. Namun yang umum pihak perempuan memberikan kain atau perhiasan
emas, sedangkan laki-laki memberikan keris pusaka.8
Dalam rangkaian adat perkawinan Minangkabau pada umumnya sama di
setiap wilayah kecuali di Pariaman. Adat perkawinan Pariaman ini berbeda
dengan adat perkawinan daerah Minangkabau lainnya, sebab dalam acara
batimbang tando ada acara yang dikenal dengan tradisi bajapuik (menjemput
pengantin laki-laki) yang mensyaratkan adanya uang japuik9. Adat perkawinan ini
menjadi ciri khas di daerah Pariaman yang termasuk dalam adat nan diadatkan,
karena hanya terjadi di daerah tertentu saja. Tradisi bajapuik dipandang sebagai
kewajiban pihak keluarga perempuan memberikan sejumlah uang atau benda yang
bernilai kepada pihak laki-laki sebelum akad nikah dilangsungkan.10
7
Timbang tando adalah pemberian tanda dari pihak perempuan berupa kain kepada pihak laki-laki sedangkan pihak laki-laki juga memberikan hal yang sama.
8
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 200. 9
Uang Japuik adalah suatu pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki berupa barang yang berharga dengan tujuan untuk menghargai laki-laki tersebut sebagai orang yang datang atau disebut juga dengan urang sumando.
10
6
Adat perkawinan Pariaman terdiri dari berbagai rangkaian. Ada
aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas-aktivitas saat perkawinan dan sesudah
perkawinan. Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari
maratak tanggo, mamendekkan hetongan, batimbang tando (maminang) dan
menetapkan uang jemputan. Lalu saat perkawinan terdiri dari
bakampuang-kampuangan, alek randam, malam bainai, badantam, bainduak bako,manjapuik
marapulai, akad nikah,basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.
Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu manganta
limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.11
Pada awalnya uang japuik ini berlaku bagi calon menantu yang hanya
bergelar kebangsawanan seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Ketiga gelar ini
diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah. Seiring dengan
perkembangan zaman uang japuik ini tidak hanya berlaku bagi kalangan
bangsawan saja. Akan tetapi setiap laki-laki yang berasal dari Pariaman jika ingin
melangsungkan pernikahan juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut
terlepas dari status sosial kebangsawanan apa yang disandangnya. Hal ini tentu
tidak tertutup kemungkinan bagi yang berprofesi sebagai jasa angkutan (ojek)
juga berhak mendapatkan uang japuik tersebut. Namun, dengan jumlah uang
japuik yang setara dengan profesinya. Begitu juga bagi yang berprofesi sebagai
PNS dan wiraswasta lainnya akan berbeda uang japuik yang akan diterimanya.
Setiap kebudayaan/tradisi suatu tempat tentu tidak sama dengan kebudayaan
di tempat yang lainnnya. Keunikan tradisi uang japuik ini termasuk salah satu dari
11
keberagaman budaya dalam Minangkabau khususnya dan budaya Indonesia
umumnya. Seperti yang dijelaskan di halaman sebelumnya bahwa tradisi uang
japuik ini hanya dipakai di daerah Pariaman saja dan tidak berlaku di daerah
lainnya.
Untuk mendapatkan kehidupan yang baru yang lebih layak, orang Pariaman
sebagaimana umumnya orang Minangkabau biasa dikenal suka merantau, boleh
dikatakan dalam cakupan deerah-daerah di Indonesia dari Sabang sampai
Marauke terdapat perantau dari Ranah Minangkabau. Prisip perantau
Minangkabau begitupun orang Pariaman yaitu dima bumi dipijak di sinan langik
dijujuang maksudnya orang Minangkabau harus pandai beradaptasi dengan adat
dan tradisi daerah rantau. Hal ini bukan berarti meninggalkan adat dan tradisi
Minangkabau atau Pariaman itu sendiri. Apalagi dalam melaksanakan
rangkaian-rangkaian tradisi perkawinan yang mesyaratkan adanya uang japuik, masyarakat
Pariaman perantauan harusnya masih melaksanakan meskipun tidak sepenuhnya.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk mengakaji dan meneliti lebih dalam
lagi terkait dengan tradisi yang dikenal begitu kental di daerah asal (Pariaman)
apakah tradisi ini masih dipertahankan bagi masyarakat Pariaman yang merantau?
Pertanyaan ini muncul karena sepanjang pengetahuan penulis berdasarkan
informasi, masyarakat Minangkabau umumnya melakukan upacara/resepesi
perkawinan mereka di tanah rantau, tentu mungkin saja itu terjadi bagi orang
Pariaman.
Oleh karena itu, dipandang perlu penulis untuk menentukan wilayah objek
8
dipertanggungjawabkan kebenaran data dan informasinya penulis memilih daerah
perantauan Kutabumi Kabupaten Tangerang. Karena Tangerang diantaranya
wilayah perantauan yang cukup diminati oleh masyarakat Pariaman. Inilah yang
kemudian akan penulis teliti lebih lanjut tentang bagaimana pandangan
masyarakat Pariaman mempertahankan tradisi mereka di tanah rantau..
Untuk lebih terarahnya skripsi ini, maka penulis memberi judul dengan:
“Tradisi Uang Japuik dan Status Sosial Laki-Laki”.
B.Identifikasi Masalah
1. Bagaimana dan darimana asal-muasal lahirnya adat bajapuik di Pariaman?
2. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat Pariaman
perantauan?
3. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman
ditentukan oleh status sosial laki-laki?
4. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam adat bajapuik di pariaman?
5. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dalam pelaksanaan tradisi bajapuik
terhadap sosial masyarakat Pariaman?
6. Apakah perbedaan dan persamaan antara uang japuik dengan uang hilang?
7. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik tersebut?
8. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat pariaman untuk tetap
mempertahankan tradisi ini?
9. Bagaimana cara mempertahankan tradisi bajapuik ini agar tetap ada di
10. Apakah tradisi bajapuik ini masih relevan untuk masyarakat modern
sekarang ini?
C.Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Salah satu tradisi perkawinan di Minangkabau yang unik dan menarik
untuk diteliti adalah tradisi uang japuik di Pariaman. Yang pada prakteknya
pihak perempuan yang memberikan sesuatu yang berharga kepada laki-laki
yang hendak menjadi pemimpin bagi dirinya dan anak-anaknya nanti. Agar
pembahasan skripsi ini tidak menyimpang dan lebih terarah, maka penulis
membatasi ruang lingkup penelitian di daerah perantauan Kelurahan
Kutabumi, Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang dan data yang
akan diteliti di tahun 2015.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan
masalah yang telah dikemukan diatas, maka dapat ditentukan rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Apakah besarnya uang japuik dalam tradisi perkawinan Pariaman
ditentukan oleh status sosial laki-laki?
b. Apakah tradisi uang japuik masih dipraktekkan oleh masyarakat
Pariaman perantauan?
10
D.Tujuan dan Manfaat
1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui status sosial yang ditentukan untuk mengukur uang
japuik dalam adat perkawinan Pariaman.
b. Untuk mengetahui tradisi uang japuik ini masih dipraktekkan oleh
masyarakat Pariaman perantauan.
c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap tradisi uang japuik.
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang hubungan
status sosial laki-laki dan jumlah uang japuik dalam tradisi masyarakat
Pariaman perantauan.
b. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang adat Minangkabau
khususnya tentang tradisi uang japuik di masyarakat Pariaman
perantauan.
c. Untuk menjelaskan kepada masyarakat apakah tradisi uang japuik yang
dilaksanakan oleh masyarakat Pariaman di Tangerang dikaitkan dengan
status sosial laki-laki
d. Sebagai tambahan literatur di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum
tentang budaya dan adat Minangkabau khususnya tentang tradisi uang
E.Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang lebih banyak mengunakan kualitas subjektif, mencakup
penelaahan dan pengungkapkan berdasarkan persepsi untuk memperoleh
pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusiaan.12
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan antropologi hukum
yaitu memfokuskan pada telaah sistem hukum dalam lingkup norma dan
budaya manusia.13 Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada
suatu garis perilaku yang menujukkan kejadianmya secara terus-menerus
yang biasa disebut kebiasaan atau adat.14
3. Sumber Data
a. Data Primer didapat melalui wawancara dengan tokoh-tokoh adat atau
tokoh masyarakat yaitu ninik mamak atau penghulu daerah setempat.
Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini.
b. Data Sekunder adalah buku-buku, jurnal, artikel dan sumber lain yang
dianggap perlu untuk bahan penelitian.
12
Asep Hermawan, Kiat Praktis Menulis Skripsi, Tesis, Desertasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h.14.
13
Beni Ahmad Saebani dan Encup Supriatna, Antropologi Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,2012), h. 73.
14
12
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan cara wawancara dengan tokoh-tokoh adat
atau tokoh masyarakat yaitu Ninik Mamak atau penghulu daerah setempat.
Termasuk juga pelaku yang melaksanakan uang japuik ini yang ditunjuk
langsung oleh penulis.
5. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dimulai dengan melakukan pengkodean data dan
selanjutnya dilakukan kategorisasi melalui kertas bantu.
6. Lokasi dan waktu penelitian
a. Lokasi Penelitian
Peneltian ini, penulis akan meneliti di Kelurahan Kutabumi, Pasar
Kemis, Tangerang. Penulis mengambil lokasi ini karena daerah ini
didominasi oleh perantau berasal dari Pariaman yang dieratkan dalam
sebuah organisasi Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman.
b. Waktu penelitian
Adapun waktu penelitian penulis lakukan dimulai pada bulan Desember
2015 dan berakhir pada bulan April 2016.
7. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu
kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas
F. Review Studi Terdahulu
Pada penulisan skripsi ini penulis juga melakukan studi keperpustakaan
dengan cara mengamati karya ilmiah orang lain yang membahas tentang tradisi
bajapuik dalam bentuk skripsi.
No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN
1. Tradisi Bajapuik
dan budaya.Penelitian ini tidak
membahas uang hilang tetapi
14
G. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang, penulis
membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Skripsi ini terdiri dari lima
bab, dan setiap bab memiliki sub bab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan daftar pustaka yang menjadi
rujukan penulis dalam penulisan skripsi ini dan lampiran-lampiran. Adapun
a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan dimuat tentang latar belakang,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat, metode penelitian, review studi terdahulu, sistematika
penulisan.
b. Bab Kedua, membahas teori umum tentang khitbah dalam Islam dan adat
Minangkabau: meliputi khitbah dalam islam, khitbah dalam budaya
Minangkabau, khitbah dalam tradisi perkawinan Pariaman.
c. Bab Ketiga, membahas mengenai sekilas tentang masyarakat Pariaman di
Kutabumi, Profil Daerah Kelurahan Kutabumi, Profil masyarakat
Pariaman di Kutabumi
d. Bab Keempat, membahas tentang tradisi uang japuik bagi masyarakat
Pariaman perantauan dalam menjaga status sosial laki-laki: tradisi uang
japuik di perantauan, Hubungan antara besarnya uang japuik dengan
status sosial laki-laki Pariaman, Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi
uang japuik .
e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
16 BAB II
TEORI UMUM TENTANG KHITBAH DALAM ISLAM DAN ADAT MINANGKABAU
A.Khitbah Dalam Islam 1. Pengertian Khitbah
Secara etimologi kata khitbah berasal dari kata طخ-ا طخ-بطخي-بطخyang
artinya “meminang”.1 Khitbah secara sederhana diartikan dengan: penyampaian
kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Penyampaian kehendak untuk
menikahi seseorang dalam bahasa Melayu disebut “peminangan”.2
Secara
terminologi khitbah atau meminang adalah mengungkapkan keinginan untuk
menikah dengan seorang perempuan tertentu dan memberitahukan keinginan
tersebut kepada perempuan tersebut dan walinya.3
Defenisi lain dari khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk
menguasai seorang wanita tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan
kebersamaan hidup atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan
kecintaannya untuk menikahi seorang perempuan yang halal dinikahi secara
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2007), h. 120.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 49
kepada seorang wanita untuk dijadikan istri.5
Meminang juga dapat diartikan dengan menyatakan permintaan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan
perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut
diperbolehkan dalam Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis idddahnya,
kecuali perempuan yang masih dalam iddah ba’in sebaiknya dengan jalan sindiran
saja. Sedangkan menurut Rahmat Hakim, meminang atau khitbah mengandung
arti permintaan, yang menurut adat merupakan bentuk pernyataan dari satu pihak
kepada pihak lain dengan maksud untuk mengadakan ikatan perkawinan. Khitbah
ini pada umumnya dilakukan pihak laki-laki terhadap perempuan dan ada pula
yang dilakukan oleh pihak perempuan, tetapi hal ini tidak lazim dilakukan. Oleh
karena itu, jarang terjadi, kecuali pada sistem kekeluargaan dari pihak ibu, seperti
di Minangkabau yang berlaku adat meminang dari pihak wanita kepada pihak
laki-laki.6
Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan, disyaria’atkan sebelum
ada ikatan suami istri. Dalam hukum adat istilah meminang mengandung arti
permintaan, yang berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak
kepada pihak yang lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.7
4
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta: 2009), h.8.
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.564
6
MustofaHasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h.69. 7
18
2. Dasar Hukum Khitbah
Adapun landasan hukum Khitbah dalam al-Qur’an diantaranya terdapat di
dalam surat Al-Baqarah 235. sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”(Al-Baqarah: 235).
Ayat diatas menjelaskan bahwa mengkhitbah secara sharih (jelas) atau
membuat janji menikah dengan perempuan yang masih berada dalam masa iddah
dari suami sebelumnya, menurut para ulama ahli fiqih telah bersepakat hukumnya
haram. Sebab diharamkannya khitbah secara tashrih adalah boleh jadi si
perempuan akan berbohong bahwa iddahnya telah usai dan juga dikarenakan
khitbah dalam masa iddah dapat menyakiti hati laki-laki yang telah mentalaq si
perempuan. Oleh karena itu, Menurut Wahbah Az-Zuhaili khitbah ada
kalanyadilakukan dengan mengungkapkan perasaan cinta secara terang-terangan.
Ada kalanya juga khitbah dilakukan secara implisit atau dengan sindiran.8
Az-Zhahiri mengatakan bahwa pinangan itu wajib, sebab meminang adalah suatu
tindakan yang menuju kebaikan.9
Disamping itu, juga banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan. Salah satunya tentang anjuran kepada seorang laki-laki yang sholeh
untuk mencari perempuan sholehah, demikian pula dengan wali kaum perempuan
juga berkewajiban mencari laki-laki sholeh yang akan dinikahkan dengan
anaknya. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang
melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (H.R.Tirmidzi)
Hadist Nabi:
20
Artinya: “Ketika Hafshah binti Umar menjadi janda lantaran wafatnya Khunais
bin Hudzafah As Sahmi -termasuk salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan ia wafat di Madinah, Maka Umar bin Al Khaththab berkata; Aku mendatangi Utsman bin Affan dan menawarkan Hafshah padanya, maka ia pun berkata, "Aku akan berfikir terlebih dahulu." Lalu aku pun menunggu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, "Aku telah mengambil keputusan, bahwa aku tidak akan menikah untuk hari-hari ini." Lalu aku pun menemui Abu Bakar Ash Shiddiq dan berkata padanya, "Jika kamu mau, maka aku akan menikahkanmu dengan Hafshah." Namun ia tidak memberi jawaban apa pun padaku. Maka aku menunggu selama beberapa malam, dan akhirnya ia pun dikhithbah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka aku menikahkannya dengan beliau. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, "Sepertinya kamu merasa kecewa saat menawarkan Hafshah padaku." Umar berkata; Aku berkata, "Ya." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali bahwa aku tahu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutnya. Dan aku tidak mau membuka rahasia Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan sekiranya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkannya, niscaya aku akan menerimanya."(H.R. Bukhari)
Menurut Kompilasi Hukum Islam Intruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991:
Pasal 11: Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya.
Pasal 12: (1) Peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan
atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya, (2) wanita yang
ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah haram dan
dilarang untuk dipinang, (3) dilarang juga meminang seorang wanita
yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum
11
pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya
hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13: (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan pinangan, (2) kebebasan memutuskan hubungan
pinangan dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan
agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan
saling menghargai.
3. Khitbah dalam Konsep 'Urf
Dalam nash tidak dijelaskan secara rinci terkait dengan tata cara
pelaksanaan khitbah. Tidak ada ketentuan, siapakah yang harus mengkhitbah
terlebih dahulu baik laki-laki maupun perempuan semuanya bisa mengawali
khitbah. Maka dari itu hukum Islam menyerahkan kepada 'urf (kebiasaan) yang di
lakukan di suatu tempat atau disesuaikan dengan tradisi yang berlaku di daerah
tersebut.
Dalam kajian usul fiqh kajian tentang hukum adat yang terpadu dalam
materi al-'urf. Dalam buku "Ilmu Ushul Fiqh" Abdul Wahab Khalaf menjelaskan
pengertian al-'urf adalah apa yang saling diketahui dan saling dijalankan orang
berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan kebiasaan dan dinamakan
adat.12
12
22
Al-'urf dibedakan menjadi dua bentuk yaitu al-'urf sahih yang berarti
kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan
membawa mashlahat bagi umat, dan al-'urf fasid yaitu kebiasaan di masyarakat
yang bertentangan dengan syariat Islam yang menimbulkan mufsadat (kerusakan)
bagi umat.13
'Urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, ia bisa menjadi
dalil sekiranya tidak ditemukan dalam nash. Apabila 'urfsuatu
masyarakatbertentangan dengan nash maka'urf tersebut ditolak. Ulama Mazhab
Hanafy fan Maliky mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf
yang sahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat).14
4. Perempuan Yang Tidak Boleh di Khitbah
Seorang laki-laki dilarang mengajukan pinangan kepada perempuan, kecuali
perempuan yang akan dipinangnya memenuhi empat syarat berikut ini, yaitu:
a. Perempuan yang akan dipinang tidak mendapati sesuatu yang
menghalanginya untuk dinikahi secara syarak.
b. Perempuang yang akan dipinang tidak sedang dilamar laki-laki lain yang
dilakukan secara syar’i.15
c. Perempuan yang tidak sedang masa iddah raj’iyah.
d. Perempuan yang sedang masa iddah ba’in, sebaiknya dipinang secara
rahasia.16
13
Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh,Cet. Ke-16, penerjemah, Saefullah Ma'shum dkk, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2012), h. 418.
14
Muhammad Abu Zahrah,Ushul Al-Fiqh, h. 417-418. 15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jil.3,Penerjemah, Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), h.225.
16
yang haram untuk dinikahi selamanya, seperti saudara perempuan, bibi dari ayah
dan ibu. Atau yang haram secara temporal, seperti saudara perempuan istri, istri
orang lain (perempuan yang masih berada dalam masa iddah).17
5. Hikmah khitbah
Adapun hikmah dari adanya syariat peminangan adalah untuk lebih
menguatkan ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu.18 Khitbah hanya
sekadar janji untuk menikah, bukan merupakan pernikahan itu sendiri.19Khitbah
merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat dan kecendrungan
masing-masing dari keduanya. Dengan demikian, kedua belah pihak akan dapat merasa
tentram bahwa mereka berdua akan hidup bersama dengan selamat, aman,
bahagia, cocok, tenang, dan penuh rasa cinta.20
B.Khitbah Dalam Budaya Minangkabau 1. Pengertian khitbah
Khitbah (meminang)dalam tradisi perkawinan Minangkabau dikenal dengan
batimbang tandoyaitu pemberian tanda dari pihak perempuan kepada pihak
laki-lak berupa barang yang bernilai (cincin dan kain) sedangkan pihak laki-laki-laki-laki juga
memberikan hal yang sama.
17
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h.26.
18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006), h. 50.
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-Iila’ Istri, Li’an, Zhihar, Masa Iddah, h. 21.
20
24
Peminangan dalam perkawinan Minangkabau dilakukan oleh mamak dari
pihak perempuan. Biasanya di Minangkabau pihak kerabat perempuan lebih
memprakarsai dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga, mulai dari
mencari jodoh, meminang dan menyelenggarakan perkawinan.Kemudian biasa
diistilahkan oleh masyarakat “sia nan datang inyo nan kanai” (siapa yang datang
akan lebih berperan menangguang biaya perkawinan).21
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tradisi
perkawinan dapat digolongkan adat nan diadatkan. Secara umum cara
pelaksanaan tradisi perkawinan termasuk di dalamnya khitbah atau meminang di
Minangkabau adalah sama. Kecuali, ada penambahan rangkaian dalam tradisi
tersebut yang berlaku dan dipakai oleh daerah tertentu saja dan tidak bisa
dipaksakan untuk berlaku di daerah lainnya. Adapun tahap peminangan (khitbah)
harus melalui beberapa tahap yaitu:
a. Maresek / maanta asok (memilih menantu)yaitu pihak keluaraga perempuan
terutama saudara laki-laki dari ibu (mamak) mencarikan laki-laki yang
cocok untuk kemenakan perempuanya. Jika telah ditemukan seorang
laki-laki yang ingin menikahi kemenakannya lanjut pada tahap berikutnya. Hal
ini bertujuan untuk. 1) meminta kesediaan pihak keluarga laki-laki
(terutama orang tuanya), agar mau melepaskan anaknya untuk dijadikan
menantu atau sumando orang yang datang. 2) penelusuran bertujuan
menyelidiki jati diri dari calon mempelai; seperti asal usul keturunan,
21
menentukan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh pihak perempuan.22
b. Manilingkai (mengirim utusan), pihak keluarga perempuan mengirim utusan
untuk membicarakan secara resmi perihal peminangan mereka terhadap
keluarga laki-laki. Biasanya yang melakukan penjajakan ini adalah orang
terdekat dari calon perempuan, terutama angota keluarga dari pihak ibu
seperti mamak, kakak, etek atau seseorang yang dapat dipercaya. Proses ini
dapat berlangsung antara 1-3 kali pertemuan. Penajajakan pertama dari
pihak perempuan, utusan datang kerumah calon mempelai laki-laki dengan
membawa buah tangan sebagai pembuka jalan sekaligus untuk
memperkenalkan diri kepada orang tua dari pihak laki-laki. Setelah ada
aba-aba dari pihak laki-laki, baru disusul oleh orang tua perempuan yang datang
ke rumah pihak laki-laki. Buah tangan yang biasa dibawa berupa pisang, kue
bolu (cake), dan lapek bugih (lepat bugis). Pada pertemuan ini keluarga
perempuan langsung menanyakan kepada orang tua laki-laki, apakah
bersedia untuk melepas anaknya untuk dijadikan menantu bagi pihak yang
datang. Bila jawaban dari orang tua laki-laki menyatakan bersedia , maka
dibuatlah perhitungan selanjutnya dengan mengikut sertakan ninik mamak
kedua belah pihak, agar dapat melangkah ketahap berikutnya.23
22 Maihasni, “
Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat,” (Disertasi S3 Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,2010), h.78.
23 Maihasni, “
26
c. Batimbang/Batuka Tando (peminangan), pengukuhan perjanjian biasanya
ditandai dengan pertukaran barang-barang tertentu seperti emas (cincin) dan
ada pula dalam bentuk benda lain, berupa kain sarung. Acara ini tidak hanya
dilakukan oleh dua calon pengantin saja, tetapi tetap melibatkan keluarga
besar dan ninik mamak keduanya, sehingga bagi masyarakat acara ini biasa
disebut dengan acara duduk ninik mamak. Pertemuan ninik mamak ini tidak
hanya untuk pengukuhan pertunangan saja, tetapi juga membicarakan dan
menetapkan persyaratan adat khusus lainnya yang berlaku di daerah (nagari)
setempat, misalnya selain menetapkan tanggal pernikahan dan pesta, di
daerah Pariaman jugamenentukan uang japuik, uang hilang dan uang
tungkatan.
Apapun keputusan yang diambil dalam acara duduk ninik mamak ini
berlaku mengikat untuk kedua belah pihak keluarga. Apabila terjadi suatu
pelanggaran perjanjian terhadap kesepakatan yang telah dibuatm maka pihak yang
melanggar harus mengembalikan dan mengganti biaya atau tanda sebanyak dua
kali lipat dari biaya semula, jika benda yang diberikan sebanyak 4 emas, maka
harus dikembalikan sebanyak 8 emas.24 Di sinilah peran ninik mamak lebih
terlihat sebagai orang yang didahulukan salangkah, di tinggikan sarantiang
(didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) yang melambangkan kedudukan
ninik mamak dalam adat Minangkabau.
2. Perempuan Yang Tidak Boleh diKhitbah Dalam Tradisi Perkawinan Minangkabau.
24
Minangkabau, selain dari yang ditetapkan oleh syarakantara lain perempuan yang
setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum dan sesuku. Perkawinan se-kaum
atau sesuku tidak merupakan larangan dalam arti agama, tetapi hanya sebatas
patang yang ditetapkan oleh adat. Pada eksogami suku anggota masyarakat yang
mempunyai suku Caniago tidak boleh kawin sesama suku Caniago, suku Piliang
tidak boleh kawin sesama suku Piliang dan begitu juga dengan suku-suku yang
lainnya.25
3. Sekilas Tentang Munculnya Perbedaaan Tradisi di Minangkabau
Perbedaan yang timbul dalam menjalankan tradisi Adat Nan Diadatkan
tersebut tidak bisa dipisahkan dari sejarah asal muasal pembagian wilayah di
Minangkabau. Wilayah Minangkabau secara umum dibagi menjadi wilayah luhak
dan wilayah rantau.26 Dalamtambo27 disebut “luhak bapangulu, rantau
barajo”(luhak berpenghulu, rantau beraja), yang artinya pemerintahan di wilayah
luhak diatur penghulu sedangkan rantau diatur raja. Dikisahkan dalam tambo
bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), Yakni
25
Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 140-141.
26
Luhak secara geografis berasal dari lereng-lereng Bukit barisan yang berhutan lebat, berjurang, terjal, dan dalam. Rantau ialah teluk-teluk kecil di pantai tempat orang memunggah dan memuat barang ke kapal. Kemudian berubah artinya menjadi tempat kediaman sementara penduduk untuk mencari harta dengan berdagang atau mengambil upah. Selanjutnya diartikan sebagai wilayah kolonisasi Kerajaan Pagaruyuang. Dalam bahasa Sanskerta artinya tempat tinggal.
27
28
Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah Koto
(Lima Puluh Kota).28
Para peneliti cenderung mempermudah pembagian wilayah adat
Minangkabau kepada dua bagian, yakni:29
1. Minang darat, terdiri dari Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak
50 Koto.
2. Minang Rantau, merupakan koloni dari luhak-luhak yang ada, yakni:
a. Rantau Luhak Agam, meliputi Pesisir Barat, mulai dari Tiku Pariaman
sampai ke Air Bangis, Lubuk Sikaping, Pasaman.
b. Rantau Tanah Datar, meliputi Kubang Tiga Belas, Pesisir
Barat/Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara
Labuh.
c. Rantau Luhak 50 Koto, meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri
dan Kanan serta Rokan.
Dahulunya masyarakat darek Luhak Nan Tigo mereka pergi ke daerah lain
dan membuat negeri baru di sana. Di situ mereka tetap memakai adat seperti adat
daerah yang mereka tinggalkan. Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal
mereka di Luhak Nan Tigo. Umumnya, daerah ini berada di sepanjang aliran
sungai dan bermuara ke timur, ke selat Malaka, bahkan termasuk Rantau nan
Sembilan (Negeri Sembilan, di Malaysia sekarang). Daerah rantau Minangkabau
dikenal juga dengan sebutan Rantau Nan Tujuah Jurai, yaitu Rantau Kampar,
28
A.A. Navis, AlamTerkambangJadi Guru: AdatdanKebudayaanMinangkabau, (Jakarta: Grafitipers, 1984), h. 104-105.
29
Pasaman. Daerah Tiku Pariaman dan Pasaman dikenal juga sebagai daerah
pasisie.30
Secara georgrafis, ekonomis, polistis dan sosio kultural Minangkabau
disebut dengan pesisir, darat dan rantau. Pesisir adalah daratan rendah yang
membentang sebelah barat bukit barisan dan berbatasan dengan Samudra
Indonesia, mulai dari Tiku Pariaman sebelah utara sampai ke Indrapura sebelah
selatan. Darat adalah daratan tinggi bukit barisan, mulai dari Gunung Singgalang,
Gunung Tandikat, Gunung Merapi dan Gunung Sago. Darat menjelma menjadi
Minang Darat/ Minang Asli.Rantau adalah daerah-daerah sungai dan anak sungai
dari lembah bukit barisan yang bermuara ke Selat Sumatera dan Laut Cina
Selatan. Daerah ini biasa disebut dengan kolonisasi alam Minangkabau kemudian
disebut Minang Rantau.31
Arus perpindahan peduduk luhak ke rantau yang demikian besarnya, baik
secara individu maupun secara kelompok kampung atau suku, maka secara lambat
laun nagari-nagari di wilayah itu tumbuh menjadi nagari dengan menumbuhkan
jabatan penghulu, sebagai balahan dari nagari asalnya.Oleh karena itu,
nagari-nagari di wilayah rantau merupakan wilayah Minangkabau secara etnis, tetapi
kebudayaannya lebih berbaur dengan kebudayaan luar. Umpamanya, kewajiban
membuat rumah gadang dan balairung menurut arsitektur Minangkabau tidak
begitu ketat, gelar asal usul yang di sandang setiap laki-laki yang telah menikah
30
Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat”, h.67.
31
30
seperti yang lazim disebut ketek banamo, gadang bagala (kecil mempunyai nama,
dewasa mempunyai gelar) dipakai secara berdampingan antara gelar garis
keturunan ibu dan gelar garis keturunan ayah.Adakalanya dipakai hanyalah gelar
garis ayah. Di wilayah rantau Pariaman, lazim setiap laki-laki yang telah beristri
memakai gelar bagindo, sutan dan sidi disamping nama kecilnya.32
Begitu pula dengan pelaksanaan tradisi perkawinan yang sedikit berbeda
dengan wilayah luhak dengan rantau. Salah satunya di daerah rantau Pariaman,
dalam rangkaian tradisi perkawinan khususnya dalam mengkhitbah atau
batimbang tando disyaratkan untuk menetapkan uang japuiksebagai salah satu ciri
khas dari daerah ini.
C.Khitbah Dalam Tradisi Perkawinan Pariaman
Secara umum pengertian khitbah dan tata cara pelaksanannya tidak jauh
berbeda dengan tradisi perkawinan di Minangkabau. Masyarakat Pariaman
memiliki sistem pernikahan yang berlainan dengan daerah lainnya. Mempelai
lelaki (marapulai) dijemput secara adat dalam suatu perkawinan merupakan
sesuatu yang lumrah dan umum terjadi dalam masyarakat di daerah lain di
Minangkabau. Akan tetapi, marapulai dijemput dengan mensyaratkan adanya
uang japuik(jemputan) adalah tradisi khas masyarakat dan merupakan ciri daerah
Pariaman.
Bajapuik (jemputan) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khusus di
daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga
32
suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.33
Uang japuik pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis.
Dalam perjalanan tradisi uang japuik terus mengalami perubahan mulai dari
model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada wujud uang japuik
yang berwujud emas, di mana pada awalnya model awalnya berupa rupiah dan
ringgit emas.34 Karena model itu sudah ketinggal zaman, sehingga tidak diminati
masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas. Jumlah uang
japuik dalam wujud emas ini berkisar antara 2 hingga 20 emas tergantung kepada
kesepakatan dan kemampuan dari pihak perempuan. Kemudian pada dekade
terakhir ini wujud uang japuik tidak hanya berbentuk emas, tetapi juga dalam
bentuk benda lainnya, seperti kendaraan roda dua ataupun roda empat, hingga
dibuatkan sebuah rumah.35
Penetapan uang japuikbiasanya ditetapkan dalam acara sebelum
perkawinan, biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon
anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta)
beserta isinya termasuk uang japuikakan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila
keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan
menjual harta pusako (harta pusaka/warisan) untuk membiayai pernikahan. Uang
japuiksendiri akan ditetapkan oleh kedua belah pihak setelah acara batimbang
33
Welhendri Azwar, Matrilokal Dan Status Perempuan Dalam Tradisi Bajapuik, (Yogyakarta, Galang Press: 2001), h.52.
34
1 rupiah emas berjumlahnya 16,6 gram atau lebih kurang 6,5 emas. Kemudian 1 ringgit emas berjumlah 33 gram atau lebih kurang 13 emas
35
32
tando dan akan diberikan saat akad nikah oleh pihak keluarga mempelai wanita
kepada keluarga pria saat acara manjapuik marapulai.36
Kemudian uang japuik itu akan dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan pada acara manjalang mintuo, biasanya jumlah yang
dikembalikan lebih banyak dari uang japuik tadi, misalnya uang japuik 1.000.000
dikembalikan oleh pihak laki-laki 1.500.000 atau 2.000.000.37Lazimnya uang
japuik ini berupa benda berharga seperti uang japuik laki-laki senilai rupiah emas
polos dan dikembalikan pada pihak perempuan dalam bentuk kalung setelah
diberi tampuk sekaligus dengan rantainya. Bagi pihak laki-laki, nilai lebih yang
diberikan pada perempuan ini merupakan prestise tersendiri. Keluarga laki-laki
akan merasa malu dan terhina apabila nilai pengembalian uang japutan sama atau
malah lebih rendah dari yang diterima.38
Jadi uang japuik mengandung makna yang sangat dalam yaitu saling
menghargai anatara pihak perempuan dan pihak laki-laki, keika laki-laki dihargai
dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan juga dihargai
dengan uang dan emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik, saat
pengembalian inilah disebut dengan uang agiah jalang.
36
Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “Jurnal Penelitian Kebudayaan Uang Japuik Dalam Adat Perkawinan Padang Pariaman di Bandar Lampung”, (Bandar Lampung: 2012).
37 Muhammad Rani Ismail “
Perakawinan Adat Pariaman” Talk Show di Minangtv, dipublikasikan 1 Maret 2013, diakses pada 8 september 2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=iOX1KlrwSh8
38 Bunga Moeleca, “
aktivitas-aktivitas menjelang perkawinan, aktivitas saat perkawinan dan sesudah
perkawinan. Berikut penjelasannya:
a.Dalam aktivitas sebelum perkawinan di Pariaman terdiri dari maratak
Tanggoyaitu jika telah merasa ada kecocokan antara keduanya maka pihak
perempuan mengunjungi keluarga laki-laki, mamendekkan hetonganyaitu
musyawarah antara kedua keluargatentang biaya baralek (pesta) beserta
uang japuik yang harus dikeluarkan oleh pihak perempuan dan berbagai
persyaratan lainnya, acara ini hanya melibatkan mamak tungganai
saja.Batimbang tando (meminang) yaitu keluarga perempuan termasuk
didalamnya ninik mamak mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai
macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini
calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka
akan menikah, kemudian setelah itu meningkat pembicaraan mengenai uang
japuik, mahar dan hari pernikahan.
b.Lalu saat perkawinan terdiri dari bakampuang-kampuangan, alek randam,
malam bainai, badantam, bainduak bako, manjapuik marapulai, akad
nikah, basandiang di rumah anak daro, dan manjalang mintuo.
c.Kemudian aktivitas setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu
manganta limau, berfitrah, mangantaperbukoan, dan bulan lemang.39
Setiap tradisi yang dilakukan oleh suatu masyarakat tentu terrdapat
nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Begitupun dengan tradisi uang japuik,
39Ririanty Yunita, Syaiful, M. Basri, “
34
setidaknya ada tiga nilai yang terkandung dalam tradisi ini yaitu nilai sosial, nilai
budaya dan nilai agama.40
1. Nilai sosial yang ada pada adat tradisi uang japuik ialah untuk menghargai
pihak laki-laki yang akan menjadi orang pedatang di keluarga pihak
perempuan, agar wibawanya seorang laki-laki yang akan menjadi
suaminya lebih ada dan dianggap ada dan untuk menaikkan harkat dan
martabat pihak laki-laki makanya mereka di jemput secara adat dan orang
pariaman menginterprestasikan kedalam bentuk benda dan uang jemputan
yang telah di kenal selama ini.
2. Nilai budaya yang ada pada adat tradisi uang japuikadalah, bahwa tradisi
ini merupakan tradisi yang unik yang hanya dimiliki daerah Pariaman dan
diluar Pariaman khususnya Sumatera Barat tidak ada tradisi bajapuik
dengan menggunakan uang jemputan.
3. Nilai agama yang ada pada adat tradisi uang japuik ini adalah, bahwa
dulunya masukknya Islam ke Pariaman. lazimnya Islam masuk dan
berkembang pada suatu daerah melalui pendekatan kultural, maka tradisi
bajapuik menjadi terlegitimasi oleh nilai agama. Islam dalam pandangan
orang Minangkabau adalah sebagai penyempurnaan adat, “adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai (adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak mengatur adat
melaksanakan).
40 Bunga Moeleca, “
terdapat dua dasar pertukaran yakni; gelar kebangsawanan atau gelar keturunan
(sidi, bagindo, sutan)41dan status sosial ekonomi atau yang disebut prestasi. Jika
pada awalnya diperioritas pada laki-laki yang bergelar keturunan (bangsawan)
saat ini berubah menjadi status sosial ekonomi (prestasi). Perubahan itu
disebabkan oleh faktor ekonomi khususnya pertumbuhan penduduk yang
mengakibatkan menyempitnya lahan. Selain itu faktor pendidikan merantau dan
modernisasi secara tidak langsung turut pula dalam perubahan itu.42
Oleh sebab itu pada awalnya dalam tradisi bajapuik, laki-laki yang diterima
sebagai menantu adalah yang mempunyai gelar. Meskipun pada saat itu tidak
mempunyai pekerjaan yang tetap, laki-laki yang bergelar mendapat perioritas
utama diterima sebagai menantu. Pertimbangan pihak keluarga perempuan
mencari seorang laki-laki adalah untuk mendapatkan keturunan yang baik. Oleh
sebab itu laki-laki tersebut harus mempunyai asal-usul yang jelas. Sementara itu
untuk ekonomi rumah tangganya ditanggung oleh keluarganya (dari harta pusaka).
Dengan demikian pertimbangan menerima laki-laki--laki yang bergelar adalah
agar mendapatkan keturunan yang baik.
Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan
ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai
faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pertukaran
41
Gelar sidi berasal dari Syaidina: yakni Syaidina Muhammad artinya penghulu atau pemuka agama; gelar bagindo berasal dari baginda: yakni baginda Rasul yang artinya raja atau pimpinan dan gelar sutan berasal dari kata sultan yang berarti raja atau pemimpin.
42
Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 116
36
sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi
sosial pertukaran juga mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi).43
Dalam penelitian Maihasni, terkait dengan jumlah uang japuik berdasarkan
status sosial ekonomi menunjukkan kisaran uang japuik dalam tradisi bajapuik
antara Rp 3 sampai 100 juta. Artinya pihak keluarga perempuan akan memberi
uang japuik paling rendah Rp 3 juta dan paling tinggi Rp 100 juta. Selain itu
terdapat pula jumlah uang japuik melebihi kisaran di atas. Ini terjadi bila pihak
keluarga perempuan mempunyai kemampuan ekonomi lebih (orang kaya) dan
calon marapulai dipandang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi pula,
maka tidak segan-segan pihak keluarga perempuan akan memberikan uang japuik
yang lebih tinggi.44 Berikut di tampilkan dalam tabel dibawah:
No Uraian Jumlah
1
Seorang sarjana yang bekerja sebagai PNS 10-15 Juta
2 Seorang sarjana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap 5-10 Juta
3 Seorang sarjana yang berpropesi sebagai dokter 25-50 Juta
4
Seorang tamatan AKABRI yang berprofesi sebagai
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 75-100 Juta
5 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai PNS 5-10 Juta
6 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai Polisi/TNI 20-30 Juta
7 Seorang tamatan SMA yang bekerja sebagai pegawai
swasta 5-7 Juta
8 Seorang yang tamatan SMA, SMP dengan pekerjaan
sebagai pedagang, buruh tani, sopir, nelayan, 3-5 Juta
43
Maihasni, “Eksistensi Tradisi Bajapuik Dalam Perkawinan Masyarakat Pariaman Minangkabau Sumatera Barat", h. 3-4.
44
Data Primer 2008 Penelitian Disertasi Maihasni
Jadi pertukaran yang terjadi dalam tradisi uang japuik ini tidak hanya
terdiri dari satu unsur yakni pertukaran uang dengan seorang laki-laki, tetapi juga
terdiri dari unsur yaitu pertukaran uang yang berkombinasi dengan nilai/norma.
Inilah yang kemudian harus dipahami oleh masyarakat bahwa setiap tradisi itu
mempunyai nilai-nilai filosofi secara tersirat mengandung maksud dan tujuan
37 BAB III
SEKILAS TENTANG MASYARAKAT PARIAMAN DI KUTABUMI A.Kondisi Geografis dan Demografis Kelurahan Kutabumi Kelurahan
Kutabumi merupakan salah satu kelurahan yang berada dalam wilayah
Kecamatan Pasarkemis Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia.1 Kelurahan ini
dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Tengerang No. 03 tahun 2005 dengan luas
wilayah 278.5 Ha. .
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Kutabumi,_Pasarkemis,_Tangerang diakses pada 4 Februari
Secara administratif Kelurahan Kutabumi berbatas dengan:
- Sebelah Utara Kecamatan Sepatan
- Sebelah Selatan Desa Gelam Jaya dan Kelurahan Kutajaya
- Sebelah Barat Desa Sukamantri dan Desa Pangadegan
- Sebelah Timur Kelurahan Kutabaru.2
Daerah Kutabumi mempunyai jarak yang cukup jauh dari pusat
pemerintahan.
- Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan Pasar Kemis 2 Km
- Jarak dari pusat pemerintahan Kota Tangerang 17 Km
- Jarak dari Ibukota Kabupaten 17 Km
- Jarak dari Ibukota Provinsi 56 Km
Berdasarkan buku monografi Kelurahan Kutabumi tahun 2014. Mata
pencaharian masyarakat Kelurahan Kutabumi kebanyakan bekerja sebagai
karyawan swasta. Lihat tabel di bawah ini:
Tabel 1
Mata pencaharian masyakat Kutabumi
Pekerjaan/Mata Pencaharian Jumlah
Pegawai Negeri Sipil 423 orang
TNI/Polri 77 orang
Karyawan Swasta 4.156 orang
Petani 174 orang
2
39
Tukang 352 orang
Buruh Tani 7 orang
Pensiunan 85 orang
Jasa 357 orang
Sumber Data: Buku Monografi Kelurahan Kutabumi 2014
Tabel diatas dapat dipersentasekan sebagai berikut: yang berprofesi sebagai
PNS 7,5% , TNI/Polri 1,3% , karyawan swasta 73,8%, petani 3%, tukang 6,2%,
buruh tani 0,1%, pensiunan 1,5% dan jasa 6,3%. Dapat disimpulkan bahwa
tipologi Kelurahan Kutabumi merupakan wilayah yang didominasi pekerja
industri, perdagangan dan jasa. Sedikit sekali masyarakat Kutabumi yang
berprofesi sebagai petani dan buruh tani.
Penduduk Kelurahan Kutabumi terdiri dari 8.862 KK yang dibagi kedalam
22 Rukun Warga (RW) dan 157 Rukun Tetangga (RT). Dengan jumlah penduduk
berkisar 35.845 Jiwa, di dalamnya terdapat penduduk miskin menurut standar BPS
(Badan Pusat Statistik) sebanyak 1.533 jiwa/ 511 KK. Berikut data penduduk
Kutabumi menurut jenis kelamin dan umur:
-Laki-laki : 17.788 Jiwa
-Perempuan : 18.057 Jiwa
-Usia 0-15 tahun : 15.201 Jiwa
-Usia 15-65 tahun : 19.668 Jiwa