• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang secara kontinu

mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik dan menggunakan suatu substrat sebagai bahan bakarnya. Prinsip keja fuel cell adalah suatu sel dengan dua elektroda yang dipisahkan oleh elektrolit dan dihubungkan melalui sirkuit eksternal. Untuk menghasilkan energi listrik maka perlu perancangan alat pendukung yang terditi atas: dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh Proton Exchange Membran (PEM) sebuah polimer yang permeable yang hanya meloloskan ion proton. Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi

19 proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air. Elektrolit adalah media untuk mengalirkan ion (Gambar 12).

Gambar 12 Prinsip kerja fuel cell (Sundmacher, 2007)

Biofuel cell atau fuel cell berbasis biologi memiliki konsep yang

sangat berbeda dengan fuel cell pada umumnya. Fuel cell berbasis biologi menggunakan biokatalis untuk mengkonversi bahan kimia menjadi energi listrik. Prinsip kerjanya mengubah sumber bahan bakar dengan mengkonversi energi biokimia menjadi energi listrik melalui proses metabolisme mikroba yang melibatkan sistem enzim. Energi penggerak biofuel cell adalah reaksi redoks dari substrat glukosa. Energi kimia dapat diubah menjadi energi listrik dengan adanya pasangan reaksi oksidasi substrat dengan reaksi reduksi suatu oksidator pada permukaan antara anoda dan katoda. Adanya perbedaan potensial oksidasi pada kedua elektroda menyebabkan elektron dapat mengalir dari anoda ke katoda (gambar 13) (Logan, 2006).

Secara ekonomis biofuel cell merupakan sistem yang relatif lebih murah dan ramah lingkungan. Keunggulan sistem ini dibandingkan dengan fuel cell kimia lain meliputi temperature operasional yang sedang, tidak memerlukan katalis yang mahal. Pada perkembangan selanjutnya, biofuel cell dibagi menjadi dua macam yaitu Microbial Fuel Cell (MFC) dan

Enzymatic Fuel Cell (EFC). MFC memanfaatkan sel mikroorganisme

sedangkan EFC memanfaatkan biomolekul enzim pada proses konversi bahan bakar menjadi energi listrik. MFC menggunakan sel utuh mikroorganisme tanpa harus mengisolasi enzim terlebih dahulu (Shukla et

al, 2004).

Enzymatic Fuel Cell (EFC) prinsip kerjanya mirip dengan fuel cell.

Representasi dari EFC seperti telihat pada gambar 13. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi (melepaskan elektron) yang dihasilkan dari glukosa sebagai substratnya. sedangkan katoda terjadi reaksi reduksi (menerima elektron).

20

Gambar 13 Prinsip kerja Enzymatic fuel cell (Zebda, Institut Européen des Membranes)

Anoda : C6H12O6 C6H10O6 + 2e- + 2H+ Katoda : ½ O2 + 2e- + 2H+ C6H10O6 + H2O Overall : C6H12O6 + ½ O2 C6H10O6 + H2O

Dari reaksi diatas atom hidrogen terpecah menjadi 2 H+ dan 2 e- proton mengalir melalui membran sedangkan elektron tidak dapat menembus membran karena membran yang digunakan adalah membran permeable yang hanya bisa meloloskan proton (muatan positif) dan elektron (muatan negatif) tidak bisa melewati membran tersebut, sehingga elektron hanya menumpuk pada anoda. Sedangkan pada katoda terjadi penumpukkan ion bermuatan positif (proton). Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda sehingga terdapat arus listrik yang akan diukur besar arusnya sebagai output dari sistem EFC. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen pada katoda membentuk air.

Kompartemen anoda berisikan material organic yaitu glukosa. Penggunaan glukosa sebagai sumber karbon dapat meningkatkan elektrisitas hingga 89% (Rabaey, 2003). Pada kompartemen katoda,terdapat larutan elektrolit yang bersifat konduktif kalium ferrisianida (K3Fe(CN)6) dikenal sangat baik sebagai akseptor elektron dalam sistem EFC. K3Fe(CN)6 merupakan spesies elektroaktif yang mampu menangkap elektron dengan baik dengan harga potensial reduksi standar +3,6 V. Keuntungan terbesar dalam penggunaan kalium ferrisianida adalah dihasilkannya overpotensial yang rendah bila menggunakan elektroda karbon. Akan tetapi kerugian terbesar adalah terjadinya proses reoksidasi yang tidak sempurna oleh oksigen sehingga larutannya harus diganti secara teratur. Kinerja jangka panjang ferrisianida dalam sistem EFC dipengaruhi oleh efisiensi difusinya melewati PEM menuju ruang katoda (Logan, 2006).

Kinerja EFC dapat dipengaruhi oleh beberapa hal menurut Lim et al.

(2005), faktor-faktor yang berpengaruh antara lain kecepatan degradasi

substrat, kecepatan transfer elektron ke anoda dan transfer proton dalam larutan. Faktor lainnyanya adalah komponen penyusun EFC, seperti elektroda (anoda dan katoda) dan membrane penukar proton, serta kelengkapan membran.

21

Bahan dan Metode Bahan

Bahan yang digunakan dalam EFC ini adaah reaktor dual chamber, membran, kawat tembaga, buffer phosfat, glukosa, aquades, kalium ferisianida (K3Fe(CN)6), pH meter, kabel dan jepit buaya, mikroamperemeter, voltmeter.

Metode

EFC pada penelitian ini menggunakan reaktor dual chamber, yaitu terdapat dua buah kompartemen (anoda-katoda),diantara kedua kompartemen terdapat lubang dengan diameter 3 cm untuk dipasangkan membran pemisah yang dapat mengalirkan proton, kemudian elektroda bioanoda dipasang di ruang anoda dan elektroda kawat tembaga ada katoda, dihubugkan dengan rangkaian kabel pada alat digital multimeter. Kemudian diukur arus listrik dan tegangan. Instrumen pengukur kuat arus dan tegangan yang digunakan yaitu mikroampere dan voltmeter (Gambar 14).

Gambar 14 Rangkaian alat EFC

Prosedur kerja yang dilakukan adalah: disiapkan reaktor dual chamber EFC dengan volume masing-masing 50 ml. Pada kompartemen anoda diisi dengan larutan yang terdiri dari 5 ml glukosa yang divariasikan konsentrasi molar (0,25; 0,50; 0,75; 1) 25 mL buffer phosfat 0,1M pH 7,0 dan 10 mL aquades. Sedangkan pada kompartemen katoda diisi dengan 25 mL larutan kalium ferrisianida 0,1 M dan 25 mL buffer fosfat 0,I M pH 7,0 seperti pada Gambar 15. Diamati nilai arus listrik dan tegangan yang tertera pada layar digital multimeter hingga stabil dan dicatat Dari data kuat arus dan tegangan, dapat diperoleh nilai rapat daya (μW/cm2

), yaitu daya per satuan luas permukaan elektroda. Rapat daya (Power density) dapat dihitung menggunakan persamaan 2 berikut (Momoh et al. 2010).

22

Hasil dan Pembahasan

Pada eksperimen ini dilakukan pengukuran kuat arus dan tegangan pada konsentrasi glukosa yang berbeda-beda, dengan menggunakan rangkaian EFC (Gambar 15). Berdasarkan data yang diperoleh nilai kuat arus maksimum dicapai pada konsentrasi glukosa 0,25 M setelah menit ke 100 yaitu 5,05 μA, sedangkan kuat arus maksimum untuk konsentrasi 0,50 M adalah 2,45 μA, untuk konsentrasi 0,75 adalah 1,69 μA dan 1,35 μA untuk konsentrasi 1 M. Selain kuat arus pada percobaan ini juga dilihat pengaruh konsentrasi glukosa terhadap tegangan atau beda potensial antara elektroda anoda dan katoda. Nilai tegangan menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi glukosa, dimana nilai tegangan maksimum sebesar 60,8 mV dicapai, setelah menit ke 90 saat konsentrasi glukosa 0,25 M, sedangkan tegangan maksimum untuk konsentrasi 0,50 M adalah 20,3 mV, untuk konsentrasi 0,75 M adalah 20,8 mV dan 15,4 mV untuk konsentrasi 1 M.

(A) (B)

(C)

Gambar 15 Kinerja EFC pada variasi konsentrasi glukosa. A Pengukuran arus listrik, B Pengukuran Tegangan, C Pengukuran power density -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 1 2 3 4 5 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M Arus ( A) Waktu (menit) -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 10 20 30 40 50 60 70 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M T e g a n g a n (mV) Waktu (menit) -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M Pow e r d e n si ty ( W /cm 2) Waktu (menit)

23 Setelah diperoleh nilai kuat arus dan tegangan, dapat dihitung rapat daya (power density) yang dihasilkan per luas permukaan elektroda. Dengan menggunakan persamaan (1) (Momoh et al, 2010), diperoleh hasil bahwa nilai power density maksimum sebesar 0,39 μW/cm2 dicapai pada saat konsentrasi 0,25 M, sedangkan power density untuk konsentrasi 0,50 adalah 0,071 μW/cm2

, untuk konsentrasi 0,75 M adalah 0,044 μW/cm2 dan untuk konsentrasi 1 M adalah 0,026 μW/cm2.

Menurut Trinh et al, (2009) penurunan kuat arus disebabkan oleh kehadiran hidrogen hasil reaksi substrat di sel anoda. Semakin lama konsentrasi hidrogen ini akan meningkat dan akhirnya menutupi seluruh permukaan elektroda di anoda sehingga proses transfer elektron dari substrat ke elektroda menjadi terhalang. Untuk mempertahankan kuat arus pada level yang tinggi, keberadaan hidrogen di anoda harus dihilangkan.

Guerrero-Larrosa (2010) menjelaskan bahwa pada awal pengukuran konsentrasi substrat masih cukup untuk menghasilkan nilai tegangan yang stabil. Kenaikan tegangan disebabkan oleh meningkatnya kecepatan proses reaksi elektrokimia pada EFC. Lapisan yang menempel pada membrane dari substrat sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan proton di katoda sehingga perbedaan potensial yang dihasilkan pun kecil. Penurunan tegangan juga diakibatkan oleh menurunnya aktivitas kalium ferisianida sebagai akseptor elektron di katoda. Semakin lama digunakan, konsentrasi Fe(CN)63- akan menurun akibat peristiwa reoksidasi yang tidak sempurna oleh oksigen. Selain itu konsentrasi buffer fosfat pada kedua kompartemen juga mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kekuatan ion dan konduktivitas larutan sehingga menyebabkan menurunnya energi listrik (Rengaraj et al, 2011)

Nilai potensial anoda umumnya ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain konversi substrat dan laju transfer eletron dan proses amobilisasi enzim pada elektroda anoda. Sedangkan nilai potensial di katoda hanya ditentukan oleh jenis akseptor elektron yang digunakan. Dengan meningkatnya kecepatan nilai arus dan tegangan yang dihasilkan pada awal pengukuran berhubungan dengan laju aktivitas enzim dengan bertambahnya waktu akan menyebabkan berkurangnya produksi energi listrik.

Selain itu meningkatnya kecepatan nilai arus dan tegangan yang dihasilkan pada awal pengukuran berhubungan dengan laju kecepatan reaksi yang terjadi pada EFC, dengan bertambahnya waktu akan menyebabkan berkurangnya produksi energi listrik.

Pada Gambar 16 memperlihatkan pengaruh konsentrasi substrat terhadap arus maksimum yang dihasilkan menunjukkan bahwa konsentari terendah 0,25 M menghasilkan arus maksimum 5,05 µA, kemudian diikuti konsentrasi substrat 0,50 M menghasilkan 2,45 µA, konsentrasi 0,75 M menghasilkan nilai arus maksimum 1,69 µA dan konsentrasi 1 M menghasilkan nilai arus maksimum 1,35 µA. Dapat dikatakan semakin rendah konsentrasi glukosa, nilai arus maksimum yang dihasilkan semakin besar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin kecil kemampuan elektroda untuk dapat menghasilkan listrik, atau dapat dikatakan pula bahwa konsentrasi glukosa

24

(0,25 M) merupakan konsentrasi optimum dalam menghasilkan energi listrik.

Gambar 16 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap arus maksimum yang dihasilkan

Rendahnya konsentrasi substrat (glukosa) menunjukkan bahwa bioanoda yang membawa/mengandung enzim glukosa oksidase teramobil mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap substrat. Untuk meningkatkan kinerja dari EFC masih perlu dilakukan optimasi terhadap parameter lainnya, seperti pH, suhu. Menurut (Lehninger et al. 2004 beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah pH, suhu, dan konsentrasi substrat dan enzim, serta keberadaan aktivator dan inhibitor.

Simpulan

Energi listrik yang dihasilkan pada sistem EFC memiliki nilai rapat daya maksimum 0,39 μW/cm2 yang dicapai saat konsentrasi glukosa terkecil 0,25 M.

Dokumen terkait