• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini dibuat EFC dengan mengimobilisasi enzim

Glucose oxidase (GOD) pada elektroda anoda menggunakan matriks

polimer polianilin (PANI) dengan metode ikatan silang (crosslinking) via glutaraldehid dengan glukosa sebagai sumber hidrokarbon sehingga dapat membangkitkan energi listrik.

Kinerja elektroda pada EFC bergantung pada transfer pergerakan elektron, stabilitas dan produk (elektron yang dihasilkan). Elektroda sebagian besar terbuat dari emas, tembaga, platina ataupun karbon. Meskipun elektroda emas pada struktur berlapis telah menunjukkan transfer

0,25 0,50 0,75 1,00 1,25 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 Aru s Ma ksi mu m =im a x ( A) Konsentrasi (M)

25 elektron yang efisien dalam berbagai aplikasi, tetapi ada beberapa keterbatasan antara lain jumlah enzim pada elektroda dibatasi hanya pada permukaan (Katz & Willner, 2003). Kitosan memiliki ikatan yang sangat kuat, tetapi memiliki waktu respon yang lambat, membatasi penerapannya dalam perangkat bioelektronika (Subhan et al. 1996). PANI merupakan polimer konduktif yang sangat menjanjikan karena mudah disintesis, monomernya murah dan memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan polimer konduktif yang lain seperti polipirol (PPy), politiofena dan poli (p-fenilena) (Sahadi 2011).

Nanopartikel polianilin merupakan salah satu polimer konduktif yang bisa digunakan sebagai matriks dalam pembuatan bioanoda dalam aplikasi biofuel cell. Polianilin dapat disintesis melalui metode polimerisasi interfacial antar muka sistem dua fasa larutan organik/air. Produk berupa endapan polianilin dikumpulkan dan dimurnikan melalui filtrasi, kemudian dibilas dengan akuades beberapa kali. Selanjutnya dikeringkan dan diperoleh bubuk polanilin. Bubuk ini kemudian dikarakterisasi dengan SEM memperlihatkan struktur morfologi yang berpori dari permukaan polianilin dengan ukuran partikel sekitar 60 nm. Karakterisasi TEM untuk melihat morfologi lapisan paling tipis sampel, nampak membentuk kelompok atau mengagregasi seperti serat dengan ukuran diameter partikel rata-rata 60-80 nm. Untuk melihat kristalinitas dari polianilin digunakan XRD, hasil difraksi sinar-X memperlihatkan struktur kristal parsial atau semikristalin dari polianilin dengan ukuran rata-rata kristal adalah 10,4 nm. Umumnya pola difraksi yang melebar mengindikasikan urutan struktur kristalinitas polianilin nanokristal. Analisis FTIR mengindikasikan bahwa sampel polianilin yang diperoleh merupakan bentuk polianilin konduktif atau

emeraldine salt (ES).

Penambahan polianilin pada elektroda pasta karbon teramati pada kurva voltamogram secara voltametrik siklik. Puncak oksidasi terjadi pada potensial 0,4 V dan 0,6 V, sedangkan puncak reduksi pada -0,1 V dan 0,8 V, dengan luas permukaan secara signifikan meningkat. Puncak pada kedua oksidasi dan reduksi tidak terlihat begitu tajam.

Menurut Jiahua Zhu (2012) pada elektroda grafit menunjukkan nilai densitas arus sangat rendah karena sifat non konduktif dan luas permukaan yang rendah (16,30 m2/g). Setelah ditambahkan dengan polianilin luas permukaan secara signifikan meningkat menjadi 29,26 m2/g dengan puncak pada kurva kedua oksidasi dan reduksi tidak teramati dan malah menjadi lebih luas dan lebih miring. Ini dimungkin karena aglomerasi polianilin yang secara signifikan meningkatkan ketahanan difusi ion elektrolit ke dalam bahan elektroda

Amobilisasi enzim dilakukan pada elektroda anoda sebagai media transfer produk (elektron) dari permukaan enzim ke permukaan elektroda. Penggunaan enzim glucose oxsidase dalam bentuk larutan kurang ekonomis, karena enzim tersebut tidak dapat dimanfaatkan kembali dalam penggunaannya. Untuk efisiensi penggunaan enzim dalam analisis maupun dalam proses produksi, maka dapat dikembangkan teknik amobilisasi enzim. Amobilisasi enzim dilakukan pada elektroda anoda sebagai media transfer produk (elektron) dari permukaan enzim ke permukaan elektroda. Polianilin

26

(nanopartikel PANI) dengan ukuran partikel yang kecil namun luas permukaannya besar, digunakan sebagai matriks yang dapat mengikat enzim bebas dan mampu menjaga stabilitas aktivitas katalitik enzim dengan lebih baik sehingga dapat digunakan sebagai bahan elektroda yang akan digunakan pada proses reaksi anoda pada EFC.

Enzymatic fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang

mengkonversi energi kimia menjadi listrik. Energi penggerak yang sering disebut enzymatic fuel cell ini merupakan enzim glucose oxsidase yang berperan sebagai biokatalisis. Glucose oxidase juga memiliki spesifitas tinggi terhadap substrat glukosa. Hasil pengamatan diperoleh bahwa konsentrasi glukosa rendah (0,25 M) menghasilkan nilai arus yang tinggi (5,05 μA), namun peningkatan konsentrasi glukosa (0,50 M; 0,75 M; 1 M) menurunkan nilai arus yang dihasilkan (2,45 μA; 1,69 μA; 1,35 μA). Hal yang sama terjadi pada pengamatan nilai tegangan, dengan konsentrasi glukosa rendah (0,25 M) menghasilkan nilai tegangan yang tinggi 60,8 mV, namun nilai tegangan menurun (20,3 mV; 20,8 mV; 15,4 mV) dengan bertambahnya konsentrasi glukosa (0,50 M; 0,75 M; 1 M). Nilai rapat daya

(power density) maksimum diperoleh 0,39 μW/cm2, pada konsentrasi glukosa rendah (0,25 M) dengan peningkatan konsentrasi glukosa (0,50 M; 0,75 M; 1 M) menurunkan nilai rapat daya (0,071 μW/cm2, 0,044 μW/cm2

, 0,026 μW/cm2

). Jadi nilai rapat daya (power density) maksimum yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 0,39 μW/cm2., masih kecil jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Tabel 2)

Tabel 2 Perbandingan Hasil Penelitian

(Yin Song, Florida International University)

Fuel Enzim Elektroda Elektron

Transfer Power density (μW/ cm2) Referensi Ethanol/ H2O2 QHADH/

AOx Pt DET 30 Ramanavicius

et al. (2008)

Glucose/ O2

GOD/ laccase

Graphite MET 50 Chung-Mu YU

et al (2009)

Glucose/ O2

GDH/NB Glass Carbon

/SWNTs DET 100 Saleh et al.

(2011)

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi glukosa,semakin kecil kemampuan elektroda untuk dapat

27 menghasilkan listrik, atau dapat dikatakan pula bahwa konsentrasi glukosa (0,25 M) merupakan konsentrasi optimum dalam menghasilkan energi listrik. Rendahnya konsentrasi substrat (glukosa) menunjukkan bahwa bioanoda yang membawa/mengandung enzim glukosa oksidase teramobil mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap substrat. Untuk meningkatkan kinerja dari EFC masih perlu dilakukan optimasi terhadap parameter lainnya, seperti pH, suhu. Menurut (Lehninger et al. 2004 beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah pH, suhu, dan konsentrasi substrat dan enzim, serta keberadaan aktivator dan inhibitor.

Simpulan

Telah berhasil dibuat Enzymatic Fuel Cell (EFC) Enzymatic Fuel

Cell (EFC) menggunakan bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin

yang teramobilisasi Glucosa Oxidase (GOD) sehingga dapat membangkitkan listrik.

Energi listrik yang dihasilkan pada sistem EFC memiliki rapat daya (power density) maksimum sebesar 0,39 μW/cm2 yang dicapai pada saat konsentrasi glukosa terkecil 0,25 M

Saran

Pengembangan penelitian selanjutnya sistim enzymatic fuel cell (EFC) untuk menghasilkan energi listrik yang lebih tinggi perlu penggunaan jenis matriks yang lain pada pembuatan elektroda bioanoda. Optimasi terhadap parameter lainnya, seperti pH, suhu pada proses amoblisasi, selain itu optimasi volume reaktor dan larutan elektrolit dalam reaktor EFC sangat perlu juga untuk dilakukan.

Dokumen terkait