BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
3. Kinerja ketidaksopanan
Ketidaksopanan cenderung terjadi dalam interaksi kurang memperhatikan citra muka mitra tutur, kurang menguntungkan mitra tutur oleh penutur. Oleh sebab itu kinerja tidak tutur permintaan yang tidak sopan cenderung kurang menghargai dan mengakui citra diri mitra tutur. Dalam tuturan film TLS kinerja tindak tutur permintaan yang tidak
sopan dalam interaksi cenderug digunakan dengan tuturan bermodus imperatif. Misalnya seperti berikut:
(28)
Ore no sanporu ni kitekita, jyuyona no chekushitekure
Kamu sampel yang datang dengan teliti periksa.
Kamu periksa dengan teliti contoh sampel yang sudah datang. (29)
Hoka nomise niikou
Yang lain ke toko pergi Pergi ke toko yang lain. (30)
Chotto misete,,,,,
Sebentar perlihatkan,,,,,
Perlihatkan sebentar,,,,
Tuturan performatif eksplisit seperti berikut: (31)
Doushita, hayakuike,,,,,,
Kenapa, cepat saya minta,,,, Kenapa, saya minta cepat pergi.
(32)
Sokomadekangaeruno, deteike yo.
Sampai disitu berpikir, keluar pergi minta.
Sampai disitu berpikirmu, saya minta pergi keluar.
Tuturan –tuturan tersebut di atas, cenderung tidak sopan meskipun wajar digunakan penutur kepada mitra tutur bergantung kepada peran penutur. Dengan demikian kewajaran tidak identik dengan ketidaksopanan. Ketidaksopanan dapat menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan antara penutur dengan mitra tutur.
Dalam interaksi pada ranah perusahaan, kekariban ataupun ranah keluarga bagaiman hubungan antara atasan dan bawahan, teman dengan teman dan majikan dengan pembantu, tuturan-tuturan tersebut di atas, cenderung memperlihatkan hubungan
peran yang absolute. Oleh sebab itu orientasi interaksi antara penutur dengan mitra tutur hanya diukur oleh hasil tindakan yang dicapai semata-mata. Di antara kinerja verbal tindak tutur permintaan yang tidak sopan di atas, tuturan dengan performatif eksplisit merupakan tuturan yang paling menyudutkan dan merugikan mitra tutur, karena kinerja tuturan performatif eksplisit cederung bertujuan untuk menempatka dan menunjukkan kewenangan penutur berdasarkan peran dan statusnya dalam interaksi dengan mitra tutur. Ketegasan kewenangan penutur tersebut menurut tindakan yang diinginkan penutur dan harus dilaksanakan oleh mitra tutur.
4.2.4 Pemakaian Ragam Kinerja Verbal Tindak Tutur Permintaan Bahasa Jepang dalam Film Tokyo Love Story
Peran di atas menunjukkan bahwa bentuk tindak tutur permintaan bukan hanya sekedar pemakaian ragam kinerja verbal tetapi juga menentukan kadar hubungan pelaku tutur dan mendefenisikan hubungan mereka dalam budaya mereka berinteraksi. Sesuai dengan pemanfaatan ancangan hymes (1980) yang difokuskan pada hubungan peran dan latar pemakaian tindak tutur permintaan dalam interaksi dalam masyarakat Jepang maka ragam kinerja verbal di atas di dasrkan pada citra muka (muka negatif dan positif) yang merupakan pengakuan dan penghargaan citra diri.
Sebagai masyarakat tutur yang berlatar belakang budaya hormat dan memiliki ragam bahasa hormat dan ragam bahasa biasa , pemakaian tindak tutur permintaan dalam
interaksi pada film TLS ternyata tidaklah dapat melepaskan pandangan hidup yang
mengindahkan prinsip saling menghargai dan hormat. Dengan pandangan ini, pemakaian bentuk tindak tutur permintaan dalam interaksi pada ranah keluarga cenderung
memperhatikan keharmonisan hubungan mereka, baik sesuai dengan kewenangan maupun penyesuaian peran kewenangan pelaku tutur. Pemakaian bentuk tindak tutur permintaan yang demikian ini dimaksudkan untuk meningkatkan keakraban hubungan diantara pelaku tutur. Hubungan yang harmonis berkaitan dengan kewajaran yang mereka emban masing-masing sesuai tempat dan waktu tutur dilaksanakan, hubungan yang harmonis dapat juga berkaitan dengan pengakuan dan penghargaan antara mereka, dan hubungan harmonis merupakan kinerja kerja sama yang saling menguntungkan, kesemua hubungan ini sangat berkaitan dengan latar tutur yang bersifat tidak resmi.
Penghargaan dan pengakuan citra diri (nosi muka positif dan negatif) pandangan
Brown dan Levinson (1978) merupakan dasar pemikiran terhadap untung rugi (cost-
benefit) dan panjangnya jarak yang ditempuh oleh daya ilokusioner sampai pada tujuan
ilokusioner ternyata cenderung dipakai sebagai pertimbangan pemakaian kinerja verbal bentuk tindak tutur permintaan dalam interaksi yang lazim dipakai penutur bahasa Jepang. Penghargaan dan pengakuan citra diri tersebut dimaksudkan sebagai dasar kinerja saling menghargai dan hormat dalam interaksi. Saling menghargai dan hormat merupakan kerangka normatif yang dipakai sebagai dasar dalam berinteraksi antara pelaku tutur. Saling menghargai berarti bertujuan untuk mempertahankan interaksi yang harmonis dan mencegah timbulnya ketidakharmonisan (konflik) serta menuntut pelaku tutur mampu membawa diri dan menunjukkan sikap dalam interaksi. Oleh sebab itu mereka dituntut mawas diri dan menguasai (mengendalikan) emosi, karena bentuk tindak tutur permintaan sebagai fenomena bahasa dan sekaligus sebagai fenomena sosial.
Untuk menghindari konflik dalam interaksi cenderung dipakai tuturan tidak langsung (ketidakterusterangan). Dengan demikian, maka pemakaian bentuk tindak tutur
permintaan pada penutur bahasa Jepang dalam Film TLS cenderung berpedoman pada
BAB V
TEMUAN HASIL PENELITIAN
5.1 Temuan Hasil Penelitian
Setelah data terkumpul dan dianalisis, maka diperolehlah hasil penelitian dari tindak tutur permintaan dalam Bahasa Jepang dalam Film TLS sebagai berikut.
Lampiran 4 Temuan Hasil Penelitian
No Fungsi tindak tutur Jenis tindak tutur Jumlah tindak tutur
1 2 3 4 5 6 7
Tuturan bermodus imperatif Tuturan performatif eksplisit Tuturan performatif berpagar Tuturan dengan proposisi keharusan
Tuturan yang menunjukkan kesangsian (pesimis)
Tuturan dengan pengandaian bersyarat
Tuturan yang menyertakan alasan
Langsung literal Lansung non literal Tidak langsung literal Langsung literal
Tidak langsung non literal
Langsung non literal
Langsung literal 3 2 2 1 4 2 1
Dari tabel di atas dapat disebutkan bahwa tindak tutur permintaan yang paling
dominan dalam film TLS adalah tindak tutur yang menunjukkan kesangsian (pesimis)
dengan jumlah tuturan lebih banyak dari pada fungsi tuturan yang lainnya yaitu 4 tuturan. Penyebab tindak tutur yang menunjukkan kesangsian (pesimis) tersebut sering
muncul dalam tuturan-tuturan pada film TLS adalah karena dalam budaya masyarakat
Jepang antara penutur dengan mitra tutur pada waktu melakukan tindak tutur lebih dominan menggunakan tuturan yang bermodus tidak langsung non literal. Hal ini dilakukan agar mitra tutur tidak merasa tersakiti atau berpotensi mengancam muka mitra tutur dan dapat merusak hubungan yang harmonis antara penutur dengan mitra tutur pada waktu penutur melakukan tindak tutur.
Edizal (2001 : 1) juga menyebutkan bahwa dalam bahasa Jepang perlu dipertimbangkan banyak faktor seperti status sosial pembicara dan pendengar serta suasana yang mengiringinya. Di samping itu, pula perlu dikenali apakah ungkapan tersebut umum digunakan oleh laki-laki atau perempuan, anak-anak, atau orang dewasa serta bagaimana hubungan yang mempertautkan mereka.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan analisis dan temuan penelitian simpulan dapat dikemukakan sebagai berikut:
(1). Interaksi kinerja verbal tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada
Film TLS mempertimbangkan aspek kesopanan. Kesopanan direfleksikan dalam tuturan
yang mengakibatkan orang lain melakukan sesuatu yang dimaksudkan penutur atau dalam tindak tutur permintaan. Tujuan mempertimbangkan kesopanan dalam interaksi adalah agar permintaanya dikabulkan. Semakin langsung pemakaian tindak tutur permintaan dalam interaksi semakin dangkal perasaan yang terungkap dan semakin jauh jarak keakraban antara penutur dan mitra tutur, sebaliknya semakin tidak langsung tindak tutur permintaan dipakai semakin dalam perasaan yang terungkap dan semakin akrab hubungan antara penutur dengan mitra tutur.
(2). Bentuk tindak tutur permintaan dalam interaksi antara penutur dengan mitra
tutur penutur bahasa Jepang dalam Film TLS menggunakan tujuh pola tutur kinerja
verbalnya. Ketujuh pola tutur kinerja verbal tindak tutur permintaan yang dimaksud adalah: (i) tuturan bermodus imperatif, (ii) tuturan performatif eksplisit (iii) tuturan performatif berpagar (iv) tuturan dengan proposisi keharusan (v) tuturan yang menunjukkan kesangsian (vi) tuturan dengan pengandaia bersyarat (vii) tuturan yang menyertakan alasan. Dari ketujuh pola tutur tersebut lima diantaranya yaitu butir ketiga sampai ketujuh sebagai pola tutur tidak langsung ( ketidaklagsungan) yang memliki dan
memiliki jenis tuturan non-literal, sedangkan dua pola tutur yang lain yaitu butir pertama dan kedua memanfaatkan pola tutur yang cenderung berjenis literal.
(3). Dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih tua, majikan, atasan, gender laki-laki lebih cenderung menggunakan tuturan yang kurang sopan, hal ini ditandai dengan seringnya muncul tuturan permintaan yang disampaikan dengan jenis tuturan langsung, sementara tuturan dalam interaksi yang digunakan oeh junior , lebih muda, pembantu, bawahan, gender perempuan lebih cenderung menggunakan tuturan yang sopan dan disampaikan dengan jenis tuturan tidaklangsung (ketidakterusterangan). Dari analisis tindak tutur permintaan dapat disebutkan bahwa tindak tutur permintaan yang paling dominan dalam film TLS adalah tindak tutur yang menunjukkan kesangsian
(pesimis) dengan jumlah tuturan lebih banyak dari pada fungsi tuturan yang lainnya yaitu 4 tuturan.
(4). Penyebab-penyebab tuturan tersebut lebih dominan muncul dalam bahasa
Jepang pada Film TLS karena dipengaruhi juga oleh pemakaian ragam bahasa hormat
yang menjadi salah satu karateristik bahasa Jepang. Hal ini ditentukan oleh usia (tua atau muda, senior atau yunior), status (atasan atau bawahan, guru atau murid), jenis kelamin (pria atau wanita), keakraban (orang dalam atau orang luar), gaya bahasa (bahasa sehari- hari), pribadi atau umum (rapat, upacara atau kegiatan lain) dan pendidikan ( pendidikan atau tidak). Dan Pemakaian ragam kinerja verbal tindak tutur permintaan bahasa Jepang dalam film TLS merupakan bentuk ragam tutur yang khas dipakai sebagai interaksi antara
penutur dengan mitra tutur yang disepakati dan dipahami oleh mereka serta dapat merefleksi reaksi subjektif (sopan dan tidak sopan).
Dengan demikian keragaman kinerja verbal tindak tutur permintaan mampu memberikan informasi kadar hubungan dan mendefenisikan hubungn mereka sesuai dengan kelaziman mereka bertutur, khususnya dalam masyarakat tutur Jepang pada Film
TLS. Oleh karena itu, temuan keragaman tuturan kinerja verbal dalam penelitian ini
tidaklah dapat melepaskan diri dari aspek fungsi social budaya dalam mereka berinteraksi.
6.2 Saran
(1). Temuan penelitian ini telah menggambarkan dan memberi penjelasan
mengenai tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film TLS . Namun, hasil
penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti dan membuka kesempatan dengan penelitian ulang pemanfaatan kinerja verbal tindak tutur permintaan dengan memanfaatkan tiga tataran fungsi semantik, fungsi sintaksis, dan fungsi pragmatik.
(2). Selanjutnya, bentuk keragaman kinerja verbal tindak tutur permintaan, pemakaiannya serta pmplikasinya dalam kajiaan ini dapat memberikan informasi tntang Tipologi hubungan social pada masyarakat Jepang namun disadari sepenuhnya factor- faktor kinetik yaitu bahasa tubuh dapat melengkapai temuan hasil penelitian ini. Dimasa- masa mendatang.
(3). Disamping itu, tindak tutur permintaan dalam penelitian ini yang termasuk dalam bentuk direktif, mungkin dapat dikaji dengan tindak tutur yang lain misalnya perintah saja atau saran saja.
(4). Temuan hasil penelitian tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada