TINDAK TUTUR PERMINTAAN
DALAM FILM TOKYO LOVE STORY
TESIS
Oleh
ROSMITA SYAHRI / LNG
097009004
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TINDAK TUTUR PERMINTAAN
DALAM FILM TOKYO LOVE STORY
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ROSMITA SYAHRI / LNG
097009004
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Persetujuan Komisi Pembimbing Judul Tesis : TINDAK TUTUR PERMINTAAN DALAM FILM TOKYO LOVE STORY Nama Mahasiswa : Rosmita Syahri
Nomor Pokok : 097009004 Program Studi : Linguistik Konsentrasi : Bahasa Jepang
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. Amrin Saragih, M. A., Ph. D) (Dra. Siti Muharami Malayu, M. Hum) Ketua Anggota
Ketua Pogram Studi Direktur
(Prof. T. Silvana Sinar, M. A., Ph. D) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE )
Telah diuji pada
Tanggal 2 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A.,Ph.D.
Aggota : 1. Dra. Siti Muharami Malayu, M.Hum. 2. Dr. Deliana, M. Hum
PERNYATAAN
TINDAK TUTUR PERMINTAAN
DALAM FILM TOKYO LOVE STORY
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai Syarat untuk
memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya saya
sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian –bagian tertentu dari hasil karya
orang lain dalam Tesis ini, telah saya cantumkan sumbernya sacara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata di temukan Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri
atau adanya plagiat, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya
sandang dan sanksi-sanksi lainya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 2 Agustus 2011
RIWAYAT PENULIS
A.
IDENTITAS
Nama : Rosmita Syahri
Tempat / Tgl lahir : Medan / 4 Oktober 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Mahasiswa
Agama : Islam
Alamat : Jln, SMA 7 no. 44 Lubuk Buaya Padang
Email : tabitha_libra2000@yahoo.com
B. PENDIDIKAN
1. Tahun 1992-1998 tamat SDN 20 Sangkir, Lubuk Basung.
2. Tahun 1998-2001 tamat SMPN 10 Medan.
3. Tahun 2001- 2004 tamat SMU ADABIAH Padang.
4. Tahun 2004-2008 tamat kuliah Jurusan Sastra Asia Timur Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Bung Hatta Padang.
5. Tahun 2007-2008 Mendapat Beasiswa Pertukaran Mahasiswa antara Universitas
Bung Hatta dengan Sonoda Women’s University, Osaka Jepang.
6. Tahun 2009 – Sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Pada
C. PENGALAMAN KERJA
1. Tahun 2008 – 2009 Guru honorer SMK N 10 Kelautan Padang.
2. Tahun 2010 – Sekarang Guru MA. Miftahussalam Medan.
D. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Tahun 2006-2007 tercatat sebagai Anggota Jurnalistik Wawasan Proklamator (Koran
Kampus) Universitas Bung Hatta.
2. Tahun 2007-2008 tercatat sebagai Anggota klub nihon buyou (Tari Jepang) Sonoda
University, Osaka Jepang.
3. Tahun 2007-2008 tercatat sebagai Anggota klub shadou (Kebudayaan Teh Jepang)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT,
serta salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
atas segala rahmat dan karunia Nya lah sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disampaikan untuk melengkapi salah satu persyarat menyelesaikan studi
pada Program Studi Konsentrasi Linguistik Jepang, Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Tesis ini berjudul “Tindak Tutur Permintaan Dalam Film Tokyo Love Story” yang
terdiri atas enam bab yaitu: Bab I : Pendahuluan, Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab III :
Metode Penelitian, Bab : IV : Analisis dan Pembahasan, Bab V : Temuan Hasil Penelitian,
Bab VI : Simpulan dan Saran.
Pemilihan judul ini berkaitan dengan ketertarikan peneliti, sebagai pembelajar
bahasa Jepang, terhadap temuan dan teori-teori para linguis yang berkenaan dengan
kajian pragmatik khususnya mengenai tindak tutur.
Hasil penelitian yang tertuang pada tesis ini diharapkan dapat memberi
sumbangan bagi kajian pragmatik di Indonesia khususnya bagi pembelajar bahasa Jepang
mengenai tindak tutur dalam bahasa Jepang.Akhirnya penulis mengharapkan sumbangan
pikiran, pendapat, serta kritik membangun dari segala pihak untuk kesempurnaan tesis ini.
Medan, Juli 2011
Penulis,
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT,
serta salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
atas segala rahmat dan karunia Nya lah sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Adapun yang menjadi topik penelitian dalam tesis ini adalah suatu analisis tindak
tutur yang diberi judul : ‘Tindak Tutur Permintaan Dalam Film Tokyo Love Story ‘.
Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna menyelesaikan Sekolah
Pascasarjana pada Program Studi Konsentrasi Linguistik Jepang, Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang perlu
disempurnakan terutama yang berkaitan dengan isi tesis ini, untuk itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca.
Dalam proses penulisan tesis ini, banyak pihak yang telah memberikan saran,
bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sejak
awal penulisan sampai tesis ini terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada orang tuaku yang sangat kusayangi yang
telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini yakni ayahanda Syahrial
S.S.,M.Hum dan ibunda Rosdaini beserta adik-adik penulis yang penulis sayangi (Erni,
Budi dan Lia) serta untuk seseorang yang sangat penulis sayangi terima kasih untuk
semangatnya yang selalu dibagi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulis
1. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, sebagai Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D.,sebagai Ketua Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana dan ibu Dr. Nurlela M,Hum., sebagai Sekretaris Program
Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana.
3. Bapak Drs. Yuddi Adrian Muliadi M.A., Sebagai Koordinator Konsentrasi
Bahasa Jepang Program Studi Magister Linguisik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., sebagai dosen pembimbing pertama
yang telah bersedia menyediakan waktu untuk membagi pengetahuan, pandangan,
masukan serta bimbingan bagi penulis selama pengerjaan tesis ini.
5. Ibu Dra. Siti Muharami Malayu, M. Hum., sebagai dosen pembimbing kedua
yang telah bersedia menyediakan waktu untuk membagi pengetahuan, pandangan,
masukan serta bimbingan bagi penulis selama pengerjaan tesis ini.
6. Ibu Dr. Deliana, M. Hum dan Bapak Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP sebagai dosen
penguji atas segala koreksi, masukan-masukan selama kolokium, seminar hasil
dan sidang.
7. Seluruh staf pengajar / dosen-dosen saya di Program Magister Linguistik USU
yang telah memberikan pendidikan pelajaran dan bimbingan pada penulis dari
semester awal hingga menamatkan perkuliahan.
8. Seluruh staf pengajar / dosen-dosen saya di Fakultasa Ilmu Budaya Sastra Asia
Timur Universitas Bung Hatta yang telah memberikan dorongan serta
9. Seluruh staf administrasi Program Magister Linguistik Universitas Sumatera
Utara.
10. Teman-teman angkatan 2009 baik yang dari Jurusan Linguistik Umum,
Konsentrasi Linguistik Jepang, Konsentrasi Linguistik Arab, Analisis Wacana dan
Kesusastraan dan Translation.
11. Teman-teman penulis di Bung Hatta (via dan putri) beserta teman-teman yang
lainnya ang telah memberikan semangat serta masukan untuk penulis.
12. Panitia Seminar Linguistik USU 2010-2011 yang telah berkenan hadir dalam
prakolokium dan memfasilitasi pra seminar hasil di program studi linguisti.
13. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih pada semua pihak yang secara
langsung atau tidak langsung, membantu penulis menyelesaikan tesis ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga ibunda Ermiati,
SS dan pak Zulnaidi, SS, M, Hum beserta keluarga (kak Evi, bang Andi, Ani, Erna
dan Tia) yang telah banyak sekali membantu penulis dalam masa perkuliahan sampai
akhirnya penulis menyelesiakan tesis ini baik secara moril ataupun materil dan tidak
henti-hentinya memberikan dukungan, semangat serta saran kepada penulis.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Kak Elviati Saprina Amd beserta suami Drs.
Husnel Anwar Matondang M.Ag dan anak (Rido, Shaza, Dura, Fudla dan Tsuroiya)
dan Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bang Sabriandi Erdian, SS, M, Hum.
beserta istri kak Eka Satria Bukhari dan anak (‘Akilla dan Mufliha) yang telah
membantu penulis selama masa kuliah dan menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan oleh karena
tesis ini. Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan
yang setimpal dari Allah SWT, Amien Yaa Rabbal Alamin. Akhir kata penulis
berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
2.5 Fungsi Tindak Tutur ...26
2.6 Jenis Tindak Tutur...29
2.8 Kajian Terdahulu / Sebelumnya...33
2.9 Kerangka Konseptual...34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...36
3.1 Metode Penelitian...36
3.2 Sumber Data...36
3.3 Teknik Pengumpulan Data...37
3.4 Analisis Data...37
3.5 Contoh Analisis Data...38
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...40
4.1 Analisis Data...………40
4.1.1 Ragam Kinerja Verbal Tindak Tutur Permintaan, pada Data Ragam Kinerja Verbal...40
4.1.2 Kinerja Kesopanan………...45
4.1.3 Kinerja Ketidaksopanan………..47
4.1.4 Pemakaian Ragam Kinerja Verbal Tindak Tutur Permintaan Bahasa Jepang dalam Film Tokyo Love Story...48
4.2 Pembahasan………....……….48
4.2.1 Ragam Kinerja Verbal Tindak Tutur Permintaan……….48
4.2.1.1Tuturan Bermodus Imperatif……….………...49
4.2.1.2 Tuturan Performatif Eksplisit………52
4.2.1.3 Tuturan Performatif Berpagar……….………...54
4.2.1.4 Tuturan Dengan Proposisi Keharusan………….………..…………57
4.2.1.5 Tuturan yang Menunjukkan Kesangsian (pesimis)………59
4.2.1.6 Tuturan Pengandaian Bersyarat………..………...64
4.2.3 Kinerja Ketidaksopanan………..………..72
4.2.4 Pemakaian Ragam Kinerja Verbal Tindak Tutur Permintaan Bahasa Jepang dalam Film Tokyo Love Story…………..………..….74
BAB V TEMUAN HASIL PENELITIAN...77
5.1 Temuan hasil penelitian...77
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………...79
Simpulan………….………..………...…….…………79
Saran……….………..………..………...81
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Ragam kinerja verbal tindak tutur………..40
2. Kinerja kesopanan………..45
3. Kinerja ketidaksopanan………..47
4. Temuan hasil penelitian……….77
ABSTRAK
Rosmita Syahri . 2011. Tindak Tutur Permintaan Dalam Film Tokyo Love Story
Medan : Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini mengkaji tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story .Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menguraikan jenis dan fungsi tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story.Teori utama yang digunakan adalah untuk menganalisis jenis tindak tutur penulis menggunakan teori Rahardi (2009 : 19) yang membedakan jenis –jenis tindak tutur menjadi dua jenis. Untuk menganalisis fungsi tindak tutur penulis menggunakan pendapat Blum Kulka (1987) yang membagi fungsi tindak tutur menjadi sembilan kelompok.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu suatu metode yang memecahkan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalisis serta menginterprestasikannya.. Data dikumpulkan dengan cara mendengarkan dan mencatat semua tuturan permintaan pada kolom jenis tindak tutur dan fungsi tindak tutur. Hasil penelitian tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story ini menunjukkan dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih tua, majikan, atasan, genderlaki-laki lebih cenderung menggunakan tuturan yang kurang sopan, sementara tuturan dalam interaksi yang digunakan oleh junior, lebih muda, pembantu, gender perempuan lebih cenderung menggunakan tuturan yang sopan dan disampaikan dengan jenis tuturan tidaklangsung (ketidakterusterangan).
ABSTRACT
Rosmita Syahri. 2011. Speect acts found in the Tokyo Love Story Film. School Student. Medan. Postgraduate Program North Sumatera University.
This thesis deals with speect acts in Japanese found in the Tokyo Love Story Film. The objective of the study is to describe and explain the function of speect acts in the film. The study is based on the theory of speect acts as proposed by Rahardi (2009 : 19) in which two kinds of speect acts are elaborated to analyze the speect act function, reference is made to Blum Kulka (1987) who categorized the speect acts into nine types. The study was based on descriptive approach. Data were collected by listening to the expression and categorizing the types of speect act. Finding of the research about speech act order in Japanese at Tokyo Love Story film show that in interaction society of Japan speech seniority old age, boss, employer, man inclined use impolite speech, while speech in interaction use of junior, younger age, assistant, servant, woman inclined use polite and show with indirect speech (roguishness).
.
ABSTRAK
Rosmita Syahri . 2011. Tindak Tutur Permintaan Dalam Film Tokyo Love Story
Medan : Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini mengkaji tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story .Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menguraikan jenis dan fungsi tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story.Teori utama yang digunakan adalah untuk menganalisis jenis tindak tutur penulis menggunakan teori Rahardi (2009 : 19) yang membedakan jenis –jenis tindak tutur menjadi dua jenis. Untuk menganalisis fungsi tindak tutur penulis menggunakan pendapat Blum Kulka (1987) yang membagi fungsi tindak tutur menjadi sembilan kelompok.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu suatu metode yang memecahkan masalah dengan jalan mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalisis serta menginterprestasikannya.. Data dikumpulkan dengan cara mendengarkan dan mencatat semua tuturan permintaan pada kolom jenis tindak tutur dan fungsi tindak tutur. Hasil penelitian tentang tindak tutur permintaan dalam bahasa Jepang pada Film Tokyo Love Story ini menunjukkan dalam interaksi masyarakat Jepang tuturan senioritas, yang lebih tua, majikan, atasan, genderlaki-laki lebih cenderung menggunakan tuturan yang kurang sopan, sementara tuturan dalam interaksi yang digunakan oleh junior, lebih muda, pembantu, gender perempuan lebih cenderung menggunakan tuturan yang sopan dan disampaikan dengan jenis tuturan tidaklangsung (ketidakterusterangan).
ABSTRACT
Rosmita Syahri. 2011. Speect acts found in the Tokyo Love Story Film. School Student. Medan. Postgraduate Program North Sumatera University.
This thesis deals with speect acts in Japanese found in the Tokyo Love Story Film. The objective of the study is to describe and explain the function of speect acts in the film. The study is based on the theory of speect acts as proposed by Rahardi (2009 : 19) in which two kinds of speect acts are elaborated to analyze the speect act function, reference is made to Blum Kulka (1987) who categorized the speect acts into nine types. The study was based on descriptive approach. Data were collected by listening to the expression and categorizing the types of speect act. Finding of the research about speech act order in Japanese at Tokyo Love Story film show that in interaction society of Japan speech seniority old age, boss, employer, man inclined use impolite speech, while speech in interaction use of junior, younger age, assistant, servant, woman inclined use polite and show with indirect speech (roguishness).
.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bahasa adalah wahana komunikasi yang paling efektif bagi manusia dalam
menjalin hubungan dengan dunia di luar dirinya. Hal itu berarti bahwa fungsi utama
bahasa adalah sumber daya untuk berkomunikasi. Sebagai media komunikasi, bahasa
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemakaianya. Bahasa itu muncul karena adanya
kepentingan untuk menjalin hubungan interaksi sosial.
Sebagai alat komunikasi, bahasa sangat esensial dalam kehidupan manusia, yakni
untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan bahasa, manusia dapat berbuat
sesuatu usaha yang berhubungan dengan kebutuhannya untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan.
Begitu juga sebagai unsur kelengkapan hidup manusia, seperti kebudayaan, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni, merupakan kelengkapan kehidupan manusia yang
dibudidayakan dengan menggunakan bahasa menurut Suparno dan Oka ( 1993 : 1).
Sebagai salah satu wujud budaya, bahasa dengan berbagai fungsinya merupakan
bentuk keterampilan yang harus dimiliki seseorang dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Melalui bahasa maksud perasaan ataupun pola pikir dari penutur dapat diketahui.
Diantara berbagai fungsi bahasa seperti untuk menyampaikan perasaan,
Bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Menguraikan peran
bahasa dalam setiap aspek kehidupan manusia, seperti berkomunikasi berpikir oleh
Kartomiharjo ( 1988 : 1).
Dengan demikian kajian tentang bagaimana bahasa digunakan di masyarakat
sangat diperlukan. Di masyarakat, bahasa berperan sebagai pengikat anggota-anggota
masyarakat pemakainya menjadi suatu masyarakat yang kuat, bersatu dan maju dan
fungsinya adalah untuk berinteraksi dengan sesamanya guna memenuhi segala kebutuhan
hidupnya. Bagi individu, bahasa diguakan untuk berfikir, berintrospeksi diri, berkhayal,
dan lain-lain. Sebenarnya manuasia dalam diam itu, tetap menggunakan bahasa.
Walaupun tampak diam, namun dia tidak dapat dikatakan sepenuhnya diam. Dalam
kondisi diam itu, pikiran manusia masih tetap aktif dan dalam keaktifannya itu berarti
manuasia berbahasa.
Begitu juga dalam menuturkan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata
mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat, ia juga “menindakkan” sesuatu. Contoh
dalam pengucapan kalimat Mau minum apa? si pembicara tidak semata-mata
menanyakan atau meminta jawaban tertentu ; ia juga menindakkan sesuatu, yakni
menawarkan minuman.
Seperti contoh berikut : seorang ibu rumah pondokan putri berbicara kepada tamu
laki lakinya;
Sudah jam sembilan!
Pada contoh diatas si ibu tidak hanya semata-mata memberi tahu keadaan jam
pada waktu itu, tetapi menindakkan sesuatu, yakni memerintahkan lawan bicara. Agar
ditindakan di dalam berbicara antara lain, permintaan (request), pemberian izin
(permission ), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation
of offers) menurut Purwo ( 1990 : 19-20).
Wujud praktis penggunaan bahasa dapat dilihat dalam tindak tutur. Dalam
bertindak tutur , antara penutur dan mitra tutur selalu berhubungan dengan fungsi,
maksud, modus dan konteks yang melatari terjadinya interaksi Leech (1983 :13). Istilah
fungsi berhubungan dengan tujuan tindak, misalnya tindak yang hanya berorientasi
penutur, mitra tutur , atau tindak yang berorientasi baik penutur maupun mitra tutur
dalam interaksi. Istilah maksud berhubungan dengan tujuan tindak yang telah dibebani
oleh kemauan atau motivasi yang sadar dari pemakainya dalam interaksi Verhaar (1982 :
131) misalnya persuasi, menyindir dan sebagainya. Modus adalah strategi penyampaian
tutur sehubungan dengan tujuan dan maksud tutur tersebut dalam interaksi, misalnya
permintaan disampaikan dengan bentuk kalimat pernyataan sebagai modus langsung,
permintaan disampaikan dengan bentuk kalimat pernyataan sebagai modus tidak
langsung, dan sebagainya. Dapat dilihat pada contoh yang ditulis oleh Purwo (1990 : 20)
berikut ini:
(1) ( Tindak Ujaran langsung )
A: Minta uang untuk membeli gula
B: Ini
(2) (Tindak Ujaran tak langsung )
A: Gulanya habis, nyah.
B: Ini uangnya. Beli sana!
contoh (2) penutur A tidak semata-mata menyatakan bahwa gulanya habis, ia dengan
tidak langsung juga “menindakkan” sesuatu, yakni meminta uang untuk membeli gula
walaupun tidak ditunjukkan secara eksplisit dengan performatif minta. Konteks
mengacu kepada aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan fisik dan
sosiobudaya dalam interaksi.
Contoh kasus di atas bukan hanya terdapat pada penutur bahasa Indonesia, tetapi
juga terdapat pada penutur bahasa asing lainnya seperti bahasa Jepang. Bahasa Jepang
ialah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat di seluruh
pelosok negara Jepang. Bahasa Jepang dipakai sebagai bahasa resmi, bahasa
penghubung antar anggota masyarakat Jepang yang memiliki berbagai macam dialek ,
dan dipakai sebagai bahasa pengantar di semua lembaga pendidikan di Jepang sejak
sekolah taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi menurut Sudjianto (1995 : 1).
Selain itu bahasa Jepang juga mengenal adanya tingkatan bahasa, dalam
penggunaanya perlu dipertimbangkan banyak faktor seperti status sosial pembicara dan
pendengar serta suasana yang mengiringinya. Disamping itu, pula perlu dikenali apakah
ungkapan tersebut umum digunakan oleh laki-laki atau perempuan, anak-anak, atau orang
dewasa serta bagaimana hubungan yang mempertautkan mereka menurut Edizal (2001 :
1)
Karena adanya penggunaan konsep tersebut dalam stratifikasi sosial masyarakat
Jepang maka terbentuklah ragam bahasa Jepang yang terdiri dari ragam hormat dan
ragam biasa.
Kajian tentang stratifikasi sosial tersebut dibahas pada cabang ilmu sosiolinguistik.
segolongan orang dimasukkan ke dalam linguistik). Salah satu kaitan yang dapat kita
lihat adalah munculnya istilah tindak tutur dalam kedua bidang kajian itu Sumarsono
(2004 : 322).
Sehubungan dengan peran tindak tutur tersebut, pemakaian tindak tutur dalam
interaksi antara penutur dan mitra tutur cenderung memiliki keberagaman kinerja bentuk
verbal dan mendapatkan status dan konteks interaksi tersebut.
Tesis ini mengkaji tindak tutur direktif, khususnya tindak tutur permintaan pada
penutur bahasa Jepang pada film TLS. Permintaan adalah salah satu tindak tutur yang
dikelompokkan ke dalam kategori tindak tutur direktif. Direktif adalah tindak tutur atau
ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar penutur melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya : menyuruh, meminta, memohon, menuntut,
menyarankan, menentang) Searle (1975 : 24). Bach dan Harnish (1979) juga menyatakan
bahwa direktif juga mengungkapkan sikap penutur terhadap tindakan yang akan
dilakukan oleh petutur, tindakan direktif juga bisa mengungkapkan maksud penutur
(keiginan, harapan) sehinggga ujaran atau sikap yang diungkapkan dijadikan sebagai alas
an untuk bertindak oleh petutur.
Tindak tutur direktif yang dikhususkan pada tuturan permintaan adalah tindak
tutur yang dilakukan penutur dalam bentuk perintah atau suruhan dengan maksud
meminta mitra tutur untuk melakukan sesuatu.
Kendala tindak tutur permintaan dari fungsi dan jenis penyampaiannya menurut
hasil pengamatan banyak dijumpai pada ragam bahasa Jepang sebagai peristiwa -
Sebagai contoh analisis yaitu pada film TLS adalah:
A: ( Episode 1)
Nande, sono kao yo, waratte, waratte.
Kenapa raut wajah kamu, tersenyumlah.
B:
Yaa, boku wa hitoride Ehime kara kite, nani wo suru ka, wakaranaiyo.
Saya sendirian datang dari Ehime, apa yang mau dikerjakanpun belum paham.
Pada tuturan di atas A adalah teman wanita dari B. A meminta agar B tersenyum
karena melihat raut muka B yang murung. Menurut Rahardi (2009: 19-20) tuturan
yang modus penyampaiannya sama dengan kalimat menggambarkan pernyataan
permintaan secara langsung dan literal karena makna / maksud dari kalimat
tersebut sama dengan tuturan yang disampaikan. Jadi tuturan diatas merupakan
jenis tindak tutur langsung literal dan berfungsi menawarkan dengan
menggunakan kalimat bermodus imperatif. Sebagaimana pendapat Alisjahbana
(1959 : 54) dapat dimaksudkan sebagai perintah langsung, yang menggunakan
tuturan yang bermodus imperatif cenderung dimaksudkan sebagai perintah positif,
karenanya cenderung lugas.
Penelitian ini di fokuskan pada bahasa Jepang dengan objek studi kasus serial
drama Jepang TLS. Film ini dimulai dengan kepindahan Kanji Nagao ke Bagian
Penjualan, Heart Sports di Tokyo, dari desa kecil yang bernama Ehime. Dan
mempertemukannya dengan teman baru satu kantornya yang bernama Rika Akana.
Selama berada di Tokyo, Kanji yang biasa mengikuti reuni dengan teman-teman satu
sejak kecil dan tumbuh bersama. Mikami adalah sahabat laki-lakinya yang
berkepribadian terbuka, dan cenderung playboy. Sementara Satomi adalah wanita yang
diam-diam dicintainya sejak mereka SMA dulu, tapi Kanji tidak pernah menyatakan
perasaannya.
Kanji yang naif dan peragu langsung shock ketika melihat Mikami dan Satomi
berjalan bersama dengan mesra, Mikami yang memang sering bertengkar dengan Kanji
karena Satomi bahkan tidak ragu mengumumkan hubungan mereka. Dia mengatakan,
Satomi yang pendiam membalas perasaannya. Dia tidak peduli bila hal tersebut akan
menyakitiKanji.
Namun kehadiran Rika yang periang dan selalu bersemangat mampu menghibur
kekecewaan Kanji. Bahkan dia berusaha terus berada di dekat ketiga sahabat tersebut
sehingga membuat persahabatan mereka tidak putus, Kanji yang mengetahui Rika secara
diam-diam juga menyukai dirinya akhirnya menerima Rika sebagai kekasihnya.
Hubungan mereka sempat terganggu, karena Kanji mendengar Rika pernah punya
hubungan dengan bos mereka Sendo, yang sudah berkeluarga.
Sifat Mikami yang cenderung playboy membuatnya tak mampu menahan diri
untuk mendekati teman kuliahnya, Naoko Nagasaki, meskipun dia sudah menjalin
hubungan dengan Satomi. Kecuekan Naoko membuatnya penasaran. Tapi ternyata,
sebenarnya Naoko yang sudah dijodohkan tersebut juga diam – diam menyukai Mikami.
Bahkan, dia rela membatalkan pernikahannya demi Mikami.
Hubungan Mikami dan Naoko akhirnya diketahui Satomi. Kepada siapa lagi dia mengadu
selain pada teman akrabnya yang tidak lain adalah Kanji. Dia pun mulai menyadari,
hubungan Kanji dan Rika, dia berusaha menguji, apakah perasaan Kanji pada Rika lebih
besar daripada perasaan Kanji padanya. Kanji yang peragu tentu saja kesulitan ketika
dihadapkan pada pilihan ini. Apalagi dia mengira, Satomi yang pemurung lebih
memerlukan kehadirannya daripada Rika yang tampak selalu gembira seolah tak pernah
punya masalah.
Dari hubungan pertemanan mereka ini banyak menghasilkan tindak tutur
permintaan yang berbeda seperti tuturan permintaan pada waktu menolak, mengajak,
menerima dan sebagainya, baik dilihat dari segi gender, pendidikan, latar belakang sosial
maupunumur.
Film ini diadaptasi dari manga “komik” dengan judul yang sama karya
Fumi Saimon yang di produksi oleh Fuji TV dengan sutradara Kozo Nakayama yang
terdiri dari 11 episode. Serial drama Jepang ini adalah teledrama Asia pertama yang
sangat populer di Indonesia setelah oshin di era TVRI. Selain itu tindak tutur yang diteliti
banyak terdapat pada drama ini dan bahasa Jepang yang digunakan juga mudah dipahami
oleh penulis sebagai pembelajar asing yang mempelajari bahasa Jepang.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Jenis tindak tutur permintaan apakah yang terdapat pada film TLS?
2. Fungsi tindak tutur permintaan apakah yang terdapat pada film TLS?
3. Jenis dan fungsi tindak tutur permintaan manakah yang paling dominan pada film
4. Apakah penyebab tindak tutur permintaan tertentu muncul lebih dominan pada
film TLS?
1.3Tujuan Penelitian
Sejalan dengan masalah yang akan dikaji, tujuan penelitin ini adalah:
1. Mendeskripsikan jenis tindak tutur permintaan yang terdapat pada film
TLS,
2. Mendeskripsikan fungsi tindak tutur permintaan yang terdapat pada film
TLS,
3. Menguraikan jenis dan fungsi tindak tutur permintaan yang paling
dominan pada film TLS,
4. Menguraikan penyebab tindak tutur permintaan tersebut muncul lebih
dominan pada film TLS.
1.4 Manfaat Penelitian
Temuan penelitian diharapkan memberi manfaat teoritis dan praktis yakni,
Manfaat teoritis temuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Temuan penelitian ini dapat menigkatkan ilmu kebahasaan (Linguistik),
khususnya pada kajian pragmatik dan sosiopragmatik bahasa Jepang.
2. Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan
yang lengkap dan mendalam khususnya oleh pembelajar bahasa, budaya dan
3. Temuan penelitian ini dapat menambah kajian kosakata bahasa Jepang khususnya
yang berhubungan dengan tindak tutur.
Manfaat praktis mencakup hal sebagai berikut:
1. Temuan penelitian ini juga diharapkan berguna bagi penelitian selanjutnya.
2. Temuan penelitian ini diharapkan berguna bagi pengajar dan pembelajar
khususnya bahasa Jepang.
3. Temuan penelitian ini dapat menambah khasanah kepustakaan pada bidang
Linguistik bahasa Jepang.
1.5 Landasan Teori
Tesis ini menggunakan teori sosiopragmatik dan tindak tutur sebagai landasan
teori. Uraian tentang teori yang berkaitan dengan sosiopragmatik dan tindak tutur akan
diberikan pada bab II.
Untuk teori sosiopragmatik sebagai kajian dalam tesis ini, penulis mengacu pada
pendapat Rahardi (2009 : 21) yang mengatakan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari
kondisi penggunaan bahasa manusia, pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks
situasi yang mewadahi bahasa itu.
Untuk menganalisis tindak tutur penulis mengacu pada pendapat Saragih (2010 :
15) yang mengatakan tindak tutur adalah aksi yang dilakukan oleh pembicara melalui
ujaran atau dengan menggunakan bahasa. Saragih juga mengelompokkan tindak tutur
menjadi lima jenis, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan
Untuk menganalisis jenis tindak tutur, penulis juga menggunakan pendapat
Rahardi (2009 : 19) yang membedakan jenis-jenis tindak tutur menjadi:
1. Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
2. Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
Untuk menganalisis fungsi tindak tutur penulis menggunakan pendapat Blum
Kulka (1987) dalam Kartika (2000 : 29-30) dapat diungkapkan dengan menggunakan
berbagai ujaran seperti berikut:
1. Bermodus imperatif (Pindahkan kotak ini!).
2. Performatif eksplisit (Saya minta Saudara memindahkan kotak ini)
3. Performatif berpagar (Saya sebenarnya mau minta Saudara memindahkan kotak
ini)
4. Pernyataan keharusan (Saudara harus memindahkankotak ini )
5. Pernyataan keinginan (Saya ingin kotak ini dipindahkan)
6. Rumusan saran ( Bagaimana kalau kotak ini dipindahkan)
7. Persiapan pernyataan (Saudara dapat memindahkan kotak ini?)
8. Isyarat kuat (Dengan kotak ini di sini, ruangan ini kelihatan sesak)
9. Isyarat halus ( Ruangan ini kelihatan sesak)
Untuk pengertian mengenai tindak tutur permintaan penulis menggunakan
pendapat Bach dan Harnish ( 1979 : 41 ) yang mengatakan tindak tutur permintaan
merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat mitra tuturnya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahasa Jepang
Bahasa Jepang ialah bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi antar anggota
masyarakat di seluruh pelosok negara Jepang. Bahasa Jepang dipakai sebagai bahasa
resmi, bahasa penghubung antar anggota masyarakat Jepang yang memiliki berbagai
macam dialek , dan dipakai sebagai bahasa pengantar di semua lembaga pendidikan di
Jepang sejak sekolah taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi dalam Sudjianto
(1995 :1).
Bahasa Jepang adalah bahasa yag unik, apabila kita melihat para penuturnya, tidak
ada masyarakat negara lain yang memakai bahasa Jepang sebaai bahasa nasionalnya.
Sebagai bandingan kita dapat melihat bahasa lain seperti bahasa Inggris yang dipakai di
beberapa negara sebagai bahasa nasionalnya seperti di Amerika, Inggris, Australia,
Selandia Baru, Kanada, dan sebagainya. Sehingga walaupun hanya menguasai bahasa
Inggris kita dapat berkomunikasi dengan warga negara-negara tersebut. Contoh lain
adalah bahasa Melayu yang biasa dipakai oleh orang-orang Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam dan sebagainya. Bahasa Jepang tidak sama dengan bahasa –bahasa yag tadi.
Orang-orang yang lahir dan hidup di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan
Jepang. Kita dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang atau dengan orang lain
yang pernah mempelajarinya menurut Sudjianto (1995 : 3)
Dari sisi lain kita juga melihat bangsa Jepang hanya memakai satu bahasa sebagai
sebagai bahasa nasionalnya. Keunikan bahasa Jepang lainnya berkaitan dengan rumpun
bahasanya. Bahasa-bahasa yang ada di dunia ini pada umumnya jelas rumpun
bahasanya. Sedangkan rumpun bahasa Jepang sampai sekarang masih diperdebatkan
oleh para ahlinya. Hal ini dapat disadari apabila melihat klasifikasi bahasa-bahasa yang
ada di dunia berdasarkan rumpun bahasanya menurut Shimizu (2000 : 14)
Dilihat dari aspek-aspek kebahasaannya, bahasa Jepang memiliki karakteristik
tetentu yang dapat kita amati dari huruf yang dipakainya, kosakata, sistem pengucapan,
gramatika, dan ragam bahasanya. Apabila melihat huruf yang dipakai untuk
menuliskan bahasa Jepang , kita tahu bahwa bahasa Jepang memiliki sistem penulisan
yang sangat kompleks.
Selain itu bahasa Jepang juga mengenal adanya tingkatan bahasa, dalam
penggunaanya perlu dipertimbangkan banyak faktor seperti status sosial pembicara dan
pendengar serta suasana yang mengiringinya. Disamping itu, pula perlu dikenali apakah
ungkapan tersebut umum digunakan oleh laki-laki atau perempuan, anak-anak, atau orang
dewasa serta bagaimana hubungan yang mempertautkan mereka dalam Edizal (2001 : 1)
2.2 Sosiopragmatik
Pandangan yang berterima di kalangan pakar pramatik dan juga di kalangan pakar
sosiolinguistik saat ini adalah bahwa, jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran
(apakah ujaran itu berupa kalimat, frasa atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu
dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebgai tindakan berbicara,
mengacu ke tindakan itu ialah tindak tutur, yang merupakan terjemahan istilah Inggris
speech act.
Sering dikatakan, sosiolinguistik itu sangat berkaitan dengan pragmatik (yang
oleh segolongan orang dimasukkan ke dalam linguistik ). Salah satu kaitan yang dapat
kita lihat adalah munculya istilah tindak tutur dalam kedua bidang kajian itu menurut
Sumarno dan Partana (2004 : 322)
Ihwal sosiopragmatik dapat dijelaskan dari pengertian oleh pakar-pakar linguistik
dalam Rahardi (2009 : 20) yaitu Levinson (1983) mendefiisikan sebagai studi bahasa
yang mempelajari relasi bahasa dengan konteknya. Batasan dari Levinson dapat dilihat
pada kutipan berikut: Pragmatics is the study of those relations between language and
context that are gramaticalizzed or encoded in the structure of a language menurut
Levinson (1983 : 9). Pada sisi lain, Parker (1986) dalam Rahardi (2009 : 20) dalam
bukunya yang berjudul Linguistics for Non-Linguists menyatakan bahwa itu cabang ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal.
Tarigan (1990 : 26) mengatakan sosiopragmatik adalah telaah mengenai
kondisi-kondisi ‘setempat’ atau kondisi-kondisi-kondisi-kondisi ‘lokal’ yang lebih khusus mengenai penggunaan
bahasa. Dalam masyarakat setempat yang lebih khusus ini jelas terlihat bahwa prinsip
koperatif atau prinsip kerjasama dan prinsip kesopansantunan berlangsung secara
berubah-ubah dalam kebudayaan yang berbeda-beda atau aneka masyarakat bahasa,
dalam situasi-situasi sosial yang berbeda-beda, dan sebagainya. Dengan kata lain,
sosiopragmatik merupakan tapal batas sosiologis pragmatik. Jadi jelas di sini betapa erat
Dari batasan-batasan yang disampaikan ini dapat disimpulkan bahwa sosok
pragmatik, yakni ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia,
pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks
yang dimaksud dapat mencakup dua macam hal, yakni konteks yang bersifat sosial dan
konteks yang bersifat sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul sebagai akibat
dari munculnya interaksi antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan
budaya tertentu. Adapun yang dimaksud dengan konteks sosietal adalah konteks yang
faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota masyarakat dalam institusi-institusi
sosial yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
2.2.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua
bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat. Sosiolinguistik adalah bidang
ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa
itu di dalam masyarakat menurut Chaer dan Agustina (2004 : 2-3).
Menurut Rahardi (2010:16) Sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan
memperhitungkan hubungan antara bahasa dan masyarakat, khususnya masyarakat
penutur bahasa itu. Jadi jelas, bahwa sosiolinguistik mempertimbangkan keterkaitan
antara dua hal, yaitu linguistik untuk segi kebahasaannya dan sosiologi untuk segi
2.2.2 Pragmatik
Tarigan (1996 : 34) menyatakan bahwa teori tindak tutur adalah bagian dari
pragmatik, dan pragmatik itu sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik.
Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks dan dengan demikian pragmatik
mencakup bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk
menginterprestasikan ucapan-ucapan.
Purwo (1990 : 16) dan Leech (1983: 21) mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu
yang mengkaji makna tuturan, sedangkan semantik adalah ilmu yang mengkaji makna
kalimat, pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.
Djajasudarma (1994 : 56) sendiri menerangkan bahwa pragmatik itu mengkaji
unsur makna ujaran yang tidak dapat dijelaskan melalui referensi langsung pada
pengungkapan ujaran dan juga mencakup studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan
dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar / pembaca.
Purwo (1990 : 17-20) mengatakan bahwa pragmatik menjelajahi empat fenomena,
yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak ujaran, dan (4) implikatur percakapan.
Soemarno (1998) juga mengemukakan bahwa unsur-unsur penting yang perlu diamati
dalam penelitian pragmatik adalah deiksis, praanggapan, implikatur, pertuturan, dan
struktur wacana. Jadi jelas bahwa tindak tutur merupakan prasyarat dalam memperoleh
2.2.3 Pragmatik Bahasa Jepang
Gouyouron ha gohou kensha shitari, kentou shitari suru bunmon dehanai. Gengou
dentatsu ni oite, hatsuwa aru bamen ni oitenasareru. haiwa toshite no bun ha, sore
yoirareru no naka de hajimete tekitou na imi wo motsu koto ni naru.
Pragmatik adalah studi dari penggunaan untuk pemeriksaan terhadap tindakan
dalam komunikasi linguistik, baik berupa ucapan yang dibuat dalam sebuah tuturan, baik
berupa teks yang tepat dalam pertama penggunaannya sehingga memiliki makna di
dalamnya.
Tatoeba:
(1) kore o mawashite kudasai.
Contoh:
(1) silahkan putar ini
1993 : 281-282
(1) no bun ga ba no kotoba de areba, [mawasu] ha hako no tottete o [kaitensaseru]
koto de aru. Futsu, go ya bun ha iku touri ka no imi o motsu koto ga ooi.
Koushita imi wo yomi to iuga, sono go ya bun ga tsukawawreru joutai ni yotte,
Contoh (1) pada kalimat di atas adalah kata (putar), untuk memutar sebuah kotak itu.
Biasanya, kata tersebut apabila berada dalam sebuah kalimat maka akan memiliki
beberapa makna.
Maka itu berarti, kata-kata dan pernyataan yang digunakan dalam beberapa situasi
itu menentukan suatu tindakan.
2.3 Tindak Tutur
Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan
kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar / tindak tutur (speech act ) dalam
menelaah tindak ujar ini kita harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks
ucapan / ungkapan. Teori tindak ujar bertujuan mengutarakan kepada kita, bila kita
mengemukakan pertanyaan padahal yang dimaksud adalah menyuruh, atau bila kita
mengatakan sesuatu hal dengan intonasi khusus padahal yang dimaksud justru sebaliknya
Tarigan (1990 : 33).
Chaer dan Austina (2004 : 50) Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula
diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Uiversitas Harvard, pada tahun
1956. Teori yang bersal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson
(1965) dengan judul How to do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru mulai
terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech
Act and Essay in the Philosophy of Language.
Sehubungan dengan peran tindak tutur tersebut, pemakaian tindak tutur dalam
interaksi antara penutur dan mitra tutur cenderung memiliki keberagaman kinerja bentuk
Tindak tutur memerlukan penutur dan mitra tutur. Keberagaman kinerja tindak
tutur itu menurut Hymes (1980-23) dan Jacobson yang dikutip Djajengwasito (1984 :
4-5) dapat berfugsi sebagai:
1. Repsentatif ( disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya (misalnya:
menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan);
2. Direktif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud
agar penutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu
(misalnya : meminta, menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan,
menentang);
3. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran
itu ( misalnya : memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik,
mengeluh);
4. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan
apa yang disebutkan di dalam ujarannya ( seperti : berjanji, bersumpah,
mengancam);
5. Deklaratif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud
untuk menciptakan hal ( status, keadaan, dan sebagainya) yang baru
(misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
memberi maaf).
Austin (1962) dalam How to do Thing with Word mengemukakan bahwa
disamping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan
yang berkaitan dengan tindak tutur, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
1. Tindak tutur lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak
mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam
kamus ) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidahnya sintaksisnya. Perbuatan bertutur,
hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu (locutyonary speech act).
Misalnya: Dia sakit.
Kaki manusia dua.
Pohon punya daun.
Wacana-wacana ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk tindak tutur
lokusi. Tindak tutur ini sangat sedikit peranannya dalam pragmatik.
2. Tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai
berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa
ujaran itu dilakukan. Perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu atau
melakukan sesuatu. Misalnya : memperingatkan, bertanya (illocutionary speech act)
Misalnya : Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya)
Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)
Saya tidak dapat datang (minta maaf)
3. Tindak tutur perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujara yang
dihasilkan oleh penutur. Secara singkat , perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi
mitra tutur. Perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain
percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, misalnya
2.3.1 Tindak Tutur Permintaan
Bach dan Harnish (1979 : 41) mengatakan tindak tutur permintaan merupakan jenis
tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat mitra tuturnya melakukan
sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku maupun berfungsi sebgai
pengontrol tindak.
Selanjutnya menurut Fasold (1990 : 58) , Bach dan Harnish (1979 : 47) bahwa
tindak tutur permintaan tidak hanya penutur menuntut mitra tutur melakukan sesuatu,
bertindak atau berkata, tetapi ia (penutur) menuntut mitra tuturnya melakukan kegiatan
yang sesuai dengan pandangan Grice (1975 : 40-50) baik menyangkut apa yang dikatakan,
apa yang dimaksudkan maupun apa yang dilakukan yang sangat berkaitan dengan tataran
sosio budaya masyarakat tuturnya.
Pada waktu seseorang mengutarakan permintaan ataupun suruhan kepada orang
lain, banyak hal yang harus dipertimbangkannya. Salah satu pertimbangannya adalah
bagaimana menyatakan permintaan tanpa melukai perasaan lawan tuturnya. Pemilihan
tindak tutur permintaan sebagai satu analisis didasari pada beberapa pertimbangan :
1. Pertama, tindak tutur permintaan ini berpotensi besar mengancam muka ( yakni
muka orang yang dimintai permintaan).
2. Kedua, permintaan tidak hanya sebagai gagasan yang asal terujar melainkan perlu
mempertimbangakan kepada siapa permintaan tersebut dituturkan dan dimana
peristiwa tersebut dituturkan.
3. Ketiga, permintaan dapat merusak keharmonisan hubungan baik antara penutur
Analisis tindak tutur permintaan merupakan bagian dari tindak direktif. Tindak
tutur permintaan adalah kajian yang diteliti dalam tesis ini. Menurut Moelino et al (1993)
meminta adalah berharap supaya diberi atau mendapat sesuatu. Sedangkan permintaan
adalah perbuatan meminta. Dikemukakan pula oleh Marckwardt e al (1996 : 170)
permintaan adalah (1) untuk mengungkapkan keinginan ; (2) untuk menyatakan kehendak,
menghendaki seseorang untuk melakukan sesuatu dengan ikhlas (senang). Jadi
permintaan berarti menggambarkan sikap penutur yang menghendaki agar mitra tutur
melakukan sesuatu.
Dalam tindak tutur permintaan, pelaku tutur dihadapkan pada : (1) konteks
sosio-budaya yang berupa struktur dan fungsi sosial dalam sistem nilai yang ada dalam
masyarakat tuturnya, misalnya hubungan sosial (status dan fungsi peserta tutur, mobilitas
strata peserta tutur seperti uchi dan soto dikebudayaan Jepang. Dan proses sosial dalam
mengekspresikan pelaksanaan tindak yang diinginkan atau kehendaki oleh penutur
kepada mitra tutur atau sebaliknya , dan (2) modus (strategi) penyampaian tindak, fungsi,
maksud tindak tutur permintaan dalam kinerja bentuk verbal yag sesuai dengan konteks
tutur dan budaya pelaku tutur. Namun, tidak jarang dengn bekal pemahaman yang
menyeluruh tentang tindak, fungsi, dan maksud serta modus penyampaian tindak yang
tepat baik sesuai dengan konteks tutur maupun konteks budaya tersebut, pelaku tutur
dapat menciptakan hubungan yang harmonis, tetapi jika penyampaiannya tidak tepat
dapat merusak hubungan diantara petutur dan mitra tutur.
Di dalam bahasa, kebutuhan penutur bukanlah semata-mata untuk menyampaikan
proposisi atau amanat saja, melainkan lebih dari itu. Dengan berbahasa penutur dapat
melakukan tindakan, salah satu tindakan yang penting dan dilakukan oleh penutur dalam
berbahasa adalah tindak ilokusi. Searle (1975) mengklasifikasikan tindak ilokusi ke
dalam beberapa fungsi diantaranya direktif, yakni ilokusi sebagai aspek makro yang
bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan seperti meminta, memerintah,
menyarankan yang dilakukan oleh mitra tutur.
Tindak tutur permintaan yang dianalisis pada penelitian ini adalah bentuk
tindakan yang memiliki tujuan, dan menempatkan tindak tutur permintaan dalam konteks
interaksi skala makro.
2.4 Kesopanan
Kesantunan menurut Fasold (1990): 159) adalah formalitas (formality),
ketaksegajaan (hesitancy) dan persamaan kesekawanan (equality or comaradirie). Jika
dijabarkan, formalitas berarti ‘jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof); ketaktegasan
berarti ‘buatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur anda dapat menentuka piliha
(option); dan persamaan atau kesekawanan berarti ‘bertindaklah seolah-olah anda dan
mitra tutur anda sama’ atau dengan kata lain ‘buatlah ia merasa senang’.
Prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan,
dan paling komprehensif adalah prinsip kesantunan yang dirumuskan Leech (1983).
Leech dalam Rahardi (2009 : 5-9) menyampaikan maksim-maksim di dalam prinsip
kesantunan itu sebagai berikut (1) Maksim Kebijaksanaan menyatakan : (a) kurangilah
Penerimaan menyatakan : (a) kurangi keuntungan diri sendiri, dan (b) tambahi
pengorbanan diri sendiri. (3) Maksim Penghargaan menyatakan : (a) kurangi cacian pada
orang lain, dan tambahi pujian pada orang lain. (4) Maksim Kesederhanaan menyatakan :
(a) kurangilah pujian pada diri sendiri, dan (b) tambahi pujian pada orang lain. (5)
Maksim Permufakatan menyatakan (a) kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain, dan (b) tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. (6)
Maksim Simpati menyatakan : (a) kurangi simpati antara diri sendiri dengan orang lain,
dan (b) perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Sementara itu, Kartomihardjo (1988) menyatakan bahwa dalam menggunakan
bahasa (tindak bahasa), penutur tidak bias lepas dari norma-norma sosial dan budaya
yang dimilikinya. Agar terjadi keserasian dan keseimbangan antara penutur dengan mitra
tutur dalam melaksanakan interaksi, penutur dapat memasuki norma atau tata krama yang
diwujudkan.
2.5 Fungsi Tindak Tutur
Komunikasi suatu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai
bentuk ujaran. Untuk maksud “permintaan” menurut Blum-Kulka (1987) dalam Kartika
(2010 : 29-30) dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran seperti berikut:
Berdasarkan penelitian empiris tentang tindak tutur permintaan dalam berbagai
bahasa yang berbeda, Blum Kulka dalam Kartika (2010 : 29-30) menjabarkan hal
tersebut ke dalam sembilan subtingkat yang berbeda yang disebut “fungsi tindak tutur”
yang membentuk skala ketidaklangsungan.
modal verba gramatikal dalam ujaran memarkahi daya ilokusinya sebagai tindak
(2). Performatif eksplisit (explicit performatives)
Daya ilokusi ujaran secara eksplisit disebut oleh penutur . contohnya ialah:
Saya minta Saudara memindahkan kotak ini.
Kono hako ha utsuttekudasai, onegai Ini kotak (pem. S) memindahkan, minta Saya minta saudara memindahkan kotak ini.
(3). Performatif berpagar (hedged performative)
Ujaran menyisipkan sebutan daya ilokusi. Contohnya ialah:
Saya sebenarnya mau minta Saudara memindahkan kotak ini.
Jitsu, kono hako ha utsutteitadaku
Sebenarnya, ini kotak (pem. S) mau memindahkan.
Saya sebenarnya mau minta saudara memindahkan kotak ini.
(4). Pernyataan Keharusan (Locution derivable)
Titik ilokusi secara langsung ditimbulkan dari makna semantik lokusi. Contohnya
ialah:
Saudara harus memindahkan kotak ini.
Ini kotak (pem. S) harus memindahkan Saudara harus memindahkan kotak ini.
(5). Pernyataan Keinginan (scope Stating)
Ujaran mengungkapkan maksud penutur, keinginan, atau perasaan yang
diharapkan dilakukan penutur.contohnya ialah:
Saya ingin kotak ini dipindahkan.
Kono hako ha utsuritagaru.
Ini kotak (pem. S) ingin dipindahkan. Saya ingin kotak ini dipindahkan.
(6). Rumusan Saran (language specific suggestory formula)
Ujaran berisi saran untuk melakukan tindak. Contohnya ialah:
Bagaimana kalau kotak ini dipindahkan?
Kono hako ha utsutte moiidesuka.
Ini kotak (pem. S) dipindahkan bagaimana? Bagaimana kalau kotak ini dipindahkan.
(7). Persiapan Pertanyaan (reference to preparatory conditions)
Ujaran berisi acuan kepada syarat persiapan (misalnya kemampuan atau
keinginan, kemungkinan tindak dilakukan) seperti dikonvensionalisasi dalam bahasa
tertentu. Contohnya ialah:
Kono hako ha utsuttekureru.
Ini kotak (pem. S) memindahkan dapat. Saudara dapat memindahkan kotak ini
(8). Isyarat kuat (strong hints)
Ujaran berisi acuan sebagian kepada objek atau kepada unsur-unsur yang
diperlukan untuk pelaksanaan tindak memohon.
Dengan kotak ini di sini, ruangan ini kelihatan menjadi sempit.
Kono hako ha koko ni atte, kono shitsu ha semakunatte mieru.
Ini kotak (pem. S) sini di dengan (keberadaan), ini ruangan (pem. S) sempit menjadi kelihatan.
Dengan kotak ini di sini, ruangan ini kelihatan menjadi sempit.
(9). Isyarat halus (mild hints)
Ujaran yang dibuat tidak mengacu kepada ciri permohonan (atau unsur-unsurnya),
tetapi dapat diinterprestasikan melalui konteks sebagai permohonan (secara tidak
langsung dan secara pragmatik mengimplikasikan tindak). Contohnya ialah:
Ruangan ini kelihatan sesak.
Kono shitsu ha semaku mieru. Ini kotak (pem.S) sesak kelihatan. Ruangan ini kelihatan sesak.
Jika kesembilan bentuk tuturan di atas benar-benar dituturkan, akan memperoleh
sembilan tindak tutur yang berbeda-beda derajat kelangsuangannya dalam hal
menyampaikan maksud ” menyuruh memindahkan kotak itu”. Dalam teori Blum-Kulka
dibicarakan tentang tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung.
Saragih (2001 : 57-58) menguraikan dalam berbahasa penutur atau pengguna
peran itu terkait dua jenis komoditas, yaitu (1) informasi, dan (2) barang dan jasa.
Apabila variabel peran dan komoditas tersebut diklarifikasikan silang, dapat 4 (empat)
jenis aksi, atau tindak tutur seperti terlihat dalam tabel I. Keempat variabel tersebut
disebut protoaksi atau tindak tutur dasar karena keempat aksi tersebut menjadi sumber
dari aksi atau tindak tutur yang dilalukan pemakai bahasa.
Tabel 1. Protoaksi Dalam Bahasa
KOMODITAS
INFORMASI BARANG DAN JASA
Memberi Pernyataan Tawaran
Meminta Pertanyaan Perintah
Secara sistematik, keempat protoaksi atau tindak tutur dasar itu dapat diuraikan
sebagai berikut:
Memberi informasi : Pernyataan ( Statementt)
Meminta / informasi : Pertanyaan ( Question)
Memberi / barang dan jasa : Tawaran (Offer)
Meminta / barang dan jasa : Perintah (Command)
Selanjutnya Saragih (2001 : 59) mengatakan protoaksi tersebut direalisasikan
oleh 3 (tiga) nada percakapan pada tingkat tata bahasa yang disebut modus yaitu modus
deklaratif, interogatif dan imperatif. Lazimnya aksi ”pernyataan”, ”pertanyaan”
dan ”perintah” masing-masing direalisasikan oleh modus deklaratif, interogatif, dan
Saragih (2001 : 64) mengamati bahwa realisasi aksi atau tindak tutur pada strata
semantik dan tata bahasa bukanlah hubungan ’satu ke satu’ (biunique relatio); artinya
bahwa semantik aksi ’pernyataan’ tidak selamanya direalisasikan oleh modus
deklaratif, ’pertanyaan’ oleh interogatif dan perintah oleh imperatif.
2.6 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Wijana (2006) dalam Rahardi (2009 : 19-20) menguraikan dua macam jenis
tindak tutur di dalam praktik berbahasa, yaitu:
1.Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
a. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan sesuai dengan
modus kalimatnya.
Contoh: Tolong hidupkan lampunya.
Tuturan di atas adalah tindakan memerintah seseorang untuk menyalakan lampu
karena situasi ruangan gelap.
b. Tindak tutur tidak langsung adalah tindakan yang tidak dinyatakan langsung
oleh modus kalimatnya.
Contoh:Ruangnya gelap sekali.
Tututran di atas secara tidak langsung menyuruh atau meminta seseorang untuk
menghidupkan lampu karena situasi ruangannya gelap tetapi di sampaikan secara tidak
langsung.
2.Tindak tutur literal dan tindak tutur non literal.
a. Tindak tutur literal dapat dimaknai sebagai tindak tutur yang maksudnya sama
Contoh:: Wah, suaramu bagus sekali.
Jika maksud tuturan itu adalah untuk pujian kepada sang mitra tutur, maka jelas
sekali bahwa tuturan itu merupakan tuturan yang sifatnya literal.
b. Tindak tutur non liteal
Adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama, atau bahkan berlawanan, dengan
makna kata-kata yang menyususnya itu.
Contoh : Wah, suaramu bagus sekali.
Jika maksud tuturan itu adalah untuk untuk menyindir atau untuk mengejek sang
mitra tutur maka tindak tutur yang demikian itu disebut sebagai tindak tutur nonliteral
atau tindak tutur tidak literal.
Dari empat macam jenis tindak tutur yang disampaikan di atas itu, masing-masing
kemudian bisa diinterseksikan antara yang satu dengan yang lainnya. Dari interseksi
keempatnya itu dapat dihasilkan empat jenis tindak tutur yang berikutnya yakni:
1. Tindak tutur langsung literal,
2. Tindak tutur tidak langsung literal,
3. Tindak tutur langsung non literal,
4. Tindak tutur tidak langsung non literal.
2.7 Ragam Bahasa Hormat dan Ragam Bahasa Biasa
Dahidi dan Sudjianto (2004 : 188-189) menyatakan pemakaian ragam bahasa
hormat menjadi salah satu karakteristik bahasa Jepang. Pada dasarnya ragam bahasa
hormat dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara)
untuk menghormati orang kedua (pendengar) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi
tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio dalam
Sudjianto (1999 : 149) menjelaskan bahwa ragam bahasa hormat ditentukan dengan
parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid.
3. Jenis Kelamin : pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan ragam
bahasa hormat).
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar.
5. Gaya Bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan.
6. Pribadi atau umum: rapat, upacara, atau kegiatan apa.
7. Pendidikan : berpendidikan atau tidak.
Selain itu bahasa Jepang juga mengenal adanya tingkatan bahasa, dalam
penggunaanya perlu dipertimbangkan banyak faktor seperti status sosial pembicara dan
pendengar serta suasana yang mengiringinya. Disamping itu, pula perlu dikenali apakah
ungkapan tersebut umum digunakan oleh laki-laki atau perempuan, anak-anak, atau orang
dewasa serta bagaimana hubungan yang mempertautkan mereka menurut Edizal (2001 :
1)
Ragam bahasa biasa adalah bentuk bahasa sehari-hari / biasa dalam bahasa Jepang
dan biasanya digunakan kepada orang yang lebih muda atau kepada orang yang sudah
akrab.
Seperti disebutkan diatas situasi / ranah juga mempengaruhi tindak tutur
Ranah merupakan gugusan situasi atau cakrawala interaksi di mana satu bahasa
digunkan. Ranah dihubungkan dengan variasi tertentu, variasi-variasitersebut
dibandingkan dengan situasi sosial dan merupakan abstraksi dari persilangan antara
hubungn peran dan status, lingkungan dan pokok bahasan tertentu menurut Siregar
(1998 : 38)
Di dalam penulisan yang pernah dilakukan oleh Fishman (1971) dalam Rahardi
(2009 : 39) telah digunakan lima macam ranah yakni (1) ranah keluarga, (2) ranah
persahabatan, (3) ranah pekerjaan, (4) ranah pendidikan, (5) ranah agama.
Maka sebuah ranah, misalnya saja, akan dapat dianggap sebagai ranah keluarga
apabila terdapat pertuturan yang terjadi di rumah atau dalam sebuah keluarga, terdapat
topik perbincangan mengenai masalah keluarga, dan terdapat para partisipan tutur yang
merupakan bagian dari keluarga itu menurut Rahardi (2002) dan Sumarsono (1993)
dalam Rahardi (2009 : 39).
2.8Kajian Terdahulu / Sebelumnya
Penelitian mengenai tindak tutur telah dilakukan oleh beberapa orang, diantaranya
penelitian mengenai jenis dan fungsi tindak tutur yang mendekati dengan penelitian yang
penulis tulis adalah:
Eviravriza (2000) dalam tesisnya mengkaji tentang tindak tutur permintaan yang
menjadi studi kasusnya adalah pengguna bahasa Melayu Riau di Pekan Baru. Eviravriza
membahas tentang modus dan bagaimana bentuk kesopanan direfleksikan dengan tindak
tutur khususnya permintaan yang objek studi kasusya pengguna bahasa Melayu Riau di
Hamida (2002) dalam tesisnya mengkaji tentang jenis dan fungsi tindak tutur pada
cerita anak bergambar berbahasa Inggris. Hamida membahas jenis-jenis dan fungsi tindak
tutur pada cerita anak-anak bergambar dalam bahasa Inggris.
Pramuniati (2009) dalam disertasinya mengkaji tentang Strategi Tindak Tutur dan
Kepekaan Pragmatik Melarang Dalam Bahasa Aceh Utara. Pramuniati membahas strategi
bertutur apa yang digunakan oleh penutur Aceh Utara di dalam perilaku tindak tutur
melarang.
Kartika (2010) dalam bukunya mengkaji tentang Kesantunan Tindak Tutur
Memohon Dalam Bahasa Indonesia Oleh Mahasiswa Jepang, yang menjadi studi kasus
pada Program Bahasa Indonesia Penutur Asing Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia.
2.9 Kerangka Konseptual
Tindak tutur permintaan bahasa Jepang dalam Film TLS juga dipengaruhi
beberapa faktor, yakni dari kelompok umur, jenjang pendidikan dan jenis kelamin. Faktor
perbedaan variasi sosial tersebut juga dipengaruhi oleh unsur kesantunan yang mengacu
pada kekuasaan (K), solidaritas (S) dan latar publik (P). Kajian teori terdahulu
menunjukkan terdapat jumlah tindak tutur permintaan ini bervariasi dan di rumuskan
mencakup hal sebagai berikut:
1.Untuk menganalisis jenis tindak tutur, penulis menggunakan pendapat Rahardi ( 2009 :
19) yang membedakan jenis-jenis tindak tutur menjadi:
b. Tindak tutur literal dan tindak tutur non literal.
2. Untuk menganalisis fungsi tindak tutur penulis menggunakan pendapat Blum Kulka
(1987) dalam Kartika (2010 : 29-30) dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai
iujaran sebagai berikut:
1. Bermodus imperatif (Pindahkan kotak ini!).
2. Performatif eksplisit (Saya minta saudara memindahkan kotak ini)
3. Performatif berpagar (Saya sebenarnya mau minta saudara memindahkan kotak
ini)
4. Pernyataan keharusan (Saudara harus memindahkankotak ini )
5. Pernyataan keinginan (Saya ingin kotak ini dipindahkan)
6. Rumusan saran ( Bagaimana kalau kotak ini dipindahkan)
7. Persiapan pernyataan (Saudara dapat memindahkan kotak ini?)
8. Isyarat kuat (Dengan kotak ini di sini, ruangan ini kelihatan sesak)
9. Isyarat halus ( Ruangan ini kelihatan sesak)
Teori ini penulis jadikan acuan dalam penelitian yang akan penulis kaji karena
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini
merupakan suatu metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang
ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya, sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa paparan apa adanya menurut Sudaryanto (1993 : 62).
Adapun metode kualitatif ini membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti, sehingga
akan didapatkan gambaran data secara ilmiah menurut Djajasudarma (1993 : 8-9).
3.2Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data lisan yang berasal dari
tuturan-tuturan dalam film.. Data yang diambil merupakan data primer yang berasal dari
film Jepang yang berjudul TLS. Film ini diadaptasi dari komik (manga) dengan judul
sama karya Fumi Saimon yang di produksi oleh Fuji TV dengan sutradara Kozo
Nakayama yang terdiri dari 11 episode. Serial drama Jepang ini adalah teledrama Asia
pertama yang sangat populer di Indonesia setelah oshin di era TVRI. Selain itu tindak
tutur yang diteliti banyak terdapat pada drama ini dan bahasa Jepang yang digunakan
juga mudah dipahami oleh penulis sebgai pembelajar asing yang mempelajari bahasa