• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Tindak Tutur

Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar / tindak tutur (speech act ) dalam

menelaah tindak ujar ini kita harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks ucapan / ungkapan. Teori tindak ujar bertujuan mengutarakan kepada kita, bila kita mengemukakan pertanyaan padahal yang dimaksud adalah menyuruh, atau bila kita mengatakan sesuatu hal dengan intonasi khusus padahal yang dimaksud justru sebaliknya Tarigan (1990 : 33).

Chaer dan Austina (2004 : 50) Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Uiversitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang bersal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson

(1965) dengan judul How to do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru mulai

terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech

Act and Essay in the Philosophy of Language.

Sehubungan dengan peran tindak tutur tersebut, pemakaian tindak tutur dalam interaksi antara penutur dan mitra tutur cenderung memiliki keberagaman kinerja bentuk verbal dan mendapatkan status dan konteks interaksi tersebut.

Tindak tutur memerlukan penutur dan mitra tutur. Keberagaman kinerja tindak tutur itu menurut Hymes (1980-23) dan Jacobson yang dikutip Djajengwasito (1984 : 4- 5) dapat berfugsi sebagai:

1. Repsentatif ( disebut juga asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat

penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya (misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan);

2. Direktif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud

agar penutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya : meminta, menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, menentang);

3. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya

diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran itu ( misalnya : memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh);

4. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan

apa yang disebutkan di dalam ujarannya ( seperti : berjanji, bersumpah, mengancam);

5. Deklaratif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud

untuk menciptakan hal ( status, keadaan, dan sebagainya) yang baru (misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, memberi maaf).

Austin (1962) dalam How to do Thing with Word mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act),

disamping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan tindak tutur, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

1. Tindak tutur lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus ) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidahnya sintaksisnya. Perbuatan bertutur, hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu (locutyonary speech act).

Misalnya: Dia sakit.

Kaki manusia dua. Pohon punya daun.

Wacana-wacana ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk tindak tutur lokusi. Tindak tutur ini sangat sedikit peranannya dalam pragmatik.

2. Tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu atau melakukan sesuatu. Misalnya : memperingatkan, bertanya (illocutionary speech act)

Misalnya : Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya) Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)

Saya tidak dapat datang (minta maaf)

3. Tindak tutur perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujara yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat , perlokusi adalah efek dari tindak tutur itu bagi mitra tutur. Perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, misalnya mempengaruhi orang lain (perlocutionary speech act) Misalnya : Tempat itu jauh.

2.3.1 Tindak Tutur Permintaan

Bach dan Harnish (1979 : 41) mengatakan tindak tutur permintaan merupakan jenis tindak tutur yang dilakukan oleh penutur untuk membuat mitra tuturnya melakukan sesuatu baik berfungsi sebagai pengatur tingkah laku maupun berfungsi sebgai pengontrol tindak.

Selanjutnya menurut Fasold (1990 : 58) , Bach dan Harnish (1979 : 47) bahwa tindak tutur permintaan tidak hanya penutur menuntut mitra tutur melakukan sesuatu, bertindak atau berkata, tetapi ia (penutur) menuntut mitra tuturnya melakukan kegiatan yang sesuai dengan pandangan Grice (1975 : 40-50) baik menyangkut apa yang dikatakan, apa yang dimaksudkan maupun apa yang dilakukan yang sangat berkaitan dengan tataran sosio budaya masyarakat tuturnya.

Pada waktu seseorang mengutarakan permintaan ataupun suruhan kepada orang lain, banyak hal yang harus dipertimbangkannya. Salah satu pertimbangannya adalah bagaimana menyatakan permintaan tanpa melukai perasaan lawan tuturnya. Pemilihan tindak tutur permintaan sebagai satu analisis didasari pada beberapa pertimbangan :

1. Pertama, tindak tutur permintaan ini berpotensi besar mengancam muka ( yakni muka orang yang dimintai permintaan).

2. Kedua, permintaan tidak hanya sebagai gagasan yang asal terujar melainkan perlu mempertimbangakan kepada siapa permintaan tersebut dituturkan dan dimana peristiwa tersebut dituturkan.

3. Ketiga, permintaan dapat merusak keharmonisan hubungan baik antara penutur

Analisis tindak tutur permintaan merupakan bagian dari tindak direktif. Tindak tutur permintaan adalah kajian yang diteliti dalam tesis ini. Menurut Moelino et al (1993)

meminta adalah berharap supaya diberi atau mendapat sesuatu. Sedangkan permintaan

adalah perbuatan meminta. Dikemukakan pula oleh Marckwardt e al (1996 : 170) permintaan adalah (1) untuk mengungkapkan keinginan ; (2) untuk menyatakan kehendak, menghendaki seseorang untuk melakukan sesuatu dengan ikhlas (senang). Jadi permintaan berarti menggambarkan sikap penutur yang menghendaki agar mitra tutur melakukan sesuatu.

Dalam tindak tutur permintaan, pelaku tutur dihadapkan pada : (1) konteks sosio- budaya yang berupa struktur dan fungsi sosial dalam sistem nilai yang ada dalam masyarakat tuturnya, misalnya hubungan sosial (status dan fungsi peserta tutur, mobilitas strata peserta tutur seperti uchi dan soto dikebudayaan Jepang. Dan proses sosial dalam

mengekspresikan pelaksanaan tindak yang diinginkan atau kehendaki oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya , dan (2) modus (strategi) penyampaian tindak, fungsi, maksud tindak tutur permintaan dalam kinerja bentuk verbal yag sesuai dengan konteks tutur dan budaya pelaku tutur. Namun, tidak jarang dengn bekal pemahaman yang menyeluruh tentang tindak, fungsi, dan maksud serta modus penyampaian tindak yang tepat baik sesuai dengan konteks tutur maupun konteks budaya tersebut, pelaku tutur dapat menciptakan hubungan yang harmonis, tetapi jika penyampaiannya tidak tepat dapat merusak hubungan diantara petutur dan mitra tutur.

Di dalam bahasa, kebutuhan penutur bukanlah semata-mata untuk menyampaikan proposisi atau amanat saja, melainkan lebih dari itu. Dengan berbahasa penutur dapat melakukan tindakan, salah satu tindakan yang penting dan dilakukan oleh penutur dalam berbahasa adalah tindak ilokusi. Searle (1975) mengklasifikasikan tindak ilokusi ke dalam beberapa fungsi diantaranya direktif, yakni ilokusi sebagai aspek makro yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan seperti meminta, memerintah, menyarankan yang dilakukan oleh mitra tutur.

Tindak tutur permintaan yang dianalisis pada penelitian ini adalah bentuk tindakan yang memiliki tujuan, dan menempatkan tindak tutur permintaan dalam konteks interaksi skala makro.

Dokumen terkait