• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota

5.1.1 Kinerja Keuangan Daerah Ditinjau Dari Sisi Penerimaan Daerah

Kabupaten/kota di Indonesia ditinjau dari sisi penerimaan daerah, pada umumnya masih memiliki kemampuan keuangan yang relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya kontribusi baik PAD maupun BHPBP terhadap penerimaan daerah dibandingkan penerimaan daerah lainnya, terutama yang berasal dari transfer pusat. PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayahnya sendiri, dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimilikinya.

Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah (derajat desentralisasi) kabupaten/kota selama tahun 2001-2008 semakin konvergen, namun rata-rata nilainya masih rendah di bawah 10%. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 12. Ini menunjukkan, derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota penyebarannya semakin konvergen, namun nilainya masih rendah rata-rata di bawah 10%. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan daerah, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin menurun, yang artinya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin besar. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Adi (2007) terhadap semua kabupaten/kota di Jawa-Bali yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah setelah pelaksanaan otonomi daerah. Penurunan peran PAD disebabkan

karena kenaikan penerimaan PAD lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 6.07 7.19 7.05 7.11 7.12 6.79 6.50 6.16 Minimum 0.02 0.55 0.63 0.66 0.57 0.63 0.55 0.38 Q1 2.82 3.54 3.92 3.68 3.35 3.47 3.41 3.17 Median 4.51 5.47 5.89 5.82 5.67 5.34 5.19 5.1 Q3 7.41 8.71 8.58 8.47 8.92 8.26 7.85 7.18 Maximum 69.5 60.3 51.91 57.9 59.62 57.12 50.04 51.02 IQR 4.59 5.17 4.66 4.79 5.58 4.78 4.44 4.01 Sumber : BPS, diolah

Gambar 12 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota periode 2001-2008

Hasil analisis boxplot juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa kabupaten/kota yang menunjukkan derajat desentralisasi fiskal yang tinggi. Kabupaten Badung memiliki derajat desentralisasi fiskal paling tinggi selama periode penelitian, hal ini disebabkan daerah tersebut memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan PADnya terutama dari sektor pariwisata.

Keindahan alam serta keunikan seni dan budaya, serta ditunjang oleh banyaknya objek wisata serta berbagai sarana akomodasi bertaraf internasional seperti hotel, restaurant & bar, biro perjalanan wisata dan adanya berbagai atraksi wisata yang terdapat di wilayah Badung, menjadikan sektor pariwisata sebagai primadona dan sumber pendapatan utama bagi Kabupaten Badung. Pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Badung lebih dari 90% diperoleh dari sektor pariwisata, dan pengembangan kepariwisataan dilakukan secara selektif dengan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Badung C ilegon Badung Badung Badung Badung Badung Badung Badung

s urabay a C ilegon C ilegon Surabay a Surabay a

Karim un Surabay a

selalu berpedoman pada pengembangan pariwisata dan pelestarian budaya. Pengembangan sektor-sektor lainnya diarahkan untuk menunjang sektor pariwisata, seperti pengembangan sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga terutama industri kecil dan kerajinan yang menunjang sektor pariwisata, dan selebihnya dikembangkan untuk tujuan ekspor dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Derajat desentralisasi fiskal jika dalam analisisnya ditinjau per pulau akan menghasilkan pola yang berbeda, Pulau Jawa dan Bali memiliki pola derajat desentralisasi fiskal yang lebih baik dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Selengkapnya dapat dilihat di lampiran 7 sampai lampiran 8.

Perkembangan derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota dapat dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval yang ditunjukkan pada Gambar 13.

Sumber : BPS, diolah

Grafik 13 Jumlah kabupaten/kota menurut derajat desentralisasi fiskal berdasarkan kriteria tim Fisipol UGM periode 2001-2008

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sangat kurang 286 270 276 269 265 279 287 294 Kurang 43 53 52 59 63 45 41 37 Cukup 6 11 5 5 6 9 6 3 Sedang 0 1 2 2 1 2 1 1 Baik 0 0 0 0 0 0 0 0 Sangat baik 1 1 1 1 1 1 1 1 0 50 100 150 200 250 300 Persen (% )

Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Indonesia secara umum masuk dalam kategori sangat kurang, rata-rata di atas 79% kabupaten/kota termasuk dalam kategori ini. Pada awal tahun 2001 jumlah kabupaten/kota yang masuk kriteria sangat kurang berjumlah 286 atau sekitar 85% dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia, pada tahun 2008 menjadi 294 atau 87.5%. Daerah yang memiliki derajat desentralisasi fiskal yang termasuk kategori sangat baik selama periode 2001-2008 hanya Kabupaten Badung di Provinsi Bali.

Sumber penerimaan daerah lainnya adalah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Perkembangan derajat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia kabupaten/kota dapat dilihat pada Gambar 14, yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 14.05 14.43 14.86 14.96 16.72 15.25 13.92 13.08 Minimum 2.45 2.52 2.27 1.55 3.16 1.46 3.57 1.55 Q1 5.75 6.15 6.29 6.49 7.12 5.89 5.93 5.15 Median 8.52 8.94 9.54 8.99 10.25 8.29 7.90 7.26 Q3 15.37 15.60 15.76 15.96 17.09 14.78 14.17 12.84 Maximum 88.02 89.60 80.74 88.11 91.98 87.60 84.45 86.32 IQR 5.75 6.15 6.29 6.49 7.12 5.89 5.93 5.15 Sumber : BPS, diolah.

Gambar 14 Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Indonesia periode 2001-2008.

0 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Kutai Kutai Rokan Hilir Kutai Kutai Kutai

Derajat potensi SDA dan SDM kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya juga masih rendah. Selama periode 2001-2008, derajat potensi SDA dan SDM kabupaten/kota perkembangannya semakin konvergen namun rata-ratanya masih di bawah 20%. Kondisi ini menunjukkan tingkat kemandirian daerah yang masih rendah.

Setiap kabupaten/kota mempunyai derajat potensi SDA dan SDM yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya sumber BHPBP yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat lebih jelas apabila ditinjau analisisnya per pulau, dan dapat dilihat selengkapnya di lampiran 12 sampai lampiran 16. Daerah yang mempunyai potensi SDA dan dapat memanfaatkan dengan optimal, maka daerah tersebut akan dapat meningkatkan penerimaan dari BHPBP, sementara daerah yang tidak punya potensi atau yang tidak dapat mengoptimalkan pemanfaatan SDAnya akan semakin jauh tertinggal. Terdapat beberapa daerah yang memiliki kemampuan keuangan lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Daerah-daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan pada umumnya kaya SDA, sehingga pola derajat potensi daerahnya lebih baik dibanding daerah di pulau lainnya. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi SDA yang berlimpah, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kutai dan Bengkalis.

Selain letaknya yang strategis, Kabupaten Bengkalis juga mempunyai potensi sumber daya alam yang banyak. Kekayaan alam tersebut hampir menyebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bengkalis. Potensi tersebut antara lain di sektor pertanian tanaman pangan dan holtikultura, perikanan, perternakan, perkebunan, perternakan, pertambangan dan pariwisata. Kabupaten Bengkalis merupakan penghasil minyak bumi yang terbesar, tidak hanya di Propinsi Riau tetapi juga di Indonesia.

Kabupaten Kutai merupakan salah satu daerah di Kalimantan Timur yang memiliki potensi dibidang pertanian tanaman pangan. Daerah Kabupaten Kutai memiliki potensi lahan yang cukup luas, pengembangan sektor perkebunan merupakan salah satu sumber penerimaan devisa yang cukup potensial, yang terdiri dari perkebunan untuk komoditi kelapa sawit, karet, lada, kopi dan kakao. Selain itu Kabupaten Kutai memiliki potensi yang besar dalam sektor

pertambangan, yang dititikberatkan pada batu bara, emas, pasir kuarsa dan batu kapur.

Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya adalah transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pelaksanaan desentralisasi mengakibatkan semakin besarnya kewenangan yang diberikan kepada daerah baik dalam pengelolaan keuangannya maupun dalam pembangunan daerah. Adanya perbedaan potensi dan kondisi dari masing-masing daerah, menimbulkan perbedaan kemampuan keuangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut. Di satu sisi ada daerah yang kaya, namun di sisi lain ada daerah yang kemampuan keuangannya masih rendah. DAU merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat untuk mengurangi kesenjangan horisontal antardaerah. Dana alokasi khusus (DAK) adalah bentuk transfer pusat yang bertujuan untuk membantu membiayai kebutuhan khusus daerah, yang menjadi prioritas nasional. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan, peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang.

Besarnya kontribusi transfer pusat dalam bentuk DAU dan DAK terhadap penerimaan daerah menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Derajat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat untuk kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya masih tinggi. Dengan kata lain, kabupaten/kota memiliki tingkat kemandirian fiskal yang masih rendah. Kondisi ini menjelaskan bahwa keuangan daerah masih bergantung kepada pemberian dana perimbangan. Tingginya derajat ketergantungan daerah terhadap pusat diilustrasikan oleh diagram boxplot pada Gambar 15. Pada umumnya kabupten/kota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat masih tinggi, rata-rata di atas 70%. Daerah yang memiliki derajat ketergantungan tinggi pada umumnya kabupaten/kota yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti Kabupaten Puncak Jaya.

Derajat ketergantungan daerah terhadap pusat pada 2001-2005 menunjukkan trend menurun. Derajat ketergantungan tersebut kembali mengalami peningkatan sejak 2006. Beberapa kabupaten/kota memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih rendah dari daerah lainnya. Daerah tersebut terutama daerah yang memiliki derajat desentralisasi dan derajat potensi yang

tinggi. Apabila derajat ketergantungan ini ditinjau per pulau analisisnya, seperti yang dapat dilihat pada lampiran 17 sampai lampiran 21, dapat dilihat pola yang agak berbeda.

Selama periode tahun 2001-2008 Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak memiliki derajat ketergantungan paling rendah. Kabupaten Kutai dan Kabupaten Siak merupakan daerah yang kaya akan SDA. Kabupaten Siak memiliki karakteristik dataran rendah dengan iklim tropis sepanjang tahun yang digunakan untuk menanami hasil panen terutama bahan tanaman pangan dan holtikultura. Di sektor kehutanan, hampir seluruh bagian di Kabupaten Siak ditutupi oleh hutan, yang terdiri dari hutan produksi, hutan konversi, hutan mangrove, hutan cagar alam, dan beberapa hasil hutan seperti kayu lapis dan kayu gelondongan. Kabupaten Siak dikenal sebagai penghasil minyak utama di Riau.

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata 75.84 74.02 70.71 69.60 67.18 76.31 71.95 74.11 Minimum 9.19 7.28 11.67 6.76 3.83 6.16 6.68 5.38 Q1 71.23 68.90 68.29 66.78 63.41 76.02 69.71 72.11 Median 81.58 79.94 75.98 75.19 73.47 84.03 78.49 80.10 Q3 86.86 84.44 80.59 79.13 78.30 87.94 82.30 84.84 Maximum 95.37 94.36 90.36 93.84 88.63 93.35 89.22 93.44 IQR 15.63 15.55 12.30 12.36 14.88 11.92 12.60 12.73 Sumber : BPS, diolah

Gambar 15 Derajat ketergantungan daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat periode 2001-2008.

0 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pe rs e n Kutai Kutai Siak

Daerah yang derajat desentralisasi fiskal dan derajat potensi daerahnya lebih besar dibandingkan dengan lainnya, maka daerah tersebut akan memiliki derajat ketergantungan terhadap pusat lebih kecil dibandingkan dengan daerah lainnya.