• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Terkait Penelitian

4. Kinerja Keuangan

a. Pengertian Kinerja Keuangan

Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan, karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Selain itu tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diharapkan. Jadi, kinerja (performance) bank adalah gambaran mengenai prestasi kerja perusahaan atau kemampuan kerja perusahaan atas kegiatan operasional yang dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui prestasi yang dicapai perusahaan perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja perusahaan dalam kurun waktu tertentu dengan melihat laporan keuangan perusahaan. (Mokogow dan Fuadi, 2015:4)

Dalam praktinya laporan keuangan perusahan dibuat dan disusun dengan aturan dan standar yang berlaku, agar mudah dibaca dan dimengerti oleh bagi pihak yang memerlukan dan berkepentingan terhadap laporan keuangan seperti manajemen dan pemilik perusahaan juga kepada pemerintah, kreditor, dan investor. Laporan keuangan dibuat untuk menunjukkan kondisi keuangan saat ini atau dalam suatu periode tertentu, sehingga dapat dengan cepat menentukan langkah apa yang akan dilakukan perusahaan saat ini dan kedepannya dengan melihat berbagai persoalan yang ada baik kelemahan maupun kekuatan, yang dimilikinya. (Kashmir, 2008:8).

Seperti diketahui bahwa laporan keuangan yang dibuat pasti memiliki tujuan tertentu, bagi manajaemen perusahaan, pemilik perusahaan dan pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berikut ini beberapa tujuan pembuatan atau penyusunan laporan keuangan yaitu: (Kashmir, 2008:10)

1) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah aktiva (harta) yang dimiliki perusahaan pada saaat itu.

2) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah kewajiban dan modal yang dimiliki perusahaan pada saat ini.

35

3) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah pendapatan yang diperoleh pada suatu periode tertentu.

4) Memberikan informasi tentang jenis dan jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan pada suatu periode tertentu.

5) Memberikan informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi terhadap aktiva, passive, dan modal perusahaan.

6) Memberikan informasi tentang kinerja manajemen perusahaan dalam suatu periode.

7) Memberikan informasi tentang catatan-catatan atas laporan keuangan.

8) Informasi keuangan lainnya.

Laporan keuangan melaporkan aktivitas yang sudah dilakukan dalam suatu periode tertentu dituangkan dalam bentuk angka, angka-angka yang ada dalam laporan keuangan akan menjadi lebih berararti bila dibandingkan antara saru komponen dengan komponen lainnya. Setelah melakukan perbandingan, dapat disimpulkan posisi keuangan suatu perusahaan untuk periode tertentu, perbandingan ini kita kenal dengan analisis rasio keuangan. Menurut James C Van Horne, Rasio Keuangan adalah indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. (Kasmir, 2008:104).

Hingga saat ini analisis rasio keuangan bank syariah masih menggunakan aturan yang berlaku di bank konvensional, jenis analisis rasio keuangan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (Muhammad, 2015:252):

Perbandingan Internal adalah analisis dengan membandingkan rasio sekarang dengan yang lalu dan yang akan datang untuk perusahaan yang sama.

Perbandingan Eksternal adalah analisis dilakukan dengan membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaan lain yang sejenis dengan rata-rata industri pada suatu titik yang sama.

36

b. Rasio Kinerja Keuangan

Analisis rasio keuangan bank syariah dilakukan dengan menganalisis posisi neraca dan laporan laba rugi. Jenis-jenis rasio keuangan bank, yaitu (Kashmir, 2008:106) :

1) Rasio Profitabilitas adalah rasio yang menunjukkan tingkat efektivitas yang dicapai melalui usaha operasional bank.

2) Rasio Likuiditas adalah ukuran kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

3) Rasio Solvabiliitas adalah ukuran kemampuan bank dalam mencari sumber dana.

4) Rasio Aktivita Produktif adalah ukuran untuk menilai tingkat efisiensi bank dalam memanfaatkan sumber dana yang dimilikinya dalam bentuk pembiayaan.

Rasio Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Rasio profitabilitas dimaksudkan untuk mengukur efisiensi penggunaan aktiva perusahaan. Profitabilitas menjadi begitu penting untuk mengetahui apakah perusahaan telah menjalankan usahanya secara efisien atau tidak. Efisiensi sebuah usaha baru dapat diketahui setelah membandingkan laba yang diperoleh dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Profitabilitas atau rentabilitas digunakan untuk mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dengan membandingkan antara laba dan modal yang digunakan dalam operasi, oleh karena itu keuntungan yang besar tidak menjamin atau bukan merupakan ukuran bahwa perusahaan tersebut rentable. (Ummah, 2015:6).

Rasio profitabilitas digolongkan menjadi dua, yaitu: pertama, Return

on Equity adalah rasio profitabilitas yang menunjukkan perbandingan antara

laba (setelah pajak) dengan modal (modal inti), rasio ini menunjukkan tingkat % (persentase) yang dapat dihasilkan dan kedua, Return on Asset adalah rasio

37

profitabilitas yang menunjukkan perbandingan antara laba (sebelum pajak) dengan total asset bank, rasio ini menunjukkan tingkat efisiensi pengelolaan asset yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. (Suryani, 2011:5).

Tingkat profitabilitas suatu perbankan biasanya diukur dengan Return

On Asset (ROA). Return On Asset (ROA) adalah rasio yang menggambarkan

kemampuan bank dalam mengelola dana yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang menghasilkan keuntungan. ROA adalah gambaran produktivitas bank dalam mengelola dana sehingga menghasilkan keuntungan (Muhamad, 2015:254).

Return On Asset (ROA) digunakan untuk mengukur tingkat

profitabiltas perbankan, karena rasio ROA mengukur nilai profitabilitas didasarkan pada aset produktif yang dananya sebagian besar bersumber dari dana pihak ketiga (DPK). Semakin besar ROA, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh bank, dan semakin baik pula posisi bank dalam penggunaan aset. Bank Indonesia menilai kondisi profitabilitas perbankan di Indonesia didasarkan pada indikator yaitu ROA atau tingkat pengembalian aset, Suatu bank dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi sehat apabila nilai ROA mencapai sekurang-kurangnya 1,2 %. (Mokoagow dan Fuady, 2015:3).

Adapun cara menghitung ROA adalah sebagai berikut:

ROA =

x100%

Kriteria penilaian peringkat Return On Asset menurut BI (2007) adalah:

Tabel 2.1 Tabel Peringkat Return On Asset

Peringkat keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat ROA<1,5%

2 Sehat 1,25%<ROA<1,5%

3 Cukup Sehat 0,5%<ROA<1,25%

4 Kurang Sehat 0%<ROA<0,5%

5 Tidak Sehat ROA<0%

38

a) Rasio likuiditas

Likuiditas merupakan hal yang penting bagi bank untuk dikelola dengan baik karena akan berdampak kepada profitabilitas serta bussines sustainability

and continuity. Pengertian likuiditas dalam perbankan dari sudut aktiva adalah

kemampuan untuk mengubah seluruh asset menjadi bentuk tunai, sedangkan dari sudut pasiva adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas. (Muhammad, 2015:157)

Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang digunakan

untuk mengukur likuiditas suatu bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan pembiayaan yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya, yaitu dengan cara membagi jumlah pembiayaan yang diberikan oleh bank terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK). (Wahyudi, 2015:12)

Pembiayaan (financing) dalam industri perbankan syariah adalah penyaluran dana kepada pihak ketiga, bukan bank, dan bukan Bank Indonesia dengan menggunakan beberapa jenis akad. Penyaluran dana pihak ketiga dalam industri perbankan syariah harus berhubungan dengan sektor riil dan tidak boleh bersifat spekulatif. Adapun dana pihak ketiga dalam bank syariah berupa (Mokogow dan fuad, 2015:) :

1) Titipan (Wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya tapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan. 2) Partisipasi modal berbagi hasil dari berbagai risiko untuk investasi

umum.

3) Investasi khusus dimana bank hanya berlaku sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee dan investor sepenuhnya mengambil risiko atas investasi tersebut.

Jika FDR bank meningkat, berarti penyaluran dana ke pembiayaan semakin besar, sehingga laba akan meningkat. Peningkatan laba tersebut mengakibatkan kinerja bank yang diukur dengan ROA semakin tinggi. Pihak manajemen harus dapat mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan yang nantinya dapat

39

menambah pendapatan bank baik dalam bentuk bonus maupun bagi hasil, yang berarti profit bank syariah juga harus meningkat.

Persoalan likuiditas bagi bank adalah persoalan yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah, dan pemerintah. Di perbankan, pertentangan kepentingan antara likuiditas dan profitabilitas selalu timbul. Artinya, apabila bank mempertahankan posisi likuiditas dengan memperbesar cadangan kas, bank tidak akan memakai seluruh loanable funds yang ada karena sebagian akan dikembalikan lagi dalam bentuk cadangan tunai (cash reserve). Ini berarti upaya pencapaian rentabilitas (profitabilitas) akan berkurang. Sebaliknya, jika ingin mempertinggi rentabilitas maka sebagian cadangan tunai untuk likuiditas terpakai oleh usaha bank melalui pembayaran, sehingga posisi likuiditas akan turun di bawah minimum. Pengendalian likuiditas bank dilakukan setiap hari, dimana berupa penjagaan semua alat-alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank (misalnya, uang tunai kas, tabungan, deposito, dangiro pada bank syariah/antar-aset bank) yang dapat digunakan untuk memenuhi munculnya tagihan dari nasabah atau masyarakat yang datang setiap hari.(Muhammad, 2015:158)

Menurut Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (ASBSINDO), bank syariah idealnya memiliki FDR 80% - 90%. Batas toleransi FDR perbankan Syariah sekitar 100%, hal ini dimaksudkan agar likuiditas bank syariah tetap terjaga. FDR perbankan syariah yang tinggi (diatas 100%) akan menjadi ancaman serius bagi likuiditas bank syariah itu sendiri. Besar kecilnya rasio FDR suatu bank akan mempengaruhi profitabilitas bank tersebut. Dengan ditetapkan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) maka bank syariah tidak boleh gegabah dalam menyalurkan pembiayaan dengan hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau bertujuan untuk secepatnya membesarkan jumlah asetnya, bilamana dilakukan akan membahayakan bagi kelangsungan hidup bank syariah, yang ada akhirnya akan membahayakan dana simpanan para nasabah penyimpan dan nasabah investor. (Mokogow dan Fuadi, 2015:16).

40

Besarnya nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) suatu bank dapat dihitung dengan rumus:

FDR =

x

100 %

Kriteria besaran Financing to Deposit Ratio menurut BI (2007) adalah:

Tabel 2.2 Kriteria Penilaian Financing to Deposit Ratio

Peringkat keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat FDR<75%

2 Sehat 75%,FDR<85%

3 Cukup Sehat 85%<FDR<100

4 Kurang Sehat 100%<FDR<120%

5 Tidak Sehat FDR>120%

Sumber : Lampiran SEBI No.9/24/DPbS tahun 2007

b) Rasio Solvabilitas

Penilaian aspek permodalan merupakan penilaian terhadap kecukupan modal bank untuk mengantisipasi risiko saat ini dan yang akan datang. Modal merupakan aspek penting bagi suatu unit bisnis bank. Kecukupan modal suatu bank mempengaruhi bank dalam beroperasi ataupun tidak, serta berkaitan dengan dipercaya atau tidaknya suatu bank oleh pengguna jasa bank. Dalam kaitannya dengan fungsi dari modal bank, Brenton C. Leavitt menekankan ada 4 hal penting, yaitu (Arifin, 20009:160) :

1) Untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan pada saat bank

insolvable dan likuidasi.

2) Untuk menyerap kerugian yang tidak diharapkan guna menjaga kepercayaan masyarakat bahwa bank dapat terus beroperasi.

3) Untuk memperoleh saran fisik dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan untuk menawarkan pelayanan bank.

4) Sebagai alat pelaksanaan peraturan pengendalian ekspansi aktiva yang tidak tepat.

Masalah kecukupan modal merupakan hal penting dalam bisnis perbankan. Bank yang memiliki tingkat kecukupan modal baik menunjukkan

41

indikator sebagai bank yang sehat. Sebab kecukupan modal bank menunjukkan keadaan bank yang dinyatakan dengan suatu ratio tertentu yang disebut ratio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR). Tingkat kecukupan modal ini dapat dihitung dengan cara membandingkan modal dengan dana pihak ketiga atau membandingkan modal dengan aktiva berisiko (Muhammad, 2015 140).

Modal bank syariah terdiri dari modal inti ditambah dengan pelengkap. Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Aktiva dalam perhitungan ini mencakup aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administratif. Terhadap masing-masing jenis aktiva ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan pada penggolongan nasabah, penjamin, atau sifat barang jaminan. CAR atau rasio kecukupan modal akan semakin baik apabila bias mempertahankan pada besaran minimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Semakin besar CAR, maka semakin besar keuntungan yang didapatkan oleh perbankan, karena semakin besar modal maka semakin baik bank dalam menutupi risikonya. Semakin besar modal, maka akan semakin besar pula peluang perbankan untuk melakukan ekspansi usaha dalam rangka meningkatkan profitabilitas. Perbankan khususnya perbankan syariah harus meningkatkan atau mempertahankan nilai CAR sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia agar perbankan dapat meningkatkan profitabilitasnya, selain itu kemampuan bank dalam menanggung risiko karena adanya modal yang cukup akan berdampak pada kepercayaan masyarakat yang nantinya akan meningkatkan profitabilitas bank syariah itu sendiri (Mokogow dan Fuadi, 2015:4).

Sesuai peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008, permodalan minimum yang harus dimiliki bank adalah 8 %. Suatu bank yang memiliki modal yang cukup diterjemahkan kedalam profitabilitas yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa semakin tinggi modal yang diinvestasikan di bank, maka semakin tinggi profitabilitas bank. Untuk menghitung Capital Adequacy Ratio (CAR) dapat digunakan rumus sebagai berikut:

42

CAR =

X 100%

Kriteria penilaian Capital Adequacy Ratio menurut BI (2007) adalah:

Tabel 2.3 Kriteria Penilaian Capital Adequacy Ratio

Peringkat keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat Car>11%

2 Sehat 9,5% <CAR<11%

3 Cukup Sehat 8%< CAR< 9,5%

4 Kurang Sehat 6,5%<CAR<8%

5 Tidak Sehat CAR< 6,5%

Sumber : Lampiran SEBI No.9/24/DPbS tahun 2007

c) Rasio Aktivita Produktif

Kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah tergantung pada kerja, yang salah satu indikator utamanya adalah kualitas dari penanaman dana bank. Kualitas penanaman dana yang baik akan menghasilkan keuntungan, sehingga kinerja bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah akan baik. Seagala kualitas penanaman dana yang buruk akan membawa pengaruh menurunnya kinerja bank yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan usaha bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (Muhammad, 2015:175)

Pembiayaan merupakan fasilitas atau produk yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah yang membutuhkan dana. Pembiayaan dalam bank konvensional dikenal dengan istilah kredit. Perbedaan bank syariah dengan bank konvensional terletak pada pembiayaannya, bank konvensional menggunakan imbalan bunga terhadap kredit yang diajukan oleh nasabah, sedangkan bank syariah menggunakan bagi hasil dalam kegiatan pembiayaan. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa (Muhammad, 2015:40)

1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk Mudharabah dan Musyarakah

2) Transaksi senya menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bittamlik

43

3) Transaksi jual beli dalam bentuk piutang mudharabah, salam, dan istishna 4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh

5) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbala atau bagi hasil

Non Performing financing (NPF) merupakan salah satu instrumen

penilaian kinerja sebuah bank syariah yang menjadi interpretasi penilaian pada aktiva produktif, Khususnya dalam penilaian pembiayaan bermasalah. NPF perlu diperhatikan karena sifatnya yang fluktuatif dan tidak pasti. Rasio NPF adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kegagalan dari pembiayaan bermasalah.

Non Performing Finance (NPF) yang analog dengan Non Performing Loan (NPL) pada bank konvensional merupakan rasio keuangan yang berkaitan

dengan kemampuan manajemen bank dalam mengelola pembiayaan bermasalah yang diberikan oleh bank, sehingga semakin tinggi rasio ini maka akan semakin buruk kualitas pembiayaan suatu bank yang menyebabkan jumlah pembiayan bermasalah semakin besar. (lemiyana dan Litriyani, 2016:3).

Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, besarnya NPL yang baik adalah dibawah 5%. Pada bank syariah istilah Non Performing Loan diganti Non Performing Financing (NPF) karena dalam syariah menggunakan prinsip pembiayaan. NPF merupakan tingkat risiko yang dihadapi bank. NPF adalah jumlah pembiayaan yang bermasalah dan ada kemungkinan tidak dapat ditagih. Semakin besar nilai NPF maka semakin buruk kinerja bank tersebut. Semakin besar NPF akan memperkecil keuntungan/profitabilitas bank karena dana yang tidak dapat ditagih mengakibatkan bank tidak dapat melakukan pembiayaan pada aktiva produktif lainnya. Hal ini mengakibatkan pendapatan bank menjadi berkurang sehingga profitabiltas perbankan akan terganggu. (ubaidillah, 2015:14)

Kriteria penilaian peringkat untuk rasio NPF ini menurut BI (2007) adalah:

44

Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Non Performing Financing

Peringkat keterangan Kriteria

1 Sangat Sehat NPF <2%

2 Sehat 2%<NPF<5%

3 Cukup Sehat 5%<NPF<8%

4 Kurang Sehat 8%<NPF<12%

5 Tidak Sehat NPF>12%

Sumber : Lampiran SEBI No.9/24/DPbS tahun 2007

Rasio NPF dapat dirumuskan sebagai berikut : NPF =

45

Dokumen terkait