• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Terkait Penelitian

3. Zakat

a. Pengertian Zakat

Zakat secara bahasa bermakna “mensucikan”, “tumbuh”, atau “berkembang”. Menurut istilah syara’, zakat bermakna mengeluarkan sejumlah harta tertenttu, untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan syariat islam. Dengan ketentuan oprasional meliputi jenis harta yang terkena kewajiban zakat, tarif , batas minimal harta, batas waktu pelaksanaan, hingga sasaran pembelanjaan zakat. Zakat merupakan salah satu dari rukun islam dan hukum melaksanakannya adalah wajib (Wibisono, 2015:1).

Regulasi mengenai zakat di Indonesia terjadi dalam beberapa tahap. Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat semakin meningkat, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 tahun 1968, masing-masing tentang pembentukan BAZ dan Baitul Mal di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pada tahun yang sama, Presiden Suharto mengeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan teroganisir dan anjuran tersebut ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, untuk mengelola zakat secara profesional, maka berdirilah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS). Sampai akhirnya muncul UU Nomor 38 tahun 1999 yang kini sudah di ganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Setelah UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dibentuk Pertauran Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU No.23 Tahun 2011. Didalamnya, dijelaskan lebih lanjut mengenai pengelolaan zakat yang termaktub dalam UU Nomor 23 Tahun 2011. (Bahri, 2019:4).

Ibadah zakat merupakan cerminan dalam komitmen Islam dalam memerangi kesenjangan sosial dan secara konsisten memperjuangkan

30

terciptanya keseimbangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin. Upaya membangun keseimbangan antara muzakki dan mustahiq termanifestasi dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, bentuk yang bersifat kewajiban yang bernuansa “top down”, dengan atau tanpa kesadaran pada golongan yang telah memenuhi persyaratan tertentu harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk mustahiq. Kedua, bentuk yang bersifat sukarela (tathawwu’), yang menekankan adanya kesadaran akan pentingnya solidaritas sosial. Keduanya disyariatkan oleh Islam dalam rangka membangun tatanan sosial masyarakat yang harmonis. (istifhamah, 2015:3).

Menurut wibisono (2015) zakat memiliki implikasi terhadap ekonomi, baik mikro ekonomi dan makro ekonomi zakat, antara lain terhadap konsumsi agregat, tabungan nasional, investasi, produk agregat, efisiensi alokatif, stabilisasi makro-ekonomi, jaminan sosial, distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Implikasi terpenting zakat yaitu dampaknya terhadap konsumsi agregat. Dimana zakat diterapkan, maka masyarakat akan terbagi dalam dua kelompok yaitu pembayar zakat (muzakki) dan penerima zakat (mustahiq). Kelompok pembayar zakat akan mentransfer sejumlah proporsi pendapatan mereka ke kolompok penerima zakat. Hal ini akan membuat pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) dari mustahiq akan meningkat. Dilain sisi juga meningkatkan permintaan barang dan jasa yang umumnya adalah kebutuhan dasar seperti pangan, sandang. Permintaan yang lebih tinggi untuk kebutuhan dasar akan mempengaruhi komposisi produksi barang dan jasa, sehingga akan membawa pada alokasi sumber dana menuju ke sektor yang lebih diinginkan secara sosial. Hal ini akan meningkatkan efisiensi alokatif dalam perekonomian.

b. Zakat Perusahaan

Zakat perusahaan (Corporate zakat) adalah sebuah fenomena baru, sehingga hampir dipastikan tidak ditemukan dalam kitab fiqih klasik. Ulama kontemporer melakukan dasar hukum zakat perusahaan melalui upaya qiyas, yaitu zakat perusahaan kepada zakat perdagangan. Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya zakat perusahaan bersifat kolektif. Para ulama peserta muktamar internasional menganalogikan

31

zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dan aspek legal dan ekonomi kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Oleh karena itu, nishabnya adalah sama dengan nishab zakat perdagangan yaitu 85 gram emas. (Wahyudi, 2015:14)

Zakat selain sebagai suatu ibadah juga sebagai aspek tabarru (aspek social perusahaan) yang merupakan suatu kewajiban perusahaan yang harus dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam melakukan aktivitas usahanya. Zakat diharapkan mampu untuk mensejahterakan pihak lain maupun pihak perusahaan itu sendiri, dimana dengan zakat sebagai aspek social perusahaan diharapkan mampu juga untuk meningkatkan image perusahaan itu sendiri. (Mufraini, 2008:121)

Muktamar Internasional Pertama tentang Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404H) menyatakan kewajiban zakat sangat terkait dengan Perusahaan. Perusahaan, menurut hasil muktamar dikategorikan sebagai badan hukum yang dianggap orang karenanya perusahaan termasuk muzakki atau subyek zakat. Bahkan di Indonesia sendiri sudah ada Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mewajibkan zakat perusahaan (Muhammad, 2014). Dalam UU No. 23/2011 Pasal 11 Ayat 2 Poin b dinyatakan bahwa “Zakat ialah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat islam. (Bahri, 2019:13)

Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan adalah sebgai badan hukum (reeht person) atau yang dianggap orang. Karena itu, diantara individu tersebut kemudian muncul berbagai transaksi dan kerjasama. Segala kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara berssama-sama oleh pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya kewajiban terhadap Allah SWT dalam bentuk membayar zakat. (Wahyudi, 2015:15)

Teknik perhitungan zakat perusahaan disesuaikan dengan harta yang dimiliki perusahaan. Setiap perusahaan, paling tidak, memiliki tiga macam harta. Pertama, harta dalam bentuk barang, baik yang berupa sarana dan prasarana maupun yang berupa komoditas perdagangan. Kedua, harta dalam

32

bentuk uang tunai, yang biasanya disimpan di bank. Ketiga, harta dalam bentuk piutang. Harta perusahaan yang wajib dizakati adalah ketiga bentuk harta tersebut, dikurangi harta dalam bentuk sarana dan prasarana dan kewajiban mendesak lainnya, seperti utang yang jatuh tempo atau yang harus dibayar saat itu juga. (Bahri, 2019:13)

Dalam menentukan aset wajib zakat yang beragam pada akhir tahun baik berupa barang (inventories) maupun pendapatan (receivables), serta merinci kekayaan yang masuk daftar aset wajib zakat. Aset wajib zakat ini juga harus memenuhi syarat sebagai berikut (mufraini, 2008:59) :

1) Kepemilikan penuh

2) Produktif, baik perkembangan tersebut riil atau menurut hitungan prediktif

3) Kepemilikan satu tahun, kecuali zakat pertanian, buah-buahan, barang tambang, dan barang temuan

4) Tidak dikeluarkan zakatnya pada tahun yang sama 5) Merupakan surplus dari kebutuhan primer

6) Terbebas dari utang

7) Mencapai nisab (ketentuan batas minimal)

Mufraini (2008) memaparkan ada dua metode cara menghitung zakat perusahaan menurut AAOIFI, yaitu:

1) Model Aktiva Bersih

[ ( Kas dan setara kas + Piutang bersih + Pembiayaan + Aktiva yang diperdagangkan) – ( Utang lancer + Modal investasi tak terbatas + Penyertaan minoritas + Penyertaan dari pemerintah + endowment + Lembaga sosial + Organisasi non profit) ] x 2,5% =

2) Model Not Invested Funds

[ ( Tambahan modal + Cadangan + Cadangan yang bukan dikurangkan dari aktiva + Laba ditahan + Laba beraih + Utang jangka panjang) – (Aktiva tetap + Investasi yang tidak diperdagangkan + Kerugian) ].

Menurut Rochim (2014), ada beberapa prinsip dalam perhitungan zakat perusahaan yaitu:

33

1) Zakat hanya dibebankan kepada orang muslim dan tidak dibebankan kepada non muslim.

2) Aset berupa fasilitas perusahaan tidak terkena zakat, seperti: mobil untuk fasilitas, kantor, computer, dan sejenisnya.

3) Zakat perusahaan pada dasarnya menzakati harta orang-orang yang menanamkan modal diperusahaan serta keuntungannya.

4) Sistem zakat perusahaan tergantung bidang perusahaan tersebut: perusahaa yang bergerak dibidang perdagangan dan keuangan system zakatnya adalah zakat perdagangan. Perusahaan yang bergerak dibidang pertanian dan perkebunan maka zakatnya adalah zakat pertanian atau perkebunan. Sedangkan perusahaan jasa dan pertambangan ada perbedaan di antara ulama baik terkait dengan nishab dan besaran zakat yang harus dikeluarkan, sebagian ulama berpendapata mengikuti perhitungan emas serta perak dan ada juga yang berpendapat mengikuti pertanian.

5) Perusahaan yang bergerak dibidnag industri: bahan baku yang belum diproduksi masuk dalam perhitungan harta yang terkena zakat.

6) Perhitungan zakat perusahaan boleh dilakukan saat tutup buku atau genap satu tahun. Dengan demikian, perhitungan zakat perusahaan tidak berdasarkan fluktuasi keuangan yang berlangsung perbulan atau perhari, namun perhitungan dilakukan pertahun.

7) Hutang bisa menjadi pengurang bilai nilai hutang itu melebihi nilai aset tidak bergerak perusahaan

34

Dokumen terkait