• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINETIKA REAKSI KIMIA DAN PRINSIP PENDUGAAN UMUR SIMPAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS) SIMPAN METODE AKSELERASI (MODEL ARRHENIUS)

1. Kinetika Reaksi Kimia

Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi ini disebabkan oleh persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu (Arpah, 2001). Sementara itu, Kusnandar (2006) menambahkan bahwa bahan dan produk pangan dapat pula mengalami reaksi-reaksi kimia selama penyimpanan yang dipicu oleh komponen-komponen kimia di dalamnya. Reaksi kimia yang dapat terjadi diantaranya oksidasi lemak, reaksi kecoklatan (Maillard) akibat interaksi gula pereduksi dan asam amino/protein, serta denatutasi protein.

Reaksi penurunan mutu dalam bahan/produk pangan umumnya mengikuti reaksi ordo nol dan ordo satu. Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo reaksi lain, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Hariyadi et al., 2006). Penjelasan dari kedua model ordo reaksi tersebut adalah sebagai berikut:

16

a. Reaksi Kimia Ordo Nol

Pada reaksi ordo nol, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut (persamaan 1):

A

T

k

(1) dengan mengintegralkan kedua ruas persamaan diatas, diperoleh persamaan sebagai berikut:

A Ao kt

Dimana: A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ao= nilai mutu awal

t = waktu penyimpanan (dalam hari. bulan atau tahun)

Menurut Labuza (1982) dan Hariyadi et al. (2006), tipe kerusakan pangan yang mengikuti model reaksi ordo nol adalah perubahan kadar air; degradasi enzimatis (misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku); reaksi kecoklatan non-enzimatis (misalnya pada biji-bijian kering dan produk susu kering); dan reaksi oksidasi lemak (misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku).

b. Reaksi Kimia Ordo Satu

Jika pada reaksi ordo nol, persentase penurunan mutu bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial. Pada reaksi ordo satu, laju perubahan A menjadi B dinyatakan sebagai berikut (persamaan 2):

AT

kA

(2)

dengan integrasi, diperoleh persamaan sebagai berikut: ln

A ln A kt

Dimana; A = nilai mutu yang tersisa setelah waktu t Ao = nilai mutu awal

k = konstanta laju reaksi ordo satu

t = waktu penyimpanan (dalam hari. bulan atau tahun)

17 Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam rekasi ordo satu diantaranya (1) ketengikan (misalnya pada minyak salad dan sayuran kering); (2) pertumbuhan mikroorganisme (misal pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas); (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza, 1982 dan Hariyadi et al., 2006).

Konstanta laju reaksi kimia (k), baik ordo nol maupun ordo satu dapat dipengaruhi oleh suhu. Secara umum reaksi kimia lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Oleh sebab itu konstanta laju reaksi kimia (k) akan semakin besar pada suhu yang lebih tinggi. Seberapa besar konstanta laju reaksi kimia dipengaruhi oleh suhu dapat dilihat dengan menggunakan model persamaan Arrhenius (persamaan 3) sebagai berikut:

k = k

o

.exp

‐Ea/RT (3)

Dimana; k = konstanta laju penurunan mutu

ko = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu)

Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (K)

R = konstanta gas (1.986 kal/mol.K)

2. Prinsip Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu kondisi penyimpanan untuk sampai pada level atau tingkatan degradasi mutu tertentu (Floros, 1993). Arpah (2001) menambahkan bahwa umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada didalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi.

Kerusakan pangan dapat disebabkan oleh terjadinya reaksi kimia. Reaksi kimia yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan

18 kerusakan mutu pangan tidak dapat lagi diterima oleh konsumen dan pangan dinyatakan telah mencapai masa kadaluarsa (Syarief dan Halid, 1993). Penentuan umur simpan dilakukan dengan mengevaluasi perubahan mutu produk selama penyimpanan hingga penurunan mutu mencapai tingkat yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas diantaranya (1) keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik; (2) ukuran kemasan dalam hubungan dengan volume; (3) kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban, dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan; dan (4) kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.

Metode penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan menyimpan produk hingga rusak pada kondisi penyimpanan/lingkungan yang normal. Cara ini menghasilkan informasi yang paling valid, namun memerlukan waktu yang lama dan tidak praktis untuk aplikasi di industri. Oleh karena itu dikembangkan metode pendugaan umur simpan dengan metode yang dipercepat (Accelerated Shelf-Life Testing atau ASLT method), dimana produk disimpan pada kondisi penyimpanan ekstrim yang dapat mempercepat kerusakannya.

Umur simpan selanjutnya diduga dengan menggunakan model matematika, dimana faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerusakan produk dimasukkan ke dalam model matematika tersebut. Metode ASLT membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat dengan tingkat akurasi yang masih dapat diterima. Semakin valid model matematika yang digunakan, maka pendugaannya akan semakin valid pula.

Metode ASLT yang sering digunakan untuk pendugaan umur simpan adalah model kadar air kritis dan model Arrhenius. Model kadar air kritis diterapkan untuk pendugaan umur simpan produk pangan yang rusak oleh adanya penyerapan air oleh produk. Model ini terutama untuk produk

19 pangan yang kering. Kerusakan dievaluasi dari perubahan tekstur (misal kerenyahan yang hilang dan peningkatan kelengketan) atau terjadinya penggumpalan (Kusnandar, 2006).

Model Arrhenius diterapkan untuk produk-produk pangan yang mudah rusak akibat reaksi kimia, seperti oksidasi lemak, reaksi Maillard dan denaturasi protein. Secara umum, laju reaksi kimia akan semakin cepat meningkat pada suhu yang lebih tinggi, dimana penurunan mutu produk semakin cepat terjadi (Hariyadi et al., 2006). Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannnya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mie instan, daging beku dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan).

Reaksi kimia pada umumnya dipengaruhi oleh suhu. Oleh sebab itu model Arrhenius mensimulasikan percepatan kerusakan produk pada kondisi penyimpanan suhu tinggi di atas suhu penyimpanan normal. Laju reaksi kimia yang dapat memicu kerusakan produk pangan umumnya mengikuti laju reaksi ordo 0 dan ordo 1 (Kusnandar, 2006).

Model Arrhenius dilakukan dengan menyimpan produk pangan dengan kemasan pada minimal tiga suhu penyimpanan ekstrim. Percobaan dengan metode Arrhenius bertujuan untuk menentukan konstanta laju reaksi (k) pada beberapa suhu penyimpanan ekstrim, yang selanjutnya dilakukan ekstrapolasi untuk menghitung konstanta laju reaksi (k) pada suhu penyimpanan yang diinginkan melalui persamaan Arrhenius (persamaan 3). Dari persamaan tersebut dapat ditentukan nilai k (konstanta penurunan mutu) pada suhu penyimpanan umur simpan, kemudian dihitung umur simpan sesuai dengan ordo reaksinya (persamaan 1 dan 2).

20

III. METODOLOGI PENELITIAN

A.BAHAN

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung jagung tepung, terigu Cakra Kembar, Na2CO3, K2CO3, guar gum, garam, dan akuades serta bahan-bahan analisis. Tepung jagung diproses dari jagung pipil varietas Pioneer 21 yang diperoleh dari Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

B.ALAT

Alat-alat yang digunakan dalam produksi tepung jagung adalah multi mill, disc mill, hammer mill, dan ayakan bertingkat. Alat yang digunakan untuk produksi mie jagung adalah timbangan, oven pengering, vary mixer, noodle sheeter dan pengukus (steamer). Peralatan proses tersebut menggunakan fasilitas lini produksi mie di Pilot Plant SEAFAST Center-IPB.

Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah neraca analitik, Texture Analyzer (TA-XT2), spektrofotometer, alat destilasi, Chromameter CR-200 Minolta, inkubator, oven, gelas piala dan kompor penangas. Peralatan untuk uji organoleptik yang diperlukan adalah piring saji, sendok plastik dan wadah saji. Uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Sensori Pangan di SEAFAST Center.