• Tidak ada hasil yang ditemukan

jum

lah ga

lur

3 14 2 0 0 8 21 7 1 1 69 11 2 1 0 62 2 0 0 0 15 32 40 20 00 37 1 0 0 0 37 0 20 40 60 80 100 A B C D E

kisaran bobot kering akar (g)

ju m la h g a lu r

Gambar 11. Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar (■), R0-K0 ( ), R1-K0 (□), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah akar cabang primer A (x<11,2), B (11,2≤x<19,4), C (18,4≤x<27,6), D (27,6≤x<35,8), E (35,8≤x<44,0); kisaran bobot kering akar A (x<0,72), B (0,72≤x<1,34), C (1,34≤x<1,96), D (1,96≤x<2,58), E (2,58≤x<3,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar

67 0 4 7 7 1 20 5 7 4 2 22 31 17 9 1 24 27 12 1 0 15 2 3 2 2 7 17 11 4 0 23 8 5 2 0 0 10 20 30 40 A B C D E

kisaran jumlah polong bernas

jum lah galu r 0 6 11 2 0 9 3 4 3 25 37 19 2 0 29 30 3 2 0 17 2 4 0 0 7 20 7 5 0 26 18 4 0 0 19 0 10 20 30 40 50 A B C D E

kisaran bobot polong bernas (g)

ju m lah ga lu r

Gambar 12. Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar (■), R0-K0 ( ), R1-K0 (□), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ),

R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah polong bernas A (x<5,2), B (5,2≤x<10,4), C (10,4≤x<15,6), D (15,6≤x<20,8), E (20,8≤x<26,0); kisaran bobot polong bernas A (x<8,44), B (8,44≤x<16,88), C (16,88≤x<25,32), D (25,32≤x<33,75), E (33,75≤x<42,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar

Untuk karakter jumlah polong bernas, dari populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15 dan R2-K15 terdapat masing-masing 20, 22, 24, lima, tujuh dan 23 galur yang mempunyai jumlah polong bernas lebih sedikit dibanding tanaman standar. Tidak ada satupun galur yang mempunyai jumlah polong lebih besar daripada tanaman standar (Gambar 12).

Di antara galur-galur pada populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15 dan R2-K15 masing-masing terdapat 19, 25, 29, 17, tujuh, 26 dan tiga galur yang mempunyai bobot polong bernas lebih kecil daripada tanaman standar. Terdapat tiga galur dari populasi R0-K0 yang mempunyai bobot polong bernas lebih besar dibandingkan tanaman standar (Gambar 12).

68

Pembahasan

Varian kualitatif yang muncul pada tanaman hasil seleksi in vitro dalam media dengan PEG 15% (populasi K15) lebih rendah tingkat keragamannya dibanding yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro (populasi K0). Pada populasi K15 muncul varian berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total; sedangkan pada populasi K0, selain lima karakter tersebut teridentifikasi pula munculnya daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat.

Perbedaan intensitas variasi tersebut diduga sebagai akibat perbedaan perlakuan yang dialami embrio somatik (ES) yang menghasilkan tanaman K0 dan K15. ES yang diregenerasikan menjadi tanaman K0 mengalami sub-kultur sebanyak enam kali, sedangkan yang diregenerasikan menjadi tanaman K15 selain mengalami sub-kultur enam kali juga mengalami seleksi dalam media selektif PEG 15% selama tiga bulan dengan tiga kali sub-kultur. Dengan demikian variasi yang muncul pada tanaman K0 terjadi akibat pengaruh sub- kultur berulang terhadap perubahan materi atau ekspresi genetik pada jaringan eksplan atau kalus. Pikloram (asam 4-amino,3.5.6.trikhloropikolinat, suatu herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin) yang ditambahkan dalam media kultur menginduksi pembelahan sel terus menerus dengan kecepatan yang tinggi. Pembelahan sel yang cepat tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam proses replikasi materi genetik atau pada faktor-faktor pengendali ekspresi genetik, sehingga juga mengakibatkan perubahan pada fenotipe tanaman (Wikipedia 2006). Perubahan yang terjadi bersifat acak pada berbagai karakter.

Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada kedelai. Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μM terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et al. 1991).

Variasi yang muncul pada populasi K15 terjadi bukan hanya akibat pengaruh sub-kultur seperti di atas, melainkan juga pengaruh tekanan seleksi dari bahan penyeleksi PEG. Oleh karena itu variasi yang muncul akibat pengaruh sub-kultur ada kemungkinan tereliminasi oleh tekanan seleksi, sehingga

69

keragaman yang muncul pada tanaman hasil seleksi lebih rendah dibandingkan tanaman hasil kultur in vitro (Skirvin et al. 1994)

Pada umumnya persentase munculnya varian kualitatif berkurang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Varian percabangan berlebihan teridentifikasi dalam persentase yang cukup tinggi pada generasi R0, namun menurun tajam pada generasi R1. Varian filotaksis daun roset, ujung daun meruncing, dan daun varigata hanya tampak pada populasi tanaman hasil kultur in vitro generasi R0 dengan persentase yang relatif kecil. Pada generasi selanjutnya dan pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro varian tersebut tidak terdeteksi. Persentase varian yang tinggi pada generasi R0 mungkin disebabkan oleh pengaruh kondisi kultur yang mampu mengubah fenotipe tanaman, namun perubahan tersebut tidak permanen atau bersifat epigenetik. Epigenetik merupakan modifikasi dalam ekspresi genetik, tetapi cenderung reversibel akibat perubahan struktur kromatin dan atau metilasi DNA, atau amplifikasi gen (Henikoff dan Matzke 1997, Tremblay et al. 1999, Wikipedia 2006). Pada generasi lanjut perubahan pada mekanisme epigenetik makin berkurang sehingga keragaan tanaman yang diregenerasikan melalui tahap kultur in vitro

lebih mendekati keragaan tanaman standar (Henikoff dan Matzke 1997). Varian steril total tidak dapat dianalisis lebih lanjut karena tidak menghasilkan benih.

Varian percabangan melebar dan daun pentafoliat muncul pada generasi R0, R1 dan R2 baik pada populasi tanaman K0 maupun K15. Varian steril partial muncul pada generasi R0, R1 dan R2 untuk populasi tanaman K0. Varian karakter-karakter tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini berarti variasi somaklonal untuk tiga karakter tersebut diduga dikendalikan oleh faktor genetik, yang mungkin diakibatkan oleh perubahan dalam struktur gen-gen yang terlibat pada pola percabangan dan jumlah anak daun dalam satu daun majemuk. Varian genetik juga ditemukan pada tanaman gandum. Pada tanaman regeneran gandum terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et al. 1984).

Pada tanaman hasil kultur in vitro, varian daun hexafoliat dan oktafoliat tidak teridentifikasi pada generasi R0, namun muncul pada R1 dan R2. Pada tanaman hasil seleksi in vitro, varian steril partial juga tidak teridentifikasi pada generasi R0, tetapi muncul pada generasi R1 dan R2. Varian karakter-karakter

70

tersebut diduga dikendalikan oleh gen resesif. Semua tanaman generasi R0 diduga mempunyai genotipe heterozigot sehingga fenotipe varian tersebut tidak muncul. Pada generasi selanjutnya mungkin terjadi rekombinasi gen yang mengakibatkan susunan genotipe homozigot dan fenotipe varian muncul pada beberapa tanaman.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang melalui tahap kultur in vitro dan penggunaan fitohormon dalam kultur in vitro dapat menginduksi variasi somaklonal. Pada Picea mariana dan P. glauca yang diregenerasikan melaui embriogenesis somatik teridentifikasi ada sembilan kelompok varian untuk karakter kualitatif. Beberapa tipe varian terbentuk akibat instabilitas khromosom, khususnya aneuploid. Dalam penelitian tersebut instabilitas khromosom diakibatkan oleh perbedaan klon dan lama waktu dalam kultur (Tremblay et al. 1999). Induksi kalus dengan pikloram dan BA dapat menghasilkan variasi genetik pada Lycopersicon esculentum Mill. Koefisien kesamaan genetik menunjukkan bahwa semua tanaman regeneran mempunyai tingkat perbedaan genetik yang bervariasi dengan tanaman induk (Soniya et al.

2001).

Pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, pertumbuhan tajuk tanaman generasi R0 lebih tinggi dibanding tanaman standar; tetapi pada generasi R1 dan R2 pertumbuhan tajuk menurun sehingga lebih rendah dibandingkan tanaman standar. Nilai ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk pada generasi R0 dan R1 pada umumnya jauh di atas tanaman standar. Pertumbuhan akar pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro secara umum lebih rendah dibanding tanaman standar untuk semua generasi, namun nilai ragam beberapa peubah pertumbuhan akar tertentu lebih tinggi dibanding tanaman standar. Hasil panen pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro juga lebih rendah dibanding tanaman standar untuk semua generasi. Walaupun demikian, nilai ragam peubah-peubah tersebut pada semua generasi lebih tinggi dibanding tanaman standar. Nilai ragam yang lebih tinggi pada sejumlah peubah pertumbuhan tajuk, akar dan hasil menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan telah dapat menginduksi variasi somaklonal untuk karakter kuantitatif.

Munculnya varian kuantitatif pada beberapa peubah diperjelas dengan adanya beberapa galur tanaman yang mempunyai nilai peubah yang lebih tinggi dibanding nilai tanaman stándar, atau merupakan varian positif. Dari tiga populasi yang dievaluasi, varian positif untuk peubah bobot kering tajuk

71

sebanyak 39 galur, untuk tinggi tanaman sebanyak 22 galur, untuk bobot kering akar sebanyak empat galur, dan untuk bobot polong bernas sebanyak tiga galur.

Varian positif untuk bobot kering tajuk dan tinggi tanaman bukan merupakan varian yang diharapkan dalam pengembangan galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Biomassa tajuk yang tinggi akan menurunkan nisbah akar/tajuk, dan hal ini secara teoritis akan menurunkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan (Blum 1996).

Varian positif untuk bobot kering akar secara potensial mempunyai toleransi terhadap kekeringan yang lebih tinggi dibanding tanaman standar, tetapi toleransi tersebut dicapai melalui mekanisme avoidance dengan membentuk akar yang intensif. Varian tersebut berasal dari populasi tanaman hasil kultur in vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K0-8 dan K0-30.2, dan dari tanaman hasil seleksi in vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K-15.1 dan K-15.2. Meskipun potensial mempunyai toleransi terhadap cekaman kekeringan, namun dalam penelitian ini tidak diharapkan karena mekanisme yang dilakukan merupakan mekanisme avoidance yang dapat menurunkan daya hasil.

Galur dengan varian positif untuk bobot polong bernas merupakan galur yang potensial dikembangkan sebagai galur harapan. Galur-galur tersebut berasal dari populasi tanaman hasil kultur in vitro sebanyak dua galur, yaitu K0-2 dan K0-4, dan dari populasi tanaman hasil seleksi in vitro sebanyak satu galur, yaitu K15-4.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya yang mengindikasikan bahwa kultur jaringan dapat menginduksi variasi somaklonal khusus yang berperan dalam pengembangan galur baru. Variasi somaklonal terbukti telah dapat diterapkan untuk pengembangan jagung yang toleran aluminium (Moon et al. 1997), peningkatan toleransi terhadap suhu rendah pada padi (Bertin dan Bouharmont 1997), peningkatan produktivitas pada sorghum (Maralappanavar et al. 2000), peningkatan kualitas hasil dan toleransi terhadap lingkungan salin pada Distichis spicata (Seliskar dan Gallagher 2000), peningkatan hasil pada Secale cereale L (Trojanovska 2002), dan gandum yang toleran terhadap kekeringan (Bajji et al. 2004).

Simpulan

Varian somaklonal kualitatif yang muncul pada tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun

72

pentafoliat, steril partial dan steril total. Varian somaklonal yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam, yaitu percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat.

Varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik adalah percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial. Varian daun hexafoliat, oktafoliat dan steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro) diduga dikendalikan oleh gen resesif. Varian yang dikendalikan secara epigenetik adalah daun roset, daun varigata dan ujung daun meruncing.

Nilai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas untuk sejumlah peubah pertumbuhan pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dibanding pada tanaman stándar mengindikasikan terjadinya variasi somaklonal pada karakter kuantitatif. Varian kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Galur tanaman yang mempunyai varian positif untuk bobot kering akar adalah nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2; sedangkan yang mempunyai varian positif untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4.

VI. TOLERANSI GALUR KACANG TANAH

HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO

Dokumen terkait