• Tidak ada hasil yang ditemukan

TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

VIII. PEMBAHASAN UMUM

Pengembangan galur tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan melalui seleksi in vivo di lapang pada umumnya menghasilkan galur toleran dengan mekanisme pembentukan akar intensif yang berpotensi menurunkan daya hasil. Seleksi di lapang dalam lingkungan bercekaman cenderung mendorong tanaman untuk membentuk akar yang berlebihan karena cekaman kekeringan menginduksi aktivitas ABA. Akar tidak sensitif terhadap ABA, suatu fitohormon yang berperan menghambat pertumbuhan. Akibatnya dalam kondisi kekeringan pertumbuhan akar dapat berlangsung dengan kecepatan optimum atau bahkan lebih tinggi (Creelman et al. 1990). Seleksi in vitro dapat menapis sel/jaringan yang mampu hidup dalam media dengan potensial air rendah melalui mekanisme tolerance, karena mekanisme avoidance tidak mungkin terjadi pada sel/jaringan dalam media in vitro. Apabila sel tersebut dapat diregenerasikan menjadi tanaman diharapkan akan mempunyai mekanisme toleransi seperti sel/jaringan asalnya. Kemampuan sel/jaringan untuk dapat bertahan hidup dalam media selektif in vitro dengan potensial air rendah harus telah dimiliki sebelum sel/jaringan tersebut diseleksi. Kemampuan ini merupakan karakter yang sebelumnya mungkin belum dimiliki oleh sel/jaringan sehingga harus diinduksi, antara lain melalui induksi variasi somaklonal.

Berdasarkan hal itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah sebagai jaringan yang akan diseleksi dan menginduksi variasi somaklonal. Teknik tersebut telah dibakukan dalam penelitian sebelumnya (Yusnita et al. 2005). Langkah selanjutnya adalah mengembangkan teknik seleksi in vitro yang mengandung bahan penyeleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang. Dari sejumlah penelitian pada berbagai tanaman budidaya diketahui bahwa sebagai bahan penyeleksi toleransi terhadap kekeringan, PEG-6000 mempunyai beberapa kelebihan dibanding senyawa lain.

Berdasar hal itu pada tahap pertama dilakukan penelitian yang bertujuan menguji efektivitas PEG-6000 sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro

untuk kultivar kacang tanah yang dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan

118

perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah terhadap cekaman PEG dan menentukan perubahan kandungan prolina total jaringan akibat stres PEG (Bab III).

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa larutan PEG dalam media in vitro bersifat menghambat pertumbuhan kecambah dan tunas kacang tanah sebagaimana yang terjadi secara in vivo dan meningkatkan kandungan prolina total jaringan sehingga diduga mampu mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan dalam media in vitro . Dampak negatif dari larutan PEG dalam media

in vitro berbeda-beda tergantung pada respon kultivar kacang tanah terhadap stres kekeringan. Hal ini berarti penapisan secara in vitro menggunakan PEG dapat menjadi alternatif metode untuk menduga karakter toleransi kacang tanah Indonesia terhadap cekaman kekeringan.

Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan tunas kacang tanah. Respon tunas kacang tanah terhadap media dengan penambahan PEG 15% dapat digunakan sebagai alternatif metode untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Tunas yang ditumbuhkan dari poros embrio dengan kotiledon (eksplan TDK) atau tanpa kotiledon (eksplan TTK) dapat digunakan sebagai eksplan; dan peubah pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK dan TDK), jumlah akar utama (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK) digunakan sebagai penduga toleransi.

Meskipun data yang ada mengindikasikan PEG dapat digunakan untuk mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan secara in vitro, efektivitasnya sebagai bahan penyeleksi pada tingkat sel untuk mengisolasi ES yang toleran (insensitif) dan mendapatkan tanaman varian yang toleran cekaman kekeringan masih perlu dievaluasi. Hal tersebut diperlukan untuk mengembangkan metode baku seleksi in vitro menggunakan PEG yang dapat dimanfaatkan untuk mengisolasi ES varian kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan. Berdasar hal itu penelitian pada tahap kedua bertujuan mengevaluasi respon ES empat kultivar kacang tanah terhadap media selektif dengan penambahan PEG, menentukan konsentrasi sub-letal yang menghambat pertumbuhan dan proliferasi ES, dan meregenerasikan tanaman R0 kacang tanah dari ES hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG (Bab IV).

media selektif dapat menghambat proliferasi ES kacang tanah, dan tingkat penghambatan sekitar 95% (sub-letal) didapatkan pada konsentrasi PEG 15%. Dari hasil penelitian tersebut kemudian dikembangkan media selektif in vitro

untuk menyeleksi ES kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan, yaitu berupa media MS-P16 cair dengan fitohormon pikloram 16 μM dan penambahan PEG 15%. Pada media tersebut dimasukkan lembaran busa dan kertas saring steril untuk menyangga embrio somatik yang diseleksi agar tidak tenggelam. Seleksi dilakukan selama tiga bulan dan setiap bulan dilakukan sub-kultur.

Teknik dan media seleksi yang dikembangkan dimanfaatkan untuk menyeleksi ES varian kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang telah diperoleh sebelumnya. Sejumlah ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang insensitif terhadap cekaman PEG 15% berhasil diperoleh dari seleksi in vitro yang dilakukan dengan frekuensi masing-masing sebesar 8%-10% dan 10-12%. ES tersebut kemudian diregenerasikan menjadi tanaman R0 dan ditumbuhkan di rumah kaca untuk menghasilkan benih generasi selanjutnya (Bab IV). Dalam aklimatisasi plantlet menjadi tanaman terjadi hambatan cukup besar. Banyak plantlet yang tidak dapat tumbuh sampai umur reproduktif. Dari 62 plantlet kacang tanah cv. Kelinci hanya diperoleh 24 tanaman yang mencapai umur reproduktif, dan di antara 24 tanaman tersebut tidak seluruhnya bersifat fértil. Di antara 48 plantlet kacang tanah cv. Singa hanya 10 tanaman yang dapat tumbuh hingga umur reproduktif tetapi semuanya steril sehingga tidak dapat dievaluasi lebih lanjut.

Variasi somaklonal dapat diketahui keberadaannya dengan menganalisis fenotipe tanaman (Maraschin et al. 2002). Untuk mengetahui terjadinya variasi somaklonal, dilakukan pengamatan karakter kualitatif dan kuantitatif pertumbuhan tanaman, dan untuk menduga faktor pengendali varian dilakukan pengamatan pada generasi R0, R1 dan R2. Selain itu perlu pula membandingkan intensitas munculnya variasi somaklonal antara tanaman yang berasal dari ES hasil kultur in vitro tanpa seleksi dengan yang berasal dari ES hasil seleksi in vitro menggunakan PEG 15% (Bab V).

Dari hasil percobaan diketahui ada berbagai varian somaklonal kualitatif. Varian kualitatif yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam dibandingkan yang muncul pada tanaman hasil seleksi in vitro . Sebagian varian diduga dikendalikan oleh faktor genetik dominan atau resesif, sebagian yang lain diduga dikendalikan oleh faktor epigenetik. Varian kuantitatif diyakini terjadi

120

dengan indikasi 1) nilai ragam untuk beberapa peubah pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro lebih besar dibandingkan pada tanaman standar, 2) terdapat sejumlah galur dari populasi tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro yang mempunyai nilai peubah di luar kisaran nilai peubah pada tanaman standar. Varian kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Galur tanaman yang mempunyai varian positif untuk bobot kering akar adalah nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2. Sedangkan yang mempunyai varian positif untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4 (Bab V).

Adanya variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif pada tanaman hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mengindikasikan pula adanya peluang untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap kekeringan melalui mekanisme yang berbeda dengan tanaman standar. Untuk mengetahui hal ini dilakukan evaluasi toleransi tanaman varian terhadap cekaman kekeringan melalui dua pendekatan, yaitu cekaman kekeringan yang diinduksi oleh penyiraman PEG 15% (Bab VI) dan yang diinduksi oleh pengurangan frekuensi penyiraman air (Bab VII).

Evaluasi toleransi tanaman terhadap cekaman PEG menunjukkan bahwa tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro mempunyai respon terhadap cekaman PEG dengan distribusi frekuensi yang lebih luas dan nilai ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa di antara tanaman- tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro terdapat tanaman varian somaklonal.

Kultur in vitro dan seleksi in vitro dapat menghasilkan tanaman dengan tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman standar. Berdasarkan nilai indeks kerusakan daun, tanaman standar termasuk agak peka, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

terdapat delapan tanaman agak toleran dan tidak ditemukan tanaman toleran. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan peubah biomassa tanaman, semua tanaman standar tergolong medium toleran, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

terdapat enam galur tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG. Dari hasil percobaan juga diketahui bahwa nisbah akar/tajuk dan panjang akar tidak mempunyai hubungan signifikan dengan toleransi tanaman terhadap cekaman PEG (Bab VI).

Evaluasi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yang diinduksi oleh pengurangan penyiraman air memperlihatkan bahwa distribusi frekuensi dan nilai ragam untuk beberapa peubah pertumbuhan pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro lebih luas dibanding pada tanaman standar. Seperti pada percobaan sebelumnya hasil ini juga mengindikasikan adanya tanaman varian yang mempunyai mempunyai potensi genetik berbeda dengan tanaman standar di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro (Bab VII).

Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang dihitung menggunakan peubah jumlah polong bernas, tanaman standar termasuk kategori peka. Melalui kultur dan seleksi in vitro diperoleh 10 galur yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan. Dalam kondisi cekaman kekeringan, galur-galur tersebut menunjukkan peningkatan kandungan prolin yang lebih tinggi dibanding tanaman standar, tetapi mempunyai densitas stomata yang lebih rendah dibanding tanaman standar. Dua di antara 10 galur tersebut, yaitu nomor K0-11.3 dan K0-30.1, mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman (Bab VII).

Dari tanaman kacang tanah kultivar Kelinci standar yang dalam percobaan ini teridentifikasi medium toleran (Bab VI) dan teridentifikasi peka (Bab VII) didapatkan enam galur varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan yang diinduksi PEG dan 10 galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan yang diinduksi oleh pengurangan penyiraman air. Efisiensi seleksi untuk mendapatkan galur toleran melalui kultur in vitro sebesar 13,3 % - 33,3%, sedangkan bila melalui seleksi in vitro sebesar 10,5 % - 44,4 % (Tabel 22). Hasil tersebut memperlihatkan bahwa seleksi in vitro tidak nyata meningkatkan efisiensi seleksi. Dengan induksi variasi somaklonal tanpa disertai seleksi in vitro

dapat diperoleh sejumlah galur toleran dengan persentase yang tidak jauh berbeda dengan yang disertai seleksi in vitro. Hasil tersebut dapat terjadi karena seleksi in vitro tidak mengubah sel/jaringan (dalam penelitian ini ES) yang bersifat sensitif menjadi toleran, melainkan hanya menapis atau memilih sehingga hanya ES yang toleran saja yang dapat hidup dalam media seleksi. Jadi karakter toleransi tersebut telah dimiliki oleh ES sebelum diseleksi dan diduga sebagian atau seluruhnya merupakan varian somaklonal.

122

Tabel 22. Galur kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman PEG dan cekaman pengurangan penyiraman

Toleransi terhadap cekaman yang diinduksi PEG

Toleransi terhadap cekaman yang diinduksi pengurangan

penyiraman Populasi hasil kultur in vitro Populasi hasil seleksi in vitro Populasi hasil kultur in vitro Populasi hasil seleksi in vitro Nomor galur K0-2.3 K0-7.3 K0-16.4 K0-2.5 K15-4.5 K15-6.2 K0-30 K0-2.10 K0-7.3 K0-11.3 K0-22.5 K0-30.1 K15-1.2 K15-4.3 K15-4.6 K15-6.1 Σ galur toleran 4 2 6 4 Σ galur yang dievaluasi 30 19 18 9 Efisiensi seleksi (%) 13,3 10,5 33,3 44,4

Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa proses yang terutama berperan untuk mendapatkan ES yang toleran adalah induksi variasi somaklonal. Seleksi

in vitro secara teoritis bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi karena 1) ES varian yang diseleksi harus berjumlah sangat banyak untuk memperbesar peluang mendapatkan tanaman toleran, dan 2) secara morfologis tidak dapat diketahui apakah ES varian yang dihasilkan mempunyai sifat toleransi yang diinginkan atau tidak. Dalam penelitian ini nampaknya induksi variasi somaklonal telah dapat menghasilkan ES yang toleran dalam jumlah yang memadai dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman produktif sehingga seleksi in vitro

nampaknya tidak berperan meningkatkan efisiensi seleksi. Meskipun demikian harus diyakini bahwa peluang tersebut tidak selalu terjadi pada setiap penelitian.

Zuriat dari galur K0-2, K0-7, K15-4 dan K15-6 merupakan galur yang konsisten toleran terhadap cekaman kekeringan, baik yang diinduksi oleh penyiraman PEG maupun pengurangan penyiraman (Tabel 22). Dari penelitian sebelumnya juga diketahui zuriat galur K0-2 dan K15-4 merupakan varian positif untuk peubah bobot polong bernas (BAB V). Galur K0-11.3 dan K0-30.1 yang toleran terhadap cekaman kekeringan akibat pengurangan penyiraman air, mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman (BAB VII). Empat galur tersebut,

yaitu K0-2, K15-4, K0-11.3 dan K0-30.1 merupakan galur tersebut potensial untuk dikembangkan sebagai galur harapan yang mempunyai daya hasil yang tinggi dan toleran terhadap cekaman kekeringan, melalui serangkaian pengujian di laboratorium maupun di lapang. Jika ditanam pada kondisi optimum galur-galur tersebut diharapkan tidak melakukan pertumbuhan vegetatif berlebihan sehingga hasil polong tetap tinggi. Jika ditanam pada kondisi kekeringan, galur tersebut juga mampu melakukan mekanisme toleransi yang tidak membutuhkan fotosintat berlebihan, sehingga hasil polong dapat dipertahankan tetap relatif tinggi.

Panjang akar dan nisbah akar/tajuk tidak mempunyai hubungan atau peran dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan, baik yang diinduksi oleh penyiraman PEG maupun oleh pengurangan penyiraman air. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa toleransi terhadap cekaman kekeringan pada tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro tidak melalui mekanisme pembentukan akar yang panjang dan bercabang banyak. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman varian yang didapatkan mempunyai karakter yang berbeda dengan kultivar kacang tanah toleran kekeringan yang sudah dikembangkan.

Densitas stomata dan peningkatan kandungan prolin dalam kondisi cekaman mempunyai hubungan signifikan dengan indeks sensitivitas terhadap kekeringan. Berdasarkan hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur tanaman dalam penelitian ini antara lain melalui penurunan densitas stomata dan peningkatan kadar prolin. Penurunan densitas stomata merupakan salah satu mekanisme

avoidance (Mitra 2002). Dengan berkurangnya jumlah stomata, intensitas transpirasi berkurang sehingga meningkatkan ratio penyerapan/kehilangan air; tetapi penurunan jumlah stomata dapat mengurangi difusi CO2 dan intensitas

fotosintesis sehingga berpotensi menurunkan daya hasil.

Dengan demikian mekanisme toleransi melalui penurunan densitas stomata atau penutupan stomata tidak dikehendaki ditinjau dari sudut agronomi. Seperti pada galur Aegylops biuncialis, ketahanannya terhadap cekaman kekeringan tidak melalui mekanisme penutupan stomata yang intensif. Penurunan potensial osmotik dari -0,027 sampai - 1,8 MPa akibat penyiraman PEG 6000 hanya menyebabkan tingkat penutupan stomata yang relatif rendah, sehingga CO2 interseluler tetap relatif tinggi, produksi biomassa dan hasil panen

juga relatif lebih tinggi. Sebaliknya pada gandum cekaman osmotik yang tinggi meningkatkan penutupan stomata yang berlebihan sehingga mengakibatkan

124

kehilangan hasil yang cukup tinggi (Molnar et al. 2004). Intensitas penurunan difusi CO2 tergantung pada struktur mesofil dan ruang antar sel dalam jaringan

mesofil daun (Delfine et al. 1998).

Peningkatan kadar prolina merupakan salah satu mekanisme ketahanan sekaligus toleransi. Dalam melakukan mekanisme ketahanan, prolina berperan dalam keseimbangan osmotik atau mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al. 2002). Dalam melakukan mekanisme toleransi, prolina sebagai solut organik mampu melakukan detoksifikasi ROS, penghilang radikal, agen proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek degradasi akibat ROS (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002). Pembentukan prolina tidak selalu memanfaatkan fotosintat yang berlebihan karena sebagai senyawa monomer, prolina dapat terbentuk sebagai hasil penguraian/depolimerisasi komponen yang tidak aktif (Creelman et al. 1990),

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat dinyatakan bahwa mekanisme toleransi terhadap kekeringan pada tanaman kacang tanah varian dalam penelitian ini diduga melalui mekanisme ketahanan dan toleransi. Mekanisme ketahanan dilakukan melalui penurunan densitas stomata dan peningkatan prolina sebagai osmoprotektan, sedangkan mekanisme toleransi melalui peningkatan prolina sebagai protektor. Berbeda dengan penurunan densitas stomata yang dapat mengurangi hasil panen, peningkatan prolina diduga tidak demikian karena prolina dapat terbentuk melalui depolimerisasi yang tidak membutuhkan asimilat. Dengan memperhatikan koefisien determinasi antara peningkatan prolina dan penurunan densitas stomata dengan IKS dapat dinyatakan bahwa kedua mekanisme tersebut hanya merupakan sebagian dari mekanisme toleransi dan atau ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada tanaman kacang tanah varian. Mekanisme yang lain masih perlu dievaluasi lebih lanjut, antara lain keterlibatan enzim-enzim anti-oksidan (misalnya katalase, peroksidase, dismutase), senyawa penghilang radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Selain itu juga mekanisme untuk menjaga homeostasi atau keseimbangan ionik melalui pembentukan vakuola-vakuola kecil, aktivasi pompa ion, saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar, serta regulasi pertumbuhan melalui pembentukan ABA (Mundree et al. 2002).

Dokumen terkait