• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Injeksi Larutan Ringer Laktat

2.2.1 Klasifikasi Drug Related Problems

Cipolle, R.J., dkk, dalam review Adusumili dan Adepu (2014) secara luas mengkategorikan DRPs kedalam 7 kelompok.

2.2.1.1 Butuh Tambahan Obat (Need for additional therapy)

Pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat, Penderita diare akut bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh:

a. Penderita mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat. b. Penderita memiliki penyakit kronis lain yang memerlukan keberlanjutan

terapi obat

c. Penderita mengalami gangguan medis yang memerlukan kombinasi farmakoterapi untuk menjaga efek sinergi/potensiasi obat

d. Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang dapat dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik.

(Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.2.1.2 Obat Tanpa Indikasi (Unnecessary therapy)

Obat yang berada dalam resep tidak sesuai dengan indikasi dengan indikasi keluhan pasien. Pemberian obat tanpa indikasi dapat terjadi ketika seseorang menggunakan obat tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, meminum beberapa obat padahal hanya satu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terapi obat yang diindikasikan, minum obat untuk mengobati efek samping, pasien mendapatan pengobatan polifarmasi untuk kondisi dimana dia seharusnya hanya mendapat terapi obat tunggal (Cipolle, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.2.1.3 Ketidaktepatan Pemilihan Obat (Wrong Drugs)

Ketidaktepatan pemilihan obat, merupakan pemilihan obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis (Depkes, 2000). Terapi obat dapat menunjukan obat yang salah jika pasien tidak mengalami hasil yang memuaskan, adapun faktor-faktor keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan diagnosis akhir dari masalah medis pasien. Sebagai contoh dari ketidaktepatan pemilihan obat yaitu seperti pada pasien yang mempunyai alergi dengan obat-obat tertentu atau menerima terapi obat ketika ada kontraindikasi, serta obat efektif tetapi obat tersebut mahal. Hal-hal tersebut dapat menunjukan bahwa pasien telah menggunakan obat yang salah (Cipolle et al.,1998).

Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai sehingga penderita dirugikan.Penyebab lainnya, pada pemilihan obat yang tidak tepat dapat disebabkan oleh:

a. Obat yang digunakan berkontraindikasi

b. Penderita resisten dengan obat yang digunakan

c. Penderita menolak terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk sediaan yang kurang tepat (Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.2.1.4 Dosis kurang dari dosis terapi (dosage is too low)

Meskipun mendasar, bahwa prinsip dari homeopati dimana jika dosis terlalu sedikit (suboptimal) obat diklasifikasikan sebagai DRP,yaitu ketika hasil yang diinginkan pada pasien tidak tercapai (yaitu, infeksi tidak merespon dengan pengobatan antibiotik yang suboptimal). Pada dasarnya, dosis semua obat dipertimbangkan berdasarkan penyakit, dan informasi riwayat pasien. Dosis dapat dikatakan kurang optimal jika konsentrasi obat di serum tidak tercapai bersamaan dengan adanya (tanda-tanda dan gejala) maka hal ini dapat dikatakan DRP.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terdapat parameter lainnya, jika terdapat dosis dibawah dosis terapi. Pasien menerima dosis yang sesuai atau obat dilanjutkan cukup lama namun tidak mencapai efek yang diinginkan maka dapat dikatakan dosis dibawah dosis terapi.(Strand, dkk., 1990). Pemberian obat dengan dosis subterapeutik mengakibatkan ketidakefektifan terapi obat. Hal ini dapat disebabkan oleh:

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang dikehendaki

b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita berada di bawah rentang terapi yang dikehendaki

c. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai (Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

2.2.1.5 Dosis melebihi dosis terapi (Dose is too high)

keadaan ini sama halnya dengan dosis terlalu rendah, dimana dosis melebihi dosis terapi memberikan efek yang berlawanan dengan seharusnya. Keadaan dimana dosis ditingkatkan secara cepat dan peningkatan menyebabkan komplikasi lainnya maka hal ini dapat dikatakan adanya DRP. Hal ini juga memungkinkan adanya akumulasi obat dalam jangka yang panjang sehingga menyebabkan efek toksik pada pasien.(Strand, dkk., 1990).

Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh:

a. Dosis obat terlalu tinggi untuk penderita

b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi yang dikehendaki

c. Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat

d. Penderita mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai

f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai (Cippole, dkk., dikutip dalam Depkes RI, 2005).

Dapat disimpulkan bahwa, pasien yang mengalami atau berpotensi untuk mengalami keracunan yang ditimbulkan oleh dosis obat yang berlebih merupakan masalah umum yang terdapat pada praktek klinis. Pemantauan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta farmakokinetik dan penyesuaian dosis tidak bisa terlalu ditekankan/terlalu cepat hal ini untuk mencegah terjadinya DRP.(Strand, dkk., 1990).

2.2.1.6 Ketidakpatuhan (Adherence problem)

Ketidakpatuhan merupakan sikap dimana pasien tidak disiplin atau tidak maksimal dalam melaksanakan pengobatan yang telah diinstruksikan oleh dokter kepadanya. Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang, dengan demikian pasien akan kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis yang digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada yang dimaksudkan. Masalah ini dapat berkembang misalnya seorang pasien mengetahui bahwa ia lupa suatu dosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk mengisinya (Siregar,2006).

Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006), beberapa faktor ketidapatuhan pasien terhadap pengobatan antara lain :

a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan

Alasan utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika obat tidak digunakan.

b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan.

c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit

2.2.1.7 Reaksi Obat yang Merugikan (Adverse Drug Reaction)

Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik (BPOM RI, 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.3 Interaksi Obat (Drug Interaction)

Interaksi obat mewakili satu dari delapan kategori DRPs yang telah diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan dan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran suatu atau lebih zat yang berinteraksi.

1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat terjadi ketika suatu obatt mempengaruhi absorpsi,distribusi,metabolisme dan eksresi (ADME). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe:

a. interaksi pada absorpsi obat

ketika obat diberikan secara oral maka akan terjadi penyerapan melalui membran mukosa dari saluran pencernaan dan sebagian besar interaksi terjadi pada penyerapan di usus.

b. Interaksi pada distribusi obat

Pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal, yaitu: interaksi ikatan protein dan induksi atau inhibisi transpor protein obat.

c. Interaksi pada metabolisme obat

Reaksi-reaksi yang dapat terjadi pada saat tahap metabolisme,yaitu: yang pertama perubahan pada first pass metabolism adalah salah satu pada perubahan aliran darah ke hati dan inhibisi atau induksi first pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga inhibisi enzim, keempat faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi isoenzim CYP450.

d. Interaksi pada eksresi obat

Sebagian besar obat dieksresikan melalui empedu atau urin, pengecualian untuk obat anastesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat pada perubahan pH, perubahan aliran darah di ginjal, eksresi empedu dan eksresi tubulus ginjal (Stockley,I.H.,2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Interaksi Farmakodinamik

Merupakan interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain. Hal ini dapat terjadi akibat kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi yang paling aman terjadi sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama, sebaliknya antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat (Aslam et al., 2003).

Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke berdasarkantingkatan keparahanan :minor, moderate, atau major.

1. Keparahan minor

Interaksi obat minor biasanya memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan.

2. Keparahan moderate

Interaksi moderate sering membutuhkan pengaturan dosis atau dilakukan pemantauan.

3. Keparahan major

Interaksi major pada umumnya harus dihindari bila memungkinkan, karena dapat menyebabkan potensi toksisitas yang serius.

Dokumen terkait