• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi fonem

Dalam dokumen zaki ghufron bunyi aksara dalam bahasa arab (Halaman 56-68)

BAB II BUNYI DAN BAHASA TULIS

4. Klasifikasi fonem

Kriteria dan prosedur klasifikasi fonem, sebenarnya sama dengan cara klasifikasi bunyi secara umum dan telah dibahas sebelumnya. Fonem –menurut beberapa ahli- diklasifikasikan menjadi fonem segmental (primary phoneme) dan fonem suprasegmental (secondary phoneme).128 Fonem segmental disebut primer karena termasuk unsur penting dalam pembentukan struktur kata, seperti: konsonan dan vokal. Sementara fonem suprasegmental dianggap sekunder, karena

125

Bunyi ujaran suatu bahasa sangat banyak jika dibandingkan dengan bunyi yang termasuk kategori fonem. Oleh karena itu melalui fonem, pembelajaran bahasa asing lebih mudah diserap. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm, h. 208-209; ‘Abd al-Mun’im M. Al-Najjâr, al-Hurûf wa al-Aswât, h. 24.

126

Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 163. 127

Hal ini dapat dijelaskan, bahwa satu fonem memiliki bunyi-bunyi yang variatif (alofon). Contohnya, [] dalam bahasa Arab yang pada hakikatnya bunyi bilabial bersuara letup, dapat berubah menjadi tak bersuara, bunyi nasal, atau frikatif. Hal ini, sangat mustahil bagi suatu ortografi untuk memuat semua bunyi dan alofon-alofonnya dalam sistem ejaan. Maka dengan adanya fonemisasi sangat membantu dalam pembentukkan sistem tulis bunyi-bunyi bahasa yang sangat variatif. Karena, sistem ejaan hanya menggunakan satu simbol untuk fonem dan alofon- alofonnya. Lihat, Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 491-492; ‘Abd al-Mun’im M. Al-Najjâr, al- Hurûf wa al-Aswât, h. 23-24; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Lughah al-‘Âm, h. 209.

128

Fonem segmental terdiri dari vokal dan konsonan, sedangkan fonem suprasegmental terdiri dari tekanan, intonasi dan jeda. Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics, h. 209; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 56.

bukan termasuk unsur pembentukan struktur kata, seperti: tekanan dan intonasi.129 Klasifikasi keduanya berlandaskan posisi kedua fonem dalam tataran kata, fonem segmental merupakan dasar pembentuk struktur kata, sementara unsur suprasegmental secara umum berada di luar unsur pembetukan kata.

Kedua kategori di atas -menurut Firth- menimbulkan kesan bahwa suatu fonem lebih berperan dari yang lainnya dalam suatu ujaran, padahal keduanya sama-sama penting karena tanpa keduanya suatu ujaran akan kehilangan cirinya.130 Unsur suprasegmental sangat penting dan dapat diibaratkan sebagai hakikat yang sesungguhnya, untuk mengungkapkan makna-makna tertentu dan cara penyampaian ujaran bahasa yang benar. Oleh sebab itu unsur ini disebut oleh Firth dengan ciri prosodi (prosodic features), mengingat fungsinya dalam suatu ujaran bahasa.131 Istilah ini digunakan olehnya bukan hanya untuk unsur tekanan dan intonasi saja, akan tetapi perubahan (variasi) bunyi-bunyi dalam satuan bunyi dan asimilasi juga masuk dalam istilah ini.

Dari klasifikasi fonem di atas dapat dijelaskan, bahwa bahasa Arab - sebagai salah satu bahasa di dunia- memiliki dua kategori fonem, baik segmental atau pun suprasegmental. Fonem segmental bahasa Arab –menurut Tamâm Hassân- diklasifikasikan menjadi vokal (hurûf ‘illah) dan konsonan (hurûf sahîhah).132 Vokal bahasa Arab terdiri dari: vokal pendek (fathah, kasrah, dammah) dan vokal panjang (fathah tawîlah, kasrah tawîlah, dan dammah tawîlah), sementara konsonannya terdiri dari: hamzah, bâ’, tâ’, tsâ’, jîm, h â’, khâ’, dâl, dzâl, râ’, zây, sîn, syîn, shâd, d âd, tâ’, dâ’,‘ain, ghîn, fâ’, qâf, kâf, lâm, mîm, nûn, hâ, waw, yâ’.133 Fonem-fonem inilah yang menjadi landasan dalam

129

Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 219; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 496.

130

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 496; John Rupert Firth (1890-1960) adalah sarjana linguistik bahasa Inggris. Bukunya The Tongues of Men and Speech (1964) dan Papers in Linguistics 1934-1951, berpengaruh di Inggris. Sumbangannya terutama dalam teori semantik kontekstual dan fonologi prosodi.

131

Roger Lass, Phonology, h. 239-240; Ciri Prosodi -menurut Chomsky dan Halle- jenis ciri pembeda yang meliputi tekanan, nada, intonasi, dan sebagainya. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 36.

132

Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 152. 133

Tamâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, h. 73; Tamâm Hassân, Manâhij al-Bahts fi al-Lughah, h. 152. Bahasa Arab memiliki fonem yang jumlahnya 34, vokal terdiri dari lima, yaitu: kasrah, dammah, fathah (vokal tunggal), ai dan au (vokal rangkap).

pembentukan sistem ortografi yang digunakan oleh bahasa Arab, mengingat perannya yang penting dan terlihat dalam struktur kata.

Sementara itu unsur suprasegmental dimiliki juga oleh bahasa Arab, dan sangat diperlukan untuk mengungkapkan makna-makna tertentu untuk suatu ujaran bahasa Arab. Unsur-unsur yang biasa digunakan dalam ujarannya dapat berupa tekanan (stress/nabr) dan intonasi (intonation/tanghîm) yang posisinya terletak pada persendian (juncture/al-mafsal).134 Tekanan merupakan istilah dari cara artikulasi suatu silabis (sylabel/maqta’) lebih kuat dari pada silabis lain dalam suatu ujaran.135 Unsur ini digunakan untuk menunjukkan bagian yang paling penting atau yang menjadi titik penekanan suatu ujaran, dan posisinya sudah demikian baku (tetap) dalam ujaran bahasa Arab, sehingga seorang yang memiliki kemampuan berbahasa Arab yang baik dapat menentukan posisi unsur ini. Unsur tekanan dalam bahasa Arab –menurut Kamâl Badrî- , terbagi menjadi:

aulâ yang ditandai dengan [\], tsânawî [٨], mutawassit [/], dan da’îf [٧].136 Unsur tekanan dalam bahasa Arab hanya digunakan untuk makna-makna tertentu, seperti: al-ta’kîd (emphasis), al-tarkîz (intensity), dan al-mufâraqah (contrast).137 Selain itu juga bahasa Arab memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa yang mempergunakan unsur ini sebagai pembeda makna (stress languages), hal itu dapat dilihat dari pembagian dan tingkat-tingkat unsur tekanan dalam beberapa ujaran bahasa Arab. Terlepas dari fungsi tekanan yang demikian besar dalam ujarannya, bahasa Arab tidak menggunakan unsur ini sebagai pembeda makna. Hal ini disebabkan bahwa makna suatu kata adalah sama dalam pandangan bahasa Arab, sementara penggunaan unsur tekanan hanya untuk makna dan maksud tertentu. Unsur ini juga belum dapat dialihkan ke bentuk lambang oleh sistem ortografi Arab, sehingga dapat dipastikan bahwa unsur ini tidak ada dalam tulisan

Sedangkan konsonan bahasa Arab sama seperti yang diungkapkan Tamâm Hassân. Lihat, Sudarno, Kata Serapan dari Bahasa Arab (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990), h. 27-29.

134

Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 220; Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching: An International Approach, h. 19; Samsuri, Analisis Bahasa, h. 145.

135

Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj, h. 139; Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 211; Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 221.

136

Kamâl Badrî, ‘Ilm al-Lughah al-Mubarmaj, h. 151. 137

Arab. Hal ini yang menjadi kelemahan dan ketidak sempurnaan dari fungsi aksara Arab, sebagai pelambang bunyi-bunyi bahasanya.

Unsur suprasegmental lain yang tak kalah penting dalam ujaran bahasa Arab adalah intonasi, yang dapat diartikan sebagai pola perubahan nada yang dibuat penutur (pembicara) ketika mengucapkan bunyi-bunyi ujaran. Intonasi juga dapat berarti ketepatan dalam menempatkan nada-nada dan sendi-sendi pada bunyi-bunyi ujaran.138 Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa unsur intonasi berada pada persendian-persendian yang terdapat dalam suatu ujaran bahasa. Unsur ini dalam bahasa Arab terbagi menjadi dua, yaitu: tekanan tinggi (naik) dan tekanan rendah (turun).139 Tekanan naik digunakan untuk menyatakan bahwa suatu kalimat ujaran belum lengkap karena masih berkaitan dengan kalimat setelahnya, dan biasanya ditandai dengan tanda koma (,) dalam kalimat klausa kondisional, dan tanda tanya (?) dalam kalimat interogatif. Sementara itu tekanan turun digunakan untuk menyatakan bahwa kalimat telah sempurna baik dari sisi bentuk atau pun makna, dan dilambangkan dengan tanda titik (.) pada kalimat deklaratif. Kedua macam unsur intonasi di atas telah berhasil dilambangkan oleh aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda baca.140 Beberapa kalimat bahasa Arab -sebenarnya- dapat menunjukkan dengan jelas keberadaan unsur intonasi, karena penggunaannya hanya untuk makna dan maksud tertentu seperti unsur tekanan. Dalam arti bahwa makna umum suatu ujaran adalah sama, dan penggunaan unsur intonasi hanya diperuntukkan makna tertentu (sekunder).

Kedua unsur suprasegmental diakui keberadaannya dalam bahasa Arab, dan digunakan untuk menyatakan maksud-maksud tertentu. Penggunaannya terkait dengan maksud-maksud yang diinginkan penutur, dan hanya dapat diketahui secara baik pada komunikasi secara langsung (lisan). Aksara Arab belum mampu mengalihkan unsur tekanan, sementara unsur intonasi dapat dilambangkan melalui tanda baca. Tetapi penggunaan tanda baca belum cukup untuk memahami makna suatu kalimat, hal ini disebabkan kedua macam intonasi

138

Mukhtâr ‘Umar, Dirâsah al-Saut al-lughawî, h. 229. 139

Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 534. 140

masih memiliki variasi-variasi lain dan sangat berkaitan dengan makna-makna yang diinginkan penutur.

C. Bahasa Tulis dan Sistem Aksara

Bahasa lisan –menurut Kamâl Bisyr- telah ada lebih dahulu berabad-abad lamanya dari pada bahasa tulis, hal senada juga diungkapkan oleh Samsuri.141 Dengan demikian, manusia telah mengenal dan menggunakan bahasa lisan yang terbentuk dari bunyi sebagai satuan terkecilnya sebelum mengenal sistem tulis. Bahasa tulis muncul dan berkembang untuk menjembatani kebutuhan manusia dalam kehidupannya sehari-hari terutama pada era modern ini, di mana manusia membutuhkan suatu alat bantu untuk menyampaikan ide-idenya kepada orang lain. Bahasa tulis lebih mampu untuk bertahan lama dibandingkan dengan bahasa lisan yang cepat hilang, sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.142 Untuk itu dapat disimpulkan bahwa bahasa tulis merupakan turunan dari bahasa lisan, sehingga tidak heran apabila linguistik melihat bahasa itu adalah bahasa lisan (yang diucapkan), bukan yang dituliskan. Sebenarnya –menurut Abdul Chaer- linguistik juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab seperti sudah disebutkan bahwa apa pun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik.143 Dalam hal ini sistem tulisan dapat membantu linguistik untuk menyelidiki bunyi bahasa, karena keterkaitan keduanya dalam suatu bahasa yang memiliki sistem tulis.

1. Perkembangan bahasa tulis

Bahasa tulis dibuat dan digunakan untuk merekam ujaran-ujaran bahasanya, yang terdiri dari bunyi-bunyi sebagai satuan terkecil dalam pembentukannya. Bahasa tulis merupakan lambang grafis yang digunakan untuk

141Kamâl Bisyr, Ilm al-Aswât, h, 630; Samsuri adalah seorang Guru Besar Linguistik yang pernah bertugas di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang), dilahirkan di Mojokerto Jawa Timur, meraih MA dan Ph.D. bidang Linguistik dari Indianan University USA pada tahun 1958 dan 1965. Jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya adalah: Dekan FK SS IKIP Malang, Rektor IKIP Malang, dan anggora Steering Committee untuk Departemen P dan K, tahun 1967-1972.

142

Martha C. Pennington, Phonology in English Language Teaching, h. 186; Kamâl Bisyr, ‘Ilm al-Aswât, h. 630.

143

menunjukkan ide-ide seseorang, sehingga dapat dimanfaatkan dalam suatu komunikasi yang terjadi secara tidak langsung. Peranannya sangat besar bagi manusia, meskipun hanya alat pencatat yang terkadang memiliki kelemahan- kelemahan jika dibandingkan dengan bunyi-bunyi bahasa yang sangat luas. Bahasa tulis –menurut ‘Alî M. al-Qâsimî- telah melalui beberapa fase perkembangan, hingga sampai pada sistem tulisan yang ada saat ini.144 Fase perkembangan bahasa tulis itu, dapat dikategorikan menjadi empat bagian, yaitu: tulisan piktograf, tulisan ideograf, tulisan silabis, dan tulisan fonemis.145 Masing- masing sistem merupakan langkah awal untuk perkembangan sistem selanjutnya, hingga sampai pada tulisan yang bersifat fonemis.

Tulisan piktograf merupakan istilah untuk gambar-gambar dengan bentuknya yang sederhana dan digunakan untuk menyatakan maksud atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar-gambar ini –menurut para ahli- berawal dan tumbuh dari gambar-gambar yang terdapat di gua-gua Altamira di Spanyol Utara, dan beberapa tempat lain.146 Tulisan dengan konsep ini, setiap gambarnya melambangkan satu makna, seperti: gambar gunung, burung, dan manusia untuk masing-masing makna tersebut. Tulisan semacam ini banyak digunakan oleh orang Indian di Amerika (Mexico), orang Yukagir di Siberia, dan pulai Paska (Pasifik Timur).147 Konsep ini kemudian berkembang dan memunculkan sistem tulisan yang lebih rinci lagi yang dinamakan dengan ideograf, di mana setiap makna dilambangkan dengan sebuah gambar atau logo. Tulisan dalam konsep ini

144

‘Alî M. al-Qâsimî adalah seorang dosen di Fakultas Tarbiyah Universitas Riyâd, dia adalah salah satu murid dari Kamâl Bisyr. Buku karangannya adalah linguistics and Bilingual Dictionaries, yang diterbitkan pada tahun 1977 di Leiden. Bukunya yang lain adalah Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah li al-Nât iqîn bi al-Lughât al-Ukrâ, yang diterbitkan pada tahun 1979 di universitas Riyâd. Kategori tulisan di atas diambil dari ‘Alî M. al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah li al-Nât iqîn bi al-Lughât al-Ukrâ (Riyâd: ‘Imâdah Syu’ûn al- Maktabât, 1979), h. 239.

145

Piktograf (piktogram) adalah aksara yang berupa gambar untuk mengungkapkan amanat tertentu, misalnya: tanda lalu lintas. Ideograf (ideogram) ialah tanda grafis yang dipakai untuk menggambarkan bagian ujaran, baik berupa logogram atau piktogram. Aksara Silabis yaitu sistem tulisan yang mempergunakan satu lambang untuk tiap suku kata. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 7, 80, 174. Dan aksara fonemis adalah satu tanda untuk satu bunyi. Lihat, Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia, h. 46; Hasan Zâzâ, al-Lisân wa al-Insân (Damaskus: Dâr al- Qalam, 1990), h. 127-128.

146

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 85. 147

Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Gorys Keraf, Tatabahasa Indonesia, h. 46; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 86.

mulai membedakan lambang untuk makna yang jelas, seperti: rumah, gedung, gubuk dilambangkan dengan logo berbeda.148 Terkadang gambar tersebut digunakan untuk konsep tertentu, seperti: dalam tulisan Hieroglif di Mesir (+ 4.000 SM), gambar tongkat untuk makna perintah dan gambar kendi untuk makna segar atau dingin.149 Kedua sistem tulis tersebut –jika diperhatikan lagi- masih digunakan di era modern ini, seperti: gambar untuk larangan merokok, gambar untuk tempat ibadah, dan lain-lain.

Kemudian sistem tulis berkembang dari lambang untuk satu konsep, menjadi lambang untuk satu suku kata. Dalam hal ini suatu tanda digunakan untuk menyatakan bagian yang lebih kecil dari sebelumnya, sehingga satu konsep dinyatakan dengan beberapa lambang. Tulisan yang semacam ini disebut aksara silabis, yang pertama kali dikembangkan oleh orang Persia pada zaman Darius I (522-468 SM) dan juga oleh orang Mesir yang kemudian diambil dan dikembangkan oleh orang Fenesia.150 Tulisan semacam ini sangat baik, terutama untuk bahasa-bahasa yang suku katanya sederhana, seperti bahasa Jepang. Aksara silabis Jepang yang disebut Katakana hingga saat ini masih digunakan, di samping aksara Kanji yang masih menggunakan konsep ideograf.151 Tulisan Arab –menurut Samsuri- mula-mula menggunakan konsep ini, hal itu terlihat dari konsonannya yang lebih diutamakan dari pada vokal. Sementara untuk menandakan vokal-vokalnya –menurut Gorys Keraf-, digunakan tanda-tanda lain dalam aksara Arab.152 Hal ini dapat dimaklumi, mengingat kebiasaan dan

148

al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah, h. 239. 149

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 87. 150

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 87; aksara Fenesia adalah aksara Semit Utara yang dipakai orang Fenesia (Lebanon sekarang) yang sisa-sisa tertuanya berasal dari abad XI SM., bersifat alfabetis, dan yang merupakan moyang langsung dari semua aksara Eropa. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 6.

151Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Katakana adalah aksara silabis yang dipakai di Jepang yang lebih sederhana dari aksara Kanji, terutama untuk menuliskan kata-kata asing, onomatope, dipakai dalam telegram dan surat-surat dinas. Sementara Kanji adalah huruf Jepang yang berasal dari tulisan Sinika yang mulai dipakai sekitar abad-abad pertama Masehi, tiap huruf menggambarkan kata atau morfem. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 96, 99.

152

Samsuri, Analisis Bahasa, h. 22; Gorys Keraf lahir di Lamalera Lembata NTT, memperoleh gelar Sarjana Sastra di Universitas Indonesia tahun 1964. Dosen Fakultas Sastra di Universitas Indonesia, pernah menjabat Registrar di Unika Atma Jaya Jakarta. Buku-bukunya adalah Tatabahasa Indonesia, Komposisi, dan eksposisi dan Deskripsi.

pandangan bahasa-bahasa rumpun Semit yang lebih mengutamakan bunyi-bunyi konsonannya yang dianggap sebagai struktur pembentuk kata.

Tulisan silabis yang dikembangkan oleh orang Fenesia untuk selanjutnya diambil oleh orang Yunani, kemudian dikembangkan menjadi tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan setiap konsonan dan vokal dengan satu huruf.153 Tulisan semacam ini juga dikenal dengan istilah tulisan fonemis, yang kemudian berkembang menjadi sistem-sistem aksara yang ada di dunia, seperti: aksara Latin, Yunani, Jerman, Arab, dan lain-lain. Sistem terakhir inilah yang pada hakikatnya banyak digunakan oleh bahasa-bahasa di dunia, untuk menjadi alat tulis ujaran-ujarannya. Begitulah bagaimana perkembangan bahasa tulis, dari masa pertama kemunculannya hingga sampai pada sistem aksara yang bersifat fonemis.

2. Tulisan ortografi (aksara)

Dalam linguistik dikenal tiga macam sistem tulisan, yaitu fonetik, fonemik, dan ortografik.154 Tulisan fonetik berlandaskan pada setiap fon dilambangkan dengan satu lambang, sementara tulisan fonemik hanya melambangkan bunyi-bunyi bahasa yang termasuk kategori fonem. Kedua sistem tulisan ini sangatlah sulit untuk digunakan dalam penulisan secara lebih luas, hal ini berkaitan pada prinsip bahwa penyusunan sistem tulisan tidak hanya didasarkan pada hal-hal ilmiah saja, melainkan juga kepada kepraktisan dan tradisi ejaan di dalam masyarakat.155 Sementara tulisan ortografi adalah penulisan fonem-fonem menurut sistem ejaan yang dibuat untuk digunakan secara umum di dalam masyarakat suatu bahasa.156 Sistem ketiga ini paling banyak digunakan oleh bahasa-bahasa saat ini, seperti: aksara Latin dan aksara Arab. Sistem tulisan ini biasanya dilengkapi dengan tanda-tanda yang tersusun dalam alfabetnya

153

al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah, h. 239; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 89.

154

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 110. 155

Samsuri, Analisis Bahasa, h. 146. 156

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 110; al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics, h. 196.

(abjad), dan dilengkapi oleh aturan-aturan penggunaannya yang disebut dengan ejaan.

a. Abjad

Pembahasan tentang bahasa tulis dan tulisan tidak terlepas dari istilah- istilah, seperti: huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, dan alograf.157Huruf – menurut Kridalaksana- adalah istilah umum untuk graf dan grafem.158 Abjad atau

alfabet adalah urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara, contoh: dalam aksara Latin, abjad itu dimulai dari huruf A sampai dengan huruf Z. Sementara aksara Arab, alfabetnya dimulai dari huruf alif sampai dengan huruf ya.159Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara Latin dan aksara Arab.160 Dari istilah- istilah tersebut dapat disimpulkan, bahwa aksara Arab merupakan istilah umum untuk sistem tulisan terdiri dari huruf dan tanda lain yang tersusun secara berurutan sehingga membentuk suatu abjad, dan penggunaannya diatur oleh kaidah-kaidah yang terdapat dalam ejaan aksara Arab.

Huruf dan tanda dalam abjad Arab kemudian melahirkan beberapa bentuk, seiring dengan posisi bunyi yang dilambangkannya dalam suatu kata. Bentuk- bentuk huruf ini –menurut Muhammad ‘Alî al-Khûlî- dikenal dengan istilah

alograf,161 misalnya dalam aksara Arab untuk huruf

kita dapati alograf: (

) apabila berdiri sendiri, (

ـﻋ

) apabila berada di depan grafem lain, (

ـﻌـ

) apabila berada di antara dua grafem lain, dan (

ﻊـ

) apabila berada di akhir kata. Alograf huruf Arab –jika diperhatikan- lebih banyak dari huruf Latin yang hanya memiliki dua alograf, yaitu: huruf besar (A) dan huruf kecil (a). Perbedaan ini menjadi karakter tersendiri dari huruf-huruf Arab.

157

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93. 158

Graf adalah huruf atau simbol yang pada hakikatnya digunakan untuk menggambarkan satu bunyi, namun, terkadang digunakan pula untuk beberapa bunyi. Seperti, huruf (s) dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk bunyi [s] books, [z] doors, dan [ż] occasions. Sedangkan, grafem adalah satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem aksara, atau juga dapat disebut alograf. Lihat, Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 66; al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics, h. 111.

159

al-Qâsimî, Ittijâhât Hadîtsah fi Ta’lîm al-‘Arabiyyah,h. 240. 160

Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93. 161

‘Alî al-Khûlî adalah seorang Doktor di bidang bahasa Arab, karya-karyanya antara lain, al-Mahârât al-Dirâsiyyah, Qâmûs al-Tarbiyah (Inggris-Arab), English as a Foreign Language, A Contrastive Transformational Grammar: Arabic and English, A Dictionary of Theoretical Linguistics, Asâlîb Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyyah, dan lain-lain. Lihat, al-Khûlî, A Dictionary of Theoretical Linguistics, h. 112; Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 93.

b. Ejaan aksara ortografi

Ejaan –menurut ‘Alî al-Qâsimî-, adalah kesesuaian antara bunyi-bunyi bahasa dan lambang-lambang yang dimiliki oleh aksara.162 Sementara -menurut Lamuddin Finoza-, ejaan adalah seperangkat aturan atau kaidah pelambangan bunyi dalam suatu bahasa, yang mencakup pemisahan, penggabungan, dan penulisannya.163 Kedua pengertian ini memberikan batasan bahwa ejaan aksara harus ada kesesuaian antara bunyi dan simbol, untuk itu diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan simbol agar tujuan (kesesuaian) tersebut dapat diraih.

Pada hakikatnya ejaan itu –menurut Abdul Chaer- tidak lain dari konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya. Bunyi bahasa yang seharusnya diucapkan diganti dengan huruf-huruf dan lambang-lambang lainnya.164 Selain pelambangan bunyi, ejaan juga mengatur cara menuliskan huruf, kata, dan penggunaan tanda baca. Dalam hal ini, ejaan merupakan suatu sistem aturan pelambangan bunyi bahasa, baik dengan huruf dan tanda-tanda lain. Aturan penggunaannya dibuat dan disepakati oleh masyarakat bahasa, sehingga setiap bahasa memiliki ejaannya sendiri meskipun aksara yang digunakan sama dengan aksara bahasa lain, seperti: ejaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, meskipun sama-sama menggunakan aksara Latin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pengaksaraan bunyi bahasa

Dalam dokumen zaki ghufron bunyi aksara dalam bahasa arab (Halaman 56-68)

Dokumen terkait