• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kode Kostum dalam Kelompok Dominan

Level Representasi

4.2.1 Kategori Kelompok Dominan

4.2.1.2 Kode Kostum dalam Kelompok Dominan

“Fashion dan pakaian adalah ideologis dalam artian fashion dan pakaian pun merupakan bagian dari proses yang di dalamnya kelompok-kelompok sosial membangun, menopang, dan mereproduksi posisi kekuasaan, serta relasi dominasi dan didominasi. Lebih jauh lagi, fashion dan pakaian merupakan bagian dari posisi dominan dan didominasi tersebut untuk dibuat kelihatan sepenuhnya alami, tepat dan absah, bukan hanya bagi mereka yang berada dalam posisi dominan melainkan juga bagi mereka yang berada dalam posisi didominasi. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan ini adalah “hegemoni” (Barnard, 2011, p. 59).

Dari kode kostum, semua kelompok dominan menampilkan jenis dan warna yang berbeda. “Berbicara mengenai warna, tiap warna memiliki makna. Makna ini dapat berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain” (Nugroho, 2008, p.36). Seperti koin, warna memiliki dua jenis makna. Makna positif dan negatif. Dalam menentukan arti, peneliti juga memperhatikan dari kode-kode lain yang ada dalam shot. “Warna sendiri dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok warna panas berada dalam rentang setengah lingkaran merah hingga kuning. Warna ini menyimbolkan keriangan, semangat, rasa marah, dan sebagainya” (Nugroho, 2008, p.35). “Sedangkan kelompok warna dingin berada dalam rentang setengah lingkaran dari hijau hingga ungu. Warna ini menjadi simbol kelembutan, kesejukan, kenyamanan, dan sebagainya” (Nugroho, 2008, p.36). Warna panas mengesankan suatu kedekatan, sedangkan warna sejuk mengesankan jarak yang jauh. Warna gelap ialah warna yang kuat, sementara warna terang ialah warna yang menyenangkan. Yang dimaksudkan kekuatan disini ialah keseriusan dan ketegasan. Sebaliknya, yang dimaksudkan dengan menyenangkan ialah tidak adanya keseriusan atau terkesan selalu bersenang-senang (Synnott, 2007).

Dalam buku “Pengenalan Teori Warna”, warna abu-abu sendiri memiliki arti cerdas, kokoh, anggun, dan intelektual. Abu-abu sendiri, secara universal memiliki efek psikologis intelektual. Warna ini juga sangat mudah dilihat mata. Donna (Gambar 4.2.1.1) di sini merupakan salah satu anggota yang berasal dari kelompok dominan, yang “mempersuasi” kelompok subordinat. Dengan menggunakan kostum berwarna abu-abu, makin memperkuat posisi Donna sebagai kelompok dominan. Menurut Gramsci, kaum intelektual adalah pencipta hegemoni. Selain menggambarkan intelektualitas, warna abu-abu juga memiliki arti lainnya. Secara tidak langsung, shot ini ingin membentuk karakter kelompok dominan sebagai orang yang tidak hanya intelek, tetapi juga cerdas, kokoh, dan anggun dari sisi warna kostum.

Tiap negara memiliki budaya yang berbeda. Arti warna juga memberikan pengertian yang berbeda antara satu budaya dengan yang lain. Warna abu-abu, menurut budaya negara bagian Barat, memiliki efek psikologis membosankan dan sedih. Sedangkan, di negara Timur (termasuk Indonesia), warna ini memiliki efek penolong (Darmadi, 2011).

“Di Indonesia, pakaian pada wilayah pembentukan ideologi personal atau komunitas, merupakan dimensi bergaya. Tatanan dan tuntunan bergaya inilah yang sering ditafsirkan sebagai usaha mengekspresikan keinginan dan pengakuan identitas pada konteks kehidupan sosial” (“Ideologi Pakaian Dalam Diskursus Sosial Di Indonesia”, 2011, par. 3). Jadi, pemakaian kostum atau pakaian tertentu memiliki kesan tersendiri dalam pembentukan kelas sosial seseorang. Donna Harun, Yuni Shara (Gambar 4.2.1.2), dan Riza Shahab (Gambar 4.2.1.4) menggunakan jenis kostum yang sama, yaitu kaos atau T-Shirt. Hanya saja warna T-Shirt tersebut yang berbeda. Kaos adalah pakaian sederhana ringan untuk tubuh bagian atas, biasanya lengan pendek (T-Shirt disebut demikian karena bentuknya). Sebuah T-Shirt biasanya tanpa kancing dan kerah, dengan leher bulat dan lengan pendek. Busana ini bisa dikenakan oleh siapa saja, baik pria dan wanita, dan untuk semua kelompok umur, termasuk bayi, remaja, dan dewasa (“Definisi Dan Sejarah Kaos”, 2011).

“Agar seseorang tampak lemah (tidak dominan), maka mereka harus mengenakan pakaian dalam jumlah yang lebih banyak” (Cohen, 2009, p.78). Ketiga orang dominan tersebut hanya mengenakan atasan T-Shirt tanpa lapisan lainnya, sehingga mereka disebut dominan. Kaos awalnya dipopulerkan oleh Marlon Brando, seorang seniman teater pada tahun 1947 di Amerika. Kala itu, mode ini sangat menarik perhatian para penonton, tetapi tidak sedikit pula yang memprotesnya. Kaos dianggap sebagai bentuk pemberontakan dan ketidaksopanan bagi pemakainya. Kemudian, kaos menjadi digemari anak-anak muda dan bukan lagi sebatas tren, tetapi menjadi budaya keseharian mereka (“Definisi Dan Sejarah Kaos”, 2011).

Menurut sejarah, di Indonesia T-Shirt awalnya dianggap sebagai barang yang mahal dan bergengsi tinggi. Jadi pemakaian T-Shirt bisa menunjukkan kelas sosial seseorang yaitu menengah ke atas. Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal (“Definisi Dan Sejarah Kaos”, 2011).

Gambar 4.2.1.13

Gambar 4.2.1.13 Kostum Anjasmara Sumber: Video Klip “Nilailah Aku”

Warna T-Shirt yang dikenakan Yuni (Gambar 4.2.1.2) berwarna kuning. Kuning adalah warna cerah yang berarti ia tidak serius. Dalam hal ini, Yuni tidak serius dalam perannya sebagai kelompok dominan. Sama halnya dengan Anjasmara

(Gambar 4.2.1.13) yang mengenakan kostum warna oranye. Oranye juga termasuk warna cerah. Makna gerak dan kostum yang ditampilkan Anjasmara juga bertolak belakang. Itu menandakan perbedaan arti yang bertolak belakang antara gerak, kostum, dan juga fisik Anjasmara yang sudah dewasa.

Kostum yang dikenakan Fitri Tropica (Gambar 4.2.1.3) terlihat formal dan rapi yang melambangkan status sosialnya yang tinggi. “Cara berpakaian yang rapi, boleh jadi tanpa sengaja mengkomunikasikan suatu pesan, misalnya rasa percaya diri” (Mulyana, 2007, p. 112). Tetapi, bila kode kostum yang dikenakan Fitri dipadukan dengan wig warna kuning yang ia kenakan bisa menjadi sesuatu yang berbeda. Ia berlaku sebagai seseorang yang terlihat serius, tetapi warna rambutnya yang cerah melambangkan ketidakseriusan. Fitri mengkonstruksi dirinya sebagai kelompok dominan yang tidak menampakkan jati dirinya dengan jelas.

Donita (Gambar 4.2.1.6) memakai cardigan berwarna biru yang memiliki arti percaya diri, dapat diandalkan, kepercayaan, kehebatan, kekuatan, dan kebijaksanaan (Nugroho, 2008). Sedangkan menurut budaya Timur, warna ini identik dengan kekayaan (Darmadi, 2011). Warna ini juga sering digunakan untuk logo-logo bank di Amerika untuk meningkatkan kepercayaan. Donita dikonstruksi dengan warna biru untuk menunjukkan kepercayaan dan “kekayaan” yang ia miliki. “Kekayaan” biasa dimiliki oleh orang kelas “atas”, seperti kaya ilmu dan kaya materi. Kelas atas adalah salah satu ciri kelompok dominan dalam teori hegemoni Gramscian. Dengan warna biru, Donita juga ingin agar kelompok subordinat “percaya” pada kepemimpinan moral kelompok dominan.

Gambar 4.2.1.14

Gambar 4.2.1.14 Kostum Ifan “Domino” Sumber: Video Klip “Nilailah Aku”

Dominasi warna hitam pada kostum yang dikenakan Ifan “Domino” (Gambar 4.2.1.14) memberikan kesan kokoh, anggun, dan kuat (Nugroho, 2008). Bahkan Deddy Mulyana menambah satu kesan warna hitam yang memperkuat karakter kelompok dominan, yaitu berkuasa (Mulyana, 2007). Ifan menunjukkan kekuasaan dan kekuatannya sebagai kelompok dominan dengan keseluruhan kostum berwarna hitam. Masyarakat Indonesia juga memiliki pengalaman panjang dengan Belanda. Salah satu ''warisan'' Belanda kepada masyarakat Indonesia adalah warna hitam yang identik dengan wibawa, angker, sakral, disungkani (Darmadi, 2011). Warna hitam ini identik dengan orang yang kuat dan berasal dari kelas atas, karena biasanya mereka disegani oleh kelompok “bawah”.

Kostum yang ia kenakan terkesan sebagai anak “berandal”, seperti kebanyakan vokalis band. Kaos yang ia kenakan menggambarkan kesan santai. Jaket kulitnya melambangkan pemberontakan, seperti model punk (Barnard, 2011). Selain itu, jaket jenis ini lekat dengan kesan rock „n roll karena sering dipakai oleh para pemain musik bergenre rock. Serta memiliki kesan keras, macho, dan kuat (“Jaket”, 2011). Punk dan rock „n roll adalah pecahan dari musik rock.

Musik rock di Indonesia mulai menjejak pada tahun 1970-an. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari para pionir rock mulai dari Giant Step, God Bless, Gang Pegangsaan, Gypsy, Super Kid, Terncem, AKA/SAS, Bentoel, hingga Rawe Rontek. Musik rock kental dengan kerusuhan dan citra bengal tiap pertunjukan yang dihelat.

Citra buruk musik rock berawal dari era 1980-an tersebut. Geng-geng para band rock dikenal bersikap anarkis dan mau menang sendiri. Mereka ingin diakui sebagai geng terkuat, terbesar, dan anggotanya terbanyak. Sejak saat itu mulailah setiap pentas musik rock diwarnai dengan tawuran, kekacauan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Band God Bless dianggap sebagai grup band rock papan atas di Indonesia pada masa itu. Bahkan bisa dibilang, God Bless adalah raja panggungnya musik Indonesia (“Sejarah Rock Di Indonesia”, 2011).

Gambar 4.2.1.15

Sumber: Video Klip “Nilailah Aku”

Gambar 4.2.1.16 Sumber: www.kaskus.us Gambar 4.2.1.15 – 4.2.1.16 Kostum Ifan “Domino” & God Bless

Ikon musik rock di Indonesia, God Bless (Gambar 4.2.1.16) terinspirasi oleh band-band rock luar, seperti Rolling Stones, Led Zeeplin, Deep Purple, dan Pink Floyd. Citra band rock yang bengal dan terinspirasi dari budaya Barat juga secara tidak langsung ditampilkan oleh Ifan “Domino” (Gambar 4.2.1.11) dalam kostumnya. Ia mengenakan jaket kulit yang identik dengan musik rock. Para penggemar musik ini juga identik dengan kesan “keinginan untuk menjadi kuat dan besar”, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Jadi, citra dominan pada Ifan dimunculkan dengan jenis kostum yang ia pakai.

Gambar 4.2.1.17

Sumber: Video Klip “Nilailah Aku”

Gambar 4.2.1.18 Sumber : fairwaygiftshop.com Gambar 4.2.1.17 – 4.2.1.18 Kostum Bemby Putuanda & Polo-Shirt

Polo-Shirt sangat terkenal di Amerika pada tahun 1930-an. Dan kaos semacam ini identik dengan olahraga golf, karena para pemainnya mengenakan Polo-Shirt ketika bermain (“Sejarah Polo Polo-Shirt / Kaos Polo Polo-Shirt”, 2009). Olahraga golf identik dengan orang-orang kelas atas, seperti para entrepreneur. Dengan bermain golf, bisa menambah relasi atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya menambah relasi, olahraga ini dipercaya membuat seseorang lebih mudah cepat akrab dengan partner bisnisnya. Manfaatnya adalah seseorang akan dapat melakukan lobi-lobi bisnis dan segala keputusan bisa dilakukan di lapangan golf (“Hobi Bisnis Dan Pekerjaan Golf”, 2010). Lapangan golf juga sering ditemui di kawasan-kawasan elit, seperti Graha Famili dan Bukit Darmo (Surabaya).

Pemakaian kostum warna hitam yang memberi kesan kuat dan berkuasa kembali dikenakan oleh aktor bernama Bemby Putuanda (Gambar 4.2.1.17). Hal ini semakin menguatkan karakteristik kelompok dominan yang merupakan orang-orang superior. Mereka dianggap kelompok masyarakat yang memiliki kuasa untuk melakukan dominasi. Oleh karena itu, Gramsci menyebutnya sebagai kelompok dominan. Hanya saja, Bemby memberi unsur santai dalam jenis kostumnya. Ia membiarkan kancing Polo-Shirt-nya terbuka. Gaya seperti ini memberi kesan agar ia lebih leluasa, karena tidak “terikat” oleh kancing. David Cohen mengisyaratkan bahwa orang-orang dominan harus lebih bebas bergerak dan ekspresif. Polo-shirt dengan kancing terbuka memberi kesan santai dan apa adanya. Karakter dominan

diperlihatkan dengan warna hitam di Polo-Shirt Bemby. Meski memiliki kesan kuat, tapi ia membawakannya dengan santai dan sederhana.

Pada kode ini, konstruksi kostum diperlihatkan dengan variasi warna. Warna-warna yang digunakan cenderung memiliki arti positif yang melambangkan suatu intelektualitas, kekuatan, kekuasaan, kesombongan, ketegasan, dan kepercayaan diri. Itu adalah cerminan dari warna yang berbeda-beda, yaitu abu-abu, kuning, oranye, putih, biru, dan hitam. Kelompok dominan dikonstruksi dengan menggunakan warna-warna di atas, dan memiliki arti yang beragam pula. Jenis kostum yang dipakai juga dikonstruksi oleh para kelompok dominan dengan mayoritas pakaian yang sederhana. Sederhana di sini adalah pemakaian kostum yang tidak berlapis, hanya kaos jenis T-Shirt dan Polo-T-Shirt. Mayoritas dari mereka menggunakan T-T-Shirt. Penggunaan kaos jenis ini diidentikan dengan kelas sosial atas karena awal kemunculannya di Indonesia sebagai barang yang bergengsi.

Dokumen terkait