• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2 Pembacaan Lima Kode menurut Roland Barthes

3.2.4 Kode Proaretik Novel Saman Karya Ayu Utami

Kode proaretik merupakan kode “tindakan” (action). Kode ini didasarkan atas konsep prioairesis, yakni “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional” yang mengimplikasikan suatu dampak, dan

45

masing-masing dampak memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan (Barthes melalui Budiman, 2011: 35). Adapun kode proaretik novel Saman karya Ayu Utami di bawah ini.

Di Central Park Laila menunggu Sihar, lelaki yang ditemuinya dulu di Pertambangan Offshore yang terletak di Prambumulih. Laila ke sana untuk mengambil beberapa capture sebagai bahan iklan perusahan yang mengontrak agensinya. Saat pertama bertemu Sihar, ia kagum atas sikap berani Sihar untuk melawan atasannya. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Sebab saya sedang menunggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorang pun tahu, kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. tak ada hakim susila atau polisi. Orang-orang, apalagi turis, boleh menjadi seperti unggas: kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu, tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa. (Utami, 2018: 2-3).

Sihar bersikeras bahwa pengeboran belum bisa dilakukan karena ada sedikit masalah dengan alat bor, namun atasannya berseru untuk melakukan saja apa yang ia suruh. Dengan menyuruh pekerjaan lain, pengeboran dilakukan dan alhasil mengakibatkan kecelakaan berupa gempa lokal dan salah seorang rekan kerja Sihar terlempar ke laut dengan tak berbekas raga. Dalam keadaan itu, Sihar sangat emosi dan hendak menghakimi atasannya. Namun, Laila menenangkan Sihar dengan berjanji akan mengenalkan Sihar dengan Saman, seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Katup-katup peredam ledak di mulut sumur di bawah platform tak mampu menahan sebagaian tenaga yang biasa, yang tiba-tiba menjebol ke atas. Alas besi tempat para buruh berdiri terlontar, dan tiga orang yang sedang bekerja di kaki rig terpental ke udara seperti boneka plastik prajurit perang-perangan, bersamaan dengan terkulainnya menara itu. Mereka bahkan tak sempat berteriak. Belum habis satu nafas yang ditahan Laila ketika tubuh Hasyim dan dua yang lsin berjatuhan membentur landasan, lalu terlontar

46

lagi ke laut. Juga sebuah papan bertuliskan “safety firs”. Lindu. Api. Suara alarm. (Utami, 2018: 16)

Di tengah laut Cina Selatan terdapat sebuah tempat pengeboran minyak di mana tempat Sihar bekerja. Di tempat inilah peristiwa kematian Hayim dan dua orang lainnya meninggal akibat keteledoran dari Rosano. Sihar geram dan marah karenanya. Akibat dari peristiwa inilah Laila menawarkan kepada Sihar untuk menindaklanjuti kasus ini ke kepolisian dengan bantuan Saman. Jalinan cerita ini mengawali pertemuan antara Laila, Sihar, dan Saman. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Tiga pria itu sudah kelihatan akrab. Baru saya sadari bahwa Saman, lelaki itu, sudah begitu lama hidup di perkebunan di sana. Sudah begitu panjang perpisahan kami. Karena suatu peristiwa, beberapa tahun dia menghilang dan surat saya tak pernah dibalasanya. Baru setahun lalu kami saling berkirim kabar lagi. Saya hampir tak mengenalinya. Ia begitu hitam dan kurus, seperti petani. Rambutnya yang dulu hampir sebahu kini terpangkas. Dagunya tak tercukur rapi. Saya ingin merengkuhnya sebagai tanda persahabatan lama. Tetapi sesuatu seperti menghalangi. Lalu saya memperkenalkan Sihar kepadanya. (Utami, 2018: 32-33)

Sihar dan Saman segera berkawan. Saya kira keduanya mempunyai kemiripan, entah apa saya tak tahu persis. Barangkali ketakacuhannya pada wanita. Saman tak banyak bercerita tentang dirinya. Dia lebih banyak bertanya tentang kami. Lalu padanya saya mengulangi cerita tentang kecelakaan itu, juga tentang mesiu yang dibawa Sihar untuk meledakkan kepala Rosano. Saya setuju, orang itu memang menyebalkan. Kalau Cano tidak masuk penjara, barangkali kita memang perlu membunuh dia, saya menambahkan dalam kegembiraan perjalanan. (Utami, 2018: 33)

Perjuangan Saman berlanjut pada penegakan hukum yang adil bagi rakyat yang banyak. Kisah berlanjut Saman menjadi pater hingga menjadi buronan yang dianggap beraliran kiri demi memperjuangkan keadilan bagi rakyat khususnya warga transmigran Sei Kumbang. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

47

Wis juga terdiam, kejadian telah begitu ruwet. Siapapun yang memulai, merekalah yang tetap dipermasalahkan oleh hukum. Status mereka kini buron. Orang-orang memebakar Upi menggagahi istri Anson, merusak rumah kincir, mencabuti pohon-pohon karet muda menjadi tidak relevan untuk dibicarakan hakim. (Utami, 2018: 113)

Keluarnya Saman dari penjara bukan malah membuatnya terbebas dari siksaan, saat itu ia menjadi salah satu dari lima orang yang sangat di cari polisi. Akhirnya Saman berpencar dengan Anson untuk menyelamatkan diri masing-masing dan bersembunyi dimanapun Yang menurutnya aman, hingga sampai pada akhirnya ia diselamatkan oleh teman masa silamnya Yasmin dan Cok. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Berbahaya bagi Anson, kawanannya, dan dia sendiri, serta Gereja. Ia minta diantar ke rumah suster-suster Boromeus di Lahat. Di sana ia berpisah dari Anson dan teman-temannya. Dipeluknya pemuda yang membungkuk ke tempat ia tidur. (Utami, 2018: 113-114).

Jalinan cerita Shakuntal gadis pemberani yang memiliki keinganan kuat sehingga dia berani memberontak dari aturan ayahnya dan pergi ke New York untuk mendapat beasiswa dan hidup dengan keinginannya sendiri. Konflik yang dialami oleh Shakuntala adalah konflik yang menceritakan kilasan-kilasan masa lalu tokoh Laila, Cok, Yasmin, dan Saman. Kilasan masa lalu para tokoh berguna menjalin keterkaitan antar cerita. Termasuk diantaranya bagaimana jalinan persahabatan antara Laila, Shakuntala, Cok, dan Yasmin serta bagaimana Saman masuk ke dalam kehidupan mereka. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Aku melihat temanku Laila, lewat jendela. Ia muncul dari balik kabut debu yang ditiup angin jalanan. Ia menyembul dari bawah trotoar. Kepalanya lebih dulu, lalu tubuhnya, terakhir kakinya, seperti bayi dilahirkan, dari stasiun metro bawah tanah. Ia melangkah lekas-lekas, tetapi daun-daun kering yang leleraian menyusulnya lalu menari berputar-putar di kavling pasar loak meskipun para pedagang tengah berkemas-kemas pulang.

48

Sudah sore. Lima menit kemudian ia masuk dari balik pintu apartemenku tanpa bunyi lonceng. Lift boborok itu masih rusak juga. Tak ada belnya. Ia pasti naik tangga. (Utami, 2018: 119)

Yasmin bersahabat dengan Shakuntala, Laila, dan Cok. Ia adalah murid yang cerdas sehingga bisa masuk ke UI (Universitas Indonesia) dan mengambil jurusan Hukum tanpa melalui test. Sebelum ia menikah, Yasmin lebih dulu menyerahkan keperawanannya kepada Lukas. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Dan Yasmin masuk Fakultas Hukum UI tanpa test, sebab ia cerdas dan tekun sehingga lolos program PMDK. Namun kini, Yasmin yang dulu alim mulai pacaran. Orangtuanya yang kaya membelikan dia rumah di Depok agar dekat kampus. Hari sabtu dan Minggu ia pulang ke rumah Simprug, Senin sampai Jumat ia dan pacarnya saling mengeksplorasi tubuh dengan kemaruk. Si cowo akhirnya meninggalkan tempat kosnya yang agak bau ayam, lalu menetap di rumah Yasmin. Kemudian, dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas. (Utami, 2018: 156-157)

“Tapi kami mau nikah,” tambahnya cepat-cepat, sebab ia merasa telah berzinah. (Utami, 2018: 157)

Cok gadis yang pembangkang orangtuanya bermartabat sebab berpendidikan tinggi, namun ia melanggar apa yang dilarang orangtuanya yaitu berpacaran sempat berpisah beberapa tahun karena dipindahkan oleh orangtuanya keluar pulau karena orangtuanya mengetahui bahwa ia telah berpacaran sampai melewati batas, namun setelah itu ia kembali lagi untuk kuliah di Jakarta.

Akibat krisis dengan orangtuanya dulu, Cok baru lulus SMA di Ubud dua tahun lebih lambat daripada kami bertiga. Lalu kami ia kembali ke Jakarta untuk sekolah perhotelan di Sahid karena ia mau meneruskan bisnis ibunya. Kelak ia membuka bungalow dengan galeri dan kafe di lahan keluarganya di Ubud dan Sanur. Ia juga membuka bisnis hotel di Sumatera

49

dan Jawa. Sejak ia kembali ke Jakarta, kami berempat pun menjalin persahabatan lagi. (Utami, 2018: 156)

Laila terpikat yang mudah terpikat karena hampir saja ia menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang sudah beristri. Ia bahkan seorang yang setia karena ia jarang mencintai laki-laki namun sekali mencintai ia pasti langsung menuruti apa yang diinginkan si laki-laki tersebut. Kepada sihar (laki-laki beristri) ia rela mengikutinya sampai ke New York dan meninggalkan beberapa pekerjaannya untuk berkencan lagi dengan Sihar namun tanpa di sangka Sihar berangkat ke New York beserta istrinya sehingga ia kecewa tak bisa berkencan lagi dengan Sihar. Sebelum Sihar, Laila juga pernah mencintai Saman yang sebenarnya saat pertama bertemu namanya bukan Saman melainkan Athansisus Wisanggeni atau biasa dipanggil Wis. Namun ternyata berpisah beberapa lama Laila sudah tidak memiliki rasa cinta tersebut. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Tapi temanku Laila tidak bahagia di New York. Ia memang pantas tidak bahagia. Ia sudah melepaskan beberapa proyek di Jakarta, meguras sebagian tabungannya. Ia bukan orang bisa begitu saja membeli tiket seharga dua ribu dolar. Tetapi lelaki yang ditunggunya di Central Park tidak juga memberi isyarat. (Utami, 2018: 147)

Saman melarikan diri ke New York dengan bantuan Yasmin dan Cok. Dia melakukan penyamaran agar saat diperiksa pihak keamanan ia tidak diketahui sebagai buron. Sebelum sampai di New York ia menginap terlebih dahulu di Bungalow milik Cok, sembari menunggu Cok yang memiliki beberapa pekerjaan, saat itulah tiba-tiba Saman bercinta dengan Yasmin dan akhirnya saling mencintai. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

50

19 April—Pagi-pagi Yasmin telah kembali ke persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama pesoleksbya. Ternyata anak itu bekas murid SMP Tarakanita juga, Cok, teman satu kelas Yasmin dan Laila waktu remaja. Bocah-bocah itu kini sudah dewasa! Baru kusadari umurku sudah mau tiga puluh tujuh. Aku tak begitu ingat satu per satu waktu mereka masih kecil. Hanya Laila agak terhafal karena ia sering mengirim surat. Kini Yasmin telah mengurus segalanya agar aku pergi dari Indonesia. Dan Cok dipilihnya menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu karena aku tak begitu kenal anak ini. Tapi Yasmin nampaknya begitu percaya betul pada teman karibnya. Dan ternyata mereka mendandaniku dengan serius, menempel kumi palsu, mencukur rambut, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah hotelnya di Pekanbaru. Yasmin memang telah menyiapkan segala hal dengan rapi speerti ia biasa bekerja. (Utami, 2018: 179).

Hubungan berlanjut dengan saling mengirim email dan Saman pun selamat sampai New York dan bekerja di pembuat jaringan informasi di Asia Tenggara milik Human Rights Watch tanpa adanya yang mengetahui bahwa ia adalah seorang buron di Indonesia. Terlihat pada kutipan di bawah ini.

Dijemput Ferouz, kawan dari Human Right Watch, seorang warga negara Bangladesh. Lalu naik bus gratis ke stasiun subway Howard Beach— “kapitalisme” juga bisa menyediakan fasilitas resik tanpa ongkos. Dari luar stasiun ini nampak seperti gudang yang menyendiri dilautan mobil-mobil yang diparkir orang-orang yang berpergian naik pesawat ke negara bagian lain. Dalamnya adalah sepasang peron yang sepi lagi sempit, seperti stasiun kota kecil di pulau Jawa. Dari sana A Train, lalu ganti metro beberapa kali, dan stasiun-stasiun bawah tanah semakin besar dan kian gemuruh. Ke luar dari lorong-lorong tangga, New York tampak permukaannya: kota yang meriah. (Utami, 2018: 170).

Dokumen terkait