• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.2 Pembacaan Lima Kode menurut Roland Barthes

3.2.2 Kode Semantik Novel Saman Karya Ayu Utami

Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempatpuluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam Rahim, maka roh berhutang kepada tubuh. Tubuhku menari. Sebab menari adalah eskplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman dan kelak ajal. Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublime. Libidinal Libirin. (Utami, 2018: 118-119).

Berdasarkan kutipan di atas, nampak kode hermeneutik. Dalam kutipan membahas tentang Shakuntala dianggap sebagai perempuan sundal oleh keluarganya yang membuat dirinya mempunyai pandangan tersendiri tentang suatu pernikahan. Ia tidak menganggap bahwa pernikahan itu penting bahkan, ia tidak perduli dengan pernikahan.

Hari Sabtu dan Minggu ia pulang ke rumah Simprug, Senin sampai Jumat ia dan pacarnya saling mengeksplorasi tubuh dengan kemaruk. Si cowok akhirnya meninggalkan tempat kosnya yang agak bau ayam, lalu menetap di rumah Yasmin. Kemudian dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas. “Tapi kami mau nikah,” tambahnya cepat-cepat sebab ia merasa telah berzinah. (Utami, 2018: 157) Berdasarkan kutipan di atas, nampak kode hermeneutik teka-teki mengenai seks. Yasmin percaya bahwa laki-laki bisa mencintai tanpa seks. Yasmin semula setia mencintai satu lelaki saja dan menyadari hubungannya dengan pacarnya merupakan zina sebelum mereka menikah. Bahkan ia bersikap dingin dan acuh terhadap laki-laki yang bukan pacarnya. Meski dengan malu-malu ia menceritakan kepada teman-temannya bahwa dia telah serumah dengan pacarnya yang akhirnya menikah juga karena takut zina.

3.2.2 Kode Semantik Novel Saman Karya Ayu Utami

Kode semantik disebut juga kode semik, makna yang ditafsirkan dalam kalimat merupakan makna konotatif. Kode semantik yang memanfaatkan isyarat,

39

petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. (Barthes melalui Budiman, 2011: 35). Hal ini dapat terlihat dari beberapa kutipan di bawah ini.

Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum, rumput bias tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya. (Utami, 2018: 1)

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik karena mengandung penafsiran “Di taman ini, saya adalah seekor burung” kebebasan tanpa ada aturan tertentu.

Meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut, sebab setiap tahun di akhir semi siang sudah semakin lama. (Utami, 2018: 2)

Berdasarkan kutipan di atas, makna konotatif yang ada dalam kutipan “meski hari masih muda, bayang-bayang telah menjadi lisut” mengandung penafsiran kehidupan akan terus berubah seiring berjalannya waktu.

Dari dekat ia tampan, seperti kayu resak tembaga yang terplitur, coklat keras berkilat. (Utami, 2018: 22)

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik karena kutipan mengandung penafsiran makna kayu resak diibaratkan ketampanan yang tidak luntur dan awet muda sedangkan sedangkan kata tembaga yang terpelitur dipilih untuk menggambarkan paras wajah yang tampak bersinar.

Dan lahan pohon-pohon karet yang berjajar hingga ke ujung pandangan nampak seperti lelaki yang tak bercukur, penuh dengan gulma yang tak terpangkas. (Utami, 2018: 74)

40

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik yang mengandung makna konotatif yang menggambarkan keadaan kebun yang jarang dibersihkan dan dirawat sehingga menimbulkan pemandangan yang tidak bagus.

Malam harinya, di kamar tidur pastoran, kegelisahan membolak-balik tubuhnya di ranjang seperti orang yang mematangkan ikan di penggorengan. (Utami, 2018: 75)

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik yang mengandung makna konotatif yang menimbulkan perasaan kecemasan dan kekecewaan yang menimbulkan rasa tidak tentram dan selalu khawatir.

Lalu ia mondar-mandir seperti hewan menyesuaikan diri di kandang baru di taman safari. (Utami, 2018: 80)

Berdasarkan kutipan di atas, kode semantik yang terkandung adalah seorang gadis yang mencoba beradapatasi dengan tempat tinggal barunya yang cukup luas dan besar.

Sudah tiga bulan ia berkenalan dengan perkebunan karet ini. Ia telah merasa menjadi salah satu pohon-pohon yang berjajar condong itu, yang di balik kulit kayunya mengalir nadi-nadi lateks, yang menetes dari batang-batang coklat keputihan yang bercarut dan tersayat. Kerap ia memproyeksikan dirinya sebagai pokok karet yang dilukai, dan lukanya yang perih mengalirkan getah, dan getah itu menghidupi orang-orang yang mengambilnya. Getah penebusan. Setidaknya bagi Upi. (Utami, 2018: 82). Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik yang mengandung makna konotatif yang menggambarkan perjuangan seorang pastor untuk menyelematkan kebun serta gadis yang memiliki keterbatasan mental berujung kegagalan. Namun ia percaya bahwa suatu saat nanti masalah itu akan berlalu.

IA MERASA TELAH mati. Dan dia amat sedih karena Tuhan rupanya tidak ada. (Utami, 2018: 105)

41

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik yang mengandung makna konotatif menjelaskan bahwa tokoh Wisanggeni sebagai seorang pastor yang alim dan teguh akan pendirian. Namun keyakinannnya mulai melemah puncaknya saat kejadian di desa Lubukrantau. Ia merasa bimbang dan merasa bahwa Tuhan tidak ada untuk menolongnya.

Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh. Seperti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang kepada tubuh. (Utami, 2018: 118)

Berdasarkan kutipan di atas, merupakan kode semantik yang mengandung makna konotatif menjelaskan bahwa hidup perlu dinikmati dengan kebebasan sebelum maut menjemput.

Tubuhku menari. Ia mengikuti bukan nafsu melainkan gairah. Yang Sublim. Libidinal. Labirin. (Utami, 2018: 119)

Berdasarkan kutipan di atas, makna konotatif yang ada dalam kalimat tersebut menjelaskan kata “menari” merupakan pernyataan sikap yang mengisyaratkan kegiatan seks, Shakuntala sekadar mengikuti dorongan tubuhnya. Subjek kalimat-kalimatnya bukanlah “aku”, tapu “tubuhku”. Lewat pilihan subjek tersebut, timbul kesan seakan-akan kegiatan “menari” alias seks bukanlah sesuatu yang dengan sadar direncanakan dan dijalani, tapi sesuatu yang terjadi begitu saja dengan alami dan sewajarnya.

Aku melihat wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening. (Utami, 2018: 119)

42

Berdasarkan kutipan di atas, makna konotatif yang ada dalam kalimat tersebut mengandung penafsiran eksprersi wajah Laila yang kurang semangat karena mendengar kabar Sihar yang dibunuh.

Dokumen terkait