• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koleksi dan Pemilihan Bahan Utama Preparat Mitosis Penelitian diawali dengan melakukan koleksi dan

Dalam dokumen STUDI INDEKS MITOSIS MERISTEM UJUNG AKAR (Halaman 138-147)

akar Allium fistulosum dengan pewarna hematoksilin

1. Koleksi dan Pemilihan Bahan Utama Preparat Mitosis Penelitian diawali dengan melakukan koleksi dan

penentuan tanaman yang akan digunakan dalam tahap selanjutnya. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data dan memilih beberapa jenis tanaman yang cocok digunakan untuk membuat media preparat mitosissquash. Tujuan dari penelitian ini adalah didapatkan tanaman yang dapat diguankan sebagai media preparat mitosis squash dengan kriteria pemilihan tanaman. Beberapa tanaman yang dikumpulkan yaitu Allium ascalonicum, A. cepa, A. sativum, A. fistulosum, Habranthus robustus, Zephyranthes candida,Z. Rosea,Hymenocallis litthoralis,Aloe barbadensis, danTulbhagia violacea.

Pada tahap koleksi dan penentuan tanaman ditemui beberapa kendala. Kendala dalam tahap ini adalah sedikitnya informasi literature yang membahas mengenai morfologi sitogenetik tanaman Indonesia, sehingga peneliti berinisiatif melakukan pengamatan mandiri tentang morfologi sitogenetik terkait ukuran kromosom tanaman koleksi. Keterbatasan peralatan yang dimiliki peneliti yaitu tidak ada mikrometer okuler maupun bjektif untuk menentukan ukuran absolut kromosom tanaman yang diamati menyebabkan peneliti mengamati

kromosom mulai dari perbesaran kecil, jika dengan perbesaran 100 X dan 160 X kromosom dalam berbagai fase terlihat sangat jelas, maka tanaman tersebut masuk dalam tanaman koleksi.

Setelah dilakukan pengumpulan dan pemilihan tanaman yang sesuai dengan kriteria pemilihan tanaman pada tabel 4.2, didapatkan 3 tanaman dari genus Allium yaitu Allium sativum (2n=16), A. cepa (2n=16) dan A. fistulosum (2n=14). Beberapa alasan yang menjadikan tanaman-tanaman ini terpilih diantaranya ialah secara sitogenetik ketiga tanaman ini memiliki jumlah autosom sedikit dengan kromosom bertipe besar, secara berturut-turut rata-rata panjang kromosom pada tiga tanaman yaitu 12,89 µm; 13,38 µm dan 10,22 µm. Wilson dan Loomis (1962) menjelaskan pada kegiatan pengamatan pembelahan mitosis yang diamati adalah pola dasar dari bentuk-bentuk kromosom di dalam nukleus saat pada setiap fase pembelahan sehingga sangat perlu memerhatikan ukuran kromosom, ukuran sel dan jumlah autosom. Sel Allium yang memiliki jumlah autosom sedikit dengan kromosom bertipe besar memudahkan pengamatan meskipun dengan perbesaran yang kecil.

Secara morfologi, ketiga tanaman ini merupakan tanaman monokotil dengan sistem perakaran serabut yang membutuhkan waktu tidak lama untuk menumbuhkan akarnya, berkisar antara 2-5 hari. Bagian organ tanaman yang akan diproses menjadi preparat mitosis adalah meristem ujung akar, secara fisik organ akar ketiga tanaman mudah dipotong dan tidak keras sehingga mudah diproses dengan metode squash mitosis (Fukui, 1996). Allium sativum dan A. cepa, A. fistulosum dapat di dapatkan dengan cara membeli dengan harga yang terjangkau.

2. Pengamatan Nilai Indeks Mitosis Genus Allium

Jones dan Rickards (1991) menjelaskan, di dalam sebuah preparat mitosis yang layak secara mikroteknik dan digunakan dalam pembelajaran di sekolah harus memiliki fase-fase lengkap pembelahan mitosis dan tampak jelas. Untuk membuat preparat dengan fase-fase lengkap mitosis maka perlu diperhatikan pada saat proses awal pembuatan preparat mitosis adalah waktu pemotongan akar yang merupakan faktor kritis dalam menentukan hasil akhir preparat. Waktu pembelahan sel tiap tanaman berbeda-beda dan tidak konstan sepanjang hari. Beberapa spesies tanaman memerlukan suhu tertentu dan lama penyinaran yang berbeda, sehingga untuk mendapatkan waktu yang tepat diperlukan pengamatan yang berulang-ulang pada waktu yang berbeda (Jurcak, 1999). Waktu pemotongan terkait dengan durasi mitosis dan indeks mitosis. Perbedaan durasi mitosis pada setiap spesies bergantung pada kondisi lingkungan. Temperatur dan nutrisi, merupakan faktor utama dalam durasi mitosis (Yadav, 2007).

Pengujian Anava Satu Arah menunjukkan ada perbedaan nilai IM meristem ujung akarAllium sativum, A. cepa dan A. fistulosum yang berbeda-beda pada setiap jamnya berturut-turut selama 24 jam. Waktu pemotongan ujung akar Allium menunjukkan nilai IM yang berbeda-beda. Tabel 4.3, menyajikan nilai IM tiga spesies tanaman yang berbeda pada setiap jam selama 24 jam berturut-turut. IM tertinggi meristem ujung akar dari tiga spesies tanaman muncul pada waktu yang berbeda-beda meskipun dalam satu genus. Berdasarkan uji lanjutan duncan, waktu potong terbaik untuk A. sativum, A. cepa dan A. fistulosumsecara berturut-turut adalah jam 09.00 WIB, 12.00 WIB dan 06.00 WIB.

Nilai IM Allium sativum tertinggi terjadi pada jam 09.00 WIB dengan nilai 11.410%; IM A. cepa tertinggi terjadi pada jam 12.00 WIB dengan nilai 11.326%; sedangkan IM A. fistulosum tertinggi terjadi pada jam 06.00 WIB dengan nilai 12.617%. Modus kemunculan fase-fase mitosis berbeda-beda, pada IM tertinggi Allium sativum, persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 15%, 38.333%, 21.667% dan 25%. Pada IM A. cepa tertinggi persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 13.821%, 39.837%, 20.325% dan 26.016%. Pada IMA. fistulosum tertinggi persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 11.628%, 44.186%, 17.054% dan 27.132%. Ketigas spesies Allium menunjukkan persentase metafase yang tinggi daripada fase yang lain. Hal ini menunjukkan sel paling aktif melakukan pembelahan saat dimulai metafase.

Nilai IM Allium sativum terendah terjadi pada jam 19.00 WIB dengan nilai 4.503%; IM A. cepa terendah terjadi pada jam 21.00 WIB dengan nilai 5.138%; sedangkan IM A. fistulosum tertinggi terjadi pada jam 19.00 WIB dengan nilai 5.658%. Modus kemunculan fase-fase mitosis berbeda-beda, pada IM terendah Allium sativum, persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 28.302%, 22.642%, 26.415% dan 22.642%. Pada IM A. cepa terendah persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 30.189%, 28.302%, 28.302%, dan 13.208%. Pada IM A. fistulosum terendah persentase modus profase, metafase, anafase, telofase secara berturut turut yaitu 36.066%, 16.393%, 27.869%, dan 19.672%. Ketiga spesies Allium menunjukkan persentase profase yang tinggi daripada fase yang lain. Hal ini menunjukkan aktifitas pembelahan sel menurun saat profase.

Berdasarkan persentase modus kemunculan fase-fase mitosis Allium menunjukkan bahwa indeks mitosis meningkat saat jumlah sel dalam profase menurun dan metafase meningkat, hal ini sesuai dengan penelitian Osuji dan Owei (2010) yang meneliti tentang IM pada Treculia africanadan penelitian Adesoye dan Nnadi (2011) yang meneliti tentang IM pada Sphenostylis stenocarpha (Hochst. Ex. A. Rich.) Harm. yang sama-sama menyimpulkan bahwa IM tertinggi terjadi ditunjukkan oleh persentase metafase sel yang tinggi.

Perbedaan modus fase-fase mitosis disebabkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu setiap fase pembelahan berbeda-beda, namun secara umum fase interfase memerlukan waktu yang paling lama diantara fase lainnya. Seluruh urutan kejadian mulai dari membelahnya nukelus sampai membelahnya nukleus berikutnya disebut siklus mitotik dari sel. Perbedaan durasi siklus ini terkait dengan volume kandungan DNA sel pada setiap spesies yang berbeda-beda. semakin besar kandungan DNA maka semakin lama durasi mitosis. Keploidian tidak memengaruhi durasi waktu tersebut (Singh, 2003). Temperatur dan nutrisi, merupakan faktor utama dalam durasi mitosis. Perbedaan durasi siklus ini menyebabkan setiap spesies memiliki waktu mitosis yang berbeda (Suryo, 2007).

Umumnya tanaman melakukan pembelahan sel pada pagi hari. Namun, pada penelitian ketiga spesies, aktifitas mitosis yang paling aktif terjadi pada waktu yang bervariasi, Allium sativum dan A. fistulosum terjadi pada pagi hari yaitu pada jam 09.00 WIB dan 06.00 WIB sedangkanA. cepapada siang hari jam 12.00 WIB. Proses siklus sel dikendalikan oleh pengontrol siklus sel yang berupa suatu kelompok protein yang disebut siklin. Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan mengaktivasi protein kinase

bergantung siklin (Cdk, cyclin dependent kinase). Cdk berperan dalam melepaskan transkripsi gen pada tahap replikasi DNA. Siklin dan Cdk diatur oleh jam biologi. Selanjutnya siklin dan Cdk akan diinduksi oleh sitokinin untuk mengatur siklus sel di kedua fase yaitu G1/S dan G2/M. Konsentrasi sitokinin juga akan berbeda-beda pada tingkat intensitas cahaya yang berbeda. Sehingga peran siklin, Cdk dan sitokinin sangat mempengaruhi tingkat pembelahan sel (Matias dan Fontanilla, 2011). 3. Pembuatan Pewarna Alternatif Filtrat Syzygium cumini

dan Pengaplikasiannya pada Media Preparat Squash Mitosis

TanamanSyzygium cuminimudah ditemui di wilayah Indonesia yang beriklim tropis, tumbuh di dataran rendah, banyak ditanam di pinggir jalan, di pematang sawah dan pagar rumah. Berbunga sekitar bulan April-Oktober (Steenis,et al., 2008). Buah yang matang berwana merah tua keunguan akan dipanen dan biasa dikonsunsumsi segar. Buah yang terlampau matang dan tidak dipanen akan jatuh ke tanah tidak dimanfaatkan penduduk hanya dibiarkan begitu saja menjadi sampah. Selama ini, pemanfaatan tanaman S. cumini umumnya hanya sebatas sebagai bahan obat (Ayyanar dan Babu, 2012). Pemanfaatan buah S. cumini sebagai pewarna alternatif alami dalam pembuatan preparat mitosis dapat menekan biaya pembuatan preparat serta mempertinggi nilai manfaat buahS. cumini.

Bagian buahSyzygium cuminiyang digunakan sebagai bahan utama pewarna alami adalah kulit buah. Kulit buah S. cumini banyak mengandung sianidin (Sah dan Verma, 2011). Kulit buah digerus kemudian ditambahkan asam asetat glasial (CH3COOH) 95% sebagai pelarut. Hasil campuran kemudian disaring menggunakan kertas saring setelah itu ditambah dengan iron alum [Fe(NH4) (SO4)2·12 H2O], diaduk hingga homogen dan berubah

warna menjadi ungu tua (gambar 4.7). Hasil dari tahap ini adalah tersedianya pewarna alternatif yang akan digunakan untuk pewarna inti sel / kromosom.

Struktur molekul sianidin (C15H10O6) cenderung tidak stabil terhadap perubahan pH. Ketidakstabilan struktur sianidin menyebabkan warna sianidin dapat berubah-ubah pada pH larutan yang berbeda-beda. Pada keadaan terlarut dengan pH 7-8, sianidin tampak berwarna merah lembayung, gugus orto-hidrokuinon molekul sianidin membebaskan ion H+ menjadi 1-hidro-2-oksi-quinon seperti pada gambar 4.6.3. Quinon merupakan senyawa berwarna yang mempunyai gugus chromophore (-C=O-) dan auxochrome (-OH). Gugus chromophore berfungsi menyerap radiasi elektromagnetik di daerah panjang gelombang ultraviolet sedangkan gugusauxochromeakan memengaruhi pergeseran batokromik ke panjang gelombang yang lebih panjang (λmax) sehingga akan mengintensifkan warna (Mehta dan Mehta, 2005; Watson, 2005; Cairns, 2004).

Gambar 4.6Struktur kimia molekul antosianidin dalamSyzygium cumini, sianidin, sianidin anion

(Sumber: Minghui,et al.,2009) Gambar 4.6.1

Molekul Sianidin Kation (C15H11O6) berwarna

merah pada pH < 3

Gambar 4.6.2 Molekul Sianidin (C15H10O6) dalam bentuk terlarut berwarna merah lembayung pada pH 7-8

Gambar 4.6.3 Molekul Sianidin Anion (C15H9O6) dalam bentuk

terlarut berwarna biru pada pH >11

Penambahan asam asetat glasial (CH3COOH) 95% (pH larutan < 3) membuat molekul sianidin dalam keadaan stabil dengan menangkap ion H+ sehingga terbentuk struktur sianidin kation yang tampak berwarna merah. Sianidin yang dilarutkan dengan menambahkan mordan iron alum, akan membentuk kompleks iron sianidin ((CyFe)2+).

Iron alum [Fe(NH4)(SO4)2·12H2O] yang dilarutkan dalam air akan membebaskan kation besi (III) (Fe3+). Ikatan terjadi diawali dengan tereduksinya kation H+ pada 1-hidro-2-oksi-quinon oleh ion Fe3+ sehingga terbentuk komplek sianidin ((CyFe)2+) dengan dua elektron bebas pada atom Fe (Gambar 4.10). Elektron yang tidak dipakai bersama pada ikatan rangkap atom O akan didonorkan pada Fe3+ dan Fe3+ juga mendonorkan satu elektron pada ikatan tunggal atom O, sehingga membentuk cincin beranggota lima (Minghui,et al.,2010). Dua ion Fe3+yang bebas bertindak sebagai elektron donor kepada atom O pada ikatan anion fosfat seperti pada gambar 4.10 (Kiernan, 2010). Dalam proses pemulasan kromosom, kompleks (CyFe)2+ bertindak sebagai penyumbang elektron dengan adanya elektron bebas dari atom Fe akan menyumbangkan satu ion Fe3+ (bertindak sebagai basa Lewis) pada fosfat anion (bertindak sebagai asam Lewis). Kompleks pewarna sianidin yang mengikat mordan Fe ini disebut ligan, Fe3+akan bertindak sebagai pengkelat pada senyawa kelat (ikatan kompleks pewarna sianidin, mordan iron alum dan fosfat anion pada polinukleotida).

Suasana asam, mencegah terjadinya ikatan antara logam dengan jaringan tapi dapat memperkuat ikatan di dalam nukleus daripada lainnya. Gugus fosfat pada

kromosom lebih bersifat asam daripada gugus protein pada sitoplasma dan jaringan. Saat proses pemulasan kompleks (CyFe)2+ akan terikat pada fosfat anion DNA (Kiernan, 2010). Satu elektron pada ion Fe3+ pada pewarna (CyFe)2+ akan berikatan dengan atom-atom O pada fosfat anion membentuk ikatan kovalen. Ikatan yang terjadi antara ikatan tunggal atom O anion pada fosfat dengan logam Fe adalah ikatan ionik, sedangkan ikatan rangkap dua atom O pada fosfat dengan logam Fe adalah ikatan kovalen koordinasi dengan atom O sebagai penyumbang elektron. Ikatan yang terjadi seperti ini disebutkelatseperti pada gambar 4.7. (Baker, 1958).

Gambar 4.7

Mekanisme reaksi antara pewarna cyanidin (CyFe)2+dengan fosfat anion (Sumber: Minghui,et al. (2009) dan Kiernan (2010))

Pada tahap pembuatan pewarna alternatif filtrat Syzygium cumini dan pengaplikasiannya pada media preparat squash mitosis ditemui kendala. Kendala dalam tahap ini adalah Syzygium cuminiyang tidak dapat setiap saat ditemukan sehingga pewarna alami ini hanya dapat

dibuat pada bulan-bulan tertentu saat tanaman S. cumini berbuah yaitu sekitar bulan April-Oktober (Steenis,et al., 2008). Selain itu, pada proses tahap akhir pembuatan preparat yaitu memejet organ dengan cover glass hingga teremas (squash) dibutuhkan keterampilan, seringkali cover glass pecah saat melakukan remasan disebabkan penekanan pada cover glass yang terlalu kuat dalam hal ini.

Dalam dokumen STUDI INDEKS MITOSIS MERISTEM UJUNG AKAR (Halaman 138-147)