• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

2.1.7. Komisi Pemberantasan Korupsi

Perang terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam suatu Negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsure yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu Negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanent dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal lahirnya KPK, dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi lebih intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK secara politik

dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian anggota parlemen yang “kotor”. Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hokum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi

Ketua KPK yang pertama adalah Taufiequrachman Ruki. Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi). Selanjunya KPK dipimpin oleh Antasari Azhar pada tahun 2007 hingga tahun 2009.

2.1.8. Nasionalisme

2.1.8.1.Pengertian Nasionalisme

Diantara ideologi-ideologi modern, setidaknya secara teoritis, nasionalisme-lah yang paling sederhana, paling jelas, paling canggih, sekaligus paling luas, dan memiliki daya cengkram paling kuat pada perasaan rakyat. Sebagai hasilnya nasionalisme menjadi agen perubahan politik paling kuat selama dua ratus tahun terakhir.

Singkatnya, nasionalisme berkeyakinan bahwa umat manusia terbagi dalam bangsa-bangsa dan bahwa semua bangsa memiliki hak untuk memiliki peerintahan dan menentukan nasibnya sendiri. Persatuan bangsa merupakan tujuan utama dari tindakan politik kaum nasionalis, dengan begitu nasionalisme merupakan doktrin politik dan juga merupakan sebuah ideologi. (http://www.hmi.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=130).

Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Otto- man, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. (http://www.setpp.depkeu.go.id/DataFile/PPBerita/Agustus% 202008.pdf.)

Pengertian nasionalisme di sini, tentunya bukan dalam arti yang sempit, simbolis, dan seremonial belaka, seperti misalnya, seseorang baru akan disebut nasionalis apabila dia rutin mengikuti upacara penaikan bendera dan menyanyikan

lagu Indonesia Raya, meski dalam prilakunya sehari-hari senantiasa merugikan negara dan bangsanya. Pengertian nasionalisme di sini adalah perasaan cinta, rasa memiliki, dan mau berkorban dari individu atau sekelompok orang terhadap bangsa dan negaranya.

2.1.8.2.Bentuk Nasionalisme

Nasionalisme radikal adalah suatu bentuk nasionalisme yang timbul untuk melawan suatu kolonialisme. Nasionalisme sendiri adalah suatu rasa cinta terhadap tanah air tapi tidak disertai dengan rasa chauvinisme (rasa cinta tanah airyang berlebihan). Di Indonesia pernah muncul adanya rasa nasionalisme radikal ini, dimana nasionalisme ini muncul ketika Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah bangsa ini. Salah seorang yang memiliki rasa nasionalisme radikal ini adalah Soekarno. Rasa nasionalisme radikal ini ditunjukkan oleh beliau salah satunya terlihat dari kalimat beliau. Beliau mengatakan bahwa bangsa ini dalam mencapai masyarakatyang adil dan makmur, sama rasa-sama rata (Bung Karno seriing menyebutnya Marhaen) salah satunya harus melewati jembatan emas. Jembatan emasyang dimaksud adalah kemerdekaan. Kemerdekaan yang harus didapat Indonesia bukan lah kemerdekaan yang begitu saja diperoleh sebagai hadiah dari penjajah, melainkan kemerdekaan yang harus di dapat dari suatu perjuangan. Perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia. Perjuangan yang musti dilakukan dengan maksa-aksi yang revolusioner. Itulah salah satu bentuk nasionalisme radikal yang ada pada diri salah satu founding fathers bangsa ini, Soekarno. Nasionalisme radikal itu kemudian tersalurkan dalam suatu wadah yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia). (http://robeeon.net/politik/nasionalisme-radikal.html)

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan Negara) yang populer berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideology. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. (http://dhayu.ngeblogs.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

2.1.8.3.Nasionalisme Indonesia

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme Indonesia berakar secara “alami” pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.

Kemeriahan pada HUT kemerdekaan RI pada setiap tahunnya semakin tidak meriah sejalan dengan melemahnya rasa nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya kalangan pejabat pemerintahan. Sebab, para umumnya para penjabat hanya mengejar kekuasaan belaka, menumpuk kekayaan, tidak memikirkan rakyat. Yang pasti, bangsa ini semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan RI. Bagaimana tidak, jumlah rakyat miskin masih sangat tinggi. Sejalan dengan itu jumlah pengangguran semakin bertambah. Meskipun pemerintah selalu menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, bahkan bisa mengimbangi India dan China, faktanya rakyat miskin semakin

memprihatinkan. Utang luar negeri semakin menggunung. Hal inilah yang bisa menyulut masalah sosial, bila kesenjangan ekonomi semakin tidak terkontrol.

Adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah sekarang ini rasa nasionalisme pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat, mahasiswa, bahkan di kalangan sementara pelajar semakin menurun. Konon pula masyarakat biasa yang melihat ketidakadilan dalam pemerintahan dan kehidupan elite politiknya semakin tidak sehat. Jika rasa nasionalisme ini semakin terkikis maka permasalahan bangsa ini akan semakin parah di masa mendatang. Tidak hanya khawatir dengan rasa aman dan aksi terorisme yang semakin mengerikan, tetapi juga kekhawatiran lainnya, seperti terancamnya kedaulatan bangsa di berbagai bidang, seperti teritorial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain.

Dengan pemerintahan periode kedua Presiden SBY ini bisa lebih bekerja keras tanpa kompromi dalam pemberantasan KKN, penegakan hukum, peningkatan perekonomian rakyat. Jangan pernah bermain api dengan mengajak semua pihak menggalang koalisi demi mewujudkan pemerintahan otoriter. Upaya pihak tertentu untuk merangkul partai-partai politik dalam pemerintahan patut dicurigai untuk memasung dan mengerdilkan peran oposisi. Kalau itu terbukti, maka demokrasi bangsa ini akan semakin suram. Kemungkinan yang terjadi adalah rakyat semakin terabaikan hak-haknya. Tak pelak lagi, perubahan yang semakin baik setelah 64 tahun merdeka masih penuh tanda tanya. Hal itu dapat dilihat dari jumlah utang negara dan swasta yang semakin membesar kepada pihak ketiga/bangsa asing. Ketergantungan kita pun semakin besar sehingga kedaulatan bangsa acapkali diintervensi pihak asing. Kongres AS misalnya, semakin nyata saja. Bahkan, Malaysia pun sudah berani melawan kita.

Ironis memang, bangsa Indonesia yang katanya besar namun besar juga penduduk miskinnya. Sekitar 19 juta rumah tangga miskin masih tetap antre mengharapkan BLT (bantuan langsung tunai) sebesar Rp300 ribu untuk tiga bulan, namun ke depan distop setelah SBY terpilih. Dan kurang dari 20 persen saja dari jumlah rakyat Indonesia yang bisa menikmati arti kemerdekaan, dalam arti hidup layak, nyaman, dan relatif sejahtera. Berarti, 80 persen hidup di bawah garis kemiskinan alias tidak sejahtera. Justru itu, perjalanan 64 tahun kemerdekaan perlu ditanggapi dengan sikap tegas dalam bidang hukum dan ekonomi terutama, sehingga rakyat merasakan manfaatnya makna kemerdekaan. Bangsa ini perlu kebersamaan membangun bangsa dan negara agar hasilnya dapat menumbuhkan kembali rasa nasionalisme yang kian terkikis menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama sekaligus.

Dokumen terkait