• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU “KPK DI DADAKU” (Studi Semiotik Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral, Faris RM, Once ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU “KPK DI DADAKU” (Studi Semiotik Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral, Faris RM, Once )."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh

Bagus Netral, Faris RM, Once )

SKRIPSI

Oleh:

DAVIN AGNIES

0543010428

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Nama : DAVIN AGNIES

NPM : 0543010428

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 36601 94 00251

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

(3)

Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral Faris RM, Once )

Nama : DAVIN AGNIES

NPM : 0543010428

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fak ultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengik uti ujian skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 36601 94 00251

Mengetahui DEKAN

(4)

Nama : DAVIN AGNIES

NPM : 0543010428

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui

Pembimbing Utama 1. Penguji I

Dra. Dyva Claretta, MSi Drs. Kusnarto, Msi

NPT. 36601 94 00251 NIP. 030 176 735

2. Penguji II

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 36601 94 00251

3. Penguji III

DR. Catur Suratnoaji, MSi NPT. 956 700 036

Mengetahui

Ketua Program Studi Komunikasi

(5)

Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral, Faris RM, Once )

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini banyak disorot oleh mayarakat karena adanya temuan kasus korupsi yang diduga terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK yang selama ini diaggap sebagai suatu badan yang bertugas memberantas korupsi dan menjadi momok yang menakutkan bagi para koruptor di Indonesia. Atas kasus-kasus yang terjadi dalam tubuh KPK, dukungan yang diberikan oleh masyarakat tidak main-main hal ini dibuktikan dengan memberikan dukungan diberbagai daerah dengan membentangkan spanduk-sapnduk yang mendukung KPK dan yang paling terbaru adalah dukungan dengan membuatkan lagu yang diaransemen ulang dari lagu grup band Netral yaitu Garuda di dadaku menjadi KPK di dadaku, hal ini menunjukkan bahwa dukungan yanng diberikan masyarakat kepada pimpinan KPK yang ditahan. Lagu KPK didadaku (gubahan dari lagu Netral Garuda di dadaku) merupakan bentuk semangat yang ditunjukkan untuk kedua pimpinan KPK agar jangan mudah menyerah karena kalau mereka benar pasti menang. Melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi di dalamnya. Ramainya persoalan KPK vs Polri membuat para musisi mengganti liriknya untuk mendukung KPK. Gubahan lagu tersebut menunjukkan menurunnya rasa nasionalisme para penjabat. Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia.

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Musik, Lirik L-agu, Semiotika, Semiotika Dalam Ilmu Komunikasi, Representasi, Teori Semiologi Rolands Barthes, Komisi Pemberantasan Korupsi, Nasionalisme.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan penggambaran terhadap lirik lagu ini menggunakan metode semiotic Roland Barthez yaitu, dengan menghubungkan antara signifier dan signified atau penanda dan petanda dengan melihat dari kata-kata dan rangkaian kata yang membentuk kalimat dalam lirik lagu tersebut sehingga dapat diperoleh interpretasi data yang benar-benar berkualitas.

Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa lirik lagu “KPK Di Dadaku” Bagus Netral, Faris RM, Once, menunjukkan bahwa dalam Lirik lagu “KPK Di Dadaku” (gubahan dari lagu Netral Garuda di dadaku) merupakan bentuk semangat yang ditunjukkan untuk kedua pimpinan KPK agar jangan mudah menyerah karena kalau mereka benar pasti menang. Melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi di dalamnya.

(6)

Halaman Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Abstraksi ... x

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

Bab II Kajian Pustaka 2.1. Landasan Teori ... 10

2.1.1. Musik ... 10

2.1.2. Lirik Lagu ... 12

2.1.3. Semiotika ... 13

2.1.4. Semiotika Dalam Ilmu Komunikasi ... 14

2.1.5. Representasi ... 16

2.1.6. Teori Semiologi Rolands Barthes ... 18

2.1.7. Komisi Pemberantasan Korupsi ... 24

(7)

2.1.8.2.Bentuk Nasionalisme ... 27

2.1.8.3.Nasionalisme Indonesia ... 29

2.2. Kerangka Pikir ... 31

Bab III Metode Penelitian 3.1. Metode Penelitian ... 33

3.2. Unit Analisis ... 34

3.3. Corpus ... 35

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 36

3.4.1. Sumber Data ... 36

3.4.2. Metode Analisis Data ... 36

Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 40

4.2. Penyajian dan Analisis Data ... 42

4.2.1. Penyajian Data ... 42

4.2.2. Kode Hermeneutik ... 44

4.2.3. Kode Semik ... 48

4.2.4. Kode Simbolik ... 56

4.2.5. Kode Proaretik ... 62

4.2.6. Kode Gnomik ... 68

4.3. Representasi Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” ... 76

(8)

5.2. Saran ... 80

Daftar Pustaka

(9)
(10)

ix

Gambar 2.2. Dua Sudut Artikulasi Barthes ... 20

Gambar 4.1. Peta Tanda Bait 2 Lirik 3 ... 45

Gambar 4.2. Peta Tanda Bait 4 Lirik 5 ... 44

Gambar 4.3. Peta Tanda Bait 1 Lirik 3 ... 48

Gambar 4.4. Peta Tanda Bait 2 Lirik 2 ... 50

Gambar 4.5. Peta Tanda Bait 3 Lirik 2 ... 52

Gambar 4.6. Peta Tanda Bait 3 Lirik 6 ... 53

Gambar 4.7. Peta Tanda Bait 4 Lirik 4 ... 55

Gambar 4.8. Peta Tanda Bait 1 Lirik 4 dan 1 ... 57

Gambar 4.9. Peta Tanda Bait 3 Lirik 1 dan 4 ... 59

Gambar 4.10. Peta Tanda Bait 4 Lirik 2 ... 61

Gambar 4.11. Peta Tanda Bait 1 Lirik 2 ... 63

Gambar 4.12. Peta Tanda Bait 1 Lirik 4 ... 65

Gambar 4.13. Peta Tanda Bait 4 Lirik 5 ... 67

Gambar 4.14. Peta Tanda Bait 1 Lirik 3 ... 69

Gambar 4.15. Peta Tanda Bait 3 Lirik 1 dan 4 ... 70

Gambar 4.16. Peta Tanda Bait 3 Lirik 5 ... 72

(11)

1.1. Latar Belakang Masalah

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini banyak disorot

oleh mayarakat karena adanya temuan kasus korupsi yang diduga terjadi di

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK yang selama ini diaggap sebagai

suatu badan yang bertugas memberantas korupsi dan menjadi momok yang

menakutkan bagi para koruptor di Indonesia ternyata juga melakukan korupsi hal

ini dibuktikan dengan ditahannya dua pimpinan KPK yaitu Bibit dan Candra

Hamsah yang dalam hal ini diduga menerima suap dalam kasus Masaro sehingga

mereka ditahan oleh Polri guna memudahkan dalam penyelidikan. Tapi karena

kejdian itu hubugan antara Polri dan KPK tidak Harmonis sehingga terjadi

perseteruan antara Polri dengan KPK. Akhir-akhir ini Perseteruan antara Polri dan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin memanas. Kedua lembaga hukum

itu mulai menunjukkan “perang terbuka”. Kali ini Mabes Polri telah menyidik

kasus penyalahgunaan wewenang dalam penanganan kasus Masaro. Dalam Hal

ini orang pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini berawal dari

kasus Antasari, lembaga KPK mulai terasa diembosi oleh berbagai pihak.

(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Jauh sebelumnya, pada April 2008, Ahmad Fauzi- anggota DPR dari

Partai Demokrat meminta KPK dibubarkan. Dua bulan yang lalu, Nursyahbani

(12)

Katjasungkana, anggota DPR dari fraksi PKB meminta KPK tidak mengambil

keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk proses penyelidikan korupsi yang

membutuhkan keputusan terkait kasus Antasari. Dan 24 Juni 2009, di media

Kompas, Pak SBY mengatakan KPK telah menjadi lembaga superbody sehingga

wewenangnya butuh diwanti alias dikurangi wewenangnya.

(http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Salbani Mosa, seorang orator dalam aksi dukungan untuk Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) di Simpang Lima, Banda Aceh mengatakan,

pengurangan wewenang KPK dalam Rancangan Undang – Undang Tindak

Pidana Korupsi yang kini sedang digodok, merupakan upaya pembubaran

KPK secara sistematis. Dalam RUU itu diatur, diantaranya KPK tak

berwenang lagi menyadap dalam menyidik kasus korupsi. Juga ada peluang bisa

diintervensi pemerintah dalam bertugas. Salbani menambahkan bahwa tanpa

kewenangan seperti itu, KPK akan jadi macan ompong yang berkandang di sekitar

istana.

(http://www.acehkita.com/berita/pemerintah-diminta-jangan-bungkam-kpk/)

Jika kita kilas balik ke belakang sejenak, lahirnya KPK (Komisi

Pemberantasan Korupsi) juga dibidangi oleh Polri dan Kejaksaan. Namun, KPK

dilahirkan adalah dalam rangka menghajar korupsi dari negeri ini. Masalah

korupsi adalah masalah pidana atau kriminalitas yang jelas melawan hukum.

Masalah pidana maupun kriminalitas ataupun masalah gangguan alias melawan

hukum di negeri ini telah ada institusi penegak hukum yakni kepolisian dan

(13)

ketidakpercayaan lagi terhadap kedua lembaga negara tersebut mampu

mengganyang korupsi dari negeri ini. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php)

Maka tidak heran, jika kemudian hari pasti timbul persaingan untuk

menunjukkan eksistensi diri masing – masing lembaga. Sebab semuanya

merasa sebagai lembaga penegak hukum. Apapun yang terjadi sebenarnya

masing-masing lembaga tersebut telah memiliki tupoksi [tugas pokok dan

fungsi] masing – masing. Dan tupoksi tersebut saling berkaitan satu sama lain

yang seharusnya berjalan seiring sejalan dalam sebuah jalan yang akhirnya

bertemu pada terminal akhir. Sayangnya, ketiga lembaga tersebut dilengkapi

dengan perangkat yang sama. Ambil contoh perangkat tersebut adalah KPK,

Polri dan Kejaksaan sama-sama punya penyidik yang tupoksinya sama-sama

menyidik kasus. (http://kaumbiasa.com/kpk-vs-polri.php )

Selain kesamaan perangkat, juga ada kesamaan fungsi dapat menegakkan

hukum korupsi. Rakyat dapat melaporkan kasus korupsi ke Kejaksaan, Polri dan

KPK juga. Inilah yang membuat rakyat bingung, mau melapor ke mana jika ada

kasus korupsi. Ketiganya juga siap menerima laporan dan siap mengusut kasus

tersebut. Di sinilah paradoks itu muncul dan akhirnya gesekan terjadi. Hubungan

mereka menjadi kurang harmonis ketika gesekan memanas dan akhirnya

menajam. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri semakin

tidak harmonis menyusul dugaan keterlibatan empat pimpinan KPK dalam kasus

Masaro, sesuai testimoni yang ditulis Katua KPK nonaktif Antasari Azhar. Untuk

(14)

bagian.

(http://news.okezone.com/read/2009/09/11/1/256515/damaikan-kpk-vs-polri -sby-diminta-turun-tangan)

Dalam hal ini kedua pimpinan KPK membantah bahwa mereka menerima

suap dalam kasus Masaro dan oleh karena itu mereka mendapatkan dukungan dari

berbagai pihak bahwa yakin kalau mereka tidak bersalah, dukungan yang

diberikan oleh masyarakat tidak main-main hal ini dibuktikan dengan memberikan

dukungan diberbagai daerah dengan membentangkan spanduk-sapnduk yang

mendukung KPK dan yang paling terbaru adalah dukungan dengan membuatkan

lagu yang diaransemen ulang dari lagu grup band Netral yaitu Garuda di dadaku

menjadi KPK di dadaku, hal ini menunjukkan bahwa dukungan yanng diberikan

masyarakat kepada pimpinan KPK yang ditahan.

Lagu KPK didadaku (gubahan dari lagu Netral Garuda di dadaku)

merupakan bentuk semangat yang ditunjukkan untuk kedua pimpinan KPK agar

jangan mudah menyerah karena kalau mereka benar pasti menang. Melalui lirik

lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian

dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia

berinteraksi di dalamnya.

Lirik lagu sebagaimana bahasa, dapat menjadi media komunikasi untuk

mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat

pula sebagai sarana sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai.

Oleh karena itu, sebuah lirik lagu mulai diaransir dan diperdengarkan kepada

khalayak, juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya

(15)

menggambarkan perempuan dalam ketertarikkannya dengan nilai-nilai peran yang

harus disandangnya.

Kekuatan lirik lagu adalah unsur yang penting bagi keberhasilan bermusik.

Sebab lewat lirik lagu, pencipta berusaha menyampaikan apa yang ingin

diungkapkannya. Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu tentunya

tidak berasal dari luar diri pencipta lagu tersebut, dalam artian bahwa pesan

tersebut bersumber pada pola pikirnya serta kerangka acuan (frame of reference)

dan pengalaman (field of experience) sebagai hasil interaksinya dengan

lingkungan sosial di sekitarnya. Lirik lagu yang beragam dapat mencerminkan

sebuah kritikan sosial, cermin realitas dan fenomena sosial yang terjadi di

masyarakat. Lirik lagu mungkin menjadi salah satu parameter sosial untuk

mengukur tingkat keterbukaan masyarakat (www.balipost.co.id/balipostcetak

/2006/g3.html).

Dalam lirik lagu tersebut Band Netral sengaja menggubah lirik refrain lagu

Garuda di Dadaku di KPK Di Dadaku yang diisi oleh suara anak-anak kecil.

Ramainya persoalan KPK vs Polri membuat para musisi mengganti liriknya untuk

mendukung KPK. Manajer Netral, Puput, menjelaskan tembang KPK di Dadaku

diciptakan untuk mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan

Netral sengaja menggubah lirik refrain lagu Garuda di Dadaku menjadi KPK di

Dadaku. Dia mengatakan kebetulan lisensi lagu bukanlah milik Netral sendiri

sehingga hal tersebut diserahkan kepada master lagu. Lagu KPK di Dadaku

(16)

terhadap pemberantasan korupsi. (http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?

id=2009110506501867)

Sementara ikon aktivis antikorupsi, Teten Masduki, setuju para musisi

membudayakan politik rock n roll tersebut. "Politik rock n roll adalah

menuangkan isu politik ke dalam lagu. Teten tak menolak untuk berkolaborasi

dengan para musisi mendukung KPK. Ia juga mendukung agar masyarakat mau

memakai nada tunggu KPK di Dadaku sebagai wujud dukungan mereka. Hal itu

juga bisa menyentil para petinggi negara yang menipu rakyatnya. (http://www.

lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2009110506501867)

Gubahan lagu Garuda di Dadaku menjadi KPK di Dadaku tersebut

menunjukkan rasa nasionalisme masyarakat terhadap nasib bangsa ini. Diantara

ideologi-ideologi modern, setidaknya secara teoritis, nasionalisme-lah yang paling

sederhana, paling jelas, paling canggih, sekaligus paling luas, dan memiliki daya

cengkram paling kuat pada perasaan rakyat. Sebagai hasilnya nasionalisme

menjadi agen perubahan politik paling kuat selama dua ratus tahun terakhir.

Persatuan bangsa merupakan tujuan utama dari tindakan politik kaum nasionalis,

dengan begitu nasionalisme merupakan doktrin politik dan juga merupakan

sebuah ideologi. (http://www.hmi.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi

=lihat&id=130).

Semangat menjadikan diri sebagai bangsa yang bebas dari penjajahan

bangsa lain, membawa para pahlawan menjadi sosok yang penuh kerelaan

mengorbankan jiwa, raga, harta, bahkan kesenangan. Ironisnya, merosotnya

(17)

indikatornya terlihat pada tingginya tingkat korupsi serta banyaknya

pelanggaran-pelanggaran yang banyak dilakukan oleh para penjabat. Indikasi korupsi

cenderung mengarah pada struktur teori sekitar motivasi, kesempatan dan

keuntungan. Sehingga sering kali korupsi dilakukan untuk alasan ekonomi, yakni

keserakahan dan penumpukan harta untuk diri sendiri sebagai kompensasi

jaminan bila sudah tidak menduduki jabatan yang tinggi.

Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa semakin merosotnya rasa

nasionalisme para penjabat sebagai wakil rakyat terhadap bangsa dan negara.

Salah satu contoh adalah banyaknya penjabat yang tidak memenuhi panggilan

penegak hukum terkait dengan kasus KPK tersebut. Pejabat dan karyawan Komisi

Pemberantasan Korupsi yang dipanggil polisi untuk dimintai keterangan, tidak

datang untuk memenuhi panggilan tersebut. Polri akan melayangkan panggilan

kedua. Panggilan pemeriksaan sebagai saksi itu menyusul dugaan penyuapan

kepada pimpinan KPK oleh pimpinan PT Masaro, seperti diungkapkan Ketua

KPK (nonaktif) Antasari Azhar. Setelah surat panggilan tersebut dikeluarkan

pejabat dan karyawan KPK tidak hadir di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Untuk memenuhi panggilan terebut, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris

Jenderal Susno Duadji meyakini pimpinan KPK akan memenuhi panggilan itu.

Kehadiran mereka justru akan memperjelas masalah dan mencegahnya menjadi

berlarut-larut. (http://oase.kompas.com/read/2009/09/09/05161459/pejabat.kpk.

mangkir). Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa banyaknya

(18)

tersebut menandakan bahwa rasa nasionalisme yang dimiliki oleh para penjabat

tersebut mengalami suatu kemerosotan.

Berdasarkan uarian yang telah dikemukakan diatas, penliti menaruh

perhatian pada masalah pemaknaan lirik lagu ” KPK di dadaku” yang dinyanyikan

oleh Bagus (Netral), Faris RM, Once. Lirik lagu “KPK di dadaku” tersebut

merepresentasikan untuk mendukung kebenaran dan keadilan dalam hal ini yang

sekarang yang terjadi di KPK.dalam hal ini yang menimpa dua pimpinan KPK

yang sedang ditahan oleh Polri

Dari beberapa hal diatas maka peneliti melihat bahwa lagu KPK di dadaku

yang dinyayikan oleh Bagus (Netral). Faris RM dan Once sangat cocok untuk

diteliti, sehingga penelitian ini berupaya lebih menitikberatkan pada representasi

dukungan terhadap keadilan dan kebenaran dalam lirik lagu dalam lagu “KPK di

dadaku” yang dinyanyikan oleh Bagus (Netral). Faris RM dan Once.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah disampaikan sebelumnya, maka perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah representasi nasionalisme

dalam lirik lagu ”KPK di Dadaku” yang dinyanyikan oleh Bagus (Netral). Faris

RM dan Once?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme dalam lirik lagu ”KPK di

(19)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Teoritis, yaitu untuk menambah literatur penelitian kualitatif ilmu

komunikasi khususnya mengenai analisis dengan metode semiotik.

2. Kegunaan Praktis, yaitu membantu pembaca dalam memahami makna tentang

penggambaran lirik lagu yang ada dalam lagu ”KPK di Dadaku” yang

(20)

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Musik

Musik adalah suara atau bunyi-bunyian yang diatur menjadi satu yang

menarik dan menyenangkan. Dengan kata lain musik dikenal sebagai sesuatu yang

terdiri atas nada dan ritme yang mengalun secara teratur. Musik juga memainkan

peran dalam evolusi manusia, dibalik perilaku dan tindakan manusia terdapat

pikiran dan perkembangan ini dipengaruhi oleh musik. Seni musik merupakan

salah satu seni untuk menyampaikan ekspresi. Ekspresi yang disampaikan

sekarang ini bukan hanya mengandung unsur keindahan seperti tema-tema

percintaan, namun belakangan ini banyak tercipta tema-tema yang berisi

permasalahan sosial dan realitas yang ada pada masyarakat. Musik dapat tercipta

karena didorong oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, musik

adalah cermin sebuah masyarakat, musik juga diilhami oleh perilaku umum

masyarakat, dan sebaliknya perilaku umum masyarakat dapat terilhami oleh

musik tertentu. Perilaku umum masyarakat dapat berupa permasalahan sosial,

peristiwa monumental, kebutuhan dan tuntutan bersama, kritikan ataupun harapan

yang diidamkan Rachmawati dalam (Ayuningtyas, 2006:9).

Pada masa ini oleh masyarakat, musik populer diberi arti:musik yang

mudah diterima oleh kebanyakan orang dan untuk karenanya masyarakat banyak

(21)

yang menyukainya (Sumaryo dalam Setianingsih, 2002:26). Beberapa jenis musik

yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah :

1. Musik Klasik : ada sedikit pergeseran makna, seperti terjadi pula pada nama

ataupun istilah lain. Ada tiga taksiran mengenai musik klasik yang sering

digunakan.

a. Pertama : Musik klasik adalah jenis musik terkenal yang dibuat atau

diciptakan jauh di masa lalu, tetapi disukai, dimainkan dan diminati orang

sepanjang masa sampai sekarang.

b. Kedua : Musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh

komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun 1750 –

1800.

c. Ketiga : Musik klasik adalah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang,

tetapi mengambil gaya, corak, ataupun teknik yang terdapat pada musik

klasik dari pengertian pertama dan kedua.

2. Musik Jazz : Jenis musik yang dianggap lahir di New Orleans, Amerika

Serikat, pada awal abad ini. Merupakan perpaduan antara teknik dan peralatan

musik Eropa, khususnya Perancis, dengan irama bansa negro asal Afrika

Barat, di perkebunan-perkebunan kapas, New Orleans Selatan.

3. Musik Keroncong : Jenis musik dimana dalam musik ini dipergunakan

peralatan dan pernadaan musik Barat, yang dimainkan dan dinyanyikan

dengan gaya musik tradisi kita yang sudah ada sebelumnya. Misal : permainan

(22)

4. Musik Populer : Jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun

cara-cara baru yang sedang disukai, atau diharapkan akan disukai oleh

pendengar dewasa ini. Tujuannya adalah memperoleh ledakan popularitas

sebesar mungkin dan secepat mungkin. Walaupun dua atau tiga tahun

kemudian tak ada lagi yang bisa mendengarkannya. Musik populer merupakan

suatu bidang yang mempunyai perkembangan tersendiri. Sifat-sifat

perkembangannya itu kadang-kadang menuju kearah perkembangan artistik

musikal, tapi yang masih mendapat simpati dari masyarakat banyak.

Meski disebut musik populer, dari pemain-pemainnya tetap diminta syarat

musikalitas. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik populer

tidak begitu merasa ‘tegang’ seperti pemain musik seriosa. Yang dimaksud

‘tegang’ disini ialah suatu rasa tekanan atau ketegangan mental, yang disebabkan

antara lain adanya konsentrasi yang penuh agar dapat memainkan musiknya

sebaik-baiknya. (Sumaryo dalam Rachmawati, 2000:29).

2.1.2. Lirik Lagu

Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah

merebut kemerdekaan. Pada paruhan pertama dasawarsa 1950-an. Pada waktu

masih dilakukan yang dinamakan “musikalisasi syair” yaitu menggarap

komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang terlebih dahulu diciptakan

oleh penyair terpandang (Rachmawati, 2000:42).

Lirik sebuah lagu di era sekarang merupakan sebuah kunci utama, meski

tidak dipungkiri sentuhan musik tidak kalah pentingnya untuk menghidupkan lagu

(23)

mengungkapkan banyak hal. Hampir sebagian besar lirik lagu-lagu Indonesia

memuat berbagai peristiwa atau perasaan emosi yang dilihat, didengar dan

dirasakan oleh si pencipta lagu. Ada yang menyuarakan perasaan cinta yang

mengharu biru, ada pula yang menuangkan protes dan kontrol sosial. Apapun

jenis musiknya, lirik lagu cinta tetap dominan dari waktu ke waktu. Para pencipta

lagu pun lebih memprioritaskan lagu-lagu bertema cinta. Para pencipta lagu pun

berpendapat bahwa tema cinta adalah universal, bisa diterima siapa saja, tidak

heran apabila banyak grup musik atau penyanyi yang memakai konsep pembuatan

lirik semacam itu. (www.media-indonesia.com/resensi/ detail.asp?id = 420).

2.1.3. Semiotika

Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami

dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan

‘tanda’. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu

tanda. (Sobur, 2006:87)

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari

jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.

Semiotika atau dalam istilah Barthes, Semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

(24)

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. (Barthes

dalam Sobur, 2006:15).

Tokoh semiotika Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf

Amerika. Sedangkan Ferdinand de Saussure adalah pendiri linguistic modern,

sarjana dan tokoh besar asal Swiss yang terkenal dengan teorinya tentang tanda.

(Sobur, 2006:43)

2.1.4. Semiotika Dalam Ilmu Komunikasi

Menurut Littlejohn (1996:64) dalam Sobur (2001:15) tanda-tanda (signs)

adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan tanda-tanda dapat

melakukan komunikasi dengan sesamanya. Semiotika adalah suatu ilmu atau

metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai

dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan

bersama-sama manusia.

a. Definisi Semiotika

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti

“tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika atau dalam istilah

Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak

dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam

hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi

sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53) dalam

(25)

Semiotika seperti kata Lechte (2001:191) adalah teori tentang tanda dan

penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang

menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs

“tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) (Segers, 2000:4).

Hjelmslev (dalam Christomy, 2001:7) mendefinisikan tanda sebagai “suatu

keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi

(content plant). Charles Morris menyebut semiosis sebagai suatu “proses tanda,

yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme. Dari

beberapa definisi diatas maka semiotika atau semiosis adalah ilmu atau proses

yang berhubungan dengan tanda.

Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang

dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima

istilah :

S adalah semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i

untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya suatu

disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada

kondisi-kondisi tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context

(konteks) atau conditions (kondisi).

S (s, i, e, r, c)

b. Jenis-jenis semiotika

Saat ini dikenal dua jenis semiotika yaitu semiotika komunikasi dan

(26)

1. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce

lebih menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu

diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu

pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi dan

acuan.

2. Semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure

memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu

konteks tertentu. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan

makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu

tanda.

3. Semiotika Konotasi yang dikembangkan oleh Roland Barthes lebih

menekankan lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan untuk menilai suatu

naskah realis. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik

(kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode

proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik yang membangkitkan suatu

badan pengetahuan tertentu.

2.1.5. Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat

sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol (Piliang,

2006: 24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada

tanda. (http: //kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm). Melalui representasi, ide-

ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk abstraknya. Representasi juga berarti

(27)

penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara

ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Menurut Stuart Hall (1977: : http// kunci.or.id/ teks/ 04rep2.htm)

representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan.

Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut

pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika

manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi

kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan

saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami

sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua

ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol

dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep dan

ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita

merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan

dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita

berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja,

kita bisa memakanai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini

bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari

segala sesuatu yang ada didunia. Kedua, pendekatan intensional dimana kita

menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara

(28)

konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna

lewat bahasa yang kita pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama mental yaitu konsep

tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing- masing (peta konseptual).

Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua bahasa

berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam

kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat

menghubungkan konsep dan ide- ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan

simbol- simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dini dengan

mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem

peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi seperangkat rantai

korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi

dalam bahasa atau simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa.

Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama- sama itulah yang

dinamakan representasi. (Juliastuti, 2000: http// kunci.or.id/ teks/ 04rep2.htm)

2.1.6. Teori Semiologi Rolands Barthes

Roland Barthers dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga

intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama: eksponen penerapan

strulturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bertens (2001:208) menyebutnya

sebagai tokoh ya ng memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun

(29)

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli

tanda, membutuhkan keaktifan pemirsa agar dapat berfungsi. Barthes secara

panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran

kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra

merupakan contoh yang paling jelas sistem pemaknaan tataran ke-dua yang

dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke-dua ini oleh

Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologies-nya secara tegas ia

bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi

Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja.

Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier (penanda)

2. Signified (petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz, 1999, Introducing Semiotics, NY, Totem Books, Hlm. 51

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan

unsur material; hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi

seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan

(30)

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki

makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang

melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang

sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada

penandaan dalam tataran denotatif.

Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi

(E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R).

Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (ERC).

Sistem demikian ini dapat didalam dirinya sendiri-menjadi unsur sederhana dari

sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev,

Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi

demikian.

Gambar 2.2. Dua Sudut Artikulasi Barthes

1. Konotasi E C E C Metabahasa

2. Denotasi E C E C Objek bahasa

Sumber : Barthes (1983), dikutip Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang, Yayasan Indonesiatera, Hlm. 67.

Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC)

mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua (ERC) RC. Disini sistem 1

berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 berkorespondensi dengan

tingkat konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan) sistem primer (ERC)

mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua ER(ERC). Disini sistem 1

berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa

(31)

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam

pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh

Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna

harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan

dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut

seabgai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti

yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland

Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama,

sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih

diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau

represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi

yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.

Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa

berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan

bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Sobur,

2001:65).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu

(Sobur, 2001:65). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,

petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh

suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Atau dengan kata lain, mitos

adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah

(32)

Dalam kritik kebudayaan dan sastranya, Barthes menggunakan konsep

semiotik konotatif untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks.

Dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos,

kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideologi. Media

massa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai

sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada

pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap sebagai denotatif primer. Pada tataran

denotatif, mereka mengekspresikan makna ”alami” primer. Pada tataran konotatif,

media massa mengungkapkan makna ideologis sekunder.

Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makan dan

pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada

wacana naratif ke dalam serangkaian gragmen ringkas dan bruntun yang

disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of

reading) dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks yang

apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas apabila

dibandingkan dengan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Akan tetapi

sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua

patah kata, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah

paragraf, tergantung pada ke”gampang”annya (convencience) saja. Dimensinya

tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai

dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut

dapat ditemukan baik pada tatanan kontak pertma diantara pembaca dan teks

maupun pada saat satuan-satuan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingg diperoleh

aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi.

Barthez juga berupaya untuk mengexplisitkan kode-kode narasi yang

(33)

ditelitinya yakni Sarrasine yang ditulis oleh sastrawan Perancis pada abad ke 19,

Honore de Balzac ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip

dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang ditinjau

Barthez adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif),

kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan) dan kode gnomik atau kode

kultural yang membengkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2001:65).

Berdasarkan obyeknya Barthez meninjau dengan menggunakan lima kode

atau leksia yaitu kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif),

kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan) dan kode gnomik atau kode

kultural yang membengkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Kelima kode

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)

kode ini berkisar pada harapan pembaca atau pendengar untuk mendapatkan

”kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Di dalam narasi ada

suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan

penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Semik (kode konotatif)

Kode semik menawarkan banyak sisi. dalam proses pembacaan, pembaca

menyusun tema atau teks. Dia melihat bahwa konotasi kata atau frase

tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase

yang mirip. Perlu dicatat bahwa Barthez menganggap denotasi sebagai

konotasi yang paling kuat dan paling ”akhir”.

3. Kode Simbolik

Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau

tepatnya menurut konsep Barthez adalah pasca struktural. Dalam suatu teks

(34)

melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis yang merupakan hal yang

istimewa dalam sistem simbol barthez.

4. Kode Proaretik (kode tindakan)

Kode ini dianggap sebagai pelengkap utama suatu teks yang di baca orang

yang maksudnya antara lain adalah semua teks yang bersifat naratif.

5. Kode Gnomik (kode kultural)

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan

dikodifikasi oleh budaya. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah

hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

2.1.7. Komisi Pemberantasan Korupsi

Perang terhadap korupsi merupakan focus yang sangat signifikan dalam

suatu Negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan

suatu pemerintahan. Salah satu unsure yang sangat penting dari penegakan hukum

dalam suatu Negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan

penyakit kanker yang imun, meluas, permanent dan merusak semua sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang

wilayah.

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah

komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi,

menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan

berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal lahirnya KPK,

dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap pemberantasan korupsi

(35)

dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian anggota

parlemen yang “kotor”. Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran

di dunia hokum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian

dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak

praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika

hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan

politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka

kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks

sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi

Ketua KPK yang pertama adalah Taufiequrachman Ruki. Pada tanggal 16

Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian

(Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah kepemimpinan

Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator

(pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah "good

and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia.

Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992 sampai 2001,

Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang

dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya

mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi,

tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada

masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan

adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas korupsi).

Selanjunya KPK dipimpin oleh Antasari Azhar pada tahun 2007 hingga tahun

(36)

2.1.8. Nasionalisme

2.1.8.1.Pengertian Nasionalisme

Diantara ideologi-ideologi modern, setidaknya secara teoritis,

nasionalisme-lah yang paling sederhana, paling jelas, paling canggih, sekaligus

paling luas, dan memiliki daya cengkram paling kuat pada perasaan rakyat.

Sebagai hasilnya nasionalisme menjadi agen perubahan politik paling kuat selama

dua ratus tahun terakhir.

Singkatnya, nasionalisme berkeyakinan bahwa umat manusia terbagi

dalam bangsa-bangsa dan bahwa semua bangsa memiliki hak untuk memiliki

peerintahan dan menentukan nasibnya sendiri. Persatuan bangsa merupakan

tujuan utama dari tindakan politik kaum nasionalis, dengan begitu nasionalisme

merupakan doktrin politik dan juga merupakan sebuah ideologi.

(http://www.hmi.or.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=130).

Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah

negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi

rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi,

Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Otto- man, Majapahit, Sriwijaya,

Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui

buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik

Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa

pendahulunya itu. (http://www.setpp.depkeu.go.id/DataFile/PPBerita/Agustus%

202008.pdf.)

Pengertian nasionalisme di sini, tentunya bukan dalam arti yang sempit,

simbolis, dan seremonial belaka, seperti misalnya, seseorang baru akan disebut

(37)

lagu Indonesia Raya, meski dalam prilakunya sehari-hari senantiasa merugikan

negara dan bangsanya. Pengertian nasionalisme di sini adalah perasaan cinta, rasa

memiliki, dan mau berkorban dari individu atau sekelompok orang terhadap

bangsa dan negaranya.

2.1.8.2.Bentuk Nasionalisme

Nasionalisme radikal adalah suatu bentuk nasionalisme yang timbul untuk

melawan suatu kolonialisme. Nasionalisme sendiri adalah suatu rasa cinta

terhadap tanah air tapi tidak disertai dengan rasa chauvinisme (rasa cinta tanah

airyang berlebihan). Di Indonesia pernah muncul adanya rasa nasionalisme

radikal ini, dimana nasionalisme ini muncul ketika Belanda datang ke Indonesia

untuk menjajah bangsa ini. Salah seorang yang memiliki rasa nasionalisme radikal

ini adalah Soekarno. Rasa nasionalisme radikal ini ditunjukkan oleh beliau salah

satunya terlihat dari kalimat beliau. Beliau mengatakan bahwa bangsa ini dalam

mencapai masyarakatyang adil dan makmur, sama rasa-sama rata (Bung Karno

seriing menyebutnya Marhaen) salah satunya harus melewati jembatan emas.

Jembatan emasyang dimaksud adalah kemerdekaan. Kemerdekaan yang harus

didapat Indonesia bukan lah kemerdekaan yang begitu saja diperoleh sebagai

hadiah dari penjajah, melainkan kemerdekaan yang harus di dapat dari suatu

perjuangan. Perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia. Perjuangan yang

musti dilakukan dengan maksa-aksi yang revolusioner. Itulah salah satu bentuk

nasionalisme radikal yang ada pada diri salah satu founding fathers bangsa ini,

Soekarno. Nasionalisme radikal itu kemudian tersalurkan dalam suatu wadah

yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia).

(38)

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara

atau gerakan (bukan Negara) yang populer berdasarkan pendapat warga negara,

etnis, budaya, keagamaan dan ideology. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan

kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua

elemen tersebut. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah

sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari

penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”.

(http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara

memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.

Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi

yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Nasionalisme Budaya

adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari

budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan

sebagainya. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan,

selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat

sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan.

Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat

demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang

ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.

(http://dhayu.ngeblogs.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara

memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.

(39)

2.1.8.3.Nasionalisme Indonesia

Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling

menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun

terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh

ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali.

Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya

globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya

dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan

sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi

nasionalisme. (http://dhayu.com/2010/02/25/nasionalisme/)

Nasionalisme Indonesia berakar secara “alami” pada budaya lokal tidak

memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu

kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa Indonesia baik

sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah

produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di

mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.

Kemeriahan pada HUT kemerdekaan RI pada setiap tahunnya semakin

tidak meriah sejalan dengan melemahnya rasa nasionalisme di kalangan

masyarakat, khususnya kalangan pejabat pemerintahan. Sebab, para umumnya

para penjabat hanya mengejar kekuasaan belaka, menumpuk kekayaan, tidak

memikirkan rakyat. Yang pasti, bangsa ini semakin jauh dari cita-cita

kemerdekaan RI. Bagaimana tidak, jumlah rakyat miskin masih sangat tinggi.

Sejalan dengan itu jumlah pengangguran semakin bertambah. Meskipun

pemerintah selalu menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, bahkan

(40)

memprihatinkan. Utang luar negeri semakin menggunung. Hal inilah yang bisa

menyulut masalah sosial, bila kesenjangan ekonomi semakin tidak terkontrol.

Adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah sekarang ini rasa nasionalisme

pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat, mahasiswa, bahkan di kalangan sementara

pelajar semakin menurun. Konon pula masyarakat biasa yang melihat

ketidakadilan dalam pemerintahan dan kehidupan elite politiknya semakin tidak

sehat. Jika rasa nasionalisme ini semakin terkikis maka permasalahan bangsa ini

akan semakin parah di masa mendatang. Tidak hanya khawatir dengan rasa aman

dan aksi terorisme yang semakin mengerikan, tetapi juga kekhawatiran lainnya,

seperti terancamnya kedaulatan bangsa di berbagai bidang, seperti teritorial,

politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain-lain.

Dengan pemerintahan periode kedua Presiden SBY ini bisa lebih bekerja

keras tanpa kompromi dalam pemberantasan KKN, penegakan hukum,

peningkatan perekonomian rakyat. Jangan pernah bermain api dengan mengajak

semua pihak menggalang koalisi demi mewujudkan pemerintahan otoriter. Upaya

pihak tertentu untuk merangkul partai-partai politik dalam pemerintahan patut

dicurigai untuk memasung dan mengerdilkan peran oposisi. Kalau itu terbukti,

maka demokrasi bangsa ini akan semakin suram. Kemungkinan yang terjadi

adalah rakyat semakin terabaikan hak-haknya. Tak pelak lagi, perubahan yang

semakin baik setelah 64 tahun merdeka masih penuh tanda tanya. Hal itu dapat

dilihat dari jumlah utang negara dan swasta yang semakin membesar kepada pihak

ketiga/bangsa asing. Ketergantungan kita pun semakin besar sehingga kedaulatan

bangsa acapkali diintervensi pihak asing. Kongres AS misalnya, semakin nyata

(41)

Ironis memang, bangsa Indonesia yang katanya besar namun besar juga

penduduk miskinnya. Sekitar 19 juta rumah tangga miskin masih tetap antre

mengharapkan BLT (bantuan langsung tunai) sebesar Rp300 ribu untuk tiga

bulan, namun ke depan distop setelah SBY terpilih. Dan kurang dari 20 persen

saja dari jumlah rakyat Indonesia yang bisa menikmati arti kemerdekaan, dalam

arti hidup layak, nyaman, dan relatif sejahtera. Berarti, 80 persen hidup di bawah

garis kemiskinan alias tidak sejahtera. Justru itu, perjalanan 64 tahun

kemerdekaan perlu ditanggapi dengan sikap tegas dalam bidang hukum dan

ekonomi terutama, sehingga rakyat merasakan manfaatnya makna kemerdekaan.

Bangsa ini perlu kebersamaan membangun bangsa dan negara agar hasilnya dapat

menumbuhkan kembali rasa nasionalisme yang kian terkikis menimbulkan rasa

memiliki dan tanggung jawab bersama sekaligus.

2.2. Kerangka Pikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam

memaknai suatu peristiwa atau obyek. Hal ini dikarenakan latar belakang (field of

experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap

individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini

pesan disampaikan dalam bentuk lagu, maka pencipta juga tidak terlepas dari dua

hal diatas.

Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam

obyek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti. Dalam penelitian

ini peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan

(42)

Barthez, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interprestasi data mengenai

makna lirik lagu tersebut.

Pada penelitian ini peneliti tidak menggunakan metode semiotik Pierce

karena dalam lirik lagu “ KPK di Dadaku” kata yang digunakan adalah

kata-kata yang lugas atau kalimat langsung sehingga peneliti tidak banyak menemukan

adanya simbol-simbol yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan analisis.

Oleh karena itu peneliti menggunakan semiotik Roland Barthez dengan

menitikberatkan pada hubungan penanda dan petanda yang ada pada lirik lagu

tersebut.

Dari data-data berupa lirik lagu “ KPK di Dadaku”, kata-kata dan

rangkaian kata dalam kalimat lirik lagu tersebut kemudian dianalisis dengan

menggunakan metode semiotik Roland Barthez (menitikberatkan pada aspek

material (penanda) dan aspek mental (petanda) yang pada akhirnya diperoleh

signifikansi) hingga menghasilkan suatu interprestasi bagaimana makna lirik lagu

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif, dimana penelitian ini menginterpretasikan lirik lagu dengan judul ”

KPK di Dadaku” yang dinyanyikan oleh Bagus (Netral) Faris RM dan Once.

Metode penelitian yang digunakan yaitu berupa deskriptif dengan menggunakan

pendekatan semiotik untuk mengetahui tanda-tanda berupa kata-kata yang

membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “KPK di Dadaku” sedangkan analisis

data pada penelitian ini secara kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk

mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dalam menganalisis

kualitas-kualitasnya. Kirk dan Miller (1986:9) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental

bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam

peristilahannya. Pemaknaan lirik lagu “ KPK di Dadaku” yang dinyanyikan oleh

Bagus (Netral) Faris RM dan Once adalah untuk mengetahui representasi

nasionalisme.

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan

kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan

satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Pengertian lain dari

nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap meninggikan bangsa sendiri,

sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimnana mestinya. Sikap seperti ini

(44)

jelas mencerai beraikan bagsa yang satu dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti

ini sering disebut chauvinisme. Sedangkan dalam arti luasnya, nasionalisme

merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara,

dan sekaligus menghormati bangsa lain. Menurut L. Stoddart, nasionalisme adalah

suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu dimana mereka

menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam

suatu bangsa. (http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=24&fname)

Nasionalisme dalam kaitannya dengan lirik lagu “KPK di Dadaku” ini

dihubungkan dengan sejumlah lirik – lirik yang terkandung dalam reffren lagu ini.

Seperti beberapa contoh lirik Harumkan negeri ini, Kobarkan semangatmu,

Jayalah Negaraku,Tunjukkan kebersihanmu, dan lain - lain,menjelaskan bahwa

masih terkandung rasa nasionalisme yang berupaya dengan rasa memiliki dan

bangga untuk mengharumkan nama negara Indonesia, serta menjaga kebersihan

dalam segala aspek yang disini menekankan pada kebersihan diri terhadap korupsi

yang di mulai dari memberi dukungan terhadap KPK yang saat ini sedang dilanda

kasus.Dari lirik lagu “KPK di Dadaku” ini dimaksudkan untuk memberi semangat

kepada para anggota maupun ketua KPK untuk terus dapat menegakkan keadilan

dalam hal memberantas korupsi.

3.2. Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanda-tanda

berupa kata-kata, terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada

(45)

3.3. Corpus

Corpus adalah suatu himpunan terbatas - atau juga “ berbatas “dari unsur

yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama karena itu dapat

dianalisis sebagai keseluruhan (Arkoun dalam Achmad,2001:43). Pengertian lain

dari Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan pada

perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat

sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Sifat yang homogen ini diperlukan

untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya dapat dianalisis

sebagai keseluruhan. Tetapi sebagai analisis, corpus itu bersifat terbuka pada

konteks yang beraneka ragam sehingga memungkinkan untuk memahami banyak

aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang

bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang

bersangkutan (Arkoun dalam Achmad, 2001:53). Kelebihannya adalah bahwa

mendekati teks kita tidak didahului oleh para anggapan atau interpretasi tertentu

sebelumnya.

Sedangkan korpus dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “ KPK di

Dadaku”.

Lirik lagu KPK di Dadaku” selengkapnya sebagai berikut:

KPK di Dadaku

By : Bagus (Netral) Faris RM dan Once

(46)

Jadikan kita bangga

Ku yakin kebenaran pasti menang Kobarkan semangatmu Tunjukkan kebersihanmu Ku yakin kebenaran pasti menang

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data

primer yaitu data yang diperoleh melalui pemahaman lirik lagu “KPK di Dadaku”.

Pada setiap pemahaman ini diperoleh data primer, yaitu lirik lagu “ KPK di

Dadaku”.

3.4.1. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah lagu “KPK di Dadaku” yang

diaransemen ulang dari lagu grup band Netral yaitu ”Garuda di Dadaku” yang

dibawakan oleh Bagus (Netral) Faris RM dan Once.

3.4.2. Metode Analisis Data

Pemaknaan terhadap lirik lagu ini menggunakan metode semiotic Roland

(47)

dan petanda dengan melihat dari kata-kata dan rangkaian kata yang membentuk

kalimat dalam lirik lagu tersebut sehingga dapat diperoleh interpretasi data yang

benar-benar berkualitas.

Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna (aspek material),

yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara signified

atau petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental)

dari bahasa (Kurniawan, 2001:30). Selanjutnya ditinjau

Berdasarkan obyeknya Barthez meninjau dengan menggunakan lima kode

atau leksia yaitu kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif),

kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan) dan kode gnomik atau kode

kultural yang membengkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Kelima kode

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Kode Hermeneutik (kode teka-teki)

kode ini berkisar pada harapan pembaca atau pendengar untuk mendapatkan

”kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Di dalam narasi ada

suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan

penyelesaiannya di dalam cerita. Pada lirik lagu diatas yang tergolong kedalam

kode hermeneutik adalah :

a. Pantas jadi juara

b. Tunjukkan kebersihanmu

2. Kode Semik (kode konotatif)

Kode semik menawarkan banyak sisi. dalam proses pembacaan, pembaca

(48)

dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip.

Perlu dicatat bahwa Barthez menganggap denotasi sebagai konotasi yang

paling kuat dan paling ”akhir”. Pada lirik lagu diatas yang tergolong kedalam

kode semik adalah :

a. Harumkan negeri ini

b. Bahwa ibu pertiwi

c. Tanah air tercinta

d. Indonesia raya

e. Kobarkan semangatmu

3. Kode Simbolik

Merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau

tepatnya menurut konsep Barthez adalah pasca struktural. Dalam suatu teks

verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui

istilah-istilah retoris seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam

sistem simbol barthez. Pada lirik lagu diatas yang tergolong kedalam kode

simbolik adalah :

a. KPK Di Dadaku

b. Jayalah negaraku

c. KPK kebanggaanku

4. Kode Proaretik (kode tindakan)

Kode ini dianggap sebagai pelengkap utama suatu teks yang di baca orang

yang maksudnya antara lain adalah semua teks yang bersifat naratif. Pada lirik

(49)

a. Ayo putra bangsa

b. Jadikan kita bangga

c. Tunjukkan kebersihanmu

5. Kode Gnomik (kode kultural)

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan

dikodifikasi oleh budaya. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah

hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Pada

lirik lagu diatas yang tergolong kedalam kode Gnomik adalah :

a. Harumkan negeri ini

b. Jayalah negaraku

c. Tanah air tercinta

d. KPK kebanggaanku

Pada penelitian ini, digunakannya leksia sebagai alat untuk

menginterpretasikan lirik lagu disebabkan karena leksia merupakan satuan-satuan

pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi. Bagian lirik

lagu yang termasuk dalam leksia merupakan bagian dari kode-kode Barthes

sehingga dianggap lebih tepat dalam memakai representasi asionalisme dalam

(50)

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Pada tahun 2005 Indonesia berhasil memperbaiki peringkatnya dalam

Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI), dari urutan 5 ke

urutan 6 negara paling korup di dunia. Terlepas dari perbaikan ini peringkat CPI,

Indonesia membutuhkan proses pengadaan barang dan jasa publik yang

transparan, akuntabel, dan bebas dari korupsi dan kolusi. Meskipun upayanya

belum cukup, pemerintahan Indonesia tetap memiliki komitmen untuk melakukan

pencegahan korupsi. Bukti komitmen ini dapat dilihat dari dukungan lahirnya

berbagai undangundang dan peraturan. Pemerintah Indonesia sedang

mempersiapkan undang-undang pelayanan publik, undang-udang administrasi

negara, dan undang-undang kewarganegaraan. Pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono telah melakukan berbagai langkah yang baik dalam upaya mencegah

dan memberantas korupsi, seperti Instruksi Presiden No. 5/2004 tentang

percepatan pemberantasan korupsi dan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan

korupsi.

Pendirian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sedikit banyak memberi

penjelasan tentang perbaikan Indonesia dalam peringkat CPI. Lembaga yang

relatif bersih ini memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang cukup besar

dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia.45 Contohnya,

KPK bertanggungjawab melakukan pemantauan penanganan kasus korupsi yang

(51)

ditangani kepolisian dan kejaksaan. KPK juga memiliki kewenangan untuk

menangkap pejabat publik, seperti menteri dan gubernur, tanpa izin dari presiden.

Selain itu, KPK juga dapat meminta Bank Indonesia untuk mengungkapkan

informasi mengenai rekening pribadi di Indonesia.

KPK sebagai lembaga independent, artinya tidak boleh ada intervensi dari

pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. KPK juga

sebagai control sososial dimana selama ini badan hukum kita masih mandul.

Contohnya seperti terungkapnya kasus Nyonya Artalita, dimana aparat hukum

kita yang seharusnya membongkar kasus korupsi justru bisa disuap oleh Nyonya

Artalita dan yang akhirnya berhasil dibongkar oleh KPK.

KPK memang lahir atas keinginan politik parlemen pada saat awal

lahirnya KPK, dimana sebagian anggota parlemen “bersih” berharap

pemberantasan korupsi lebih intensif, oleh karenanya bukan tidak mungkin KPK

secara politik dibubarkan atau kewenangan diamputasi melalui tangan sebagian

anggota parlemen yang “kotor”. Di negeri yang korup, pasti banyak pihak yang

begitu kaget dan berusaha sekuat daya melawan KPK. Adanya upaya

penyempitan peran KPK diindikasikan dengan tidak adanya parpol yang secara

institusional mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi. Itu terjadi

karena parpol gamang dan takut. Kegamangan dan ketakutan ini muncul karena

parpol episentrum korupsi di Indonesia.

Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hokum

bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk

Gambar

Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes
Tabel 4.1.
Gambar 4.2. Peta Tanda Bait 4 Lirik 5
Gambar 4.3. Peta Tanda Bait  1 Lirik 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepada semua dosen pengajar terimakasih atas ilmu yang telah anda semua berikan kepada penulis karena semua itu membantu penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini. Kepada DPKD

terhadap kemampuan berpikir kritis di MA NU Mazro’atul Huda Karanganyar Demak).. Kesimpulannya adalah Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa

Variabel kepemimpinan yang diteliti oleh (Setyowati & Haryani, 2016 ; Renggani, 2014) menunjukan bahwa kinerja dipengaruhi oleh kepemimpinan hal ini dibuktikan dengan

p"tryo** dan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan StunA"t Akuntadi Pimerintahan (SAP) yang diatur tebih lar{ut dalam PP nomor

akan tetapi besar aset yang dimiliki oleh bank tidak berarti jika seluruhnya. merupakan

15 Menurut Masrukhin, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,

Pada Crossdraft gasifier , udara disemprotkan ke dalam ruang bakar dari lubang arah samping yang saling berhadapan dengan lubang pengambilan gas sehingga pembakaran dapat

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan hidayah, rahmat dan karunianya yang luar biasa, sehingga penulis mendapatkan kesempatan