• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja

TINJAUAN PUSATAKA 2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.3 Komitmen Organisasional

2.1.3.1 Definisi Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional bisa tumbuh disebabkan karena individu memiliki ikatan emosional terhadap perusahaan yang meliputi dukungan moral dan menerima

nilai yang ada di dalam perusahaan serta tekad dari dalam diri untuk mengabdi pada perusahaan. Menurut Wibowo (2012:507) komitmen organisasional mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuaanya. Menurut Robbins dan Coulter (2010:40) komitmen organisasi adalah derajat dimana seorang karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi tertentu beserta tujuannya dan berkeinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.

Pendapat lain dikemukakan oleh Sutrisno (2010:153) yang mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas pekerja terhadap organisasinya dan juga merupakan suatu proses mengekspresikan perhatian dan partisipasinya terhadap terhadap organisasinya. Sementara itu, menurut Sopiah (2008:156) komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi. Dengan kata lain komitmen organisasional adalah sikap loyalitas pekerja terhadap organisasi dan proses berkelanjutan dari anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi yang akan berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan.

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu sikap karyawan yang mencerminkan perasaan, keinginannya, serta tujuannya untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi.

2.1.3.2 Dimensi-Dimensi Komitmen Organisasional

Meyer dan Allen (1991) mengemukakan ada 3 bentuk dasar dari komitmen organisasi yaitu : Affective Commitment, Continuance Commitment, dan Normative

Commitment.

1. Affective Commitment (Komitmen Afektif)

Komitmen afektif berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Artinya bahwa komitmen dipandang sebagai suatu sikap, yaitu suatu usaha dari individu dalam mengidentifikasikan dirinya pada organisasi beserta tujuannya, serta tetap ingin menjadi anggota organisasi tersebut agar bisa mencapai tujuannya. Anggota organisasi dengan komitmen afektif yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu. Komitmen afektif muncul karena terdapat adanya kesesuaian nilai antara organisasi dan pekerja. Diantaranya adalah karakteristik individu, karakterstik struktur organisasi, signifikansi tugas dan keahlian. Komitmen jenis ini akan menjadi kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi/lembaga konsisten atau sesuai dengan harapan – harapan dan dapat memuaskan kebutuhan dasarnya, begitu sebaliknya. 2. Continuance Commitment (Komitmen Berkelanjutan)

Komitmen berkelanjutan mengacu pada komitmen yang didasarkan pada kerugian-kerugian pegawai bila meninggalkan organisasi. Dapat dijelaskan disini bahwa komitmen ini muncul karena adanya suatu ketergantungan pada

aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan di dalam organisasi pada masa lalu dan hal itu tidak mungkin ditinggalkan karena akan merugikan. Selain itu komitmen jenis ini muncul karena berkaitan dengan investasi yang ditanamkan oleh pekerja dalam organisasi seperti tenaga, pikiran dan waktu yang akan hilang jika mereka meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan komitmen berkelanjutan yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut seperti agar tidak kehilangan reward yang akan diterima atas pekerjaan yang telah dilakukan, misalnya: pegawai tidak ingin kehilangan dana pensiun, fasilitas, jabatan serta hal lain yang diperoleh selama ini. 3. Normative Commitment (Komitmen Normatif)

Komitmen normatif mengacu pada perasaan pegawai untuk tetap tinggal dalam suatu organisasi. Komitmen ini muncul karena memang sudah seharusnya, dimana pegawai merasa mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi menjadi anggota organisasi. Dengan kata lain bahwa pegawai merasa wajib untuk tetap tinggal dalam suatu organisasi karena adanya perasaan hutang budi pada organisasi sehingga mereka mereka mempunyai kewajiban moral untuk melakukan tindakan imbal balik pada organisasi tempat mereka bekerja.

2.1.3.3 Akibat dari Komitmen Organisasional

1. Turnover

Turnover adalah tingkat pertukaran atau pergantian, yang dalam konteks ini

adalah pertukaran tenaga kerja atau karyawan. Tingkat turnover dapat diakibatkan oleh komitmen organisasional. Hubungan antara turnover dan komitmen organisasional adalah hubungan yang negatif. Apabila komitmen organisasional seseorang kepada organisasi tergolong tinggi, keinginannya untuk mengundurkan diri atau meninggalkan organisasi akan rendah, begitu pula sebaliknya. Karyawan yang komitmennya rendah akan dengan mudah memiliki niat untuk keluar dari organisasi. 2. Ketidakhadiran/Tingkat Absensi

Komitmen organisasional juga mempengaruhi karyawan di tempat kerja, karyawan yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi akan menunjukkan sikap negatif terhadap ketidakhadiran. Mereka cenderung mengusahakan untuk hadir di tempat kerj. Dari ketiga dimensi komitmen, hanya komitmen afektif yang berhubungan negatif dengan ketidakhadiran.

3. Kinerja Karyawan

Komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja karyawan sesui dengan dugaan sebelumnya. Dengan kata lain, karyawan dengan komitmen terhadap organisasi yang tinggi akan berkinerja lebih baik. Dari dimensi komitmen organisasional hanya komitmen afektif dan normatif yang memiliki hubungan yang negatif. Komitmen afektif ditemukan lebih kuat hubungan positifnya dengan kinerja karyawan.

4. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Komitmen organisasional memiliki pengaruh tergahap OCB, dimana apabila komitmen karyawan tinggi, wujud OCB mereka juga akan tinggi. Korelasi yang positif ini hanya berlaku bagi komitmen afektif dan komitmen normatif. Komitmen berkelanjutan tidak memiliki hubunga atau dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap OCB.

5. Stres dan Konflik Keluarga-Pekerjaan

Berdasarkan penelitian, komitmen organisasional memiliki hubungan yang negatif dengan stres dan konflik keluarga-pekerjaan. Semakin rendah komitmen seseorang, semakin tinggi stres yang mereka rasakan, begitu juga semakin banyak konflik yang dialami karyawan. Dari ketiga dimensi hanya komitmen afektif yang berhubungan negatif. Komitmen berkelanjutan ternyata berhubungan yang positif, dengan kata lain semakin tinggi komitmen berkelanjutan dalam diri seseorang, semakin tinggi tingkat stress dan konflik keluarga-pekerjaan yang dialaminya semakin sering terjadi. Sedangkan hubungan komitmen normatif dengan stres dan konflik keluarga-pekerjaan mendekati nol atau tidak berhubungan/berpengaruh.

2.1.4 Kinerja

2.1.4.1 Definisi Kinerja

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungn jawab yang diberikan kepadanya, Mangkunegara (2013:67).

Menurut Sedarmayanti (2011:260) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat diukur.

Menurut Moeheriono (2009:60) kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada tolok ukur keberhasilannya.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang atau sekelompok orang sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan baik itu secara efektif dan efisien dan bersangkutan secara legal, tidak melanggar aturan dan sesuai dengan moral maupun etika.

2.1.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Boyatzis dan Ron (2001:2) mengemukakan bahwa menemukan orang yang tepat dalam organisasi bukanlah hal yang mudah, karena yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan bukan hanya orang yang berpendidikan lebih baik ataupun

orang yang berbakat saja. Ada faktor-faktor psikologis yang mendasari hubungan antara seseorang dengan organisasinya. Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh pada kemampuan seseorang di dalam organisasi diantaranya adalah kemampuan mengelola diri sendiri, inisiatif, optimisme, kemampuan mengkoordinasi emosi dalam diri, serta melakukan pemikiran yang tenang tanpa terbawa emosi. Hal-hal tersebut merupakan komponen dari kecerdasan emosional yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang.

Pendapat lain dikemukakan oleh Mathias dan Jackson (2006:115), yang menyatakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kinerja seorang pekerja, antara lain:

1. Kemampuan Individual, komponen kemampuan individual terdiri dari bakat, minat, dan kepribadian individu

2. Usaha yang Dicurahkan, komponen usaha yang dicurahkan terdiri dari komitmen organisasional, motivasi, etika kerja, kehadiran, dan rancangan tugas. Oleh karena itu, walaupun karyawan memiliki kemampuan individual untuk mengerjakan pekerjaan, tetapi tidak akan bekerja tanpa tingkat pencurahan usaha yang rendah.

3. Dukungan Organisasional, komponen dukungan organisasional terdiri dari pelatihan dan pengembangan, peralatan dan teknologi, iklim organisasi,

Faktor-faktor lain dikemukakan oleh Gibson (2008), yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja terdiri dari tiga faktor, sebagai berikut :

1. Faktor Individu: Kemampuan, keterampilan, latar belakang, keluarga, pengalaman tingkat sosial, dan demografi seseorang.

2. Faktor Psikologis: Persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja.

3. Faktor Organisasi: Struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward sistem).

2.1.4.3 Indikator-Indikator Kinerja

Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, yaitu hal-hal yang bersifat hanya merupakan indikasi kinerja saja sehingga bentuknya cenderung kualitatif atau tidak dapat dihitung, Moeheriono (2009:74).

Indikator yang baik dan ideal dalam pengukuran kinerja yaitu: spesifik dan jelas, dapat diukur, fleksibel dan sensitif terhadap perubahan, efektif dan efisien, konsisten, mempunyai daya banding yang layak dan tepat, sederhana, dapat dikendalikan, dapat merefleksikan semua aspek perilaku dalam pembuatan keputusan manajerial, berfokus pada faktor-faktor utama keberhasilan visi misi organisasi, relevan dengan indikator lainnya, pengumpulan dan laporan data tepat waktu, serta efektif data dan informasi, Moeheriono (2012:34).

Menurut Mathis dan Jackson (2006:378) mengemukakan bahwa terdapat beberapa indikator kinerja, yaitu :

a. Kualitas Kerja

Kualitas adalah ketaatan dalam prosedur, disiplin dan dedikasi. Tingkat dimana hasil aktivitas yang dikehendaki mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas, maupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas. Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap ketrampilan dan kemampuan pegawai.

b. Kuantitas Kerja

Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan dan dinyatakan dalam istilah seperti jumlah unit atau jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan. Kuantitas diukur dari persepsi karyawan terhadap jumlah aktivitas yang ditugaskan beserta hasilnya. c. Ketepatan Waktu

Ketepatan waktu merupakan di mana kegiatan tersebut dapat diselesaikan secara efektif, atau suatu hasil produksi dapat dicapai, pada permulaan waktu yang ditetapkan bersamaan koordinasi dengan hasil produk yang lain dan memaksimalkan waktu yang tersedia untuk kegiatan-kegiatan lain.

d. Kehadiran

Tingkat kehadiran karyawan dalam perusahaan dapat menentukan baik buruknya kinerja seorang karyawan.

Dokumen terkait