• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial

5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang

Transformasi sumbangan sukarela menjadi hutang-piutang dalam pertukaran Gantangan tentu saja turut mengubah makna dan penilaian terhadap komponen dalam pesta hajatan maupun pertukaran Gantangan ini. Pertama- tama yang kemudian berubah adalah nilai terhadap anak. Mengapa demikian? Sebab, salah satu alasan utama suatu keluarga atau rumah tangga dapat

menyelenggarakan hajat yang “wajar” secara tradisi adalah anak. Ketika laki- laki dan perempuan di desa menikah, maka pesta pernikahan itu bukanlah “milik”-nya atau menjadi kewajibannya, melainkan menjadi pestanya orang tua. Orang tua yang menyiapkan segala sesuatunya, termasuk keseluruhan biaya dan pengaturan-pengaturan upacara lainnya. Pengantin itu justru menjadi simbol status sosial orang tuanya, misalnya apakah orang tuanya berhasil mendapatkan menantu yang dianggap baik, pesta yang dianggap meriah, dan kepantasan-kepantasan sosial lainnya.

Baru kemudian ketika pengantin baru di desa itu menjalani kehidupan rumah tangganya sendiri, maka segala hal terkait dengan kewajiban sosial menjadi tanggung jawabnya sendiri. Mula-mula ketika mereka istrinya hamil, kemudian melahirkan anak, lalu mengkhitan anak (jika anaknya laki-laki) saat memasuki usia dewasa, sampai akhirnya menikahkan anaknya tersebut. segala pesta yang menyertai siklus kehidupan keluarga di desa itu kemudian menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua. Semakin banyak anak yang dimiliki, maka akan semakin banyak “tuntutan” untuk menjalankan berbagai upacara sosial-keagamaan seperti diatas. Pada keluarga tertentu yang kurang mapan secara ekonomi, banyaknya kewajiban sosial seperti menyelenggarakan hajat ini dianggap memberatkan dan merepotkan. Namun, bagi sebagian petani atau orang desa lainnya, banyaknya anak ini sangat disyukuri karena memberikan kesempatan untuk menunjukkan status, gengsi dan nama besar keluarganya. Pada kondisi terakhir, anak dapat dianggap sebagai komoditas untuk menaikkan atau mempertahankan status sosial orang tuanya.

Apakah memiliki anak laki-laki dan perempuan bernilai berbeda? tentu saja. Di pedesaan Subang pada umumnya dan di lokasi penelitian pada khususnya, makna anak laki-laki dan perempuan berbeda dimata sebagian besar orang tua. Anak perempuan atau perawan, dianggap sebagai aset utama hajatan. Mengapa? Karena dalam penyelenggaraan perkawinan, maka adat Sunda umumnya menuntut pesta perkawinan itu diadakan oleh pihak keluarga perempuan. Pesta hajat di keluarga perempuan adalah yang diutamakan,

sedangkan pesta di keluarga laki-laki bukanlah suatu keharusan. Pada titik ini, ketika pertukaran gantangan telah mengakar, maka orang tua yang memiliki anak perempuan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk “narik” gantangan dibandingkan dengan mereka yang memiliki anak laki-laki. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan “untung” melalui gantangan menjadi lebih besar.

Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak laki-laki justru harus

“membayar”, baik berupa uang, mahar, maupun seserahan lainnya kepada

pihak perempuan. Dalam kasus pra-pernikahan seperti tunangan, berkembang juga pola pembayaran yang nampak menguntungkan bagi pihak perempuan. Yaitu jika dalam tunangan pihak laki-laki memberikan perhiasan emas seberat 10 gram, maka ketika menikah nanti maharnya menjadi sepuluh kali lipat (100 gr) yang harus dibayarkan. Dengan demikian, nilai anak perempuan dalam masyarakat di pedesaan Subang termasuk dianggap tinggi dan bernilai bagi orang tuanya. Dalam istilah sehari-hari masyarakat lokal, anak perempuan bahkan dianalogikan sebagai “barang dagangan” dalam konteks perkawinan.

Nilai ekonomi seorang anak perempuan juga tidak hanya dalam lapangan hajat, dasawarsa terakhir anak perempuan makin bernilai secara ekonomi karena dianggap mudah untuk mendapatkan pekerjaan diluar usaha pertanian. Dua lapangan pekerjaan utama itu adalah menjadi buruh pabrik dan menjadi buruh migran (TKW) ke Malaysia atau Arab Saudi. Dalam konteks ini, perempuan desa memang diandalkan sebagai katup penyelamat ekonomi rumah tangga, khususnya bagi mereka yang miskin dan kurang mampu. Bukan hanya sebagai komoditas hajatan, perempuan harus menyandang peran sebagai komoditas ekonomi rumah tangga, sehingga lahir banyak kasus-kasus pemaksaan, perdagangan perempuan, prostitusi, perceraian yang bermuasal dari nilai ekonomi perempuan ini.

Bagaimana dengan anak laki-laki? Dalam konteks hajatan dan pertukaran gantangan, memiliki anak laki-laki sebenarnya lebih cepat untuk “dipanen”. Artinya, ketika anak tersebut lahir dan memasuki usia balita hingga

remaja, maka orang tuanya dapat mengadakan hajat “khitanan” sebagai arena untuk “narik gantangan”. Inilah sebabnya, anak remaja laki-laki yang dikhitan pun biasa disebut sebagai “pengantin khitan” dan pesta hajatan yang diselenggarakan juga tidak kalah mewah. Salah satu ciri khas pesta khitanan ini

adalah dengan mengundang grup sisingaan.

Selain nilai anak sebagai komoditas, uang dan beras juga memiliki nilai yang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras juga bukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadi instrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. uang dan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol yang mengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan beras tidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagai sebuah “komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satu sama lain di pedesaan. Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras itu menunjukkan tingkat kepercayaan (trust) seseorang kepada orang lainnya. Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang pernah diterimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga lainnya. Melupakan salah satunya, berarti keluar dari sistem dan berarti pula merusak hubungan sosial satu sama lain.

Selain bermakna secara simbolik, beras dan uang juga bermakna secara psikologis sebagai jaminan rasa aman warga masyarakat di pedesaan, khususnya yang terlibat dalam pola pertukaran gantangan. Dengan terlibat dalam pertukaran gantangan, rumah tangga tersebut merasa aman ketika sewaktu-waktu ia membutuhkan dukungan finansial yang cukup besar. Sebab, ia yakin bahwa warga desa lainnya akan berkenan “meminjamkan” beras dan uang mereka melalui pertukaran gantangan ini. sebagian besar dari mereka tidak melihat pinjaman tersebut sebagai hutang semata, melainkan juga sebagai instrumen penolong pada saat rumah tangga mengalami darurat ekonomi. Bagi orang kaya, banyaknya beras dan uang yang diberikan semakin memberikan penegasan atas kekuasaan dan pengaruh mereka ditengah masyarakat.

Dalam proses pertukaran gantangan, beras diasosiasikan dengan “uang perempuan”, karena dibawa oleh perempuan. Sedangkan uang diasosiasikan dengan “uang laki-laki” karena dibawa dalam amplop oleh laki-laki. Ketika anak, uang dan beras menyatu dalam sebuah pesta hajatan, maka dalam alam berpikir orang desa ketiganya menjadi sesuatu yang dianggap dapat menghasilkan secara ekonomi. Mengatur dan memainkan irama antara anak, beras dan uang ini adalah seni mendasar dalam kehidupan rumah tangga orang desa. Mereka harus pandai-pandai berhitung, mulai dari sisi bagaimana memperlakukan anak? Bagaimana mengatur produktivitas di lahan pertanian? hingga bagaimana mendapatkan pekerjaan-pekerjaan alternatif lainnya untuk mendapatkan uang sehingga cukup untuk memenuhi berbagai kewajiban sosial sekaligus mendapatkan untung untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka. Terlihat sederhana, namun pada kenyataannya pengaturan-pengaturan tersebut sangatlah kompleks.

Komodifikasi hajatan, sebagai bentuk komersialisasi sosial tahap awal ini, kemudian melahirkan pola-pola pesta hajatan yang mungkin tidak terjadi di daerah lain, termasuk pada komunitas Sunda lainnya. Contoh perilaku dan pola pesta hajatan yang khas dari akibat kmodifikasi hajatan ini antara lain :

1. Orang dapat melaksanakan hajatan khitan tanpa harus mengkhitan

anaknya. Bisa jadi khitan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya atau nanti setelah pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena orang tuanya lebih mengedepankan perhitungan kebutuhan ekonomi untuk narik gantangan daripada perhitungan melaksanakan ritual tradisinya.

2. Pihak keluarga laki-laki dalam sebuah pernikahan dapat melakukan hajat “narik gantangan” sebelum pesta hajatan pernikahan (resepsi) di pihak perempuan. Bahkan pesta itu dilakukan sebelum akad nikah terjadi. Mengapa demikian? karena pihak keluarga laki-laki membutuhkan sejumlah modal untuk dibayarkan kepada pihak perempuan, sehingga mereka harus narik simpanan gantangannya terlebih dahulu.

3. Orang atau keluarga tidak perlu menunggu memiliki kelebihan rejeki untuk mengadakan pesta hajatan. Mengapa demikian? Karena ia dapat menyelenggarakan pesta hajatan dengan seluruh modalnya berasal dari pinjaman/hutang, baik dari bandar maupun saudara. Konsekuensinya adalah ia harus membayar seluruh pinjaman tersebut langsung setelah hajatan berakhir. Hal ini berlaku sangat umum dan bukan menjadi sebuah aib (hal buruk).