• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Komoditas Unggulan

Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas.

Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional.

Setiap daerah memiliki karakteristik wilayah, penduduk dan sumberdaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas tersebut mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain atau komoditas tersebut unggul secara komparatif dan kompetitif serta memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat sehingga berpotensi sebagai motor penggerak perekonomian wilayah.

Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di Kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari, 2008).

Menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010b), kriteria komoditas unggulan adalah sebagai berikut :

1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran.

2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya.

3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di pasar nasional maupun pasar internasional dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan.

4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku.

5. Memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi.

6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya.

7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing).

8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.

9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas

insentif/disinsentif dan lain-lain.

10.Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

2.6. Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah

Pembangunan daerah merupakan suatu upaya untuk merubah tatanan sosial, ekonomi dan budaya melalui berbagai rekayasa dan pengembangan demi menuju ke arah tatanan wilayah yang lebih baik dan produktif di masa yang akan datang. Perubahan pola dan tatanan perekonomian serta peradaban sangat dipengaruhi oleh berbagai isu dan permasalahan strategis pembangunan, dimana

segenap isu strategis tersebut bukan saja dapat menjadi faktor pendorong terjadinya pembangunan di suatu daerah atau wilayah tetapi juga dapat menjadi faktor kendala pembangunan.

Melalui pemberian otonomi yang besar pada daerah, maka saat ini dan masa yang akan datang keberhasilan pengembangan wilayah sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah itu sendiri terutama dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh karena itu setiap pemerintah daerah harus mampu mengembangkan visi pengembangan wilayahnya masing-masing yang sesuai dengan nilai, arah dan tujuan yang mampu mengarahkan untuk tercapainya masa depan yang baik bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan.

Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan dalam rangka pengembangan wilayah maka proses pembangunan perlu diupayakan melalui penguatan kapasitas lokal. Penguatan kapasitas lokal dapat dicapai dengan memaksimalkan keunggulan lokal dan memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah lokal tersebut.

Pembangunan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman bahan makanan yang merupakan sektor basis dalam perekonomian daerah membutuhkan apresiasi tinggi dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan pembangunan pertanian tanpa mengabaikan sinerginya dengan sektor lain. Untuk itu, kebijakan pembangunan pertanian subsektor tanaman bahan makanan yang tepat di suatu daerah sangat diperlukan sehingga nilai tambah yang dihasilkan dapat lebih dipastikan akan memberikan manfaat yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk meningkatkan nilai tambah pada pembangunan sektor pertanian, perlu adanya reorientasi kebijakan pertanian dari kebijakan pembangunan pertanian yang bersifat parsial dan eksploitatif ke arah kebijakan yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan keterkaitan antar sektor ekonomi dan dalam perspektif pembangunan berwawasan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup (Hermanto, 2009).

Menurut Saragih (2010), pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional sehingga pembangunan ekonomi abad ke-21 masih tetap akan berbasis pertanian. Sejalan dengan tahapan-tahapan perkembangan

ekonomi maka kegiatan jasa dan bisnis yang berbasis pertanian juga akan meningkat, sehingga agribisnis menjadi paradigma baru dalam pembangunan ekonomi wilayah berbasis pertanian. Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian yang dulu hanya dilihat secara sektoral sekarang menjadi intersektoral. Agribisnis menunjukkan adanya keterkaitan antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian seperti jasa perbankan, tranportasi, perdagangan, dll. Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah sebagian besar agribisnis berada dalam skala usaha kecil sehingga dibutuhkan upaya promosi melalui pengembangan organisasi ekonomi agar mampu menangkap peluang bisnis dan menjadi mitra sejajar dengan bisnis- bisnis besar lainnya, membenahi kualitas sumberdaya manusia dan teknologi. Selain itu, diperlukan pula upaya menghilangkan sekat-sekat yang ada dalam pengembangan agribisnis seperti sekat administrasi, organisasi dan program.

Dalam pelaksanaan globalisasi ekonomi sangat diperlukan kebijakan pemerintah melalui seluruh perangkat yang ada di pusat maupun daerah dalam memberikan perhatian yang lebih besar terhadap sektor pertanian. Dengan membangun keterpaduan kegiatan pertanian di dalam era otonomi daerah diharapkan peningkatan kegiatan agribisnis lebih dapat menghasilkan produk- produk pertanian yang mempunyai daya saing sehingga secara langsung memberikan dampak yang besar bagi perekonomian saat ini maupun di masa yang akan datang (Anugrah, 2003).

Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor tanaman bahan makanan di Kabupaten Majalengka diupayakan fokus pada komoditas unggulan dengan memerlukan dukungan dari beberapa subsistem yang potensial, antara lain subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir dan subsistem jasa layanan pendukung serta diperlukan pula dukungan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana dan kelembagaan dari masing-masing subsistem tersebut. Penentuan prioritas pembangunan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan yang mengakomodir keinginan (preferensi) dari para pengguna (stakeholders) melalui AHP, dengan mengadopsi langkah-langkah yang dilakukan oleh Saaty (2008). Hasil analisis ini menghasilkan suatu peringkat prioritas atau bobot dari tiap

alternatif keputusan atau pilihan yang akan diambil dalam penentuan kebijakan sektor pertanian.

Analysis Hierarchy Process (AHP) dilakukan untuk mengetahui isu-isu utama yang akan dijadikan prioritas dalam pengambilan keputusan pembangunan. Tujuan utama yang ingin dicapai dengan metode AHP adalah menjaring persepsi tentang prioritas dalam penentuan kebijakan pembangunan untuk mendukung pengembangan wilayah.

Menurut Saaty (2008), model AHP ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input

utama berupa persepsi manusia. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan hirarki dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.

Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki.

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian yang tertata dalam suatu hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, secara subjektif tentang arti pentingnya variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil. (Marimin dan Maghfiroh, 2011)

Dokumen terkait