• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Sosial (sosial-religius)

Dalam dokumen STANDAR KOMPETENSI GURU DALAM PERSPEKTIF (1) (Halaman 104-131)

BAB V : STANDAR KOMPETENSI GURU DALAM PERSPEKTIF

B. Standar Kompetensi Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam

4. Kompetensi Sosial (sosial-religius)

Dalam undang-undang guru dan dosen Pasal 10 ayat (1), disebutkan yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.235 Sebagaimana juga dikutip oleh Mulyasa, dalam Standar Nasional Pendidikan di jelaskan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d, dikemukakan bahwa yang

235

dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagaian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. 236

Adapun kompetensi sosial dalam Islam, sebagaimana konsep pendidikan sosial dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip oleh Hamdani Hasan dan fuad Ihsan, berkaitan erat dengan konsepnya tentang manusia yaitu:

”Akan tetapi manusia itu dijadikan Allah SWT dalam bentuk yang tidak dapat hidup sendiri. Karena tidak bisa mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal serta menyiapkan alat-alat untuk itu semuanya. Dengan demikian manusia memerlukan pergaulan dan saling membantu”.237

Muhaimin, mengatakan ciri dasar yang terkait dengan kompetensi sosial, yakni prilaku guru pendidikan Islam yang berkeinginan yang bersedia memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.238

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam bukunya, mengatakan bahwa Kompetensi sosial menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong menolong, egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap toleransi, dan sebagainya

236 E. Mulyasa,

op.cit., hal. 173

237

Hamdani Hasan, fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 255

238

juga perlu dimiliki oleh pendidik muslim Islam dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan peserta-peserta didik.239

Persamaan derajat antara manusia (egalitarian), disebutkan oleh Quraish Shihab dalam tafsir ”Al-Mishbah”, bahwa semua manusia derajat kemanusianya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan seorang perempuan.240

a Sikap Tolong-menolong

Bahwa antara seseorang dengan orang lain senantiasa terkait dalam hubungan saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Oleh sebab itu, agama Islam mendorong umatnya untuk saling menolong dan saling membantu, tentu saja yang dimaksud dengan saling menolong di sini adalah tolong-menolong dalam hal kebaikan.241 Firman Allah SWT:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S. al-Maaidah: 2).242

239

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., hal. 96

240 M. Quraish Shihab,

Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an

(Jakrta: Lentera Hati, 2002), hal. 260

241

H. Hasan Alfat, dkk, Akidah Akhlak (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), hal. 73

242

b Berkomunikasi dan bergaul secara efektif

Tatkala praktek pendidikan menuntut hubungan yang erat antara dua pribadi yaitu guru dengan murid, maka Al-Ghazali menetapkan bagian yang terbesar dari tulisan-tulisan pendidikannya tentang hubungan keduannya yang perlu dijalin. Al-Ghazali memandang bahwa masing-masing guru dan murid, Al- Ghazali menggambarkan metode yang cocok yang harus dipakai oleh seorang guru adalah mengadakan interaksi dengan siswanya baik dikala mengajar, hubungan segi kemasyarakatan dan cinta kasih.243

”Al-Ghazali mengutamakan pentingnya hubungan antara murid dan guru, karena keberhasilan pendidikan hanya tergantung pada hubungan cinta kasih anatara keduanya. Hubungan ini manandai bila murid merasa tenang terhadap gurunya, tidak takut padanya, tidak lari dari ilmunya”.244

Dalam pendapat lain Al-Ghazali juga mengatakan:

”Ketahuilah bahwa setiap manusia itu pasti memerlukan pergaulan dengan sesamanya dan dengan dirinya. Oleh sebab itu, ia perlu mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Setiap orang yang bergaul dengan suatu golongan, tentu memiliki cara-cara dan peraturannya sendiri- sendiri. Kesopanan itu tentulah dengan mengingat kepadanya dengan hubungannya”.245

Di antara adab sosial yang patut mendapat perhatian secara khusus dari para pendidik adalah mengajarkan tata krama dan berbicara disamping dasar-dasar percakapan kepada anak sejak kecilnya. Ada beberapa tata cara berbicara, yaitu:246

1. Berbicara berlahan-lahan (tidak tergesa-gesa)

243

Dahlan Tamrin, Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya (, 1988), hal. 46

244

Ibid., hal. 47

245 Al-Ghazali dikutip oleh Hamdani Hasan, Fuad Ihsan,

loc.Cit., hal. 255

246

Abdullah Nasihih Ulwan, Pendidikan Social Anak (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hal. 133

Hal ini dimaksudkan agar orang yang mendengar dapat memahami maksud yang dibicarakannya. Hal ini sesuai dengan prilaku Nabi di dalam mendidik umatnya.247 Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Aisyah r.a. Nabi bersabda:

آدﺮ آ

ﺪ ا

دﺮ

و

ﷲا

ﷲا

لﻮ ر

نﺎآﺎ

دﺎ ا

ﺎ ﺪ

ثﺪ

،اﺬه

.

)

و

يرﺎ ا

اور

(

Tidak pernah Rasulullah Saw, berbicara cepat seperti kalian ini. Beliau berbicara dengan kata-kata yang apabila orang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

آ

و

ﷲا

آ

نﺎآ

.

)

دوادﻮ أ

اور

(

Perkataan Rasulullah Saw, itu terperinci, sehingga dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya. (H.R. Abu Dawud).

2. Dilarang memaksa diri untuk berbicara secara fasih

Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang jayid dari Ibnu Umar r.a. Bahwa Rasulallah Saw., bersabda:248

نإ

ﺎ آ

يﺬ ا

،لﺎﺟﺮ ا

ا

ﺟوﺰ

ﷲا

ﺎﻬ ﺎ

ﺮ ا

.

)

يﺬ ﺮ او

دوادﻮ أ

اور

.(

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci para lelaki baligh (suka bicara), dimana ia suka menyela pembicaraan dengan lisannya seperti lembu yang menyela-nyela dengan lidahnya.

247

Ibid., hal. 564

248

ﻰ أ

اذإو

،

ﺎ ﺎ

ﺎهدﺎ أ

ﺔ ﻜ

اذإ

نﺎآ

ص

نﺎآو

، ﻬ

مﻮ

.

م

.

م ﻜ

رﺰه

قﺪﺸ او

م ﻜ ا

ةﺮ ﺮ ا

ﺮﻜ و

رﺰ و

) .

اور

و

يرﺎ ا

(

Apabila belia berbicara, maka beliau mengulang sampai tiga kali sehingga dapat dipahami. Dan apabila mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka, beliau tidak terlalu banyak bicara (tapi jelas dan terinci) dan tidak pula sedikit. Beliau membenci orang yang banyak membual dan memaksakan diri di dalam bicara. (H.R. Bukhari dan Muslim).

3. Pembicaraan harus dapat dipahami

Cara bicara yang baik diantaranya adalah dengan menggunakan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat budaya suatu kaum sesuai dengan akal, pemahan dan usia mereka.249

Nabi Bersabda:

Ajaklah manusia berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Apakah kalian suka mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?.250

Engkau tidak akan bericara kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak dapat terjangkau oleh akal mereka, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi mereka. (H.R. Muslim).

4. Jangan mempersingkat dan memperpanjang pembicaraan

Bila berbicara hendaknya jangan terlalu singkat, sehingga merusak inti pembicaraan. Jangan pula memperpanjangnya, sehingga membosankan

249

Ibid., hal. 566

250

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Hadits ini adalah termasuk hadits mauquf dari sahabat Ali r.a.

pendengar. Hal ini dimaksudkan agar pembicaraan dapat lebih meresap ke dalam jiwa para pendengar dan lebih menarik perhatian mereka.

Muslim meriwayatkan dari Jabir Bin Samurah r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersasabda:

ص

ا

أ

آ

.

اﺪ

و

اﺪ

ﺎﻜ

،م

.

)

اور

(

“Pernah aku shalat (jumat)bersama Nabi Saw, shalatnya sedang-sedang saja dan khotbahnya pun sedang-sedang saja”.

5. Pandangan pembicaraan harus tertuju kepada para hadirin

Dengan isnad hasan, Thabrani meriwayatkan dari ’Amr bin ’Ash. Ia berkata, ”Rasulullah Saw. Mengarahkan wajah dan pembicaraannya kepada kaum yang terendah. Beliau mengasihinya dengan itu. Beliau juga mengarahkan wajah dan pembicaraannya kepadaku, sehingga aku mengira bahwa aku adalah sebaik-sebaik orang.

c Hubungan sekolah dengan masyarakat

Djumransjah mengatakan bahwa, Masyarakat adalah lembaga ketiga setelah keluarga dan sekolah untuk memberikan pengaruh dan arahan terhadap pendidikan anak-anak. Anak-anak secara tidak langsung menerima pendidikan dari para pemimpin masyarakat, pemimpin agama, penguasa yang ada dalam masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk kebiasaan, pengetahuan, minat dan sikap, kesusilaan, dan kemasyarakatan serta keagamaan anak-anak.251

251

Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 99

Hubungan sekolah dengan masyarakat dalam sosiologi pendidikan, adalah sebagai salah satu pemecah masalah, sebagaimana diungkapkan oleh Ary H. Gunawan dalam bukunya”Sosiologi Pendidikan”, dengan pendidikan diharapkan berbagai masalah sosial dapat diatasi dengan pemikiran-pemikiran tingkat intelektual yang tinggi melalui analisis akademis. Selain itu, dengan melakukan kesibukan pendidikan, dapat mengurangi kesempatan untuk berbuat kenakalan sampai kejahatan dalam masyarakat oleh anak remaja.252

Dzakiah Daradjat menjelaskan, bahwa Pada dasarnya sekolah harus merupakan suatu lembaga yang membantu bagi tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dalam bidang pengajaran yang tidak dapat secara sempurna dilakukan dalam rumah dan masjid. Bagi umat Islam, lembaga pendidikan Islam yang dapat memenuhi harapan ialah lembaga pendidikan Islam.253

d Peran guru di masyarakat

Di antara hak-hak bermasyarakat yang terpenting yang harus diperhatikan dan diingat oleh para pendidik ialah mengajari anak untuk menghormati guru dan memberikan haknya, sehingga anak akan tumbuh dengan sopan santun sosial yang tinggi terhadap gurunya, terhadap orang yang mengajar, disamping mengarahkan dan mendidiknya. Lebih-lebih jika guru itu berkepribadian baik, taqwa, dan berakhlak mulia.254

252 Ary H. Gunawan,

Sosiologi Pendidikan; Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 68-69

253

Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 74

254

Nabi Muhammad Saw. Telah mengajarkan kepada para pendidik wasiat- wasiat yang mulia, petunjuk-petunjuk yang lurus dalam memuliakan ulama’, dan menghormati guru-guru agar orang banyak mengetahui keutamaan mereka, agar wali murid melaksanakan kewajibannya terhadap guru anaknya, dan agar sesama murid mempunyai tata krama.255

Secara garis besar peran manusia sebagai makhluk sosial ini ada dua hal, yaitu: yang pertama, hubungan manusia dengan sang maha penciptanya (hubungan vertikal) yang bersifat individu. Sedangkan yang kedua adalah

hubungan horizontal, yaitu hubungan antara sesama manusia untuk berperan di tengah-tengah lingkungna masyarakat dan berusaha menciptakan lingkungan yang harmonis antara sesamanya. Hubungan ini secara luas juga mencakup seluruh aspek kehidupan dan lapangna pergaulan sosial yang bersekala global, baik hubungan dengan sesamanya maupun hubungan denga alam sekitarnya.256

Di kutib oleh Ahmad Budisusilo. Dalam masyarakat umum, guru adalah tetap merupakan satu sosok atau figur yang mampu memberi inspirasi, penggerak dan pembimbing dalam kegiatan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ini tidak lepas dari status guru sebagai panutan bagi siswa siswinya disekolah yang secara mendalam melekat dalam dirinya, dan lebih luas figur itu dianggap sebagai ‘panutan’ pula bagi masyarakat umum disekitarnya. Tentu saja ini berpengaruh pada kuatnya sorotan dan kontrol masyarakat pada segala tindak tanduk seorang guru termasuk kepribadiannya. Kondisi ini mau tidak mau membuat guru harus mendudukkan dirinya sebagai figur yang tidak bisa seenaknya bertingkah laku

255

Ibid., hal. 69-70

256

Triyo Supriyatno, Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris

dan bermasyarakat. Perilaku dan kepribadian guru sudah terlanjur diberi label baik dan bermoral yang patut diteladani oleh lapisan masyarakat tidak hanya didepan para siswanya tetapi juga masyarakat umum.257

Di lihat dari dimensi sosialnya, Imam AL-Ghazali, An-Nahlawy, Al- Abrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi menyatakan bahwa seorang guru harus bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta didik; suka memaafkan terhadap peserta didik, mampu menahan diri, menahan amarah, lapang dada, sabar dan tidak mudah marah karena hal sepele; mampu mencegah peserta didik dari akhlak yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung; dan bersikap adil diantara peserta didiknya.258

Tabel Hasil Analisis Standar Kompetensi Guru

No Pembahasan Sumber Refrensi Keterangan

1 Kompetensi Guru UU. Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Th. 2005), Jakarta: Sinar Grafika.

Pasal 10 Ayat (1): Kompetensi Guru Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Meliputi Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Profesional yang diperoleh melalui Pendidikan Profesi. (hal:7).

Penjelasan Masing-Masing Kompetensi:

Pasal 10 Ayat (1)

Kompetensi Pedagogik

Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran

257

Sudrajat, Drs. 2007. Kompetensi Kepribadian Guru. http://www.pikiran-rakyat.com/

cetak/ 2007/052007/14/99forumguru.htm

258

peserta didik.

Kompetensi kepribadian

Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berahlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Kompetensi Profesional

Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan

penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Kompetensi Sosial

Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. (hal: 44).

2 Kompetensi Guru Mulyasa. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. 1.Kompetensi Pedagogik aKemampuan Mengelola Pembelajaran bPemahaman Terhadap Peserta Didik cPerencanaan Pembelajaran dPelaksanaan Pembelajaran Yang Mendidik Dan Dialogis ePemanfaatan Tehnologi

Pembelajaran

f Evaluasi hasil belajar gPengembangan peserta

didik.

2. Kompetensi Kepribadian a Kepribadian yang

mantap, stabil, dan dewasa.

b Disiplin, arif dan berwibawa.

c Menjadi teladan bagi peserta didik. d Berakhlak mulia 3. Kompetensi Profesional a Memahami jenis-jenis materi pembelajaran. b Mengurutkan materi pembelajaran. c Mendayagunakan sumber pembelajaran. d Memilih dan menentukan materi pembelajaran. 4. Kompetensi Sosial a Berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. b Hubungan sekolah dengan masyarakat. c Peran guru di masyarakat. 3 Kompetensi Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam

- Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

- Mulyasa. 2008. Standar Kompetensi dan Setifikasi Guru, Bandung: Rosda karya.

1.Kompetensi Pedagogik. aPemahaman wawasan &

landasan kependidikan. bPemahaman terhadap peserta didik. cPengembangan kurikulum. dPelaksanaan pendidikan yang mendidik & dialogis.

ePerencanaan pembelajaran.

f Pemanfaatan tehnologi pembelajaran.

gEvaluasi hasil belajar. 2. Kompetensi Personal-

religius (kepribadian). a.Kepribadian yang mantab

b. Stabil/ istiqomah c. Dewasa

d. Arif & bijaksana e. Berwibawa

f. Menjadi uswah hasanah

g. Berakhlak mulia h. Ihlash i. Taqwa j. Sabar (dlm mengajarkan ilmu) k. Adil. 3. Kompetensi Profesional- religius.

aMengetahui hal-hal yang perlu diajarkan.

bMenguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didiknya.

cMempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan

menghubungkannya dengan kontek

keseluruhan komponen- komponen secara

keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berfikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu

dikembangkan melalui proses edukasi.

dMengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada anak didiknya.

eMengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan. f Memberi hadiah

hukuman (tandzir/ punishment) sesuai dengan usaha dan upaya yang di capai anak didik dalam rangka

memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar.

gMemberi uswatun hasanah dan

meningkatkan kualitas dan keprofesionalannya yang mengacu kepada futuristik tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan guru. (hal: 95-96). 4. Kompetensi Sosial- religius. aSikap tolong-menolong bBerkomunikasi & bergaul

secara efektif dan efesien. cHubungan sekolah

dengan masyarakat. dPeran guru di masyarakat

Muhaimin Dan Abdul

Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam,

Bandung: Trigenda karya

Kompetensi guru dijelaskan pada halaman (173-174). Sebagaimana Kompetensi guru, disebutkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, hal. 95-96.

Setelah dilakukan penelitian, bahwa kompetensi guru baik dalam pendidikan Nasional maupun kompetensi guru dalam pendidikan Islam, bahwa seoranng guru standarnya harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Sebagaimana yang telah di uraikan secara singkat dalam tabel tersebut.

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Guru dalam perspektif pendidikan Islam, dikenal dengan sebutan:

a. Murabbi adalah orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya.

b. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu

mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer

ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).

c. Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesui dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

d. Muaddib adalah orang yang mampu manyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradapan yang berkualitas dimasa depan.

e. Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.

f. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi

diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.

2. Tugas dan tanggung jawab guru dalam pendidikan Islam Secara umum tugas guru adalah:

a Mengajarkan Ilmu yang berguna dan bermanfaat. b Mendidik, dan

c Melatih.

Al-Ghazali menjelaskan tugas pendidik, yang dapat disimpulkan dengan ilmu yang diajarkannya.

a. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kawajiban b. Menjadi teladan bagi anak didiknya.

Imam Al-Ghazali mengatakan:

”Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang memiliki mata kepala adalah lebih banyak”.

c. Menghormati kode etik guru Imam AL-Ghazali mengemukakan:

” Seorang guru yang memegang salah satu mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lainnya”.

Sedangkan tanggung jawab guru dalam pendidikan Islam, di katakan oleh Dr. Husein Syahatah, tanggung jawab seorang guru adalah mengajarkan kepada anak didiknya ilmu yang bermanfaat dan berguna seluas-luasnya bagi kepentingan seluruh umat manusia.

Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam perspektif Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Tanggung jawab seorang guru dapat dilihat dalam firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Q.S. at-Tahrim: 6).

3. Standar Kompetensi guru dalam pendidikan Islam

Standar Kompetensi guru dalam perspektif pendidikan Islam, yaitu meliputi: (1) Kompetensi Pedagogik; (2) Kompetensi personal (kepribadian); (3) Kompetensi sosial; dan (4) Kompetensi profsional (Sahertian, 1994, hal. 56).

a Kompetensi Pedagogik, yang meliputi:

1. Pemahaman wawasan dan landasan kependidikan. 2. Pemahaman terhadap peserta didik.

3. Pengembangan kurikulum.

4. Pelaksanaan pendidikan yang mendidik dan dialogis. 5. Perencanaan pembelajaran

6. Pemanfaatan tehnologi 7. Evaluasi hasil belajar.

1. Kepribadian yang mantap dan terkontrol. 2. Istiqomah/ stabil

3. Dewasa ( usia dan pendidikannya) 4. Arif dan bijaksana

5. Berwibawa

6. Uswah hasanah (Menjadi teladan yang baik) 7. Berakhlak mulia

8. Ihlash 9. Taqwa

10.Sabar (dalam mengajarkan ilmu) 11.Jujur

12.Adil.

c Kompetensi Sosial-religius.

Kemampuan Sosial-religius bagi pendidik adalah menyangkut ajaran dakwah Islam, seperti: Sikap gotong-royong, tolong-menolong, berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efesien, menjaga hubungan sekolah dengan masyarakat, peran guru di masyarakat, dan Sikap toleransi. d Kompetensi Profesional-religius.

Kemampuan ini menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugas keguruannya secara profesional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam. Seperti Mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan, Menguasai keseluruhan bahan

materi yang akan disampaikan pada anak didiknya, Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan kontek keseluruhan komponen-komponen secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berfikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi, Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada anak didiknya, Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan, Memberi hadiah (tabsyir/reward) dan hukuman (tandzir/ punishment) sesuai dengan usaha dan upaya yang di capai anak didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar.

1. Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan Islam, baik filosofis, sosiologis, yuridis (hukum), religi (agama), psikologis.

2. Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik.

3. Mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya.

4. Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi. 5. Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan

sumber belajar yang relevan.

6. Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran. 7. Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik.

B. Saran

Di dalam Undang-undang guru dan dosen, disebutkan bahwa guru sebagai agen pembelajaran (learning agent), yang perannya antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Guru juga di tuntut agar mempunyai kesehatan jasmani rohani dan memiliki seperangkat kompetensi yang memadai, supaya tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik dan benar.

Sebagai seorang guru dalam perspektif Islam, adalah orang yang harus memiliki seperangkat persyaratan sebagai agen pembelajaran (learning agent),

yang bukan hanya bersifat fisik, misalkan seperti sehat jasmani, skill, dan keterampilan lainya, tetapi lebih dari itu seorang guru dalam perspektif Islam juga mementingkan suatu faktor yang bersifat ruhani seperti, kepribadian sebagai sang hamba kepada penciptanya, kepribadianya kepada lingkungan sekitarnya, berakhlakul karimah sebagaiamana Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul ”Ayyuha al-Walad fi nasihati al- Muta’al limiin wa mau idzotihim liya’lamu wa yumayyizu “ilman nafi’an min ghoiyrihi” berkata:

1. Pendidik harus terdiri dari orang-orang yang bisa membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyyah dan menggantinya dengan akhlak yang baik (akhlaqul al karimah).

2. Adapun syarat kualitatif yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain; pintar (’alim), tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan,

Dalam dokumen STANDAR KOMPETENSI GURU DALAM PERSPEKTIF (1) (Halaman 104-131)

Dokumen terkait