• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. Komponen Bioaktif

Komponen-komponen bioaktif pada suatu bahan, khususnya tanaman sayuran indigenous dapat berasal dari senyawa fenolik dan senyawa non fenolik. Beberapa komponen bioaktif yang termasuk senyawa fenolik adalah fenol, flavonoid termasuk antosianin dan tanin. Sementara itu, beberapa komponen bioaktif yang termasuk senyawa non fenolik adalah asam askorbat (vitamin C), alkaloid, terpenoid/steroid, dan saponin.

1.

Senyawa Fenolik

Menurut Suradikusumah (1989), senyawa fenol mencakup sejumlah banyak senyawa yang umumnya mempunyai sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung untuk larut dalam air karena paling sering bergabung dengan gula glikosida. Selain itu, senyawa fenol dapat bergabung juga dengan protein, alkaloid, dan terpenoid yang terdapat dalam rongga sel. Struktur umum senyawa fenol seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Senyawa umum fenol Komposisi Satuan Jumlah Air g 89 Protein g 2 Lemak g 0.1 Karbohidrat g 8 Serat g 10 Kalsium mg 50 Fosfor mg 30 Ferum mg 2 Vitamin A I.V. 750 Vitamin B1 mg 0.08 Vitamin C mg 80

5 Senyawa fenol dalam bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga, antara lain fenol sederhana dan asam fenolat (p-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dimetil fenol, hidroksiquinon, vanillin, asam galat), turunan asam hidroksisinamat (p-kumarat, kafeat, asam ferulat, dan asam klorogenat), dan flavonoid (katekin, proantosianin, antosianidin, flavon, flavonol, dan glikosida) (Ho 1992).

Flavonoid ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, dimana senyawa ini yang menyebabkan tumbuhan berwarna merah, ungu, biru, dan kuning.Terdapat sepuluh golongan flavonoid yang telah diketahui, yaitu antosianin, leukoantosianidin, flavonol, flavan, glikoflavon, biflavonil, kalkon, auron, flavon, dan isoflavon (Suradikusumah 1989). Menurut Pratt (1992), flavonoid adalah senyawa alami hasil fotosintesis yang mengandung cincin aromatik yang dapat diganti gugus hidroksi atau alkoksinya. Senyawa ini terdapat pada semua bagian tumbuhan, seperti daun, buah, kayu, dan kulit kayu.

Biosintesis senyawa fenol dan flavonoid saling berhubungan, dimana biosintesis diawali oleh jalur sikimat untuk kemudian menghasilkan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai prekursor atau substrat senyawa lainnya. Rangkaian jalur sikimat akan menghasilkan penta-O-galloll-glukosa untuk selanjutnya akan menghasilkan senyawa-senyawa golongan tanin yang terhidrolisis, yaitu golongan gallotanin dan ellagitanin (Crozier et al. 2006, Dewick 2009). Selain itu, jalur sikimat ini pun nantinya akan menghasilkan salah satu senyawa, seperti p-koumaril-CoA yang bekerja sinergis dengan senyawa malonil Co-A menghasilkan senyawa turunan flavonoid lainnya, antara lain isoflavon, antosianin, proantosianidin (tanin terkondensasi), flavon, dan flavonol (Winkel BSJ 2006).

Antosanin berasal dari bahasa Yunani, yaitu “anthos” yang berarti bunga dan “kyanos” yang berarti biru gelap dan termasuk salah satu senyawa flavonoid. Antosoanin merupakan zat warna kemerahan yang mudah larut air dan banyak ditemukan di dunia tumbuhan. Pigmen antosianinlah yang menyebabkan bagian tumbuhan (daun, bunga, buah, dan sayur) berwarna merah, jingga, ungu, dan biru (Bridle dan Timberlake 1997, Elbe dan Schwartz 1996). Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan dari kation flavilium (3,5,7,4’ tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin (Bridle dan Timberlake 1997). Struktur dasar kation flavilium dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur dasar kation flavilium

Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu “cyanidin” (sianidin), dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi, sehingga senyawa antosianin memiliki gugus polar. Perbedaan warna alami pigmen antosianin ini dipengaruhi oleh hidroksilasi dan metilasi, hidroksilasi akan meningkatkan warna biru, sedangkan metilasi meningkatkan warna merah (Kumalaningsih 2006). Terdapat enam antosianidin yang umumnya ditemukan, antara lain sianidin, pelargonidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Sianidin merupakan antosianidin yang jumlahnya paling banyak.

6 Menurut Markakis (1982), molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Beberapa faktor utama yang menyebabkan keragaman adalah sifat gulanya (biasanya glukosa, dapat juga galaktosa, ramnosa, xilosa atau arabinosa), jumlah unit gula (mono, di, atau triglikosida), dan posisi gula (biasanya pada 3-hidroksil atau 3- dan 5-hidroksil) (Suradikusumah 1989). Sebagai glikosida, antosianin larut dalam air, tetapi setelah mengalami hidrolisis maka bentuk non glikosidanya (antosianidin) kurang larut dalam air (Wijaya et al. 2001). Jenis pigmen yang terdapat dalam bunga dan buah sebagian besar tidak berada dalam bentuk antosianidin, melainkan dalam bentuk glikosilasi, sehingga pigmen antosianin menjadi lebih stabil dan larut dalam air.

Faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin dalam bahan pangan adalah suhu, cahaya, pH, oksigen, asam askorbat, gula dan produk turunannya, logam, kondensasi, dan sulfur dioksida (Markakis 1982). Antosianin akan lebih stabil pada larutan yang bersifat asam daripada larutan yang bersifat netral atau basa (Jackman dan Smith 1996). Dalam larutan (medium) asam tampak berwarna merah dan ketika pH meningkat akan menjadi lebih berwarna biru.

Komponen senyawa fenol biasanya bersifat polar dan memiliki fungsi sebagai penangkap radikal bebas dan peredam terbentuknya oksigen singlet (Kumalaningsih 2006). Menurut Gordon (1990), senyawa fenol jika berdiri sendiri bersifat tidak aktif sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain agen pengkelat, pH lingkungan sekitar, kelarutan, ketersediaan senyawa fenol dalam suatu bahan, dan stabilitas senyawa fenol itu sendiri (Tang 1991).

Berbagai macam metode pengukuran aktivitas antioksidan telah banyak dilakukan untuk melihat dan membandingkan aktivitas antioksidan pada berbagai macam sumber antioksidan. Salah satu metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan, yaitu metode DPPH. Metode DPPH merupakan metode yang murah, sederhana, dan cepat dalam mengukur aktivitas antioksidan suatu bahan pangan dengan melibatkan penggunaan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl

(DPPH). Metode ini pun dapat digunakan untuk sampel padat atau cair dan tidak spesifik untuk komponen antioksidan tertentu, akan tetapi berlaku untuk aktivitas antioksidan seluruh sampel (Prakash et al. 2012).

DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi (Molyneux 2004). Prinsip metode DPPH adalah atom hidrogen dari suatu senyawa antioksidan akan membuat larutan DPPH berubah warna dari ungu menjadi tidak berwarna yang dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm akibat dari terbentuknya DPPH tereduksi (DPPH- H) (Gambar 4) (Sharma dan Bhat 2009). Semakin tinggi kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam meredam radikal DPPH, maka warna yang dihasilkan akan semakin kuning dan mendekati jernih yang ditandai dengan semakin kecilnya nilai absorbansi yang terukur.

7 Aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan persentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi dengan absorbansi sampel (Sandrasari 2008, Andarwulan et al. 2010). Selain itu, aktivitas antioksidan dapat dinyatakan dengan nilai AEAC (AscorbicAcid Equivalen Antioxidant Capacity) (Prangdimurti et al. 2010). AEAC merupakan nilai kapasitas atau aktivitas antioksidan bahan dalam mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan radikal bebas asam askorbat atau vitamin C.

2.

Senyawa Non Fenolik

Dokumen terkait