• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN

5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Bogor

5.1.1. Komponen Kinerja Ekonomi Daerah

Tidak hanya laju pertumbuhan ekonomi, kinerja ekonomi daerah pun dapat dianalisis dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan. Kinerja ekonomi daerah yang dianalisis dalam model dugaan ini menggunakan pendekatan makroekonomi dengan asumsi perekonomian tertutup sehingga kinerja ekonomi daerah tercermin dari konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah.

5.1.1.1. Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga merupakan output ekonomi yang dibelanjakan oleh rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi rumah tangga berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2001, konsumsi rumah tangga sempat mengalami sedikit penurunan.

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.3. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga

Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal, konsumsi

0.00 1000000.00 2000000.00 3000000.00 4000000.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jut a R upi ah

rumah tangga Kota Bogor mengalami penurunan hingga sebesar -1,43 persen namun sepanjang tahun 2002 hingga 2007 pertumbuhan konsumsi rumah tangga Kota Bogor relatif stabil, yaitu berkisar antara 6,12 hingga 8,78 persen. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal relatif lebih besar daripada selama desentralisasi fiskal. Rata-rata konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 19,38 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen.

Tabel 5.1. Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor

Tahun Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (%)

Rata-Rata Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga (%)

1993 13,32

Sebelum Desentralisasi Fiskal 19,38 1994 24,01 1995 80,51 1996 22,04 1997 6,59 1998 2,40 1999 1,51 2000 4,68 2001 -1,43

Selama Desentralisasi Fiskal 5,91 2002 7,39 2003 8,78 2004 7,04 2005 6,12 2006 6,20 2007 7,26

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan atas hipotesis yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Tingkat konsumsi rumah tangga diduga dipengaruhi oleh disposable income, jumlah populasi, suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel disposable income, jumlah populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif sedangkan variabel suku bunga berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga.

Nilai R2 dari model dugaan konsumsi rumah tangga ini sebesar 0,995. Artinya, model dugaan konsumsi rumah tangga ini dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dengan baik. Konsumsi rumah tangga Kota Bogor secara signifikan dipengaruhi oleh disposable income dan dummy desentralisasi pada taraf nyata 5 persen.

Tabel 5.2. Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Bogor

Variabel Parameter Dugaan T-hitung Peluang α

Intersep -480304,0 -5,884 0,000 Pendapatan disposable 0,975069 11,133 0,000* Populasi 0,223374 0,727 0,484 Suku Bunga -1846,367 -1,344 0,209 Dummy desentralisasi -133327,4 -2,323 0,043* R2=0.995 R2-adj=0.993 F-hitung=491,765(0,000) DW=1,693

Pendapatan disposable berpengaruh positif terhadap konsumsi rumah tangga dengan nilai parameter dugaan sebesar 0,975069. Artinya, jika pendapatan disposable meningkat sebesar satu juta rupiah akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0,975069 juta rupiah (ceteris paribus). Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara pendapatan disposable dan konsumsi rumah tangga yang menunjukkan bahwa pola hubungan yang positif terhadap konsumsi rumah tangga (Gambar 5.4).

Yd CT 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 Scatterplot of CT vs Y d

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.4. Pola Hubungan antara Pendapatan Disposable (Yd) dan Konsumsi Rumah Tangga (CT)

Variabel dummy desentralisasi menunjukkan pengaruh yang negatif. Artinya, konsumsi rumah tangga menurun selama desentralisasi fiskal. Kondisi ini terjadi diduga disebabkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga pada tahun 2001. Selain itu, rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada masa desentralisasi fiskal yang relatif lebih rendah dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 19,38 persen sedangkan setelah desentralisasi fiskal sebesar 5,91 persen.

Jika dilihat data perkembangan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2001 hingga 2007 menunjukkan peningkatan. Peningkatan konsumsi rumah tangga ini diduga didorong oleh variabel lain, yaitu disposable income. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, variabel disposable income berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi rumah tangga. Variabel suku bunga tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi rumah tangga. Hal ini diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga, seperti kebutuhan masyarakat, besarnya biaya kebutuhan pokok masyarakat, pendapatan masyarakat dan lain sebagainya.

5.1.1.2. Investasi Daerah

Investasi daerah merupakan salah satu instrumen yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi daerah. Perkembangan investasi Kota Bogor berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001, investasi daerah Kota Bogor sempat

mengalami peningkatan, namun sepanjang tahun 2001 hingga 2007 relatif menurun.

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.5. Perkembangan Investasi Daerah

Laju pertumbuhan investasi daerah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Rata-rata pertumbuhan investasi daerah selama desentralisasi fiskal sebesar 3,24 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar -3,59 persen.

Tabel 5.3. Pertumbuhan Investasi Daerah Kota Bogor

Tahun Pertumbuhan Investasi Daerah (%)

Rata-Rata Pertumbuhan Investasi Daerah (%)

1993 -3,12

Sebelum Desentralisasi Fiskal -3,59 1994 -17,22 1995 34,12 1996 -24,09 1997 -4,53 1998 -36,38 1999 16,39 2000 6,11 2001 32,10

Selama Desentralisasi Fiskal 3,24 2002 -5,68 2003 -8,35 2004 -8,18 2005 15,74 2006 2,02 2007 -4,95

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

0.00 500000.00 1000000.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jut a R upi ah I

Untuk melihat berbagai variabel yang mempengaruhi investasi daerah di Kota Bogor, maka dapat dilakukan pendugaan model investasi. Berdasarkan Tabel 5.4, investasi daerah Kota Bogor dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan pengeluaran pembangunan dan suku bunga pada taraf nyata 5 persen.

Tabel 5.4. Model Dugaan Investasi Daerah Kota Bogor

Variabel Penjelas Parameter

Dugaan

T-hitung Peluang

α

Intersep 447089,4 4,627 0,001

Pertumbuhan ekonomi 1672,548 2,310 0,046*

Pertumbuhan Pengeluaran pembangunan 646,4223 3,035 0,014*

Suku bunga riil -10777,21 -2,515 0,033*

Investasi tahun lalu 0,266685 2,232 0,053

Dummy desentralisasi -47831,76 -2,050 0,071

R2=0,843 R2-adj=0,756 F-hitung=9,675(0,002) DW=2,337 h=-0,737

Variabel investasi daerah didorong oleh pertumbuhan ekonomi dengan dugaan parameter sebesar 1672,548. Jika pertumbuhan ekonomi meningkat satu persen, maka investasi daerah akan meningkat sebesar 1672,548 juta rupiah. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan investasi daerah yang cenderung positif (Gambar 5.6).

G_PDRB I 70 60 50 40 30 20 10 0 550000 500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 Scatterplot of I vs G_PDRB

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.6. Pola Hubungan antara Pertumbuhan PDRB (G_PDRB) dan Investasi Daerah (I)

Variabel pertumbuhan pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap investasi Kota Bogor dengan nilai dugaan parameter sebesar 646,4223. Artinya investasi di Kota Bogor didorong oleh pertumbuhan pengeluaran pembangunan. Semakin meningkat pertumbuhan pengeluaran pembangunan maka investasi daerah akan semakin meningkat pula. Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah meningkat satu persen, maka investasi daerah pun akan meningkat sebesar 646,4223 juta rupiah.

G_DE I 150 100 50 0 -50 -100 550000 500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 Scatterplot of I vs G_DE

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.7. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan (G_DE) dan Investasi Daerah (I)

Suku bunga berpengaruh negatif dengan nilai dugaan sebesar 10777,21. Artinya, jika suku bunga meningkat sebesar satu persen, maka investasi daerah akan berkurang sebesar 10777,21 juta rupiah. Berdasarkan hasil regresi model dugaan investasi daerah, variabel investasi tahun lalu dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah. Hal tersebut diduga terjadi karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi di Kota Bogor, seperti prosedur birokrasi yang relatif panjang, kondisi perekonomian daerah, potensi daerah, kondisi masyarakat dan lain sebagainya. Lokasi instansi pemerintah daerah yang tidak terpusat di suatu tempat

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya birokrasi untuk berinvestasi di Kota Bogor. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak berpengaruh nyata terhadap investasi daerah.

5.1.1.3. Pengeluaran Pemerintah

Komponen ketiga dalam analisis kinerja ekonomi Kota Bogor adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang dianalisis merupakan semua pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan kegiatan operasionalnya. Perkembangan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini sangat terkait dengan besarnya biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masa desentralisasi fiskal.

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.8. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah sepanjang tahun 1993 hingga 2007 relatif berfluktuasi. Pada tahun 2001, pertumbuhan pengeluaran pemerintah meningkat pesat hingga sebesar 141,00 persen. Pertumbuhan pengeluaran

0.00 50000.00 100000.00 150000.00 200000.00 250000.00 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jut a R upi ah G

pemerintah selama desentralisasi fiskal pun meningkat setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah selama desentralisasi fiskal relatif lebih tinggi yaitu 25,79 persen sedangkan sebelum desentralisasi fiskal hanya sebesar 12,29 persen.

Tabel 5.5. Pertumbuhan Pengeluaran Pengeluaran Pemerintah

Tahun Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (%)

Rata-Rata Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (%)

1993 44,99

Sebelum Desentralisasi fiskal 12,29 1994 -7,76 1995 4,37 1996 28,13 1997 21,31 1998 -4,78 1999 16,70 2000 -4,66 2001 141,00

Selama Desentralisasi fiskal 25,79 2002 11,24 2003 -1,51 2004 19,91 2005 -8,65 2006 10,99 2007 7,56

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pengeluaran untuk konsumsi. Berbagai variabel diduga mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah, oleh karena itu dirumuskan sebuah model untuk menggambarkan kondisi pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh PDRB, pendapatan asli daerah, inflasi dan dummy desentralisasi. Berdasarkan hasil regresi model dugaan pengeluaran pemerintah, variabel PDRB dan dummy desentralisasi berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.

Tabel 5.6. Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kota Bogor

Variabel PDRB berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,028399. Artinya, jika PDRB meningkat satu juta rupiah, maka pengeluaran pemerintah pun akan meningkat sebesar 0,028399 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah yang cenderung positif (Gambar 5.9). Variabel dummy desentralisasi secara signifikan mempengaruhi pengeluaran pemerintah pada taraf kepercayaan 5 persen. Variabel dummy desentralisasi yang secara signifikan berpengaruh positif, artinya pengeluaran pemerintah semakin meningkat sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal.

PDRB G 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 225000 200000 175000 150000 125000 100000 75000 50000 Scatterplot of G vs PDRB

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.9. Pola Hubungan antara PDRB dan Pengeluaran Pemerintah (G)

Variabel pendapatan asli daerah dan inflasi tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan PAD tidak berpengaruh

Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α

Intersep -7617,882 -0,398 0,699

PDRB 0,028399 3,926 0,003*

Pendapatan asli daerah -0,078807 -0,184 0,858

Inflasi -33,27183 -0,126 0,902

Dummy desentralisasi 100198,8 9,002 0,000*

terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena keputusan pengeluaran pemerintah lebih dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Semakin meningkat kondisi perekonomian daerah maka kebutuhan daerah pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah secara nyata dipengaruhi oleh PDRB Kota Bogor. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah yang cenderung tidak berpola dan acak (Gambar 5.10) sedangkan pola hubungan antara PDRB dan pengeluaran pemerintah cenderung positif (Gambar 5.9).

LOR G 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 225000 200000 175000 150000 125000 100000 75000 50000 Scatterplot of G vs LOR

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.10. Pola Hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (LOR) dan Pengeluaran Pemerintah (G)

Selain itu, variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah. Hal ini diduga terjadi karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar digunakan untuk pengeluaran rutin, terutama pengeluaran belanja pegawai. Oleh karena itu, walaupun inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, pengeluaran pemerintah akan tetap dilakukan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dokumen terkait