• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. PEMBAHASAN

5.2. Pendapatan Daerah Kota Bogor

5.2.2. Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah Kota Bogor

5.2.3.3. Laba Perusahaan Daerah

Kota Bogor memiliki tiga perusahaan daerah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat pada umumnya. Perusahaan daerah yang dimiliki Kota Bogor antara lain : Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan, Perusahaan

Daerah Bank Pasar dan Perusahaan Daerah Transportasi. Pengelolaan perusahaan daerah tersebut harus dilakukan secara efektif dan efisien untuk menghasilkan kinerja perusahaan daerah yang baik.

Tabel 5.11. Perkembangan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor

Tahun Laba Perusahaan Daerah (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 1.168,32 1994 1.562,85 33,77 1995 1.552,94 -0,63 1996 1.777,49 14,46 1997 1.866,64 5,02 1998 1.274,85 -31,70 1999 778,96 -38,90 2000 693,81 -10,93 2001 1.528,04 120,24 2002 1.771,93 15,96 2003 980,42 -44,67 2004 718,58 -26,71 2005 3.652,55 408,30 2006 4.266,52 16,81 2007 5.391,23 26,36

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Laba perusahaan daerah merupakan komponen PAD yang mengalami fluktuasi sepanjang tahun 1993 hingga 2007. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, laba perusahaan daerah Kota Bogor relatif rendah, yaitu berkisar antara 693,81 juta rupiah hingga 1.866,64 juta rupiah. Pada tahun 2000, laba perusahaan daerah Kota Bogor sebesar 693,81 juta rupiah dan mengalami peningkatan hingga sebesar 1.528,04 juta rupiah pada tahun 2001. Laba perusahaan daerah selama desentralisasi fiskal mengalami fluktuasi namun relatif lebih besar dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Laba perusahaan daerah lebih didorong oleh kinerja perusahaan daerah itu sendiri.

Berbagai variabel diduga mempengaruhi laba bersih perusahaan daerah, antara lain PDRB per kapita, suku bunga, jumlah konsumsi air minum, laba perusahaan daerah tahun lalu dan dummy desentralisasi. Model dugaan laba perusahaan daerah berdasarkan Tabel 5.12 menunjukkan bahwa laba perusahaan daerah secara signifikan dipengaruhi oleh laba perusahaan daerah tahun lalu pada taraf nyata 5 persen.

Tabel 5.12. Model Dugaan Laba Perusahaan Daerah Kota Bogor

Variabel Penjelas Parameter

Dugaan

T-hitung Peluang α

Intersep -1189,814 -0,480 0,643

PDRB per kapita 734,2023 1,461 0,178

Suku bunga 9,142051 0,496 0,632

Jumlah konsumsi air minum -0,000071 -0,914 0,385 Laba perusahaan daerah tahun lalu 0,768155 3,129 0,012* Dummy desentralisasi 257,8184 0,305 0,767

R2=0,715 R2-adj=0,556 F-hitung=4,497(0,025) DW=1,940 h=0,378

Variabel laba perusahaan daerah tahun lalu berpengaruh positif terhadap laba perusahaan daerah dengan nilai parameter sebesar 0,768155. Artinya, kenaikan laba perusahaan daerah tahun lalu (t-1) akan mendorong perusahaan daerah meningkatkan laba usaha daerah tahun ke-t (ceteris paribus). Kondisi ini sesuai dengan hipotesis yang dipaparkan sebelumnya.

Variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena tidak semua masyarakat Kota Bogor memanfaatkan pelayanan dan jasa yang disediakan oleh perusahaan daerah. Sebagai contoh, perusahaan daerah air minum (PDAM) hingga saat ini hanya mampu memberikan pelayanannya kepada 47 persen masyarakat Kota Bogor. Selain itu, peningkatan PDRB per kapita tidak serta-

merta mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi air minum. Oleh karena itu, peningkatan PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara PDRB per kapita dan laba perusahaan daerah yang tidak berpola dan acak.

PDRBC PR FT 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 Scatterplot of PRFT vs PDRBC

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.20. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Laba Perusahaan Daerah (PRFT)

Variabel suku bunga, jumlah konsumsi air minum dan dummy desentralisasi tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah pada taraf nyata 5 persen. Hal ini diduga terjadi karena skala usaha perusahaan daerah yang relatif kecil. Skala usaha yang kecil menyebabkan pengelolaan perusahaan daerah menjadi kurang efektif dan efisien sehingga peningkatan suku bunga dan jumlah air minum tidak mampu meningkatkan laba perusahaan daerah karena biaya pengelolaan perusahaan daerah yang relatif lebih besar. Selain skala usaha yang kecil, prioritas pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Kota Bogor merupakan salah satu alasan variabel suku bunga, konsumsi air minum dan dummy desentralisasi fiskal tidak berpengaruh nyata terhadap laba perusahaan daerah serta rendahnya laba usaha daerah.

5.2.3.4. Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor sepanjang tahun 1993 hingga 2000 relatif rendah, yaitu berkisar antara 2.229,70 juta rupiah hingga 13.547,20 juta rupiah. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal, dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor meningkat pesat hingga sebesar 36.097,20 juta rupiah dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 141.210,73 juta rupiah pada tahun 2007.

Tabel 5.13. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kota Bogor

Tahun Dana Bagi Hasil (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 2.229,70 1994 2.845,94 27,64 1995 3.126,79 9,87 1996 5.772,58 84,62 1997 7.405,61 28,29 1998 10.613,87 43,32 1999 13.622,75 28,35 2000 13.547,20 -0,55 2001 36.097,20 166,45 2002 45.118,73 24,99 2003 84.484,22 87,25 2004 111.650,47 32,16 2005 126.193,63 13,03 2006 153.577,12 21,70 2007 141.210,73 -8,05

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor, maka dilakukan perumusan model dugaan dana bagi hasil. Model dana bagi hasil pajak dan atau bukan pajak diduga dipengaruhi oleh PDRB per kapita, jumlah kendaraan bermotor, inflasi dan dummy desentralisasi. Nilai R2 model dugaan dana bagi hasil sebesar 0,921 yang berarti bahwa model tersebut

cukup baik menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Tabel 5.14 menunjukkan bahwa dana bagi hasil secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah kendaraan bermotor dan dummy desentralisasi pada taraf nyata 5 persen.

Tabel 5.14. Model Dugaan Dana Bagi Hasil Kota Bogor

Variabel Penjelas Parameter Dugaan T-hitung Peluang α

Intersep -281,7277 -0,011 0,992

PDRB per kapita 1635,645 0,231 0,822

Jumlah Kendaraan Bermotor 0,232348 2,805 0,019*

Inflasi 28,72504 0,145 0,887

Dummy desentralisasi 31063,64 3,862 0,003*

R2=0,921 R2-adj=0,890 F-hitung=29,224(0,000) DW=1,248

Nilai parameter dugaan jumlah kendaraan bermotor sebesar 0,232348. Nilai parameter dugaan tersebut memiliki arti bahwa dalam kondisi ceteris paribus, peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebesar satu unit akan meningkatkan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar 0,232348 juta rupiah. Pernyataan ini diperkuat dengan pola hubungan antara jumlah kendaraan bermotor dengan dana bagi hasil pada Gambar 5.21. Pola hubungan antara jumlah kendaraan bermotor terhadap dana bagi hasil yang diperoleh Kota Bogor cenderung positif. VEH SH R 200000 150000 100000 50000 0 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Scatterplot of SHR vs VEH

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.21. Pola Hubungan antara Jumlah Kendaraan Bermotor (VEH) dan Dana Bagi Hasil (SHR)

Tidak hanya jumlah kendaraan bermotor, variabel dummy desentralisasi fiskal pun berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti bahwa pendapatan daerah Kota Bogor yang berasal dari dana bagi hasil semakin meningkat sejak dilaksanakannya desentralisasi fiskal.

Berdasarkan hasil regresi dana bagi hasil, variabel PDRB per kapita tidak berpengaruh nyata terhadap dana bagi hasil pada taraf nyata 5 persen. Peningkatan PDRB per kapita tidak mendorong peningkatan dana bagi hasil. Kondisi ini diduga terjadi karena tidak semua masyarakat Kota Bogor menjadi wajib pajak yang dikenakan beban pungutan pajak dan bukan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan propinsi. Sebagai contoh, pungutan pajak kendaraan bermotor hanya diberlakukan bagi masyarakat Kota Bogor yang memiliki kendaraan bermotor. Pola hubungan antara PDRB per kapita terhadap dana bagi hasil tercermin pada gambar 5.22.

PDRBC SH R 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Scatterplot of SHR vs PDRBC

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.22. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Bagi Hasil (SHR)

Tidak hanya variabel PDRB per kapita, variabel inflasi daerah pun tidak berpengaruh nyata terhadap dana bagi hasil. Hal ini diduga terjadi karena pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh badan atau pribadi kepada daerah.

Oleh karena itu walau tingkat inflasi daerah mengalami peningkatan atau penurunan, para wajib pajak tetap harus membayar pajak daerah kepada pemerintah daerah.

5.2.3.5. Dana Transfer

Dana transfer merupakan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah dan penyelelenggaraan pemerintahan daerah. Dana transfer yang dianalisis merupakan dana transfer yang berasal dari APBN, yaitu penjumlahan antara Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

Tabel 5.15. Perkembangan Dana Transfer Kota Bogor

Tahun Dana Transfer (Juta Rupiah) Pertumbuhan (%)

1993 10.452,39 1994 14.334,87 37,14 1995 18.999,86 32,54 1996 20.282,72 6,75 1997 31.442,84 55,02 1998 43.155,04 37,25 1999 56.842,77 31,72 2000 51.092,90 -10,12 2001 161.025,02 215,16 2002 165.870,00 3,01 2003 201.520,00 21,49 2004 211.437,15 4,92 2005 218.806,00 3,49 2006 310.135,00 41,74 2007 376.664,21 21,45

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Dana transfer yang diperoleh Kota Bogor meningkat sangat pesat sejak dilaksanakannya desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001, dana transfer yang diperoleh sebesar 161.025,02 juta rupiah dengan pertumbuhan sebesar 215,16

persen. Peningkatan dana transfer ini terkait dengan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Sepanjang tahun 2001 hingga 2007, dana transfer mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga sebesar 376.664,21 juta rupiah pada tahun 2007.

Dana transfer daerah berdasarkan hipotesis dipengaruhi oleh PDRB per kapita, peningkatan pendapatan daerah sendiri, peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi. Apabila dana transfer yang diberikan bersifat stimulatif, maka keseluruhan variabel tersebut akan berpengaruh positif terhadap dana transfer yang diperoleh. Apabila dana transfer ini bersifat substitusi, maka variabel PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif sedangkan variabel pendapatan daerah sendiri berhubungan negatif terhadap dana transfer.

Tabel 5.16. Model Dugaan Dana Transfer Kota Bogor

Variabel Penjelas Parameter

Dugaan

T-hitung Peluang

α

Intersep -66544,89 -1,203 0,260

PDRB per kapita 16028,46 1,457 0,179

Peningkatan pendapatan daerah sendiri -0,365993 -1,180 0,268 Peningkatan pengeluaran pemerintah 0,286374 2,536 0,032*

Populasi 0,086916 2,755 0,022*

Dummy desentralisasi 72972,50 4,501 0,002*

R2=0,977 R2-terkoreksi=0,965 F-hitung=77,669(0,000) DW=2,129

Berdasarkan hasil regresi model dugaan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor, dana transfer secara signifikan dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal pada taraf nyata 5 persen. Ketiga variabel tersebut berpengaruh positif terhadap dana transfer yang diperoleh Kota Bogor.

Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada taraf nyata 5 persen. Semakin meningkat pengeluaran pemerintah, maka dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pun akan meningkat. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan antara kedua variabel tersebut yang cenderung positif (Gambar 5.23).

K_LTE TR SF 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 -20000 -40000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 Scatterplot of TRSF vs K_LTE

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.23. Pola Hubungan antara Peningkatan Pengeluaran Pemerintah (K_LTE) dan Dana Transfer (TRSF)

Variabel populasi berpengaruh positif dengan nilai dugaan parameter sebesar 0,086916. Artinya, jika terjadi peningkatan populasi sebanyak satu orang maka dana transfer yang diterima oleh pemerintah Kota Bogor akan meningkat sebesar 0,086916 juta rupiah (ceteris paribus). Pernyataan ini pun didukung oleh pola hubungan antara populasi dan dana transfer yang cenderung positif.

pop TR SF 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 Scatterplot of TRSF vs pop

Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Selain itu, variabel dummy desentralisasi berpengaruh positif terhadap dana transfer. Artinya, dana transfer yang diperoleh pemerintah Kota Bogor semakin meningkat pada masa desentralisasi fiskal. Variabel PDRB per kapita dan peningkatan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap dana transfer yang diperoleh Kota Bogor pada taraf nyata 5 persen.

Seperti yang diketahui, dana transfer bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah dan penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, dana transfer cenderung dipengaruhi oleh peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat dan membiayai penyelenggaraan pemerintahan pada masa desentralisasi fiskal.

PDRBC TR SF 4.8 4.6 4.4 4.2 4.0 3.8 3.6 3.4 3.2 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 Scatterplot of TRSF vs PDRBC Sumber : BPS Kota Bogor, 1993-2007 (diolah).

Gambar 5.25. Pola Hubungan antara PDRB per Kapita (PDRBC) dan Dana Transfer (TRSF)

Variabel PDRB per kapita, peningkatan pengeluaran pemerintah, populasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif sedangkan variabel peningkatan pendapatan daerah sendiri berpengaruh negatif terhadap dana transfer. Hal ini menunjukkan bahwa dana transfer yang diperoleh Kota Bogor bersifat substitusi dalam rangka penyelenggaraan program pemerintahan daerah.

Dokumen terkait