5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.2.1 Komposisi hasil tangkapan
Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian adalah 1.097 ekor dengan jumlah spesies 63 jenis. Hasil tangkapan tersebut diantaranya adalah ikan kerapu koko (Epinephelus quayanus), kakatua (Scarus prasiognatos), betok hitam (Neoglyphidodon crossi), jarang gigi (Choerodon anchorago), marmut (Chaetodontoplus mesoleucus), dan lain sebagainya. Keseluruhan hasil tangkapan merupakan ikan yang habitatnya di perairan karang. Hal ini disebabkan alat tangkap yang digunakan adalah bubu tambun. Menurut Susanti (2005) bubu tambun merupakan alat tangkap yang dioperasikan di perairan karang, sehingga hasil tangkapannya berupa ikanikan karang.
Dari keseluruhan hasil tangkapan, hasil tangkapan ikan lencam burik (Lethrinus sp.), cucut toke (Atelomycterus marmoratus), keling ijo (Halichoerus chloropterus), lepu tembaga (Synanceia horrida), macanan (Plectorhincus picus), kakap tanda (Lutjanus rufolineatus), dan lain sebagainya, merupakan incidental catch atau ikan yang secara tidak sengaja tertangkap karena jumlahnya hanya 1 ekor. Hasil tangkapan yang paling banyak adalah jenis ikan dari famili Pomacentridae, yaitu betok hitam (Neoglyphidodon crossi). Jumlah betok hitam (Neoglyphidodon crossi) yang tertangkap selama 10 kali trip adalah 181 ekor. Hal ini karena habitat ikan betok adalah perairan karang yang kondisi karangnya mati (Allen, 1991). Menurut nelayan pulau Panggang, kebiasaan nelayan terdahulu sangat buruk memperlakukan terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan tidak jarang dilakukan dengan cara merusak terumbu karang. Untuk mempermudah mendapatkan ikan, nelayan kepulauan seribu ada yang menggunakan peledak dan potasium untuk meracuni ikan. Kegiatan penangkapan seperti ini tentu saja dapat merusak terumbu karang yang merupakan habitat dari ikan. Selain bahan peledak dan potasium, pengoperasian alat tangkap bubu tambun pun dapat merusak terumbu karang jika tidak dilakukan secara tepat. Untuk mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan bubu tambun, dewasa ini nelayan pulau Panggang hanya menggunakan batu karang mati untuk menimbun bubu.
Daerah operasi penangkapan dilakukan di empat tempat, yaitu Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, Pulau Busung Pandan, dan Pulau Karang Congkak.
Dari keempat daerah penangkapan tersebut, Pulau Karang Congkak merupakan daerah penangkapan yang paling baik dibanding Pulau Kotok Kecil, Pulau Kotok Besar, dan Pulau Busung Pandan. Ratarata hasil tangkapan setiap trip yang diperoleh di Pulau Karang Congkak adalah 123 ekor. Hal ini disebabkan karena perairan pulau Karang Congkak merupakan perairan yang kondisi karangnya relatif lebih baik dibanding daerah penangkapan yang lain, sehingga perairan Pulau Karang Congkak merupakan habitat yang sesuai bagi ikanikan karang. Selain itu, banyaknya ikan yang tertangkap di Pulau Karang Congkak diduga karena terdapatnya padang lamun di perairan tersebut. Menurut PBC (2009), padang lamun memiliki fungsi ekologis yang menguntungkan bagi ikan. Adapun fungsi padang lamun diantaranya adalah tempat pembesaran, tempat mencari makan, dan habitat dari krustasea. Selain itu, padang lamun dapat meningkatkan kejernihan perairan karena akar padang lamun dapat mengikat sedimen di perairan. Perairan yang bersih diduga merupakan habitat yang disukai ikanikan karang. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tingginya hasil tangkapan di pulau Karang Congkak diduga karena pada saat operasi penangkapan dilakukan, tidak banyak nelayan lain yang melakukan operasi penangkapan di daerah tersebut. Menurut Lokkerberg and Bjordal (1992) vide Iskandar (2006), tingginya hasil tangkapan yang diperoleh tergantung pada daerah operasi penangkapan. Variasi jenis ikan yang tertangkap sangat tergantung pada kelimpahan, habitat, distribusi ikan, dan jenis alat tangkap.
Hasil Uji Mann Whitney terhadap jumlah total hasil tangkapan memperoleh nilai probabilitas 0,034 (P < 0,05), yang menunjukkan bahwa jumlah total hasil tangkapan pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) berbeda nyata dengan jumlah total hasil tangkapan yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap). Jumlah total hasil tangkapan pada bubu escape gap relatif lebih sedikit dibanding hasil tangkapan pada bubu nonescape gap. Hal ini dikarenakan ikanikan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran escape gap diduga dapat keluar dari dalam bubu. Dengan demikian jumlah ikan yang tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap relatif lebih sedikit jika dibanding dengan jumlah ikan yang tertangkap pada bubu nonescape gap, karena bubu yang menggunakan escape gap hanya menangkap ikan ikan yang ukurannya relatif
besar. Adapun bubu yang tidak memiliki celah pelolosan (nonescape gap) memberikan peluang yang sangat kecil bagi ikan yang berukuran kecil untuk dapat keluar dari bubu, sehingga ikan dengan ukuran kecil dapat tertangkap. Oleh karena itu, jumlah ikan yang tertangkap pada bubu nonescape gap relatif lebih banyak karena bubu tersebut menangkap ikan yang ukurannya kecil relatif lebih banyak dibanding bubu yang menggunakan escape gap.
Ikan karang yang ada di Kepulauan Seribu memiliki spesies yang bermacammacam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (escape gap). Dengan demikian, hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan escape gap pada bubu dapat mengurangi spesies hasil tangkapan sehingga keragaman spesies ikan yang tertangkap pada bubu escape gap relatif lebih kecil dibanding bubu nonescape gap. Miller (1995) menyatakan bahwa pengguanaan escape gap dapat mengurangi jumlah spesies yang belum layak tangkap pada bubu.
Hasil tangkapan dominan bubu tambun yang tidak menggunakan escape gap dan yang menggunakan escape gap diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus), kerapu hitam (Epinephelus ongus), kerapu lokal (Ephinephelus sexfasciatus), betok hitam (Neoglyphidodon crossi), strip delapan/keakea (Chaetodon octofasciatus), dan kupaskupas (Balistes viridescense). Jumlah hasil tangkapan spesies dominan pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap) relatif lebih banyak dibandingkan bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap).
Hasil uji Mann Whitney juga menunjukkan bahwa total hasil tangkapan pada bubu nonescape gap secara signifikan berbeda ( P < 0,05 ). Namun jumlah hasil tangkapan yang yang secara signifikan lebih banyak pada bubu tambun non escape gap tidak berarti bahwa bubu tersebut lebih baik dibanding bubu tambun dengan escape gap. Hasil tangkapan dominan yang banyak tertangkap pada bubu nonescape gap adalah ikanikan yang tidak termasuk ke dalam ekonomis penting, seperti ikan kupaskupas, strip delapan/kepekepe, maupun betok hitam. Ikan tersebut memiliki nilai jual yang sangat rendah bahkan sering kali dibuang ke laut
karena tidak dapat dikonsumsi. Secara ekologis apabila ikanikan tersebut banyak tertangkap dan dibuang maka dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang, karena setiap ikan karang pasti mempunyai fungsi ekologis diperairan. Secara ekonimis juga akan mengakibatkan waktu untuk menyortir target dan non target spesies menjadi lebih lama, yang berakibat pada meningkatnya biaya tenaga kerja.
Jumlah hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu tambun yang menggunakan escape gap dan nonescape gap secara signifikan tidak berbeda (P > 0,05). Hal ini berarti bahwa pemasangan escape gap tidak akan mengurangi hasil tangkapan target spesies. Selama ini nelayan mengkhawatirkan bahwa pemasangan escape gap akan menurunkan hasil tangkapan target spesies. Dengan demikian secara ekonomis pendapatan nelayan pun tidak akan berkurang dengan pemasangan escape gap.
Kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang ukurannya diatas 250 gram jika dijual langsung setelah ditangkap memiliki nilai jual yang tinggi, yaitu sekitar Rp 25.000,00. Tetapi jika ukurannya dibawah ukuran pasar atau kurang dari 250 gram harganya hanya Rp 12.000,00. Bubu yang menggunakan escape gap dapat memberikan peluang meloloskan diri bagi ikan yang ukuran tubuhnya lebih kecil dari diameter escape gap. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat recruitmen bagi ikan yang dapat lolos tersebut. Menurut Brown and Caputi (1986) escape gap dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan non target untuk kembali lepas ke perairan.
Escape gap dapat berperan sebagai celah untuk meloloskan maupun sebagai pintu masuk ikan yang berukuran kecil. Apabila escape gap berperan sebagai pintu masuk ke dalam bubu maka jumlah kerapu koko yang berukuran kecil banyak tertangkap pada bubu tambun yang menggunakan escape gap. Jika ikan yang berukuran kecil tertangkap pada bubu yang menggunakan escape gap, hal ini diduga karena ikanikan tersebut menjadikan bubu sebagai shelter atau tempat berlindung.
5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus)