DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU
DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2009 Didin Komarudin
Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MOKHAMAD DAHRI ISKANDAR.
Bubu tambun merupakan salah satu alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan di Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Bubu ini dioperasikan di perairan karang pada kedalaman 0,5 3 meter. Hasil tangkapan bubu tambun adalah berbagai macam ikan karang, salah satunya adalah kerapu koko (Epinephelus quoyanus). Kerapu koko yang tertangkap pada bubu tambun mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar. Tertangkapnya kerapu koko yang berukuran kecil ternyata merugikan secara ekonomis dan biologis. Secara ekonomis, kerapu koko yang tidak sesuai ukuran pasar diolah menjadi ikan asin dan dijual dengan harga relatif murah yaitu sekitar Rp 12.000,00 per kg. Secara biologis, tertangkapnya kerapu koko yang masih kecil akan mengurangi laju recruitment ikan tersebut. Maka diperlukan mekanisme untuk meloloskan kerapu koko yang berukuran kecil. Salah satunya adalah dengan menggunakan celah pelolosan (escape gap). Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan jumlah, ukuran, dan komposisi kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu tanpa celah pelolosan (non escape gap). Escape gap yang digunakan berbentuk lingkaran dengan diameter 4 cm. Metode penelitian yang digunakan adalahexperimental fishing dengan 10 kali setting. Bubu tambun dipasang dengan sistem tunggal. Ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan (nonescape gap) diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 31 ekor atau 4,78 % dari total hasil tangkapan pada bubu nonescape gap serta setara dengan 4,53 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 21 ekor atau 3,24 % dari total hasil tangkapan pada bubu nonescape gap serta setara dengan 2,9 kg, dan lain sebagainya. Adapun ikan dari famili Serranidae yang tertangkap pada bubu ber escape gap diantaranya adalah kerapu koko (Ephinephelus quoyanus) sebanyak 20 ekor atau 4,46 % dari total hasil tangkapan pada bubu berescape gap serta setara dengan 3,68 kg, kerapu hitam (Epinephelus ongus) 16 ekor atau 3,57 % dari total hasil tangkapan pada bubu berescape gap serta setara dengan 2,97 kg, dan lain sebagainya. Ratarata panjang total, body girth, dan berat kerapu koko yang tertangkap pada bubu nonescape gap masing masing adalah 20,55 cm; 13,76 cm; dan 146,03 gram. Adapun ratarata panjang total, body girth, dan berat kerapu koko yang tertangkap pada bubu escape gap masing masing adalah 22,03 cm; 15,20 cm; dan 183,75 gram.
DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU
DIDIN KOMARUDIN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009Nama Mahasiswa : Didin Komarudin NRP : C44050019 Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap Disetujui: Pembimbing Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si. NIP: 19690604 199412 1 001 Diketahui: Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP: 19610410 198601 1 002 Tanggal lulus : 4 Juni 2009
Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2008 ini adalah Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ir. Mokhamad Dahri Iskandar, M.Si sebagai Komisi Pembimbing atas segala saran dan bimbingannya selama penyusunan skripsi ini; 2. Dr. Ir. Muhammad Imron, M.Si sebagai wakil komisi pendidikan Departemen PSP atas saransarannya terhadap skripsi ini;
3. Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji pada sidang skripsi ini dan atas segala saran dan masukkannya.
4. Ir. Zulkarnain, M.Si yang telah berkenan menjadi penguji pada sidang skripsi ini dan atas segala saran dan masukkannya.
5. Ayahanda Engkos dan Ibunda Esih;
6. Bapak Asep dan keluarga Bapak Toton yang menyediakan tempat dan membantu selama penelitian di Pulau Panggang;
7. Yuliana Widya Hadi dan Andhika Prima Prasetyo yang telah banyak membantu dan menjadi rekan selama penelitian;
8. Rekanrekan PSP angkatan 42 (Budi, Arif W, Fifi, Asep, Bram, Ziah, Adis, Hendri, Nisa, Arif M, Ema, Nia, Irna, Yiyi, Intan, Anja, Gina, Mira, Kimursih, Dika, Winy, Hanno, Vera, Imam, Noer, Putri, Ummi, Septa, Dian, Ferty, Fati, Oce, Adi, Leo, Dhenis, Nano, Dilla, Haryo, Hafinuddin, Zasuli, Anggi, Fery, Sahat, Ima, Eko, Meida, Hendro, Rio, Novel, Yosep, Reny, Ozan, Mayrita, Mirza).
9. Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Mei 2009 Didin Komarudin
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 06 Pebruari 1986 dari Bapak Engkos dan Ibu Esih. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara.
Penulis lulus dari SMA Negeri Conggeang, Sumedang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAPI) pada tahun ajaran 2007/2008 – 2008/2009, serta mata kuliah Metodelogi Penelitian pada tahun ajaran 2008/2009. Pada tahun 2005 penulis memenangi Lomba Ceramah keagamaan tingkat TPB sebagai juara III dan Lomba Ceramah keagamaan tingkat Asrama TPB sebagai juara I. Pada tahun 2008 penulis memenangi lomba membuat perencaan bisnis dengan tema “Make the Real Bussiness Plan” sebagai juara I.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) sebagai staf Departemen Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian periode 2006/2007 dan menjadi Ketua Departemen Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian periode 2007/2008.
Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”.
DAFTAR TABEL ……….... i DAFTAR GAMBAR ………... ii DAFTAR LAMPIRAN ………... iv 1. PENDAHULUAN ……… 1 1.1 Latar Belakang ..……… 1 1.2 Tujuan Penelitian ...………... 3 1.3 Manfaat Penelitian …….………... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ………. 4 2.1 Deskripsi Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) ………. 4 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi ……….... 4 2.1.2 Siklus hidup ….……….... 5 2.1.3 Habitat ………... 7 2.1.4 Tingkah laku ………. 8 2.2 Musim Penangkapan ………. 9 2.3 Alat Tangkap Bubu ………... 11 2.3.1 Deskripsi dan klasifikasi ………. 13 2.3.2 Konstruksi bubu ………... 18 a) Bentuk ……… ………... 18 b) Bahan ……….………... 19 c) Mulut bubu .……… 20 2.4 Umpan ………..………. 21 2.4.1 Jenis umpan ………..………..……. 23 2.4.2 Ukuran dan bobot umpan ……… 23 2.4.3 Posisi pemasangan umpan ……….. 24 2.5 Celah Pelolosan (Escape Gap) ………… ………. 25 2.5.1 Bentuk ……… ………. 26 2.5.2 Ukuran …………..……..………. 26 2.5.3 Posisi dan jumlah ………..………... 28 2.6 Hasil Tangkapan Bubu ……….…. 28 2.7 Metode Penangkapan Bubu ….………. 28 2.8 Daerah Penangkapan Ikan ……….... 29 2.9 Armada Penangkapan ……… 30 2.10 Nelayan ……… 31 3. METODOLOGI ……….. 32 3.1 Waktu dan Tempat ………..……….. 32 3.2 Bahan dan Alat ………..……….... 32 3.3 Metode Penelitian …….………... 33 3.3.1 Metode pengumpulan data ……..………... 33 3.3.2 Konstruksi celah pelolosan …….………... 36 3.4 Metode Pengoperasian Bubu Tambun ………..……..…………... 37 3.5 Analisis Data ………..………….... 39
4.1 Musim ………. 44 4.3 Unit penangkapan ………... 45 4.3.1 Alat penangkapan ikan ………. 45 4.3.2 Armada penangkapan ………... 46 4.3.3 Nelayan ………... 48 4.4 Produksi ikan ……….. 49 4.5 Daerah penangkapan ikan ………... 50 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 51 5.1 Hasil ………..….. 51 5.1.1 Total jumlah hasil tangkapan bubu ………... 51 5.1.2 Jumlah dan komposisi hasil tangkapan yang tertangkap pada bubu nonescape gap dan bubu escape gap ……... 56 5.1.3 Keragaman spesies hasil tangkapan ………. 59 5.1.3.1 Keragaman spesies untuk seluruh hasil Tangkapan ………... 59 5.1.3.2 Keragaman spesies hasil tangkapan dominan ……... 60 5.1.4 Jumlah hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……… 61 5.1.5 Distribusi ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) …... 63 a. Panjang total ………... 63 b. Body girth ……….. 66 c. Berat ………. 69 5.1.6 Hubungan antara panjang total denganbody girth ………… 72 5.1.7 Hubungan antara berat denganbody girth ……… 72 5.1.8 Hubungan antara panjang total dengan berat ……… 73 5.2 Pembahasan ………. 75 5.2.1 Komposisi hasil tangkapan ……… 75 5.2.2 Distribusi ukuran hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……….. 79 6. KESIMPULAN DAN SARAN ………..……….. 82 6.1 Kesimpulan ……….. 82 6.3 Saran ……….... 82 DAFTAR PUSTAKA ……… 83 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkembangan larva ikan kerapu ……… 7 2 Spesifikasi teknis bubu tambun ……….. 33 3 Detail luas pulau yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang dan peruntukannya ………... 43 4 Jenis dan jumlah alat tangkap di Kelurahan Pulau Panggang ….. 46 5 Jenis dan jumlah armada penangkapan di Kelurahan Pulau Panggang ………... 47 6 Jumlah nelayan di Kelurahan Pulau Panggang ……… 48 7 Jenis dan jumlah unit budidaya di Kelurahan Pulau Panggang … 49 8 Data produksi perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu pada tahun 2006 ……… 49 9 Jumlah dan persentase spesies seluruh hasil tangkapan .……….. 52
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) ……….…... 5 2 Perkembangan bentuk larva ikan kerapu ………. 6 3 Bagianbagian bubu ………... 15 4 Macammacam bentuk mulut bubu ………... 21 5 Gambar teknis alat tangkap bubu tambun …………..…………. 34 6 Posisi pemasangan bubu di perairan ……….………… 35
7 Bubu berescape gap berbentuk lingkaran ………... 36
8 Proses pemasangan umpan berupa bulu babi ……….. 37
9 Proses pemasangan (setting) bubu ………... 38
10 Proses pengangkatan (hauling) bubu ………... 39
11 Komposisi total jumlah hasil tangkapan ……….. 53
12 Ratarata hasil tangkapan tiap bubu per trip dan jumlah hasil tangkapan per trip ………... 55
13 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu nonescape gap ... 56
14 Komposisi jumlah hasil tangkapan pada bubu escape gap …….. 57
15 Jumlah spesies dominan pada bubu escape gap dan nonescape gap ………. 61
16 Ratarata hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) per bubu per trip ……… 62
17 Sebaran panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……. 63
18 Distribusi panjang total kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu nonescape gap dan bubu dengan escape gap ………. 64
19 Panjang total ratarata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……… 65
20 Sebaranbody girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……... 66
21 Distribusibody girth kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu nonescape gap dan bubu dengan escape gap ……… 67
22 Ukuranbody girth ratarata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ……… 68
Halaman 24 Distribusi berat kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang
tertangkap pada bubu nonescape gap dan bubu dengan
escape gap ……… 70 25 Berat ratarata dan standar deviasi ikan kerapu koko (Epinephelus
quoyanus) ……….. 71 26 Hubungan antara panjang total denganbody girth seluruh
hasil tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) …………. 72 27 Hubungan antara berat denganbody girth seluruh hasil
tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) …………... 73 28 Hubungan antara panjang total dengan berat seluruh hasil
tangkapan kerapu koko (Epinephelus quoyanus) ………. 74 29 Ikan keluar melaluiescape gap ……… 80 30 Kepala ikan dalam keadaan terluka ……….. 80
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian dan basis penangkapan bubu ……….….. 89 2 Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ….………. 90 3 Hasil tangkapan bubu tambun selama penelitian ………... 92 4 Jenis dan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap lokasi penangkapan pada tiap trip ………. 98 5 Komposisi hasil tangkapan bubu nonescape gap ………... 130 6 Komposisi hasil tangkapan bubu escape gap ……….. 132 7 Hasil perhitungan dengan ujiMann Whitney ………... 133 8 Index Shannon Wiener seluruh hasil tangkapan ……….. 134 9 Index Shannon Wiener hasil tangkapan dominan ……… 138
10 Ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu nonescape gap ………. 139
11 Ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) pada bubu escape gap ……… 140
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Seribu merupakan salah satu sentra perikanan di Indonesia. Salah satu komoditi ikan yang dihasilkannya adalah ikanikan karang, karena kepulauan seribu terdiri dari gugusan pulau yang memiliki daerah karang yang sangat luas. Pulau Panggang merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau seribu yang dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Alat tangkap yang cukup dominan digunakan oleh nelayan setempat adalah bubu.
Bubu adalah suatu alat tangkap dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi yang dipasang secara pasif dan dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan ikan masuk ke dalamnya dan sukar untuk keluar (Subani dan Barus, 1988). Menurut Von Brandt (1984), Bubu merupakan alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuk yang berbentuk corong (nonreturn device). Daerah operasional bubu beranekaragam, salah satunya adalah daerah karang, sehingga target dari bubu tersebut adalah ikan karang.
Bubu yang digunakan nelayan di Pulau Panggang adalah bubu tambun. Bubu tambun dioperasikan di perairan karang. Target penangkapan bubu tambun adalah berbagai jenis ikan karang seperti kerapu (Epinephelus sp.), ekor kuning (Caesio spp.), lencam (Lethiurus spp.), baronang (Siganus sp.), kakaktua (Scarus spp.), kambingkambing (Parupeneus barberinus), kepekepe, jarang gigi, sersan mayor, swanggi, kepiting, dan lainlain (Nugraha, 2008). Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu intensitas penangkapan terhadap jenis ikan ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga ikan kerapu di pasaran. Menurut nelayan di pulau Panggang, operasi penangkapan terhadap kerapu dilakukan sepanjang tahun dan tanpa mempertimbangkan ukuran kerapu yang tertangkap oleh bubu. Kerapu yang belum memiliki nilai ekonomis juga turut tertangkap oleh bubu. Walaupun ukurannya kecil, ikan tersebut tetap dikonsumsi oleh nelayan sebagai bahan baku
ikan asin. Ditinjau dari segi harga, ikan kerapu yang berukuran kecil mempunyai nilai jual yang rendah, selain itu apabila ikan kerapu yang berukuran kecil banyak ditangkap maka laju recruitment menjadi berkurang. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi nelayan. Salah satu solusi agar ikan yang tertangkap dapat memiliki nilai komersial adalah dengan cara memasang celah pelolosan (escape gap) pada bubu. Pemasangan celah pelolosan ini diharapkan dapat menjadi suatu mekanisme untuk menangkap ikan kerapu yang secara ekonomis layak jual di pasar, serta mengurangi hasil tangkapan kerapu yang berukuran kecil.
Celah pelolosan (escape gap) merupakan celah yang dibuat pada bubu dengan letak, bentuk, dan ukuran tertentu. Escape gap berfungsi sebagai tempat keluar ikan yang tidak menjadi target tangkapan karena ukurannya dibawah ukuran pasar (Iskandar, 2006). Menurut beberapa peneliti, escape gap berpengaruh besar dalam menentukan menentukan hasil tangkapan yang layak tangkap ditinjau dari segi biologis maupun ekonomis. Namun hingga saat ini escape gap belum digunakan di Indonesia.
Peran escape gap untuk menangkap target spesies yang layak tangkap diteliti oleh banyak peneliti di berbagai negara. Namun, penelitian sejenis masih jarang dilakukan di Indonesia. Lastari (2007) melakukan penelitian untuk meloloskan rajungan yang berukuran dibawah 6 cm. Escape gap yang digunakan berukuran panjang 5,2 cm dan lebar 3,8 cm, escape gap ini dipasang di sisi bubu. Hasil yang diperoleh adalah ukuran lebar dan panjang karapas rajungan yang tertangkap pada bubu dengan escape gap cenderung lebih besar dibanding bubu tanpa escape gap, masingmasing dengan ratarata 12,14 cm dan 5,96 cm. Adapun pada bubu tanpa escape gap ratarata lebar dan panjang karapas sebesar 8,03 cm dan 4,045 cm. Irawati (2002), menggunakan escape gap berbentuk bulat untuk mempelajari tingkah laku pelolosan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada bubu yang berescape gap.
Oleh karena pentingnya peranan escape gap untuk menangkap ikan kerapu yang secara ekonomis layak tangkap, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan jumlah dan ukuran kerapu koko (Epinephelus quoyanus) yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu yang tidak menggunakan celah pelolosan(nonescape gap);
2. Menentukan komposisi spesies yang tertangkap pada bubu yang menggunakan celah pelolosan (escape gap) dan bubu tanpa celah pelolosan (nonescape gap).
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Mengurangi hasil tangkapan sampingan berupa ikanikan kecil yang belum layak tangkap pada operasi penangkapan menggunakan bubu tambun;
2. Mengurangi waktu untuk menyortir hasil tangkapan sampingan;
3. Dalam jangka panjang diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan laju recruitment bagi spesies yang menjadi target tangkapan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Kerapu Koko (Epinephelus quoyanus) 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Ikan kerapu merupakan anggota dari keluarga serranidae. Nama internasional kerapu koko (Epinephelus quoyanus) adalah longfin grouper. Ikan jenis ini memiliki sifat solitaire atau penyendiri. Sebagian besar ikan kerapu mendiami laut hangat, pada area pantai yang berbatubatu dan batu karang. Ikan kerapu merupakan ikan predator yang berburu ketika akan makan (Schultz, 2000).
Menurut Randall dan Heemstra (1993), kerapu koko diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Osteichtyes Subclass : Actinopterigi Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Family : Serranidae Subfamily : Epinephelinae Genus : Epinephelus quoyanus Ikan kerapu koko memiliki berbagai macam nama lokal, diantaranya adalah Longfinned rockcod (Australia), moyohata (Jepang), dan di Hongkong disebut fahgaupaan, dan fahtaumui (FAO, ). Ikan kerapu memiliki ciri morfologi sebagai berikut, yaitu bentuk tubuhnya agak rendah, moncong panjang memipih dan menajam, maxillarry lebar diluar mata, gigi pada bagian sisi dentary 3 atau 4 baris, terdapat bintik putih coklat pada kepala, badan dan sirip, bintik hitam pada bagian dorsal dan posterior (Tarwiyah, 2001). Profil bagian belakang kepala kerapu koko berkelok dan sirip ekor membundar. Warna putih pada bagian kepala dan badan terlihat dengan jelas, dan terdapat bintikbintik coklat. Bintikbintik pada bagian dorsal berbentuk heksagonal, sirip caudal, anal, dan pelvic dilingkari oleh bintikbintik berbentuk oval. Sedangkan pada sirip dada bagian atas bintik bintik coklat tidak terlihat jelas, namun pada sirip dada bagian bawah terdapat
bintik yang besar. Ikan ini memijah pada ukuran panjang total 24 cm dan ukuran maksimalnya 40 cm (Grant, 2000). Kerapu koko yang menjadi target spesies pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber: FAO, Gambar 1 Kerapu koko (Epinephelus quoyanus). 2.1.2 Siklus hidup Kerapu termasuk ikan yang "hermaprodit protogyni", yaitu pada kehidupan awal belum ditentukan jenis kelaminnya. Sel kelamin betina terbentuk setelah berumur 2 tahun dengan panjang 50 cm dan berat 5 kg. Sel kelamin betina berubah menjadi sel kelamin jantan pada umur 4 tahun dengan panjang tubuh sekitar 70 cm dan berat 11 kg. Pada kenyataannya lebih banyak ditemukan ikan kerapu jantan (Tarwiyah, 2001).
Menurut Junianto (2003), ikan kerapu memiliki fase hidup induk, telur, larva, benih, dan dewasa. Secara lebih terperinci, fasefase tersebut dijelaskan di bawah ini:
a. Stadia induk, adalah ikan yang memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada stadia induk memiliki ciriciri sebagai berikut:
· Alat kelamin induk betina umumnya berupa lubang, dan jantan berupa tonjolan;
· Pada beberapa spesies, induk jantan memiliki ciri dan warna khas, misal dahi lebih menonjol, sirip punggung lebih panjang, warna dan pola warna lebih cemerlang dan menarik, gerakan lebih aktif dan galak.
b. Telur, bersifat pelagis.
c. Larva, berukuran sangat kecil dan belum memiliki bentuk morfologi yang definitif (seperti induknya). Larva belum memiliki organ tubuh yang lengkap, bahkan ada yang masih bersifat sederhana sehingga belum berfungsi maksimal. Morfologi, anatomi, dan fisiologinya masih sederhana dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Menurut Tarwiyah (2001), larva yang baru menetas terlihat transparan, melayangmelayang dan gerakannya tidak aktif serta tampak kuning telur dan oil globulenya. Larva akan berubah bentuk menyerupai kerapu dewasa setelah berumur 31 hari. Perkembangan larva ikan kerapu dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: Tarwiyah, 2001 Gambar 2 Perkembangan bentuk larva ikan kerapu. Larva baru menetas (D1) Larva berumur 3 hari (D3) Larva umur 1517 hari Larva umur 2931 hari
Adapun perkembangan larva ikan kerapu dari umur 1 hari (D1) sampai umur 31 hari (D31) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan larva ikan kerapu
Hari ke Tahap Perkembangan Panjang (mm)
D1 Larva baru menetas transparan, melayang dan tidak aktif. 1,89 2,11 D3 Timbul bintik hitam di kepala dan pangkal perut. 2,14 2,44 D78 Timbul calon sirip punggung yang keras dan panjang. 7,98 8,96 D911 Timbul calon sirip punggung yang keras dan panjang. 15,88 17,24 D1517 Duri memutih, bagian ujung agak
kehitaman. 17,2 18,6 D2326 Sebagian duri mengalami reformasi dan patah, pada bagian ujung tumbuh sirip awal lunak. 20,31 22,64 D2931 Sebagian larva yang pertumbuhannya capat telah berubah menjadi burayak (juvenil), bentuk dan warnanya telah menyerupai ikan dewasa. 22,40 23,42 Sumber: Tarwiyah, 2001
Larva kerapu yang baru menetas mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Kuning telur tersebut akan habis pada hari ke 3 (D3). Masa kritis dijumpai pada waktu larva berumur 8 hari (D8) memasuki umur 9 hari (D9), dimana pada saat itu mulai terjadi perubahan bentuk tubuh yang sangat panjang dan spesifik (Tarwiyah, 2001).
d. Benih, memiliki bentuk morfologi tubuh sudah definitif seperti induknya. Benih berbeda dengan induknya dalam ukuran dan tingkah laku reproduksinya. e. Juvenil, bentuk tubuh seperti induknya tetapi lebih kecil dan organ
reproduksinya masih dalam perkembangan sehingga belum berfungsi.
f. Dewasa, organ reproduksi dewasa sudah berfungsi sehingga berpotensi melakukan aktivitas reproduksi.
2.1.3 Habitat
Ikan kerapu koko merupakan spesies yang berada di bagian barat pasifik, tersebar di selatan Jepang hingga Australia termasuk Taiwan, Cina, Hongkong, Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia, New Guinea, dan pulaupulau
disekitarnya hingga pesisir utara Australia. Spesies ini tidak ditemukan di perairan sekitar pulau Micronesia, Melanisia, dan Pasifik bagian tengah. Pada umumnya ikan ini banyak dijumpai di daerah karang dekat pantai dan ditemukan hingga kedalaman 50 m (FAO, ).
Habitat benih ikan kerapu adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae jenis reticulata dan Gracilaria sp., setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar terdiri dari pasir berlumpur (Tarwiyah, 2001). Ikan kerapu mendiami air laut dengan kadar garam 33 35 ppt (part per thousand ). Suhu perairan di Indonesia tidak menjadi masalah karena perubahan suhu, baik harian maupun tahunan sangat kecil ( 27 o C 32 o C). Kadar oksigen dari habitat ikan kerapu adalah sebesar ± 4 ppm. Untuk kadar keasaman (pH) air laut yang menjadi habitat ikan kerapu adalah 7,6 7,8. Adapun besarnya kecepatan arus air yang ideal adalah sekitar 20 sampai 40 cm/detik (Arifin, ).
2.1.4 Tingkah laku
Tipe pemangsa yang paling banyak di terumbu karang adalah ikan karnivora, 50% 70%. Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua yaitu 15%, dan didominasi oleh famili Scaridae dan Acanthuridae. Sisanya diklasifikasikan sebagai omnivora dan multivora, yaitu ikan dari famili Pomacentride, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Monachantidae, Ostraciontidae, dan Tetradontidae. Ikan pemakan zooplanton memiliki ukuran tubuh yang kecil, yaitu ikan dari famili Clupeidae (Nybakken, 1992).
Ikan kerapu (Epinephelus spp) merupakan jenis ikan karnivora yang dikenal pula sebagai ikan predator utama dan cenderung solitaire atau tidak bergerombol pada suatu ekosistem karang (Randall dan Heemsta, 1993).
Morato, Santos, dan Andrade (2000), melakukan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui jenis makanan dari ikan famili Serranidae. Komposisi isi lambung ikan dari 422 ekor ikan yang termasuk famili Serranidae diamati. Ikan dan krustasea adalah makanan yang dominan terdapat di lambung ikan tersebut, sedangkan gastropoda, bilvalvia, dan salp hanya terdapat sedikit. Menurut Tarwiyah (2001), makanan yang paling disukai oleh kerapu adalah jenis
krustasea (rebon, dogol dan krosok), selain itu jenis ikanikan kecil (tembang, teri dan belanak).
Berdasarkan periode aktif mencarai makan, ikan karang dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal), aktif mencari makan pada siang hari (diurnal), dan aktif mencari makan diantara siang dan malam atau pada waktu remangremang (crepuscular). Ikan dari famili Serranidae (kerapu) merupakan ikan yang aktif pada waktu remangremang (crepuscular) (Anonim, 2004).
Menurut pengamatan pada percobaan yang dilakukan oleh Tarwiyah (2001), ikan betina dewasa yang telah siap memijah akan berenang mendekati ikan jantan. Jika waktu memijah sudah tiba ikan kerapu jantan dan betina akan berenang bersamasama di daerah permukaan air. Peristiwa ini umumnya terjadi pada malam hari. Jumlah telur yang dihasilkan tergantung dari berat tubuh betina, semakin berat maka telur yang dihasilkan semakin banyak.
2.2 Musim Penangkapan
Musim penangkapan suatu alat tangkap disetiap daerah bermacammacam. Biasanya nelayan mengoperasikan alat tangkap tergantung dari keberadaan ikan yang menjadi target tangkapan setiap musimnya. Hal ini biasa dilakukan untuk alat tangkap yang menangkap ikan secara spesifik. Namun, karena Indonesia memiliki jenis ikan yang multispesies, maka sebagian besar alat tangkap dioperasikan sepanjang tahun. Menurut LONLIPI (1977) vide Mawardi (2001), di perairan Indonesia khususnya Kepulauan Seribu kegiatan penangkapan dipengaruhi oleh 3 musim, yaitu:
1) Musim Barat
Musim ini terjadi pada bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Keadaan angin bervariasi dari arah Barat Daya sampai Barat Laut dengan kecepatan 720 knot. Dalam periode bulan Desember sampai Februari sering terjadi angin kencang dengan kecepatan lebih dari 20 knot, gelombang besar dan arus kuat, sehingga dalam bulan ini kegiatan nelayan nyaris terhenti. Keadaan alam yang buruk inilah salah satu penyebab hasil ikan laut pada akhir
maupun awal tahun menurun. Alat tangkap yang memberikan hasil terbaik pada musim ini adalah payang, gill net, dan bagan.
2) Musim Timur
Musim ini terjadi pada bulan Juni hingga September, angin bervariasi dari arah Timur Laut sampai Tenggara dengan kecepatan 715 knot. Keadaan ombak relatif sedang, sehingga semua alat penangkapan dapat bekerja dengan hasil tangkap cukup baik. Alat tangkap yang hasil tangkapannya baik adalah payang, gill net, muroami, bagan, dan bubu.
3) Musim Pancaroba
Musim ini terjadi pada bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November. Arah angin umumnya bervariasi dengan kecepatan lemah. Semua alat penangkapan dapat bekerja aktif dengan hasil cukup bagus, terutama alat tangkap gill net, muroami, payang, bagan, bubu, danhand line.
Menurut Furqon (2008), musim ikan yang biasa terjadi di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut :
1) Musim Ikan Tongkol
Ikan tongkol merupakan jenis pelagis yang melakukan migrasi melintasi perairan Laut Jawa. Musim migrasi terjadi pada bulan Oktober hingga April. Pada masa ini nelayan dapat menangkap ikan tongkol dalam jumlah besar. Namun, melimpahnya jumlah ikan tongkol pada musim ini mengakibatkan harga menjadi turun, ditambah pembeli yang terbatas. 2) Musim Ikan Tenggiri Ikan ini juga merupakan jenis pelagis yang menjadi primadona nelayan karena harga jual yang tinggi. Ikan ini banyak dijumpai di perairan Kepulauan Seribu pada bulanbulan November dan Desember. 3) Musim Ikan Baronang
Ikan baronang meruapakan salah satu ikan laut yang berharga mahal. Ikan ini banyak dijumpai pada bulan Februari hingga Maret dan November hingga Desember.
4) Musim Ikan Kerapu, Ekor Kuning, dan Cumicumi
Ketiga jenis ikan ini terdapat di perairan Kepulauan Seribu sepanjang tahun. Namun keberadaannya berfluktuasi sesuai dengan siklus hidup ketiga jenis
ikan tersebut. musim puncak terjadi ketika mencapai stadia dewasa. Menurut Laapo (2004), secara umum penangkapan terhadap kerapu dilakukan sepanjang tahun. Musim puncak atau musim surplus ikan umumnya berlangsung selama 7 bulan yaitu mulai bulan September atau Oktober sampai April atau Mei. Sedangkan musim paceklik atau kekurangan ikan umumnya berlangsung selama 5 bulan yaitu bulan Mei atau Juni sampai Agustus atau September. 5) Musim Ikan Cucut
Ikan ini banyak dijumpai pada bulan Mei hingga Juli. Pada umumnya nelayan berlombalomba untuk menangkap jenis ikan ini karena harga cucut muda sangat mahal. Cucut muda biasanya dimanfaatkan para penggemar atau kolektor ikan menjadi ikan hias di aquariumnya.
6) Musim Teripang dan Udang Pengko
Musim teripang terjadi dua kali yaitu bulan Maret hingga April dan Oktober hingga November. Jenis teripang merupakan barang komoditi yang sudah langka. Pada saat bersamaan, nelayan juga memanfaatkannya untuk mencari udang pengko sejenis udang yang hidup di dasar perairan dangkal sekitar pulaupulau. Udang ini bersarang dengan menggali lubang di lamunlamun dan karang yang berpasir. Cara menangkap udang ini, masyarakat setempat menyebutnya dengan “memengko”. Oleh karena itu, udang ini diberi nama udang pengko. Udang ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan cukup digemari.
2.3 Alat Tangkap Bubu
Bubu adalah alat tangkap yang dipasang secara pasif dan memiliki ciri khusus pada mulutnya yaitu memudahkan ikan untuk masuk namun membuat ikan sukar keluar. Menurut Brandt (1984), bubu digolongkan ke dalam kelompok perangkap (trap). Subani dan Barus (1988) mendefinisikan perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan atau penghadang ikan.
Menurut Baskoro (2006), perangkap adalah salah satu alat penangkap yang bersifat statis yang umumnya berbentuk kurungan, berupa jebakan dimana ikan akan mudah masuk tanpa adanya paksaan dan sulit untuk keluar atau lolos karena dihalangi dengan berbagai cara. Keefektifan alat perangkap ini tergantung dari pola migrasi ikan dan tingkah laku renang ikan.
Smith dan Slack (2001) membuat terminologi mengenai bubu yang sedikit berbeda dibanding Brand (1984). Smith dan Slack membedakan terminologi antara perangkap (trap) dengan bubu (pot). Perangkap merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan menetap, yang memudahkan ikan untuk masuk dan sulit untuk keluar. Pada beberapa konstruksi perangkap, terdapat bagian yang berfungsi mengarahkan ikan agar masuk ke dalam perangkap. Perangkap bersifat menetap sehingga tidak dapat dipindahpindahkan karena konstruksi dan ukurannya yang besar. Beberapa macam perangkap diantaranya adalah sero, barrier atau penghadang yang terbuat dari tumpukan batu, fyke, dan lainlain. Adapun bubu berbentuk lebih sederhana dan ukurannya lebih kecil, sehingga mudah untuk dipindahpindahkan. Namun prinsip kerjanya sama dengan perangkap, yaitu memudahkan ikan untuk masuk dan sukar untuk keluar. Tipe bubu yang ada di luar negeri diantaranya adalah bubu berbentuk lingkaran yang berasal dari Australia, bubu “Z” yang berasal dari Karibia, dan bubu berbentuk drum yang berasal dari Jerman. Tipe bubu di Indonesia diantaranya adalah bubu paralon, bubu gurita, bubu lobster, bubu pakaja, dan bubu kakap merah.
Bubu bersifat pasif menunggu ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam perangkap dan mencegah ikan atau hewan laut lainnya keluar dari perangkap. Pemasangannya didasarkan atas pengetahuan tentang lintasanlintasan yang merupakan daerah ruaya ikan ataupun yang berhubungan erat dengan ruaya ikan ke arah pantai pada waktuwaktu tertentu (Gunarso, 1985).
Menurut Martasuganda (2003), ada beberapa alasan utama pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan, yaitu: 1) Adanya larangan pengoperasian alat tangkap selain bubu; 2) Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung alat tangkap lain untuk dioperasikan; 3) Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan; 4) Biaya pembuatan alat tangkap bubu murah; 5) Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap bubu tergolong mudah; 6) Hasil tangkapan dalam keadaan hidup; 7) Kualitas hasil tangkapan baik;
8) Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya.
Menurut Tiku (2004), ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu:
a. Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung; b. Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap; c. Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan d. Ikan masuk karena digiring oleh nelayan. 2.3.1 Deskripsi dan klasifikasi
Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Schlack dan Smith (2001) menyatakan bahwa bubu terdiri dari: a) Rangka Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Salah satunya di Barat laut Brazil, nelayan tradisional setempat menggunakan kayu mangrove sebagai rangka pada bubu rock lobster. Lain halnya dengan nelayan tradisional di Kanada dan Barat laut Amerika Serikat, rangka bubu lobster yang semula dibuat dari kayu, kini digantikan dengan material yang terbuat dari plastik. Rangka beberapa jenis bubu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat ketika bubu tersebut tidak dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah ketika bubu tersebut disimpan di atas kapal. Beberapa jenis bahan seperti bambu digunakan sebagai rangka pada bubu loster (Brandt, 1984). Di Indonesia bubu untuk menangkap ikan karang sebagian besar terbuat dari besi, karena biasanya untuk menangkap ikan karang diperlukan bubu dengan ukuran besar. Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan
besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu (Susanti, 2005).
b) Badan
Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu.
c) Mulut
Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu.
d) Tempat umpan
Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua macam yaitu umpan yang dicacah menjadi potonganpotongan kecil dan umpan yang tidak dicacah. Untuk umpan yang dicaca biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Sedangkan untuk umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang.
e) Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan f) Celah pelolosan
Celah pelolosan dibuat agar ikan–ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara seperti Australia, New Zealand, dan Kuba, celah pelolosan digunakan pada bubu rock lobster untuk meloloskan lobster yang masih juvenil. Di Australia dan New Zealand, rock lobster dengan ukuran lebar karapas kurang dari 76 mm tidak boleh ditangkap.
g) Pemberat
Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindahpindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenisjenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar.
Bagianbagian bubu secara detail dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Schlack dan Smith, 2001
Gambar 3 Bagianbagian bubu.
Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar (Tiku, 2004). Modifikasi yang dilakukan untuk mempersulit ikan keluar pada umumnya dilakukan pada bagian mulut bubu. Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan.
Alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan Indonesia, baik oleh nelayan skala kecil, menengah, dan skala besar. Perikanan bubu skala kecil
Rangka Tempat umpan Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Celah pelolosan Mulut
umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam. Adapun untuk perikanan bubu skala menengah dan skala besar biasanya dilakukan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, atau udang pada kedalaman 200 m sampai 700 m (Martasuganda, 2003).
Subani dan Barus (1988), membagi bubu ke dalam tiga golongan, yaitu bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot), dan bubu hanyut (drifting fishpot).
1) Bubu Dasar (ground fishpot)
Bubu dasar merupakan bubu yang diopersikan di dasar perairan. Ukuran bubu dasar bervariasi dan dibuat berdasarkan kebutuhan. Menurut ukurannya, bubu dasar digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu bubu kecil dan bubu besar. Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 0.500.75 m, dan tinggi antara 0.250.30 m. Adapun bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3.5 m, lebar 2 m, dan tinggi 0.751 m. Bubu dasar dioperasikan di perairan karang, berpasir atau berlumpur. Nelayan biasanya melengkapi bubu dengan pelampung tanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan menemukan bubu ketika akan dilakukanhauling. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 23 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan sampai beberapa hari setelah dipasang. 2) Bubu Apung (Floating Fishpot)
Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurungkurung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu. Dalam pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali pada umumnya 1.5 kali dalam perairan.
3) Bubu Hanyut (Drifting Fishpot)
Dalam operasional penangkapannya bubu ini dihanyutkan, sehingga dinamakan bubu hanyut. Bubu hanyut yang umumnya dikenal dengan sebutan “pakaja”, “luka”, atau “patorani”. “Pakaja” atau “luka” artinya sama yaitu “bubu”, sedangkan “patorani” karena ia dipergunakan untuk menangkap ikan “torani”, “tuingtuing”, atau ikan terbang (flying fish). Pakaja merupakan bubu
ukuran kecil, berbentuk silindris dengan panjang 0.75 m. Pada saat operasi penangkapan dilakukan, bubu ini disatukan menjadi beberapa kelompok.
Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) dan bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting) (Sainsbury, 1996).
a. Bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting)
Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1.8 m hingga 75. Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan sehingga dapat dioperasikan menggunakan kapal yang berukuran kecil pula. Begitupun nelayan yang mengoperasikannya hanya berjumlah 1 sampai 2 orang.
b. Bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting)
Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Kapal yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini dioperasikan hingga kedalaman 900 m atau lebih.
Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai.
a. Sistem tunggal
Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda (2003), salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti (2005) menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang.
b. Sistem rawai
Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar
bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, selanjutnya diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan (Prakoso, 2005). Martasuganda (2003) menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara 10–15 cm dan panjang antara 6080 cm. Pada kedua sisi paralon dipasang mulut bubu yang terbuat dari plastik atau bambu. Hasil tangkapan utama dari bubu ini adalah belut laut.
2.3.2 Konstruksi bubu
Konstruksi bubu yang digunakan oleh nelayan merupakan warisan turun temurun. Selain itu, ada juga kontruksi yang merupakan hasil introduksi dari nelayan asing. Konstruksi ini disesuaikan dengan karakteristik daerah penangkapan dan tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan.
a) Bentuk
Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), bentuk bubu bermacam macam, diantaranya berbentuk kerucut, kubus, balok, silindris, dan ada pula yang berbentu kurungan. Cyr dan Marie (1994) menyatakan bahwa salah satu bentuk bubu yang digunakan di Jepang adalah berbentuk kerucut. Ukuran bubu ini memiliki tinggi 0.65 m, diameter lingkaran bawah 1.2 m, dan diameter lingkaran atas 0.7 m. Rangka terbuat dari besi dan badan bubu terbuat dari jaring. Bubu ini digunakan untuk menangkap kepiting.
Di Indonesia variasi bentuk bubu juga tidak kalah dengan yang digunakan oleh nelayan mancanegara. Untuk menangkap udang barong digunakan bubu berbentuk kubah, prisma segitiga, dan berbentuk silindris. Walaupun berbeda bentuk, ketiga bubu ini digunakan untuk menangkap udang barong sehingga bubu ini dinamakan bubu udang barong. Untuk bubu yang berbentuk kubah, mulut
bubu terletak pada bagian atas bubu. Adapun untuk bubu yang berbentuk prisma segitiga dan silindris, mulut bubu terletak pada sisi bubu (Subani dan Barus, 1988). Di perairan Kronjo nelayan menggunakan bubu yang berbentuk kotak untuk menangkap rajungan (Lastari, 2007). Nelayan di sekitar kepulauan Karimunjawa menggunakan bubu berbentuk balok untuk menangkap kakap merah. Bubu ini dikenal dengan nama bubu kakap merah. Rangka bubu ini terbuat dari gabungan besi dan kayu, sedangkan badannya terbuat dari kawat (Nurhidayat, 2002). Bubu lipat dengan bentuk balok digunakan oleh nelayan Kecamatan Kubu Kabupaten Pontianak untuk menangkap kepiting bakau (Tiku, 2004). Adapun sebagian besar nelayan di Kepulauan Seribu menggunakan bubu tambun untuk menangkap ikan karang. Bubu tambun adalah bubu berbentuk kurungan yang terbuat dari anyaman bambu, dengan mulut berbentuk corong. Penamaan bubu tambun oleh nelayan karena pada saat pengoperasiannya bubu tersebut ditambun oleh batu karang, dengan maksud agar ikan tertarik untuk masuk ke dalam bubu.
b) Bahan
Bahan yang digunakan oleh nelayan untuk membuat badan bubu sangat tergantung pada ketersediaan bahan pembuat di lokasi pemukiman nelayan. Di Indonesia bubu masih banyak yang terbuat dari bahan alami seperti bambu, kayu, maupun rotan. Hal ini terlihat pada bubu tambun yang bahan utamanya adalah bambu (Nugraha, 2008).
Selain bahan alami, bahan sisntetis juga digunakan dalam membuat bubu. Badan bubu banyak yang terbuat dari jaring, kawat yang dianyam, bahkan ada yang terbuat dari plastik. Adapun rangka bubu umumnya terbuat dari baja atau besi (Sainsbury, 1996). Bubu yang terbuat dari kawat pada umumnya berukuran relatif lebih besar jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari jaring. Hal ini dikarenakan target tangkapan bubu ini merupakan ikanikan dasar yang berukuran besar yang ada di daerah karang. Salah satunya adalah bubu kawat yang ada di Kepulauan Seribu yang digunakan untuk menangkap ikanikan karang.
Baskoro (2006) menambahkan bahwa banyak jenis bahan atau material yang digunakan untuk membuat bubu, hal ini tergantung dari tujuan penangkapan dan juga dimana perangkap tersebut akan dioperasikan. Bahan atau material yang
umum digunakan untuk membuat bubu adalah bambu, rotan, kawat, jaring, tanah liat, plastik dan lain sebagainya.
Untuk bubu laut dalam biasanya digunakan rangka berupa besi masif (kokoh). Hal ini bertujuan agar bubu dapat bertahan dengan baik selama dioperasikan di dalam air. Karena sebagaimana kita ketahui keadaan arus di dasar perairan relatif lebih kuat dari pada di perrmukaan. Dewasa ini, penggunaan material bubu yang ramah lingkungan sangat dianjurkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko ghost fishing akibat hilangnya alat tangkap ketika dioperasikan.
c) Mulut bubu
Posisi dan bentuk mulut bubu berbedabeda sesuai tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan. Untuk menangkap lobster, nelayan di Brittany, Perancis menggunakan bubu berbentuk kubah dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk lingkaran. Lain halnya dengan nelayan Autralia, untuk menangkap rock lobster nelayan setempat menggunakan bubu berbentuk trapesium dengan posisi mulut di bagian atas dan berbentuk kotak. Selain menggunakan bubu diatas, nelayan Australia menggunakan bubu dengan bentuk mulut persegi panjang dan menyempit pada bagian samping bubu. Dengan demikian jelas bahwa walaupun target tangkapan sama, namun konstruksi mulut bubu yang digunakan belum tentu sama. Untuk menangkap king crab, nelyan di Barat laut Pasifik dan disebelah Timur Laut Bering menggunakan bubu dengan mulut yang berbentuk persegi panjang yang mengerucut dengan rangka mulut terbuat dari baja dan badan dari mulut bubu tersebut menggunakan bahan jaring Polypropylene (PP). Mulut bubu king crab ini terletak pada bagian samping bubu (Schlack dan Smith, 2001).
Schlack dan Smith (2001) menambahkan bahwa jumlah mulut pada bubu bermacammacam. Untuk menangkap kepiting lumpur, nelayan di Australia menggunakan bubu yang memiliki dua buah mulut yang berbentuk corong. Bahkan ada pula bubu yang memiliki tiga buah pintu masuk, yaitu bubu yang dinamankan round trap. Hasil tangkapan utama bubu ini adalah snappers (Lutjanidae), emperors (Lethrinidae) and kerapu (Epinephlidae).
Miller (1990) melakukan penelitian dengan menggunakan tiga jenis bubu untuk menangkap lobster. Bubu yang pertama memiliki dua buah mulut dengan umpan diletakkan di tengah bubu. Bubu yang kedua memiliki dua mulut dengan dua umpan yang masingmasing diletakkan di dekat mulut bubu. Adapun bubu yang ketiga memiliki tiga mulut dengan umpan diletakkan di tengah bubu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu dengan tiga mulut mendapatkan hasil yang lebih baik dibanding yang lainnya. Hal ini disebabkan karena, semakin banyak jumlah mulut bubu, diperkirakan akan meningkatkan peluang rajungan untuk masuk ke dalam bubu. Beberapa jenis bentuk mulut bubu dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: Schlack dan Smith, 2001
Gambar 4 Macammacam bentuk mulut bubu. 2.4 Umpan
Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dengan demikian keberhasilan penangkapan menggunakan bubu sangat bergantung pada kemauan ikan untuk masuk ke dalam bubu. Salah satu daya tarik ikan untuk masuk ke dalam bubu adalah keberadaan umpan.
Menurut Gunarso (1985), salah satu cara untuk menarik perhatian ikan adalah dengan menggunakan rangsangan kimiawi. Rangsangan kimiawi ini dapat dilakukan dengan menggunakan umpan. Ikan akan memberikan respon terhadap lingkungan sekelilingnya melalui indera penciuman dan penglihatan. Tertariknya ikan terhadap umpan disebabkan oleh rangsangan berupa rasa, bau, bentuk, gerakan, dan warna. Kebanyakan ikan akan memberikan reaksi jika benda yang dilihat bergerak, mempunyai bentuk, warna, dan bau. Lebih lanjut Gunarso (1985)
menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan. Pada usaha perikanan tertentu seperti pada perikanan tuna dan cod, besarnya hasil tangkapan yang dikehendaki bergantung pada terpenuhi atau tidaknya umpan hidup atau umpan mati dalam jumlah atau kualitas tertentu.
Menurut Yudha (2006), Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan (bait), pada bubu dasar atau bubu karang merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap.
Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif jenis ikan sebagai umpan adalah sebagai berikut:
1) Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada;
2) Umpan harus dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penagkapan;
3) Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik; 4) Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah penanganannya; dan
5) Biaya pengadaan relatif murah. Menurut Djatikusumo (1975) vide Riyanto (2008), umpan yang baik harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: 1) Tahan lama (tidak cepat busuk); 2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang yang menjadi tujuan penangkapan; 3) Mempunyai bau yang spesifik sehingga merangsang ikan datang; 4) Harga terjangkau; 5) Mempunyai ukuran memadai; dan 6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.
Schlack dan Smith (2001) menyatakan syarat umpan yang baik adalah sebagai berikut:
1) Efektif untuk menarik ikan target;
3) Tahan lama; 4) Mudah diperoleh; 5) Harga murah; dan 6) Mudah disimpan dan diangkut. 2.4.1 Jenis umpan Berdasarkan kondisinya, umpan dapat dibedakan sebagai umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait). Menurut penggunaannya, umpan dibedakan sebagai umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Adapun menurut sifat asalnya, umpan dibedakan sebagai umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (atificial bait) (Leksono, 1983).
Salah satu pakan alami kerapu adalah artemia. Artemia merupakan sejenis udangudangan primitif. Beberapa contoh jenis Artemia antara lain Artemia fransiscana, A. tunisana, A. urmiana, A. persimilis, A. monica, A. odessensis, adapun artemia yang tanpa kawin adalah Artemia partogenetica (Anonim, 2008).
Sopati (2005) melakukan penelitian untuk menemukan umpan yang paling baik dari 3 umpan buatan yang digunakan. Ketiga umpan tersebut diantaranya adalah umpan dari kanikil, kepala ikan kembung, dan keong mas. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring krendet untuk menangkap lobster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umpan buatan dengan bahan kanikil mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak dibanding umpan buatan lainnya.
2.4.2 Ukuran dan bobot umpan
Ukuran dan bobot umpan mempengaruhi hasil tangkapan. Karena menurut Gunarso (1985), indra penglihatan dan penciuman ikan merupakan indra yang digunakan dalam aktifitas keseharian ikan. Salah satunya adalah aktifitas makan. Semakin besar ukuran bobot umpan, maka akan semakin mudah terlihat oleh ikan dan semakin banyak bau yang dilepaskan oleh umpan. Sehingga ikan akan mudah untuk menemukan umpan tersebut.
Umpan yang padat seperti ikan utuh, tulang hewan, biasanya diletakan secara langsung pada bagian dalam bubu. Adapun untuk umpan yang berukuran
kecil, misalnya ikan rucah, biasanya diletakan pada tempat umpanyang terbuat dari kain nilon, plastik, atau logam (Schlack dan Smith, 2001).
2.4.3 Posisi pemasangan umpan
Letak dan posisi pemasangan umpan sangat berpengaruh dalam keberhasilan penangkapan. Umpan harus diletakan pada posisi yang strategis sehingga membuat ikan masuk untuk memakan umpan tersebut. Posisi umpan yang dipasang pada bubu sebaiknya mempermudah ikan untuk menemukan pintu masuk. Posisi pemasangan umpan yang tepat tergantung dari tingkah laku ikan yang menjadi target tangkapan (Schlack dan Smith, 2001).
Menurut Miller (1990) jumlah hasil tangkapan kepiting (Cancer irronatus) pada bubu yang memakai umpan lebih baik jika dibandingkan dengan bubu tanpa umpan. Bau umpan yang menyebar di perairan akan menarik kepiting (Cancer magister) untuk mendatangi bubu dan kemudian mengarahkannya untuk masuk ke dalam bubu. Menurut hasil penelitiannya, bubu yang paling optimal menangkap kepiting (Cancer irronatus) adalah bubu yang posisi mulut dan umpannya searah dengan arus perairan.
Archdale et al (2003) melakukan penelitian dengan membandingkan antara bubu berbentuk kotak dengan bubu berbentuk kubah, yang mana masingmasing bubu mempunyai teknik pemasangan umpan yang berbeda. Pada bubu kotak, umpan dimasukkan ke dalam kotak umpan kemudian diletakkan pada dasar bagian tengah bubu. Adapun untuk bubu kubah, umpan tidak dimasukkan ke dalam kotak umpan namun umpan ditusukkan pada kawat dan kemudian dilengkungkan berhadapan dengan pintu masuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik peletakan umpan pada bubu kotak kurang baik, karena posisi pemasangan umpan pada dasar bagian tengah bubu menyesatkan kepiting. Kebanyakan kepiting berusaha meraih umpan dari bagian samping ataupun dari bagian bawah bubu. Penempatan umpan pada bubu kubah lebih unggul karena mengarahkan kepiting secara langsung ke dalam pintu masuk yang berbentuk corong yang tidak dapat dicapai dari beberapa tempat lainnya.
Sopati (2005) melakukan penelitian untuk mencari posisi umpan yang tepat pada jaring krendet. Umpan dipasang pada 0 cm, 10 cm, dan 20 cm. Hasil
penelitian menunjukkan umpan yang dipasang pada posisi 0 cm memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak jika dibandingkan yang lainnya.
2.5 Celah Pelolosan (Escape Gap)
Indonesia dikenal dengan jenis ikan yang multispesies, sehingga dalam operasi penangkapan banyak menghasilkan tangkapan sampingan. Banyaknya ikan nontarget yang tertangkap akan menambah sorting time (waktu penyortiran) ketika di atas kapal. Hasil tangkapan sampingan ini dapat berupa ikanikan spesies non target dan ikanikan yang menjadi target penangkapan tetapi masih berukuran kecil (undersize). Menurut Chopin dan Arimoto (1994), tertangkapnya ikan yang masih kecil (undersize) dapat dikontrol dengan melarang secara tegas penggunaan alat tangkap yang memiliki kemungkinan besar menangkap ikanikan yang ukurannya masih kecil (unde size). Dalam konteks selektivitas, alat tangkap yang digunakan harus dapat meminimalkan hasil tangkapan yang terluka, sehingga hasil tangkapan sampingan yang diperoleh ketika dilepas di perairan memiliki daya hidup yang tinggi.
Untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan pada bubu maka salah satu mekanisme yang digunakan adalah dengan memasang celah pelolosan (escape gap). Celah pelolosan (escape gap) ini telah terbukti dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan beberapa spesies di beberapa negara (Iskandar, 2006).
Menurut Iskandar (2006), celah pelolosan (escape gap) adalah celah yang dibuat pada salah satu sisi atau beberapa sisi bubu dengan bentuk segi empat, bulat atau persegi panjang untuk meloloskan ikan dan biota lainnya yang belum layak tangkap. Bahan yang digunakan untuk membuat escape gap sangat bervariasi. Beberapa nelayan menggunakan bahan dari plastik, besi, maupun papan. Namun pada saat ini penggunaan escape gap dari bahan yang mudah terurai atau yang mudah rusak sangat dianjurkan. Penggunaan escape gap dari bahan yang mudah terurai maupun corrosive material saat ini memang lebih dianjurkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya ghost fishing. Ghosh fishing adalah fenomena dimana alat tangkap terlepas dari kendali nelayan dan terus melakukan proses penangkapan.