• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN MOTIVASI BELAJAR

C. Komunikasi Interpersonal Guru Pendidikan Agama Katolik dan

Samana (1994: 31) mengungkapkan bahwa dasar seluruh kecakapan keguruan adalah kecakapan komunikasi secara pribadi atau secara personal antara guru dengan siswa. Inilah yang disebut sebagai komunikasi interpersonal antara guru dengan siswa, karena komunikasi interpersonal menurut Suranto (2011: 3-4) diartikan sebagai komunikasi antarpribadi secara tatap muka yang memungkinkan setiap penerima pesan mendapat reaksi langsung orang lain secara verbal maupun secara non verbal.

Kecakapan yang harus dimiliki oleh Guru Pendidikan Agama Katolik adalah kecakapan untuk melakukan komunikasi interpersonal atau komunikasi antara pribadi guru dengan siswa. Peran guru Pendidikan Agama Katolik adalah menjadi pewarta iman bagi siswanya, maka guru haruslah memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga segala yang diwartakannya dapat dipahami dan diterima oleh siswanya dan dapat membawa siswanya semakin mengenal dan beriman pada Yesus Kristus.

Luk 9: 48 menjadi dasar dan inspirasi bagi guru Pendidikan Agama Katolik dalam menjalin komunikasi interpersonal dengan siswanya yaitu: “barang siapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Dia yang menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.” Guru Pendidikan Agama Katolik dalam melakukan komunikasi interpersonal dengan siswanya berlandaskan Luk 9: 48 yang menunjukkan bahwa sikap dasar guru Pendidikan Agama Katolik dalam menyambut siswa hendaknya sama seperti menyambut Yesus Kristus sendiri. Guru menerima siswa sebagai anugerah dari

Tuhan yang harus dihargai dan dikasihi yang didasari dengan sikap terbuka. Guru Pendidikan Agama Katolik dalam melakukan komunikasi interpersonal dipandang sebagai sebuah pelayanan kepada siswa untuk memberikan perhatian dan kasih.

Yulia Sri Prihartini (2013b: 50) mengemukakan pendapatnya mengenai guru dalam membangun relasi yang baik dengan siswanya diawali dengan kesediaan untuk membuka hati terhadap orang lain. Maka, guru Pendidikan Agama Katolik dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang baik dengan siswa diawali dengan kesediaan membuka hati untuk menerima siswanya sebagai subjek yang harus dihargai dan dikasihi sehingga guru dapat membagikan pengalaman hidupnya berdasarkan Sang Inspirasi yaitu Yesus Kristus.

Widi Nugraha (2013: 71) mengutip pandangan Mintara mengungkapkan bahwa “mengajar pada dasarnya adalah membagikan dari kedalaman hati apa pun yang menjadi pengalaman dan nilai-nilai keutamaan yang dihayati.” Maka, guru dalam mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik diwujudkan dengan cara mengkomunikasikan secara terbuka dan dari hati yang terdalam mengenai pengalaman hidupnya yang berdasarkan pada keutamaan nilai-nilai Kristiani untuk membantu siswa dalam memaknai hidup yang bersumber pada kasih Allah untuk sampai pada keutuhan pribadi. Guru Pendidikan Agama Katolik dalam melakukan komunikasi antarpribadi diwarnai cinta kasih, kesabaran, dan kebijaksanaan.

Komunikasi interpersonal yang dilakukan guru Pendidikan Agama Katolik apabila menggunakan pendekatan dialogis maka akan terjadi dialog antara guru dengan siswa. Rouel Howe (1962: 105-106) menjelaskan pendekatan dialogis

membuat komunikasi yang terjalin akan membawa kebenaran dan cinta kasih yang diawali dengan memberikan respon secara jujur. Bahkan Rouel menjelaskan jika komunikasi antarpribadi manusia tidak akan bisa terjadi tanpa adanya komunikasi dengan Tuhan. Jadi, untuk dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan siswanya, seorang guru Pendidikan Agama Katolik juga harus mencintai Tuhan terlebih dahulu supaya dapat benar-benar mencintai dan mengenal siswanya sehingga komunikasi interpersonal yang terjadi antara guru dengan siswa sebagai komunikasi untuk dapat semakin mengenal kasih Allah.

B. Motivasi Belajar

1. Pengertian Motivasi Belajar a. Pengertian Motivasi

Moh Uzer (1989: 24) menjelaskan motivasi sebagai daya dari dalam diri seseorang yang mendorongnya dalam melakukan perbuatan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan. Senada dengan Moh. Uzer, Muh. Ali (1987: 15) menjelaskan motivasi sebagai “dorongan dari dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu.” Rooijakkers (1980: 16) melengkapi pengertian motivasi sebagai keinginan untuk mencapai suatu hal tertentu.

Motivasi adalah keinginan, daya, dorongan, perbuatan atau tingkah laku seseorang untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mencapai tujuan. Dengan adanya motivasi maka seseorang akan berusaha untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan motivasilah yang dapat menggerakkan seseorang untuk berusaha memenuhi kebutuhannya.

b. Pengertian Motivasi Belajar

Motivasi sangat diperlukan oleh siswa dalam menjalani proses pendidikan. Kompri (2015: 231) mengutip pandangan Hamalik yang mengungkapkan bahwa siswa tidak akan pernah belajar jika tidak termotivasi untuk belajar. Hal ini berarti setiap siswa harus memiliki keinginan untuk belajar. Siswa harus memiliki motivasi untuk melibatkan diri dalam proses belajar. Seorang siswa akan belajar apabila ia merasa jika hal yang perlu dipelajari menyentuh kebutuhannya, namun apabila tidak menyentuh kebutuhannya maka ia tidak akan tertarik untuk mempelajarinya.

Samana (1994: 70) juga menjelaskan arti motivasi belajar sebagai “alasan, pertimbangan, dan dorongan yang menjadikan seseorang berkegiatan belajar.” Jadi, motivasi belajar adalah keinginan, dorongan, pertimbangan, dan alasan yang membuat siswa tekun belajar. Hakikat motivasi belajar menurut Hamzah (2007: 23) adalah dorongan internal dan eksternal pada perilaku siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku pada umumnya dengan beberapa unsur yang mendukung proses belajarnya. Motivasi belajar memiliki peranan yang besar dalam keberhasilan seseorang dalam proses belajarnya maka guru harus mampu menumbuhkan motivasi belajar siswanya.

2. Motivasi Belajar Berdasarkan Sifatnya a. Motivasi Ekstrinsik

Kompri (2015: 232) mengungkapkan bahwa motivasi ekstrinsik yaitu dorongan untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan sesuatu yang lain.

Motivasi eksrinsik biasanya dipengaruhi oleh imbalan dan hukuman. Moh. Uzer (1989: 24) melengkapi, motivasi ekstrinsik ada karena adanya ajakan maupun suruhan. Heinz Kock (1979: 70) menjelaskan bahwa siswa belajar supaya mendapatkan imbalan nilai yang baik, menghindari hukuman,dan siswa juga belajar untuk menyenangkan orang tua, guru, ataupun temannya.

Heinz Kock (1979: 71) mengungkapkan bahwa motivasi ekstrinsik itu penting karena setiap orang memerlukan dorongan dari luar untuk mencapai tujuan apapun. Lebih lanjut ia mengatakan, jika orang dewasa masih memerlukan motivasi ekstrinsik, maka siswa sebagai pribadi yang sedang berkembang juga sangat membutuhkannya. Menurut Kock, motivasi intrinsik lebih berharga dibanding motivasi eksrinsik karena dengan motivasi intrinsik berarti keinginan belajar berasal dari dalam diri sendiri.

Kenyataannya, dalam proses pembelajaran tidak semua siswa memiliki motivasi intrinsik untuk mempelajari suatu hal sehingga peran guru sangat perlu untuk mengajak siswa bersemangat dalam belajar. Maka, seorang guru akan mengajak siswanya bersemangat untuk belajar dengan memotivasi siswa secara ekstrinsik.

b. Motivasi Intrinsik

Moh. Uzer (1989: 24) menjelaskan bahwa motivasi instrinsik muncul dari dalam diri sendiri tanpa paksaan dan dorongan dari orang lain. Heinz Kock (1979: 70) menjelaskan motivasi intrinsik sebagai “dorongan untuk mencapai tujuan- tujuan yang terletak di dalam perbuatan belajar.” Lebih lanjut, Kompri (2015:

232) mengungkapkan bahwa motivasi instrinsik yaitu motivasi dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu hal demi mencapai tujuan yang diharapkan. Menurut Kompri terdapat dua jenis motivasi intrinsik, yaitu:

1) Seorang siswa dalam melakukan sesuatu berdasarkan kemauannya sendiri

bukan karena imbalan. Siswa akan menjadi lebih termotivasi untuk belajar karena siswa memiliki peluang dan pilihan untuk mengambil tanggung jawab personal atas pembelajaran mereka.

2) Pengalaman optimal kebanyakan terjadi ketika orang merasa mampu untuk

berkonsentrasi penuh pada saat melakukan aktivitas memecahkan masalah dengan tingkat kesulitan menengah atau masalah yang tidak terlalu sulit dan tidak juga terlalu mudah untuk dipecahkan.

Kock (1979: 71) menjelaskan peran guru dalam memotivasi siswa secara intrinsik dengan cara menciptakan suasana belajar di dalam kelas yang membuat semua siswa sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk belajar didasari rasa ingin tahu. Keinginan belajar siswa yang muncul dari dalam dirinya sendiri bertujuan untuk mengetahui, menambah wawasan, dan meningkatkan kemampuannya. Maka, sangat penting bagi guru untuk berusaha menumbuhkan motivasi belajar siswa secara intrinsik supaya siswa menjadi senang belajar.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, sangat penting bagi guru untuk dapat membangun motivasi belajar intrinsik bagi setiap siswanya karena motivasi intrinsik lebih berharga dibanding motivasi ekstrinsik sehingga keinginan untuk belajar muncul dari dalam diri siswa sendiri bukan karena paksaan. Konsekuensi bagi guru untuk dapat membangun motivasi belajar siswa secara intrinsik adalah

guru harus mampu membangun keteladanan, kompeten, cakap, bersemangat, dan mencintai profesinya.

3. Fungsi Motivasi Belajar dalam Proses Belajar Mengajar Hamzah (2006: 27-29) menyebutkan tiga fungsi motivasi belajar:

a. Fungsi Motivasi dalam Belajar dan Pembelajaran

Motivasi belajar berfungsi dalam penguatan belajar. Bila seorang siswa yang sedang belajar dihadapkan pada suatu permasalahan yang memerlukan pemecahan, maka siswa akan menemukan pemecahan masalah melalui hal-hal yang pernah dialaminya. Maka, seorang guru perlu memahami situasi siswa agar guru dapat membantu siswa dalam belajar. Guru tidak cukup hanya memberitahukan sumber-sumber yang harus dipelajari, melainkan lebih penting bagi guru untuk mengaitkan isi pelajaran dengan pengalaman hidup siswa.

b. Fungsi Motivasi dalam Memperjelas Tujuan Belajar

Fungsi motivasi belajar dalam memperjelas tujuan belajar erat kaitannya dengan pemaknaan belajar bagi siswa. Seorang siswa akan tertarik untuk belajar apabila hal yang dipelajarinya dapat dirasakan manfaatnya bagi siswa sendiri. Dari manfaat yang pernah dialami siswa maka semakin hari siswa akan semakin termotivasi untuk belajar.

c. Motivasi Menentukan Ketekunan Belajar

Seorang siswa yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu akan berusaha untuk mempelajarinya dengan baik dan tekun dengan harapan akan memperoleh hasil yang baik. Siswa yang tidak memiliki motivasi untuk belajar tidak akan

tahan lama belajar dan lebih memilih untuk melalukan hal lain yang bukan belajar. Jadi, motivasi sangat berpengaruh pada ketekunan belajar siswa.

Kompri (2015: 236-237) juga mengungkapkan bahwa motivasi belajar akan membuat siswa melakukan kegiatan belajar dengan niat yang benar, dilaksanakan dengan baik, dan untuk mencapai hasil atau prestasi yang gemilang. Kompri juga mengutip pandangan Mardianto (2015: 236) menjelaskan bahwa belajar dengan niat yang baik adalah belajar yang dilakukan dengan sepenuh hati, bukan karena diperintah maupun dihukum. Mardianto juga menjelaskan bahwa belajar yang baik ditandai dengan siswa belajar dengan usaha-usaha yang benar, tidak berbuat curang dan hasil belajar yang baik akan diperoleh dari kegiatan belajar siswa bukan karena hal yang lain.

Kompri (2015: 239) juga mengutip pandangan Winasih yang mengungkapkan bahwa hasil belajar akan optimal apabila ada motivasi. Maka, motivasi sangatlah penting fungsinya dalam proses belajar siswa karena motivasi sangat berpengaruh pada kesuksesan pencapaian tujuan belajar siswa.

4. Pentingnya Motivasi Belajar dalam Mempelajari Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik

Motivasi dalam mempelajari Pendidikan Agama Katolik berbeda dengan mempelajari mata pelajaran lainnya karena tujuan mempelajari Pendidikan Agama Katolik adalah untuk mencapai keutuhan pribadi dalam iman akan Yesus Kristus dan bukan semata-mata untuk mencari nilai yang terbaik. Motivasi yang dimiliki siswa untuk mempelajari Pendidikan Agama Katolik hendaknya tumbuh dari dalam diri siswa sendiri. Motivasi mempelajari Pendidikan Agama Katolik

bagi siswa akan membantu siswa untuk semakin mengenal imannya dan mampu memaknai hidupnya sebagai karya penyelenggaraan Allah.

Siswa memerlukan motivasi belajar dalam mempelajari mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik supaya semakin beriman kepada Yesus Kristus sehingga tumbuh menjadi orang beriman Kristiani sejati. Orang beriman Kristiani ditandai oleh hidup dan tindakannya yang diwarnai dan dimotivasi oleh iman Kristianinya sehingga orang selalu menyandarkan hidupnya pada Kristus dan menyadari bahwa seluruh peristiwa hidupnya sebagai karya Kristus yang menyelamatkan.

Siswa supaya dapat menjadi orang yang sungguh beriman Kristiani sejati memerlukan adanya motivasi belajar yang dapat menggerakkan dan menimbulkan keinginan untuk belajar Pendidikan Agama Katolik secara lebih rajin dan mendalam demi tercapainya tujuan pelajaran Pendidikan Agama Katolik itu sendiri yaitu perkembangan siswa sebagai pribadi secara utuh.

Motivasi belajar siswa diperlukan dalam mempelajari Pendidikan Agama Katolik, hendaknya didasari dengan niat yang benar sehingga siswa belajar dengan sepenuh hati. Para siswa dalam mempelajari Pendidikan Agama Katolik hendaknya dilakukan dengan jujur dan bersungguh-sungguh sehingga hasilnya dapat dirasakan siswa supaya dapat ia semakin beriman kepada Yesus Kristus.

Hasil dari mempelajari Pendidikan Agama Katolik menurut James Alberione (1967: 143) adalah siswa menjadi orang Kristiani yang benar. Siswa hendaknya mampu menampakkan wajah Kritus yang lain di dalam dirinya. Untuk mencapai hasil ini maka siswa haruslah memiliki semangat untuk dapat semakin

beriman di dalam Kristus. Melalui Pendidikan Agama Katolik, siswa akan dapat memaknai kehadiran Kristus dalam seluruh kehidupannya baik itu: fisik dan spiritual, intelektual dan moral, pribadi, dan sosial.

Pendidikan Agama Katolik diharapkan mampu untuk meningkatkan, mengatur, dan menyempurnakan pribadi setiap siswa supaya semakin sesuai dengan wajah Kristus. Siswa yang mempelajari Pendidikan Agama Katolik dengan bersungguh-sungguh, imannya akan semakin berkembang di dalam Kristus berkat kekuatan dari Allah yang menyelamatkan setiap orang yang setia beriman kepadaNya. Jika siswa termotivasi untuk belajar maka ia mengetahui tujuan belajarnya. Price (1968: 35-50) mengungkapkan tujuan siswa mempelajari Pendidikan Agama Katolik adalah untuk memperkuat iman, memperluas pengetahuan iman supaya semakin mengenal Yesus Kristus, dapat menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan hidup, membantu siswa dalam mengubah sikapnya supaya semakin sesuai dengan Yesus Kristus, membuat siswa semakin terlibat aktif dalam kegiatan menggereja, dan membuat siswa dapat memaknai pengalaman hidupnya sebagai karya Allah.

C. Komunikasi Interpersonal Guru Pendidikan Agama Katolik dan Pengaruhnya bagi Motivasi Belajar Pendidikan Agama Katolik Siswa

Pada bagian terakhir ini, penulis akan menjelaskan mengenai komunikasi interpersonal Guru Pendidikan Agama Katolik dan pengaruhnya bagi motivasi belajar Pendidikan Agama Katolik siswa. Guru yang mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan siswanya, tentu dapat menumbuhkan motivasi belajar bagi siswanya baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.

Mintara (2009: xix-xxi) menjelaskan guru Kristiani memiliki tugas mencerdaskan siswa secara jiwa dan raga, membimbing siswa dalam meneladan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Guru Sejati. Maka penulis memahami guru Pendidikan Agama Katolik sebagai orang yang beriman Kristiani yang mengkomunikasikan pengetahuan iman, hidupnya sendiri, kebaikan, kebenaran, dan kerohanian yang diteladani berlandaskan pada Yesus Kristus sebagai Tuhan kepada siswanya, supaya siswa dapat mengenal dan semakin beriman pada Yesus Kristus.

Guru Pendidikan Agama Katolik dalam mengemban tugasnya mewartakan Yesus Kristus bagi siswanya haruslah memiliki kecakapan yang memadai dalam menyampaikan pewartaannya. Samana (1994: 31) mengungkapkan dasar seluruh kecakapan keguruan adalah kecakapan untuk melakukan komunikasi secara pribadi antara pribadi guru dengan pribadi siswa. Inilah yang disebut sebagai komunikasi interpersonal antara guru dengan siswa, karena komunikasi interpersonal menurut Suranto (2011: 3-4) diartikan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan secara tatap muka mengungkapkan pesan secara verbal (menggunakan kata-kata) ataupun non verbal (gesture, seperti: melambaikan tangan, tersenyum, dan lain sebagainya) dilakukan dua arah. Maka, kemampuan komunikasi interpersonal seorang guru Pendidikan Agama Katolik juga sangat berpengaruh pada pewartaan yang ia sampaikan dan berdampak pada motivasi belajar siswa.

Guru Pendidikan Agama Katolik pada kenyataannya sering mengalami banyak tantangan untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan siswa

sehingga pelajaran agama sering kali jatuh pada suasana yang diam bahkan terkesan membosakan. Hal ini sebagai salah satu contoh tantangan dalam berkomunikasi yang sering kali dialami seorang guru berdasarkan pengalaman Parker J. Palmer (2009: 14) dalam mengajar adalah:

Siswa-siswa di kelas jam pertama saya begitu diam bagaikan biksu. Meski melalui bujukan yang memalukan, saya tidak berhasil mendapatkan respon mereka. Sehingga saya begitu cepat tenggelam dalam salah satu fobia saya: Saya pasti begitu membosankan, sampai-sampai membius mereka dengan begitu cepat, melumpuhkan anak-anak muda yang beberapa saat sebelumnya begitu hidup bercakap-cakap di sepanjang lorong ruangan.

Tidak jarang dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik juga menemui tantangan seperti yang dialami oleh Parker J. Palmer yang menunjukkan bahwa siswa tidak termotivasi untuk belajar.

Palmer (2009: 16) lebih lanjut menjelaskan bahwa hubungan yang dibuat oleh guru dengan siswanya bukanlah terletak pada metode melainkan terletak di dalam hati nurani mereka. Hati nurani dipandang sebagai tempat di mana intelektual, emosi, spirit, dan kesediaan terkumpul dalam diri manusia. Untuk mampu menyentuh hati nurani siswa, maka guru haruslah mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan siswanya. Melalui komunikasi interpersonal, guru Pendidikan Agama Katolik akan dapat memahami keinginan dan kebutuhan siswanya karena ia mengenal siswanya secara mendalam.

Komunikasi interpersonal sangat berpengaruh karena bersifat dua arah berarti bahwa dalam menjalin komunikasi antara guru Pendidikan Agama Katolik dengan siswa. Siswa dipandang sebagai subjek sehingga tercipta rasa saling diterima, suasana saling terbuka, saling menghargai, dan saling mendengarkan. Jika siswa diterima sebagai subjek maka akan tercipta pembelajaran Pendidikan

Agama Katolik yang aktif dengan dialog dan sharing akan membuat siswa termotivasi untuk mengungkapkan berbagai pengalaman maupun gagasannya dalam terang iman. Melalui komunikasi interpersonal pendekatan persuasif guru Pendidikan Agama Katolik akan memotivasi siswa yang belum bersemangat dalam belajar melalui bujukan dan dorongan supaya siswa bersemangat dalam belajar. Suranto (2011: 82-84) mengungkapkan pandangan Devito yang menyebutkan dan menjelaskan mengenai lima sikap yang mendukung kesuksesan komunikasi interpersonal yaitu: sikap keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, dan kesetaraan.

Guru Pendidikan Agama Katolik dalam memotivasi siswanya hendaknya mampu: Pertama-tama, bersikap terbuka untuk mendengarkan setiap pengalaman hidup, maupun suka duka, ataupun berbagai harapan yang diungkapkan oleh siswanya. Kedua, guru menunjukkan sikap empati yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh siswanya dengan memahami perasaan siswanya dengan mendengarkannya. Ketiga, sikap yang menunjukkan dukungan sebagai tindakan yang tidak mengevaluasi siswa sehingga siswa dapat bebas dan tidak merasa malu dalam mengungkapkan perasaannya. Guru Pendidikan Agama Katolik hendaknya mampu berkomunikasi spontan artinya menjadi guru yang komunikatif dan mampu menerima pandangan dari siswanya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Guru Pendidikan Agama Katolik mampu menunjukkan sikap keempat yaitu sikap positif yang diwujudkan dengan cara menerima siswa sebagai anugerah Tuhan sehingga harus dihargai, mampu untuk memberikan pujian dan

penghargaan kepada siswanya, serta menunjukkan sikap berkomitmen dalam menjalin kerja sama dengan siswanya. Kelima, guru Pendidikan Agama Katolik menunjukkan kesetaraan dalam berkomunikasi dengan siswanya yang diwujudkan dengan menganggap siswa sebagai subjek sehingga komunikasi yang terjadi adalah komunikasi antarpribadi yang bersifat dua arah dengan menunjukkan kerendahan hati dan akan tercipta komunikasi yang dekat, nyaman, dan mendalam.

Guru Pendidikan Agama Katolik akan dapat memotivasi siswa maupun meningkatkan motivasi siswa dalam belajar apabila ia mampu menjalin komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang dekat dan mendalam dengan siswanya. Dalam mempelajari Pendidikan Agama Katolik perlu adanya motivasi belajar. Motivasi dalam memperlajari Pendidikan Agama Katolik hendaknya membuat siswa bersemangat untuk terus memperkembangkan imannya. Apabila guru Pendidikan Agama Katolik mampu untuk melakukan komunikasi interpersonal dengan seluruh siswanya maka motivasi belajar akan tumbuh dari dalam diri siswa sendiri melalui keteladanan yang diberikan oleh guru. Siswa akan belajar Pendidikan Agama Katolik dengan sepenuh hati bukan karena takut dihukum. Namun, apabila siswa belum termotivasi untuk belajar, guru Pendidikan Agama Katolik dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan pendekatan persuasif.

Kesuksesan yang akan dirasakan siswa apabila ia termotivasi untuk mempelajari Pendidikan Agama Katolik adalah ia akan menjadi pribadi utuh yang sungguh beriman Kristiani. Maka, diharapkan apabila guru Pendidikan Agama

Katolik dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan siswanya sehingga dapat memotivasi siswanya untuk belajar Pendidikan Agama Katolik. Siswa yang termotivasi belajar akan mengetahui tujuan ia belajar. Price (1968: 35-50) mengungkapkan tujuan siswa mempelajari Pendidikan Agama Katolik adalah untuk memperkuat iman, memperluas pengetahuan iman supaya semakin mengenal Yesus Kristus, dapat menjadikan Yesus Kristus sebagai teladan hidup, membantu siswa dalam mengubah sikapnya supaya semakin sesuai dengan Yesus Kristus, siswa juga dapat semakin mengasihi sesama, membuat siswa semakin terlibat aktif dalam kegiatan menggereja, dan membuat siswa dapat memaknai pengalam hidupnya sebagai karya Allah.

Dokumen terkait