• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Interpersonal Dalam Proses Mediasi Perceraian di Pengadilan Agama Palangkaraya

Junaidi, Tanti Dwi Anita Putri

Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Email : junaidikapos@gmail.com

Pendahuluan

Keluarga terbentuk dari sebuah ikatan perkawinan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan atas berbagai alasan salah satunya cinta. Perkawianan bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama-lamanya sampai pada maut yang memisahkan sepasang suami istri tersebut. Namun disisi lain, kenyataan yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, banyak masalah yang dapat mempengaruhi ikatan perkawinan. Hal tersebut dapat diketahui dari adanya ketidakharmonisan dalam keluarga yang ditandai dengan adanya pertengkaran secara terus menerus. Bahkan tidak sedikit pasangan suami istri yang berujung pada suatu perceraian.

Keadaan masyarakat lambat laun akan mengalami perubahan. Hal ini juga terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Masalah yang kini dihadapi dalam sebuah keluarga adalah adanya ketidakharmonisan antara suami-istri. Ketidakharmonisan ini disebabkan oleh perbagai hal antara lain ekonomi, perselingkuhan, kekerasaan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Suami-istri yang sudah tidak harmonis lagi biasanya memilih jalan perceraian. Oleh karena itu saat ini isu perceraian dianggap menjadi masalah yang cukup serius.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir angka perceraian yang terjadi di Kota Palangka Raya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data dari Pengadilan Agama Palangka Raya pada tahun 2016 menunjukan angka perceraian sebanyak 436 kasus, dan pada tahun 2018 ialah sebanyak 572 kasus. Artinya, selama tiga tahun terakhir terdapat peningkatan jumlah perceraian sebanyak 109 kasus. Angka tersebut menunjukan bahwa perceraian yang terjadi di Kota Palangka Raya merupakan masalah cukup serius. Alasan utama perceraian yang kerap terjadi di kota Palangka Raya sendiri yaitu karena adanya pertengkaran

secara terus menerus.

Tingginya angka perceraian sangat berbanding terbalik terhadap angka keberhasilan mediasi. Dengan angka perceraian yang tinggi juga menandakan bahwa keberhasilan mediasi yang terjadi di Pengadilan Agama Palangka Raya sangatlah rendah. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2016 hingga tahun 2018, Pengadilan Agama Palangka Raya hanya mencatat 13 perkara yang berhasil dimediasi dan sisanya ada yang gagal, tidak berhasil, atau tidak dapat dimediasi karena salah satu pasang suami istri tidak hadir selama proses perceraian. Dengan sedikitnya angka keberhasilan dalam mediasi, membuat angka perceraian pun juga akan meningkat.

Angka keberhasilan dalam mediasi yang sangat rendah juga menjadi tanda bahwa selama ini komunikasi interpersonal yang berjalan dalam proses mediasi tidaklah berjalan secara efektif. Tujuankomunikasi yang dilakukan oleh mediator dengan pasangan suami-istri yang hendak bercerai tidakakan tercapai,jika komunikasi tidak berjalan efektif. Komunikasi interpersonal yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, memperngaruhi sikap meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan. Hal inilah yang dapat mendorong tumbuhnya sikap saling terbuka, empati, sikap positif, saling mendukung, dan adanya kesetaraan antara komunikator dan komunikan.

Pembahasan

Proses mediasi perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya melibatkan tiga orang diantaranya adalah mediator, penggugat dan juga tergugat. Selama proses mediasi, mediator, penggugat dan juga tergugat melakukan proses komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2009: 81).

Untuk itulah komunikasi pada proses mediasi perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya memerlukan adanya pelaksanaan dari indikator komunikasi interpersonal yang efektif seperti yang dikemukakan oleh Nugraha (2015: 166) diantaranya adalah openess (keterbukaan), emphaty (empati), supportivennes (sikap mendukung),

positiveness (sikap positif), dan equality (kesetaraan). Kelima indikator

ini bertujuan agar komunikasi yang dilakukan oleh mediator dan juga pasangan yang dimediasi dapat menghasilkan tujuan dan manfaat dari adanya mediasi yaitu sebuah perdamaian.

1. Openess (keterbukaan)

Keterbukaan adalah sikap menerima masukan dari orang lain serta bekenan jujur menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Mediator di Pengadilan Agama Palangka Raya jelas memiliki sikap keterbukaan, mereka selalu siap menerima segala masukan dan pendapat dari pihak yang dimediasi, bahkan mereka juga jujur menyampaikan pendapatnya kepada pihak yang dimediasi. Sedangkan keterbukaan yang dimiliki oleh pihak yang dimediasi ini masih kurang efektif. Hal ini tampak dari bagaimana mereka kurang dapat menyetujui pendapat dari lawan bicara saat dimediasi. Tetapi ketika dimintai pendapat mereka jujur dan bersedia terbuka untuk menyampaikan pendapat dan permasalahannya selama berumah tangga. Sehingga dapat diambil kesimpulan dari keterbukaan dalam berkomunikasi antara mediator dan juga pasangan suami-istri yang dimediasi masih kurang efektif.

2. Emphaty (empati)

Menurut DeVito (1997: 258) empati adalah kemampuan seseorang untuk “mengetahui” apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang atau “kacamata” orang lain tersebut. Seorang mediator dituntut untuk cerdas dalam memahami perasaan pihak yang sedang dimediasi. Hal ini dibuktikan oleh mediator di Pengadilan Agama Palangka Raya, mereka selalu mampu memahami perasaan dan melihat permasalah dari kacamata orang lain dengan mendengarkan seluruh permasalah dari pihak yang dimediasi.

Tetapi empati yang ditunjukan orang lain terkadang tidak dirasakan oleh lawan bicaranya, beberapa orang yang dimediasi menganggap bahwa meditor tidak berempati terhadap permasalah mereka. Selain itu, tidak hanya mediator yang dianggap kurang berempati, bahkan sebagian pihak yang dimediasi pun menganggap dirinya juga tidak dapat berempati terhadap orang lain karena ada faktor lain yang menghambatnya untuk berempati.

3. Supportiveness (sikap mendukung)

Ada dua kondisi dukungan yang menjadikan komunikasi interpersonal berlangsung secara efektif. Kondisi yang pertama adalah situasi yang lebih deskriptif dan tidak mengevaluasi. Kondisi yang kedua adalah berpikiran terbuka (open- minded) yang diartikan sebagai kesediaan untuk menerima pendapat orang lain yang berbeda sudut pandangnya serta bersedia merubah pandangan apabila diperlukan. (DeVito, 1997: 259).

Dukungan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya seperti yang dilakukan oleh mediator di Pengadilan Agama Palangka Raya yaitu dengan memberikan motivasi-motivasi yang membangun seperti menjelaskan manfaat mediasi, kerugian ketika memilih bercerai, dan hal-hal yang dianggap mampu mengubah pola pikir atau bahkan tindakan dari pihak penggugat dan tergugat agar memilih berdamai.

Dukungan dengan cara lain yang ditunjukkan oleh pihak yang dimediasi yaitu dengan hadir dalam proses mediasi. Mereka menganggap bahwa kehadiran mereka pun sudah mengkomunikasikan dukungan dalam proses mediasi. Selain itu mereka melakukan dukungan dengan berupaya mendengarkan pendapat orang lain, dan tidak egois dalam berkomunikasi.

4. Positiveness (Sikap positif)

Sikap positif dapat ditunjukkan dalam bentuk sikap yaitu harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi interpersonal dalam proses mediasi perceraian di Pengadilan Palangka Raya menunjukkan bahwa mediator berusaha untuk membangun sikap positif ketika berkomunikasi dengan pihak yang dimediasi. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengenal terlebih dahulu pihak yang dimediasi. Namun, hal berbeda ditunjukan oleh pihak yang dimediasi. Terdapat beberapa faktor yang mampu mempengaruhi sikap positif dari pihak yang dimediasi salah satunya bagaimana seseorang menyikapi suatu permasalahan yang sedang dihadapinya. Beberapa dari mereka ada yang memiliki sikap tenang dan santai sehingga tetap bersikap positif ketika dimediasi. Tetapi beberapa diantaranya tidak dapat membangun sikap positif tersebut hal ini karena faktor emosi.

5. Equality (kesetaraan)

Kesetaraan adalah pengakuan bahwa kedua belah pihak dalam komunikasi interpersonal memiliki kepentingan yang sama-sama bernilai dan berharga, serta saling memerlukan satu sama lain. Berdasarkan hasil penelitian, semua yang terlibat dalam proses mediasi perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya mengakui bahwa baik mediator ataupun pihak yang dimediasi memiliki posisi yang setara dan sama pentingnya. Mereka melakukan komunikasi interpersonal karena memiliki kepentingan yang sama yaitu untuk menemukan solusi permasalahan rumah tangga dari pihak yang dimediasi.

Penutup

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti di Pengadilan Agama Palangka Raya, peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi interpersonal yang terjadi pada proses mediasi perceraian di Pengadilan Agama Palangka Raya dianggap belum cukup efektif karena tidak semua pihak yang terlibat dalam komunikasi dapat menerapkan lima indikator yang mendukung komunikasi interpersonal agar berjalan efektif yaitu

Opennes (Keterbukaan), Emphaty (Empati), Supportivennes (Sikap

Mendukung), Positivennes (Sikap Positif) and Equality (Kesetaraan). Dari kelima indikator tersebut, terdapat beberapa indikator yang cukup lemah pada proses mediasi di Pengadilan Agama Palangka Raya antara lain yaitu keterbukaan, empati dan juga sikap positif. Sedangkan dua indikator yang dianggap berjalan secara efektif yaitu dukungan dan juga kesetaraan.

Dengan adanya komunikasi interpersonal dalam proses mediasi, tentu pihak yang dimediasi dapat dengan leluasa menyampaikan pendapatnya selama proses mediasi. Sehingga dalam proses mediasi, komunikasi akan terbentuk secara dua arah, dimana komunikan dan komunikator akan saling tanggap menanggapi dan ada timbal balik baik berupa pendapat atupun tindakan.

Saran

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran sebagai berikut:

1. Pihak Pengadilan Agama Palangka Raya diharapkan mengadakan komunikasi yang lebih baik dengan para pihak yang dimediasi, apakah mereka merasa nyaman atau tidak nyaman, apabila masih terdapat yang merasa kurang nyaman, hendaknya para mediator membahas apa yang harus diubah atau ditambah dalam prosedur mediasi di pengadilan.

2. Sebaiknya antara mediator dan para pihak yang dimediasi mencoba melakukan pengenalan yang lebih mendalam agar kedua belah pihak dapat memahami lawan bicaranya masing-masing. selain itu juga agar dalam berkomunikasi pihak yang imediasi dapat terbuka dan santai dalam menyampaikan permasalah rumah tangganya. 3. Bagi para pihak yang sedang dimediasi untuk dapat menerima

segala arahan dan pendapat dari mediator jika itu memang sifatnya baik dan mendamaikan, mencoba untuk ikut bekerjasama dalam membangun situasi yang positif. Dukunglah proses mediasi dengan ikhlas agar menghasilkan keputusan yang adil sesuai dengan yang telah dikomunikasikan dalam proses mediasi.

Daftar Pustaka

Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi dalam Prespektif Hukum Syari’ah, Hukum adat dan Hukum Nasional. Jakarta. Kencana Prenada Media Group

Adi Nugroho, Susanti. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta. Telaga Ilmu Indonesia

Bahari, Adib. 2016. Tata cara gugatan cerai pembagian harta gono-gono dan hak asuh anak. Pustaka Yustisian.

Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Rajawali Pers.

DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia (Human Communication). Jakarta. Professional Books.

Hanani, Silfia. 2017. Komunikasi Antarpribadi : Teori & Praktik. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media

Kriyantono, Rachmat. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relation,Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Mahkamah Agung RI, PERMA RI No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MA RI

Moleong, M.A. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Muhammad Budyatna dan Leila Mona Ganiem. 2014. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta. KENCANA

Muhammad, Abdul Kadir. 2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung. PT Citra Aditya Bakti

Mulaya. Deddy. 2009.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Nugraha, Anggie Seftyan. 2015. Kualitas Komunikasi Interpersonal Customer Service Dalam Meningkatkan Loyalitas Nasabah Bank Mega Cabang Pembantu S.Parman Samarinda. 5 (3)

Nurudin. 2016. Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. Jakarta. Rajawali Pers. PT Raja Grafindo Persada

Rachmadi, Takdir. 2011. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.Jakarta. Rajawali Press

Rasyid, Roihan A. 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta.PT Raja Grafindo Persada

Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta. Graha Ilmu

Sugiyono, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. ALFABETA Usman, Racmadi. 2012. Mediasi di Pengadialan: Dalam Teori dan

Praktik.Jakarta. Sinar Grafika

Willis, Sofyan. 2009. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung. ALFABETA