• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur Etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

Nilai-Nilai Etika Komunikasi Islam Dalam Budaya Tutur Etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

2. Penerapan Etika Komunikasi Islam dalam Budaya Tutur Etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

Nilai-nilai komunikasi Islam pada budaya tutur etnis Gayo lebih tampak pada makna konotatifnya. Karena makna denotatifnya menunjukkan makna yang sama dengan makna di luar budaya. Sebagai contoh pada simbol verbal tutur untuk memanggil kakek atau nenek disebut dengan awan/anan pedih (oihak laki-laki) dan awan/anan ralik (pihak perempuan), maka makna konotasinya menunjukkan nasab antara penutur dengan lawan tutur. Begitu juga penggunaan tutur ama/

ine untum menyapa ayah dan ibu, makna konotatifnya menunjukkan

nilai qaulan kariman (memluiakan atau menghormati lawan tutur) sehingga tutur rendah berbicara dengan lemah lembut kepada tutur atas. Muncullah dalam budaya Gayo apa yang dinamakan becerak sergak (bicara kasar) sebagai sesuatu yang dilarang dalam adat Gayo (Wawancara dengan Aman Nuwin Masyarakat, Gayo, tgl 5 Maret 2017).

Adat Gayo menegaskan hal-hal yang harus dihindari yang disebut dengan kemali, jis, atau sumang sebagai panduan etika komunikasi. Ketentuan-ketentuan adat Gayo ini terkandung dalam nilai-nilai atau prinsip-prinsip komunikasi Islam. Sebagai contoh, perbuatan kemali dengan becerak sergak (bicara kasar) mengandung makna qaulan

layyinan (berbicara lemah lembut), qaulan kariman (aturan adat ini untuk

memuliakan lawan tutur). Nilai komunikasi Islam dalam tutur Gayo ini merupakan ekspresi nilai santun, dalam budaya Gayo adalah tindak tutur yang rendah hati dengan merealisasikan nilai budaya Gayo yaitu tertib. Nilai yang dimaksud adalah nilai untuk menopang kebersamaan antara penutur dengan lawan tutur.

Realisasi nilai budaya Gayo terkait dengan kesantunan berbahasa atau etika komunikasi Islam, terlihat ketika penutur berbicara tidak menggunakan nama lawan tutur nya tetapi menggunakan panggilan sebutan (tutur). Karena dalam budaya Gayo merupakan merupakan sesuatu yang tidak pantas atau tidak menghormati lawan tutur jika menggunakan namanya. Begitu juga, ketika mendengarkan atau menanggapi perkataan lawan tutur yang lebih tua atau lebih tinggi tutur nya, penutur menggunakan kata beta, yang dalam budaya Gayo merupakan bentuk penghormatan kepada lawan tutur. Dapat dikatakan ini juga merupakan simbol dari etika komunikasi Islam yang disebut dengan qaulan ma’rufan juga qaulan sadiidan (Wawancara dengan

Mahmud Ibrahim, Tokoh Adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, tgl 20 April 2017).

Artinya, pada hakikatnya nilai-nilai komunikasi Islam secara verbal

penulis temukan pada tutur Gayo tersebut dengan memahami maknanya

(konotatif) yang memunculkan mitos perbuatan kemali, jis, dan

sumang tadi. Sedangkan, secara nonverbal nilai-nilai komunikasi Islam

ditemukan pada pesan-pesan haptik dalam bentuk gerakan anggota tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, dan parabahasa. Sebagai contoh: cara duduk terhormat laki-laki adalah besile/semile (bersila) bukan dengan cara duduk cengkung, sedangkan cara duduk terhormat

perempuan adalah timpuh (seperti duduk tahayyat pada shalat) bukan dengan cara duduk tengkang (mengangkat sebelah lututnya).

Pemakaian tutur Gayo saat ini sudah berkurang karena kurangnya pentransferan pengetahuan tentang tutur dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda. Disamping itu juga karena pengaruh media massa, akibat dari perkembangan teknologi. Bahkan pada sebagaian generasi muda, meskipun tutur masih dipakai, akan tetapi akan hakikat dari tutur itu sendiri juga masih minim. Karena, meskipun seseorang menggunakan tutur dengan tepat, tetapi jika tidak paham akan makna tutur tersebut juga tidak akan mendapatkan ruh nya nilai komunikasi. Sehingga sering terjadi sikap-sikap yang dalam pandangan budaya tidak beretika atau kurang menghormati orang lain yang disebut dengan kemali, jis, dan sumang. Hal ini lah yang harus kembali dilestarikan salah satunya melalui kajian ilmiah.

Peneliti menemukan bahwa etnis Gayo masih memegang prisip-prinsip budaya yang terkandung dalam nilai-nilai budaya Gayo. Nilai budaya Gayo itu sendiri sudah mencerminkan konsep ideal mengenai karakter yang diharapkan terbentuk dan mewarnai pola tindakan etnis Gayo. Atau dapat dikatakan nilai budaya Gayo adalah aktualisasi akhlak terpuji (akhlak al-karimah) yang pengejawantahannya menjadi bagian penting dalam menjaga kehormatan diri. Nilai utama budaya Gayo adalah mukemel (harga diri). Konsep ini merujuk pada kemampuan menjaga diri agar tidak terjerumus pada pikiran dan tindakan yang dapat menyebabkan hilangnya harga diri, yaitu perbuatan-perbuatan tercela atau yang bertentangan dengan agama dan adat, yaitu kemali, jis, dan

sumang tadi.

Begitu kuatnya memegang nilai utama budaya Gayo ini, maka dalam istilah peri mestike (ungkapan adat) disebutkan ike kemel mate, yang artinya apabila seseorang merasa harga dirinya telah tercemar maka mati-pun dihadapi. Karena etnis Gayo menganggap malu itu adalah baik, karena orang yang tidak memiliki malu berarti tidak punya harga diri. Etnis Gayo juga memahami prinsip bahwa adat berpedoman pada syari’at Islam. Jadi, meskipun ada beberapa tutur yang tidak terpakai lagi, tapi prinsipnya tidak mengurang rasa hormat seseorang kepada lawan tuturnya.

Penutup

Nilai-nilai komunikasi Islam yang meliputi qaulan sadiidan

(perkataan yang benar), qaulan balighan (komunikasi yang efektif),

qaulan ma’rufan (perkataan yang menyenangkan, qaulan kariman

(perkataan yang memuliakan), qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut) dan qaulan maysuran (perkataan yang baik) secara verbal dan nonverbal terimplementasi dalam budaya tutur etnis Gayo di kabupaten

Aceh Tengah. Secara verbal, tutur yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari didasarkan pada sistem kekerabatan atau kekeluargaan dan jabatan atau fungsi (tutur gelar) sperti berbicara lemah lembut. Secara nonverbal terlihat pada pesan kinesik atau gerakan tubuh seperti menundukkan kepala ketika berbicara tutur bawah dengan tutur atas. Juga pesan haptik yaitu sentuhan kepala untuk menunjukkan kasih sayang tutur atas kepada tutur bawah, biasanya dilakukan ketika anak hendak merantau atau menikah.

Penerapan nilai-nilai komunikasi Islam dalam budaya tutur etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah didasarkan pada nilai-nilai budaya Gayo, yaitu mukemel (malu) sebagai nilai utama. Nilai-nilai budaya ini

yang memotivasi etnis Gayo untuk untuk melakukan hal-hal yang terpuji

(akhlak yang mulia). Nilai-nilai budaya Gayo ini bertujuan untuk menjaga

harga diri dari peserta komunikasi (penutur dengan lawan tutur). Adat Gayo identik dengan syariat Islam, artinya adat Gayo didasarkan pada syariat Islam.

Daftar Pustaka

Ahmad, Haidlor Ali “Revitalisasi Kearifan Lokal: Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima Provinsi NTB”, Harmoni, Vol. 12, No.3 (September-Desember, 2013), 112.

al-Gayoni, Yusradi Usman Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo:

Pendekatan Ekolungistik, Tesis. Medan: Program Pascasarjana

USU, 2010.

Domenyk Eades, A Grammar of Gayo: A Language of Aceh, Sumatra, Australia: Pacific Linguistic Research School of Pacific and Asian Studies, 2005.

Gani, Zulkiple Abd. Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd, 2001.

Ibrahim, Mahmud. Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqamammahmuda, 2007.

Ibrahim, Mahmud dan Aman Pinan, AR. Hakim Syariat dan Adat Gayo, Jilid 2. Takengon: Yayasan Maqamammahmudah, Cetakan Keempat, 2010.

Ilhami, Hamidi. Dinamika Islam Tradisional: Potret Praktik Keagamaan Umat Islam Banjarmasin pada Bulan Ramadhan 1431 H.

Darussalam, Vol. 11, No. 2 (Juli-Desember, 2010). 69.

Joni, Wise Speech “Peri Mestike” in Gayo Cultural, International Journal of Linguistics, Vol.7, No.3 tahun 2015.

Melalatoa, M.J. Kamus Bahasa Gayo – Indonesia. Jakarta: Balai Bahasa, 1985.

Mufid, Muhammad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Muis, A. Komunikasi Islam. Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2001. Saleh, M. Jusin.Gayo Bertutur, Makalah Workshop. Aceh Tengah, 2009. Taufik, M. Tata Etika Komunikasi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2012. Wekke, Ismail Suardi. “Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya dan

Agama Dalam Masyarakat Bugis”, Analisis, Vol. XIII, No. 1 (Juni, 2013), 30.