• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Ekonomi Masyarakat

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 71-82)

PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG EKONOMI

5.1. Kondisi Ekonomi Masyarakat

Pembangunan Manusia yang ditinjau dari sisi ekonomi dimaknai dengan meningkatnya taraf hidup manusia yang menempatkan kapasitas ekonomi sebagai prasyarat utamanya. Kapasitas ekonomi masyarakat tercermin dari partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi yang produktif. Berjalannya kegiatan ekonomi yang produktif menjadi media bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh akan digunakan untuk membiayai kehidupannya. Dengan terpenuhinya segala kebutuhan baik primer, sekunder maupun tersier diharapkan taraf hidup akan meningkat dan kesejahteraaan akan tercapai.

Setiap individu memiliki naluri untuk mempertahankan hidupnya. Namun, tidak semua usia mampu untuk melakukan aktivitas ekonomi sebagai jembatan guna memperoleh pendapatan dalam rangka mempertahankan hidupnya. Pada umumnya kegiatan ekonomi dapat dijalankan secara produktif oleh penduduk dalam rentang usia 15-64 tahun. Penduduk yang berusia 15 tahun ke bawah belum produktif untuk bekerja sementara penduduk yang sudah tua (65 tahun ke atas) biasanya sudah tidak produktif lagi. Pada umumnya penduduk dalam rentang usia 15-64 tahun dapat berperan secara maksimal dalam menyerap lapangan pekerjaan untuk menciptakan pendapatan. Struktur penduduk Kabupaten

Bandung menurut umur dan jenis kelamin dapat digambarkan oleh piramida penduduk berikut ini:

Grafik 5.1.

Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

Bila mencermati perbandingan panjang batang piramida pada kelompok umur 0-4 tahun yang lebih pendek dibandingkan kelompok umur 5-9 tahun, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi penurunan tingkat fertilitas selama kurun waktu lima tahun terakhir. Namun perlu

00 - 04 05 - 09 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65+ L P 0 200.000 150.000 100.000 50.000 50.000 100.000 150.000 200.000

dicermati, bahwa selisih jumlah penduduk 0-4 tahun dengan usia 5-9 tahun relatif sedikit. Hal ini berarti bahwa upaya pengendalian penduduk di Kabupaten Bandung perlu lebih ditingkatkan.

Informasi penting lainnya yang dapat diperoleh dari piramida penduduk adalah angka beban ketergantungan (Dependency Ratio). Angka beban ketergantungan menunjukkan seberapa jauh penduduk yang berusia produktif/aktif secara ekonomi harus menanggung penduduk yang belum produktif dan pasca produktif. Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (usia 0 – 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia 15 – 64 tahun).

Grafik 5.2.

Angka Beban Ketergantungan Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung. Survei Khusus IPM 2009-2013

049 054 053 052 051 2009 2010 2011 2012 2013

Berdasarkan grafik 5.2 dapat dilihat bahwa angka beban ketergantungan penduduk dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun. Angka beban ketergantungan penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2009 tercatat sebesar 48,95. Kemudian pada tahun 2010 terjadi peningkatan yang cukup signifikan hinggan mencapai 54,10. Namun pada tahun 2011, angka beban ketergantungan penduduk dapat diturunkan hingga mencapai 53,17. Demikian pula dalam dua tahun terakhir ini, angka beban ketergantungan penduduk menurun kembali masing-masing menjadi sebesar 52,13 dan 51, 47 yang artinya adalah pada setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 52 penduduk yang tidak produktif. Dengan semakin menurunnya angka beban ketergantungan penduduk menunjukkan semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai hidup penduduk yang tidak produktif. Beban ekonomi yang semakin ringan ini akan semakin mempermudah langkah-langkah menuju tercapainya kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Capaian kesejahteran masyarakat di suatu wilayah sangat tergantung kepada potensi sumber daya yang dimiliki dan bagaimana potensi yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan sangat berperan untuk menciptakan dan menggerakkan aktivitas perekonomiannya. Peranan sumber daya manusia dalam mengelola perekonomian suatu wilayah dapat ditunjukkan oleh indikator ketenagakerjaan. Salah satu indikator yang biasa dipakai dalam melihat atau menggambarkan tingkat perekonomian masyarakat adalah laju pertumbuhan angkatan kerja yang terserap di lapangan

pekerjaan. Tingginya angkatan kerja di suatu daerah akan menggerakan perekonomian daerah tersebut. Gambaran kondisi ketenagakerjaan seperti persentase angkatan kerja yang bekerja, dan distribusi lapangan pekerjaan sangat berguna untuk melihat prospek ekonomi Kabupaten Bandung. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat apakah benar-benar digerakan oleh produksi yang melibatkan tenaga kerja daerah atau karena pengaruh faktor lain. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan daya beli dan peningkatan pendapatan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Secara sederhana untuk melihat kualitas pembangunan manusia dapat disandarkan kepada dua pendapat Ramirez dkk (1998):

Pertama, bahwa kinerja ekonomi mempengaruhi pembanguan manusia, khususnya melalui aktivitas rumahtangga dan pemeritah, aktivitas rumahtangga yang memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia antara lain kecenderungan rumahtangga untuk membelanjakan pendapatan bersih untuk memenuhi kebutuhan (pola konsumsi), tingkat dan distribusi pendapatan antar rumahtangga, dan makin tinggi tingkat pendidikan terutama pendidikan perempuan akan semakin positif bagi pembangunan manusia berkaitan dengan andil yang tidak kecil dalam mengatur pengeluaran rumah tangga.

Kedua, pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melalui produktifitas dan kreatifitas masyarakat. Pendidikan dan kesehatan penduduk sangat menentukan kemampuan untuk mengelola dan menyerap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.

Dari kedua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa antara pembangunan manusia dan pertumbuhan ekonomi berhubungan secara simultan, dengan kata lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang disertai pemerataan distribusi pendapatan, maka tingkat daya beli, kesehatan dan pendidikan akan lebih baik. Dan pada giliranya akan memperbaiki tingkat produktifitas tenaga kerja yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Karakteristik suatu wilayah dapat pula dilihat dari aspek pendidikan, dimana tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh seorang pekerja, maka pekerja tersebut akan memiliki produktivitas yang relatif lebih baik dan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

Target pertumbuhan ekonomi sebenarnya tidak hanya untuk mencapai tinggi angka pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah pertumbuhan yang berkualitas dan digerakkan oleh

peningkatan kapasitas produksi masyarakat. Walaupun angka

pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, namun apabila kualitas capaiannya jauh lebih tinggi, maka akan mempengaruhi capaian pembangunan manusia. Pertumbuhan yang berkualitas adalah yang dapat menggerakan pendapatan perkapita, dan menyerap tenaga kerja, yang pada akhirnya dapat memperbaiki pola distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mengakibatkan banyak penduduk yang memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya untuk membiayai kebutuhan makanan, pendidikan,

kesehatan dan perumahan sehingga dapat mempercepat pembangunan manusia.

Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama (principal means)

bagi pembangunan manusia untuk dapat berlangsung secara

berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa tidak ada suatu negara pun yang dapat membangun manusia secara berkesinambungan tanpa tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi pembangunan manusia. Antara keduanya tidak ada hubungan otomatis tetapi berlangsung melalui berbagai jalur antara lain dari sisi ketenagakerjaan. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia, jika pertumbuhan itu berdampak secara positif terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Lapangan kerja yang diciptakan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumahtangga yang memungkinkannya “membiayai” peningkatan kualitas manusia anggota rumahtangganya. Kualitas manusia yang meningkat pada sisi lain akan berdampak pada peningkatan kualitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan mempengaruhi

ketenagakerjaan dari sisi permintaan (menciptakan lapangan kerja) dan sisi penawaran (meningkatkan kualitas tenaga kerja).

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Bandung pada tahun 2012 sebesar 52,13 persen, dan menurun menjadi 50,78 persen pada tahun 2013. Jika dilihat berdasarkan perspektif jender, TPAK

perempuan pada tahun 2013 di Kabupaten Bandung yang mencapai 28,71 persen relatif jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk laki-laki yang mencapai lebih dari 72,83 persen. Terdapat ketimpangan yang sangat tajam dalam pasar kerja, dimana perempuan cenderung kurang memiliki akses untuk memasuki dunia kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sebagian besar perempuan usia produktif di kabupaten Bandung berada pada posisi sebagai ibu rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan perempuan masih mengalami perlakuan tidak berimbang dengan laki-laki dalam dunia kerja, dimana laki-laki lebih diprioritaskan daripada perempuan, sehingga kesempatan kerja bagi perempuan cenderung sangat kompetitif.

TPAK merupakan indikator yang menggambarkan seberapa banyak dari angkatan kerja yang aktif secara ekonomi. Pendapatan rumahtangga perlu diberi perhatian lebih, mengingat dampaknya yang luas terhadap taraf kesejahteraan terhadap kemiskinan. Kemiskinan sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumahtangga karena hampir semua rumahtangga mengandalkan upah/gaji (bagi yang berstatus buruh/karyawan) atau keuntungan usaha (bagi yang berstatus berusaha). Dengan demikian masalah ketenagakerjaan secara langsung berkaitan dengan masalah kemiskinan. Implikasi logisnya jelas bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang merupakan keprihatinan nasional bahkan global (tercermin dari sasaran pertama dan utama Millenimum Development

Goals, MDG) mestinya harus ditempuh melalui upaya penyelesaian

tidak mengandung dua aspek pokok yakni penyediaan lapangan kerja/usaha dan peningkatan produktifitas tenaga kerja.

Berdasarkan hasil survei tahun 2013 tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bandung sebesar 10,15 persen. Angka pengangguran ini mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2012 yang mencapai 10,38 persen. Angka pengangguran ini masih tergolong tinggi, sehingga harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka masih didominasi oleh penduduk perempuan yang mencapai sebesar 13,96 persen. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan karena lapangan kerja yang ada belum sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja perempuan di Kabupaten Bandung. Untuk meningkatkan daya saing kaum perempuan, maka peningkatan kualitas pekerja perempuan menjadi mutlak terus dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka kaum laki-laki yang tercatat sebesar 8,65 persen menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang terserap oleh lapangan pekerjaan adalah penduduk laki-laki. Hal ini dikarenakan lapangan kerja yang ada sudah sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja laki-laki di Kabupaten Bandung.

Tingkat kesempatan kerja dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren yang meningkat. Sejalan dengan hal itu, tingkat pengangguran pun semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa kapangan kerja yang tersedia di Kabupaten Bandung sudah semakin banyak menyerap tenaga kerja yang ada baik laki-laki maupun perempuan. Perluasan lapangan

pekerjaan terbukti dapat menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk sehingga dapat menekan jumlah pengangguran di Kabupaten Bandung.

Grafik 5.3.

Tingkat Kesempatan Kerja dan Pengangguran di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Pergeseran penyerapan lapangan pekerjaan ke sektor industri dapat menjadi indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Berdasarkan data pada grafik 5.4 diperlihatkan bahwa lapangan pekerjaan penduduk 15 tahun ke atas mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagangan, dan jasa. Persentase lapangan usaha di sektor

87,49 89,80 89,31 89,62 89,85 12,51 10,20 10,69 10,38 10,15 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 2009 2010 2011 2012 2013 TKK Pengangguran

industri mengalami peningkatan pada tahun 2011 dari 29,23 persen menjadi 32,47 persen. Berdasarkan surevi tahun 2013, penduduk yang bekerja di sektor industri meningkat dari tahun sebelumnya hingga mencapi 32,77 persen. Meningkatnya kontribusi penyerapan tenaga kerja pada sektor industri diindikasikan pada usaha industri kecil dan mikro yang cukup mampu menyerap tenaga kerja.

Grafik 5.4.

Persentase Lapangan Pekerjaan

Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 2009 2010 2011 2012 2013 21,87 18,91 22,2 18,01 19,87 29,87 29,23 32,47 32,44 32,77 18,75 20,5 19,29 21,76 19,44 12,49 14,14 10,79 13,48 12,56 17,02 17,22 15,25 14,31 15,36

Pada tahun 2013, proporsi penduduk yang bekerja di sektor perdagangan menurun dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 19,44 persen.Sedangkan yang bekerja di sektor jasa mencapai 12,56 persen. Sementara iru, proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2013 tercatat sebesar 19,87 persen. Fluktuasi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian masih belum menunjukkan perubahan yang berarti, bahkan ada indikasi perpindahan lapangan usaha penduduk dari sektor pertanian ke sektor-sektor lainnya (pertambangan, listrik gas dan air, angkutan dan komunikasi, koperasi dan lembaga keuangan), sehingga proporsi sektor lainnya mencapai 15,36 persen.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 71-82)

Dokumen terkait