• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu kebijakan penting yang menjadi prioritas utama pemerintah Kabupaten Bandung adalah pembangunan yang seimbang antara pembangunan fisik dan pembangunan sumber daya manusia. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Bandung yang diantaranya adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) yang berlandaskan iman dan taqwa. Kebijakan yang diambil diharapkan dapat mempercepat peningkatan derajat sumber daya manusia Kabupaten Bandung, sehingga penduduknya akan mampu bersaing secara regional maupun nasional.

Capaian pembangunan manusia tidak dapat dilihat secara parsial. Oleh karena itu, diperlukan suatu ukuran standar yang dapat menggambarkan keberhasilan pembangunan manusia secara keseluruhan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan ukuran standar pembangunan manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dibentuk berdasarkan beberapa indikator yang merepresentasikan dimensi kesehatan, dimensi pendidikan dan dimensi hidup layak.

Pencapaian angka IPM Kabupaten Bandung masih mungkin untuk ditingkatkan, bahkan mampu bersaing dengan kabupaten/kota sekitarnya. Langkah yang harus diambil adalah dengan arah kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten Bandung yang mampu menjawab permasalahan regional yang telah terpetakan. Keberhasilan pencapaian pembangunan di

(2)

wilayah Kabupaten Bandung secara bersamaan akan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan pembangunan manusia.

Sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab VII pasal 31, yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data/informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, maka untuk mengukur keberhasilan peningkatan pembangunan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas hidup manusia di Kabupaten Bandung diperlukan pengukuran menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Data IPM yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS-RI) biasanya direalease untuk tahun data t-2 dengan kedalaman data sampai tingkat kabupaten/kota. Sementara itu perencanaan pembangunan di Kabupaten Bandung memerlukan data dasar kondisi terkini dengan kedalaman paling tidak sampai dengan level kecamatan. Untuk itu diperlukan penyusunan/penghitungan IPM menurut kecamatan pada tahun berjalan.

1.2 Tujuan

Untuk mengukur keberhasilan peningkatan pembangunan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas hidup manusia maka diperlukan pengukuran menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

IPM atau Human Development Index (HDI) adalah indikator yang telah dikembangkan oleh United Nations Development Program (UNDP).

(3)

IPM sangat perlu dievaluasi dalam pembangunan suatu daerah, karena IPM dapat memberikan informasi sampai seberapa besar setiap pencapaian peningkatan hasil pembangunan memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan kemampuan ekonominya. IPM merupakan suatu indeks yang menunjukkan tentang aspek-aspek: peluang hidup panjang dan sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta hidup layak. Secara tegas IPM tersebut merupakan kemudahan dalam memperoleh akses terhadap aspek sosial, budaya dan aspek ekonomi.

Tujuan kegiatan penyusunan penghitungan IPM Kabupaten Bandung pada tahun 2013 adalah :

1. Untuk mendapatkan data potensi dan permasalahan di Kabupaten Bandung secara umum sebagai bahan evaluasi atas kinerja/pelaksanaan pembangunan daerah, selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan dan perumusan kebijakan Pemerintah Daerah.

2. Untuk mendapatkan feedback secara berkala atas kinerja penyelenggaraan pemerintah/pelaksanaan pembangunan daerah sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik secara berkesinambungan.

3. Mendapatakan data dasar bahan penyusunan perencanaan & evaluasi pembagunan secara berkala.

(4)

1.3 Sasaran dan Manfaat Kegiatan

Sasaran Kegiatan Pengolahan, Updating dan Analisis Data Statistik Daerah Pekerjaan Penyusunan IPM adalah tersusunnya Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Bandung Tahun 2013 sampai tingkat kecamatan.

Dengan tersusunnya data IPM menurut kecamatan manfaatnya adalaha diketahuinya gambaran pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat Kabupaten Bandung sampai tingkat kecamatan.

1.4 Dasar Hukum

Peraturan perundang-undangan yang melatarbelakangi Kegiatan Pengolahan, Updating dan Analisis Data Statistik Daerah Pekerjaan Penyusunan IPM diantaranya :

1. Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik; 2. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ( Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembar Negara 4437) sebagaimana telah diubah terakhir

(5)

dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (lembaran Negara tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);

6. Peraturan pemrintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4578);

7. Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tetntang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

8. Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; 10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah ;

11. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 2);

12. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 3);

(6)

13. Peraturan Bupati Bandung Nomor 9 Tahun 2008 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2008 Nomor 9);

14. Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kabupaten Bandung dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Nomor :

tanggal 14 Februari 2012 tentang

Penyusunan Indikator Makro Kestatistikan.

15. Keputusan Bupati Bandung Nomor 027/Kep.457-Pemb/2012 Tanggal 25 Oktober 2012 tentang Standar Biaya Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2013;

16. Keputusan Bupati Bandung Nomor 954/Kep.70-BAPPEDA/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang Penunjukan Pengelola Keuangan Daerah pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2013.

17. Keputusan Kepala BAPPEDA Kabupaten Bandung selaku Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Nomor 900/45B-Sekret/2013, tanggal 21 Januari 2013 tentang Penunjukan Pejabat Penatausahaan Keuangan, Pejabat Pelaksana Teknis

Kegiatan/Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat

Pengadaan/Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, Pejabat/Panitia Penerima/Pemeriksa Hasil Pekerjaan/Kegiatan, dan Pembantu Bendahara Pengeluaran (Kasir, Pembuat Dokumen Pengeluaran dan Pemgurusan Gaji), pada BAPPEDA Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2013;

(7)

18. Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) BAPPEDA Kabupaten Bandung Tahun 2013.

1.5 Ruang Lingkup dan Sumber Data

Cakupan kegiatan penyusunan/penghitungan IPM adalah di seluruh wilayah Kabupaten Bandung. Sedangkan data yang digunakan dalam penghitungan IPM disamping menggunakan data primer yaitu Survei Khusus IPM, juga dilengkapi dengan data primer/sekunder hasil survei lainnya yang dipublikasikan oleh BPS atau sumber lain.

(8)

BAB II METODOLOGI

2.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari rumah tangga terpilih dilakukan melalui survei dengan dengan wawancara langsung antara petugas dengan responden. Keterangan mengenai rumahtangga dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan kepala rumahtangga, suami/istri kepala rumahtangga atau anggota rumahtangga lain yang mengetahui karakteristik yang ditanyakan.

2.2 Kerangka Sampel

Kerangka sampel yang digunakan dalam IPM yaitu dilakukan secara bertahap, dengan tahapan sebagai berikut :

 Tahap pertama, dilakukan pemilihan sampel kecamatan dan desa /kelurahan (seluruh kecamatan dan desa /kelurahan yang berada di Kabupaten Bandung terpilih sampel). Selanjutnya dilakukan pengurutan nomor blok sensus (wilayah pencacahan) yang ada di seluruh desa/kelurahan. Pengurutan ini dilakukan untuk menjamin bahwa setiap blok sensus yang ada dalam suatu desa/kelurahan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel.

 Tahap Kedua, adalah memilih blok sensus. Pemilihan blok sensus ini dilakukan dengan cara probability sampling (penarikan

(9)

sampel berpeluang). Adapun yang menjadi sampling frame untuk penarikan sampel blok sensus ini adalah jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010.

 Tahap ketiga, adalah pemilihan rumahtangga pada kelompok blok sensus yang terpilih sampel. Pemilihan rumah tangga dilakukan secara proporsional terhadap lima strata pengeluaran rumah tangga sehingga rumahtangga-rumahtangga yang terpilih diharapkan merupakan sampel yang refresentatif dari seluruh rumah tangga yang ada di Kabupaten Bandung.

2.3 Pengertian Indikator

Petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut disebut sebagai indikator. Dengan kata lain, indikator merupakan variabel penolong dalam mengukur perubahan. Variabel-variabel ini terutama digunakan apabila perubahan yang akan dinilai tidak dapat diukur secara langsung.

Indikator yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

(1) Sahih (Valid); indikator harus dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya akan diukur oleh indikator tersebut.

(2) Objektif; untuk hal yang sama, indikator harus memberikan hasil yang sama pula, walaupun dipakai oleh orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda.

(10)

(4) Spesifik; indikator hanya mengukur perubahan situasi yang dimaksud. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak ada ukuran baku yang benar-benar dapat mengukur tingkat kesejahteraan seseorang atau masyarakat.

Indikator bisa bersifat tunggal (indikator tunggal) yang isinya terdiri dari satu indikator, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) dan bersifat jamak (indikator komposit) yang merupakan gabungan dari beberapa indikator, seperti Indeks Mutu Hidup (IMH) yang merupakan gabungan dari 3 indikator yaitu Angka Melek Huruf (AMH), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Harapan Hidup dari anak usia 1 tahun (e1).

Menurut jenisnya, indikator dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu:

(a) Indikator Input; yang berkaitan dengan penunjang pelaksanaan program dan turut menentukan keberhasilan program. Seperti: rasio murid-guru, rasio murid-kelas, rasio dokter, rasio puskesmas.

(b) Indikator Proses; yang menggambarkan bagaimana proses pembangunan berjalan, seperti: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), rata-rata jumlah jam kerja, rata-rata jumlah kunjungan ke puskesmas, persentase anak balita yang ditolong dukun.

(c) Indikator Output/Outcome; yang menggambarkan bagaimana hasil (output) dari suatu program kegiatan telah berjalan, seperti: persentase penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas, Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Harapan Hidup (AHH), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dan lain-lain.

(11)

2.4 Indikator-Indikator Pembangunan Manusia

Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi seberapa besar kemajuan pembangunan yang telah dicapai suatu wilayah, tentunya diperlukan data-data yang up to date dan akurat. Data-data yang disajikan diharapkan sebagai bahan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh pemerintah. Dalam konteks tersebut diperlukan ukuran-ukuran yang tepat untuk digunakan sebagai indikator. Untuk itu perlu kiranya dijabarkan mengenai berbagai ukuran-ukuran yang biasa digunakan sebagai indikator pembangunan.

Berbagai program seperti pengadaan pangan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan, dan peningkatan kegiatan olahraga dilaksanakan dalam upaya peningkatan taraf kualitas fisik penduduk. Namun demikian, seperti dikatakan Azwini, Karomo, dan Prijono (1988:469), tolak ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan (pembangunan) dalam beberapa hal agak sulit ditentukan. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup selama ini sebenarnya hanya mencakup kualitas fisik, tidak termasuk kualitas non fisik. Kesulitan muncul terutama karena untuk menilai keberhasilan pembangunan non-fisik indikatornya relatif lebih abstrak dan bersifat komposit.

Salah satu pengukuran taraf kualitas fisik penduduk yang banyak digunakan adalah Indeks Mutu Hidup (IMH). Ukuran ini sebenarnya banyak mendapat kritik (Hicks and Streeten, 1979; Rat, 1982; Holidin, 1993a dan Holidin 1993b) karena mengandung beberapa kelemahan, terutama yang menyangkut aspek statistik dari keterkaitan antar variabel yang digunakannya. Terlepas dari kelemahan tersebut, ada nilai lebih dari

(12)

IMH yang membuat indikator ini banyak digunakan sebagai ukuran untuk menilai keberhasilan program pembangunan pada suatu wilayah. Nilai lebih dari IMH ini adalah kesederhanaan didalam penghitungannya. Disamping itu, data yang digunakan untuk menghitung IMH ini pada umumnya sudah banyak tersedia. IMH bisa dihitung dengan mudah setiap tahun untuk setiap wilayah (nasional, propinsi, maupun kabupaten/kota), sehingga dapat dilakukan perbandingan antar wilayah.

Sejalan dengan makin tingginya intensitas dalam permasalahan pembangunan, kesederhanaan IMH pada akhirnya kurang mampu untuk menjawab tuntutan perkembangan pembangunan yang semakin kompleks. Untuk itu perlu indikator lain yang lebih reprensentatif dengan tuntutan permasalahan yang ada. Dalam kaitan ini, indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu alternatif yang bisa diajukan. Indikator ini, disamping mengukur kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup; juga mengukur kualitas non fisik (intelektualitas) melalui lamanya rata-rata penduduk bersekolah dan angka melek huruf; juga mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat di wilayah itu yang tercermin dari nilai Purcashing Power Parity Index (PPP). Dengan demikian, indikator IPM terasa lebih komprehensif dibandingkan dengan IMH.

2.5 Metode Penghitungan IPM

Perkembangan pembangunan manusia secara berkelanjutan diperlukan satu set indikator komposit yang cukup representatif. Pada dasarnya IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi

(13)

manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan hidup layak (decent living). Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; serta hidup layak diukur dengan pengeluaran per kapita yang didasarkan pada purchasing power parity (paritas daya beli dalam rupiah).

Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup atau e0 yang dihitung menggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Indikator angka melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua variabel secara simultan yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Sementara itu, komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk keperluan perbandingan antar negara.

(14)

Penghitungan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut:

 Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita (=A).

 Mendeflasikan nilai A dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) ibukota propinsi yang sesuai (=B).

 Menghitung daya beli per unit (=Purchasing Power Parity (PPP)/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara.

 Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari nilai 27 komoditi.

 Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C).

 Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C.

Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus:

E ( i , j ) j PPP / unit = ---

(p( 9 , j ) . q ( i , j )) j Dimana,

E( i , j ) : pengeluaran konsumsi untuk komoditi j di kabupaten ke-i P( 9 , j ) : harga komoditi j di DKI Jakarta (Jakarta Selatan)

(15)

Tabel 2.1.

Daftar Komoditi Terpilih

Untuk Menghitung Paritas Daya Beli (PPP)

Komoditi Unit Sumbangan thd total

konsumsi (%) *) (1) (2) (3) 1. Beras lokal Kg 7.25 2. Tepung terigu Kg 0.10 3. Ketela pohon Kg 0.22 4. Ikan tongkol/tuna/cakalang Kg 0.50

5. Ikan teri Ons 0.32

6. Daging sapi Kg 0.78

7. Daging ayam kampung Kg 0.65

8. Telur ayam Butir 1.48

9. Susu kental manis 397 gram 0.48

10. Bayam Kg 0.30 11. Kacang panjang Kg 0.32 12. Kacang tanah Kg 0.22 13. Tempe Kg 0.79 14. Jeruk Kg 0.39 15. Pepaya Kg 0.18 16. Kelapa Butir 0.56

17. Gula pasir Ons 1.61

18. Kopi bubuk Ons 0.60

19. Garam Ons 0.15

20. Merica/lada Ons 0.13

21. Mie instant 80 gram 0.79

22. Rokok kretek filter 10 batang 2.86

23. Listrik Kwh 2.06

24. Air minum M3 0.46

25. Bensin Liter 1.02

26. Minyak tanah Liter 1.74

27. Sewa rumah Unit 11.56

Total 37.52

(16)

Unit kuantitas rumah dihitung berdasarkan indeks kualitas rumah yang dibentuk dari tujuh komponen kualitas tempat tinggal. Ketujuh komponen kualitas yang digunakan dalam penghitungan indeks kualitas rumah diberi skor sebagai berikut:

 Lantai: keramik, marmer, atau granit = 1, lainnya = 0.

 Luas lantai per kapita: > 10 m2 = 1, lainnya = 0.

 Dinding: tembok = 1, lainnya = 0.

 Atap: kayu/sirap, beton = 1, lainnya = 0.

 Fasilitas penerangan: listrik = 1, lainnya = 0.

 Fasilitas air minum: leding = 1, lainnya = 0.

 Jamban: milik sendiri = 1, lainnya = 0.

 Skor awal untuk setiap rumah = 1.

Indeks kualitas rumah merupakan penjumlahan dari skor yang dimiliki oleh suatu rumah tinggal dan bernilai antara 1 sampai dengan 8. Kuantitas dari rumah yang dikonsumsi oleh suatu rumah tangga adalah Indeks Kualitas Rumah dibagi 8. Sebagai contoh, jika suatu rumah tangga menempati suatu rumah tinggal yang mempunyai Indeks Kualitas Rumah = 6, maka kuantitas rumah yang dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut adalah 6/8 atau 0,75 unit.

Rumus Atkinson (dikutip dari Arizal Ahnaf dkk, 1998: 129) yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:

(17)

C (i)* = C(i) jika C(i) < Z

= Z + 2(C(i) – Z) (1/2) jika Z < C(i ) < 2Z

= Z + 2(Z) (1/2) + 3(C(i) – 2Z) (1/3) jika 2Z < C(i) < 3Z

= Z + 2(Z) (1/2) + 3(Z) (1/3) + 4(C(i) – 3Z) (1/4) jika 3Z < C(i) < 4Z

Dimana,

C(I) : Konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/unit (hasil tahapan 5)

Z : Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan yang dalam laporan ini nilai Z ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 547.500,- per kapita setahun, atau Rp 1.500,- per kapita per hari

2.6 Rumus dan Ilustrasi Penghitungan IPM

Rumus penghitungan IPM dikutip dari Arizal Ahnaf, dkk (1998: 129) dapat disajikan sebagai berikut :

IPM = 1/3 (X (1) + X (2) + X (3))

Dimana,

X(1) : Indeks harapan hidup

X(2) : Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah)

X(3) : Indeks standar hidup layak

Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya

(18)

dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut:

Indeks X(i) = (X(i) - X(i)min) / (X(i)maks - X(i)min)

Dimana,

X(i) : Indikator ke-i (i = 1,2,3) X(i)maks : Nilai maksimum X(i) X(i)min : Nilai minimum X(i)

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

Indikator Komponen IPM (=X(I)) Nilai maksimu m Nilai Minimum Catatan (1) (2) (3) (4) Angka Harapan Hidup 85 25

Sesuai standar global (UNDP)

Angka Melek Huruf 100 0 Sesuai standar global

(UNDP) Rata-rata lama

sekolah 15 0

Sesuai standar global (UNDP)

Konsumsi per kapita

yang disesuaikan 732.720 a)

300.000 b)

UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan

(19)

Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018.

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.

2.7 Ukuran Perkembangan IPM

Untuk mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu digunakan reduksi shortfall per tahun (annual reduction in shortfall). Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai titik ideal (IPM=100). Prosedur penghitungan reduksi shortfall IPM (=r) dikutip dari Arizal Ahnaf dkk (1998: 141) dapat dirumuskan sebagai berikut:

(IPM t+n – IPM t) x 10 1/n

r = ---(IPM ideal – IPM t)

Dimana,

IPM t : IPM pada tahun t IPM t+n : IPM pada tahun t + n IPM ideal : 100

(20)

2.8 Beberapa Definisi Operasional Indikator

Untuk bisa melihat dengan jelas dan terarah beragam permasalahan pembangunan manusia selama ini dan bagaimana mengimplementasikan program-program pembangunan secara baik dan terukur diperlukan ukuran atau indikator yang handal. Beberapa indikator yang sering digunakan diantaranya adalah:

 Rasio jenis kelamin Perbandingan antara penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan, dikalikan 100

 Angka ketergantungan Perbandingan antara jumlah penduduk usia < 15 tahun ditambah usia > 65 tahun terhadap penduduk usia 15 - 64 tahun, dikalikan 100

 Rata-rata Lama Sekolah

Lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun ke atas.

 Angka Melek Huruf Proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis (baik huruf latin maupun huruf lainnya).

 Angka Partisipasi Murni SD

Proporsi penduduk usia 7 - 12 tahun yang sedang bersekolah di SD.

 Angka Partisipasi Murni SLTP

Proporsi penduduk usia 13 - 15 tahun yang sedang bersekolah di SLTP

 Angka partisipasi Murni SLTA

Proporsi pendudk usia 16 - 18 tahun yang sedang bersekolah di SLTA

(21)

dengan pendidikan SLTP ke atas

pendidikan SLTP atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi

 Jumlah penduduk usia sekolah

Banyaknya penduduk yang berusia antara 7 - 24 tahun

 Bekerja Melakukan kegiatan/pekerjaan paling

sedikit 1 (satu) jam berturut-turut selama

seminggu dengan maksud untuk

memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pekerja keluarga yang tidak dibayar termasuk kelompok penduduk yang bekerja

 Angkatan Kerja Penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja atau mencari pekerjaan

 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

Perbandingan angkatan kerja terhadap penduduk usia 10 tahun.

 Angka Pengangguran Terbuka

Perbandingan penduduk yang mencari kerja terhadap angkatan kerja.

 Persentase pekerja yang setengah menganggur

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu.

 Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri.

 Persentase pekerja dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas dengan status berusaha sendiri dibantu pekerja tak dibayar

(22)

tidak tetap

 Persentase pekerja dengan status

berusaha dengan buruh tetap

Proporsi penduduk usia 10 tahun keatas yang berusaha dengan buruh tetap.

 Persentase pekerja dengan status berusaha pekerja tak dibayar

Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas dengan status pekerja keluarga.

 Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga medis

Proporsi balita yang kelahirannya ditolong oleh tenaga medis (dokter, bidan dan tenaga medis lainnya).

 Angka Harapan Hidup waktu lahir

Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk.

 Angka Kematian Bayi Besarnya kemungkinan bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun, dinyatakan dengan per seribu kelahiran hidup

 Persentase rumah tangga berlantai tanah

Proporsi rumah tangga yang tinggal dalam rumah dengan lantai tanah.

 Persentase rumah tangga beratap layak

Proporsi rumah tangga yang menempati rumah dengan atap layak (atap selain dari dedaunan).

 Persentase rumah tangga berpenerangan

Proporsi rumah tangga yang menggunakan sumber penerangan listrik.

(23)

listrik

 Persentase rumah tangga bersumber air minum leding

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum leding.

 Persentase rumah tangga bersumber air minum bersih

Proporsi rumah tangga dengan sumber air minum pompa/sumur/mata air yang jaraknya lebih besar dari 10 meter dengan tempat penampungan limbah kotoran terdekat.

 Persentase rumah tangga berjamban dengan tangki septik

Proporsi rumah tangga yang mempunyai jamban dengan tangki septik.

 Pengeluaran Pengeluaran per kapita untuk makanan dan bukan makanan. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

 Gini Rasio Ukuran kemerataan pendapatan yang

dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Nilai Gini Rasio terletak antara 0 yang mencerminkan kemerataan sempurna dan 1 yang menggambarkan ketidakmerataan sempurna

(24)

 Penduduk miskin Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non makanan yang mendasar.

 Garis Kemiskinan Suatu batas dimana penduduk dengan pengeluaran kurang dari batas tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu komponen batas kecukupan pangan (GKM) dan komponen batas kecukupan non makanan (GKNM).

(25)

BAB III

PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN

3.1. Kondisi Kesehatan

Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan. Salah satu faktor penting dalam konsep pembangunan manusia adalah pembangunan di bidang kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

Defini kesehatan adalah keadaan sejahtera dari fisik dan jiwa seseorang yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan tidak hanya terbebas dari penyakit semata melainkan merupakan kondisi dinamis yang meliputi kesehatan jasmani, rohani, dan sosial.

Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah kesadaran individu untuk memelihara kesehatan. Memelihara kesehatan menunjukkan adanya upaya untuk menanggulangi dan mencegah gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan termasuk kondisi kehamilan dan persalinan. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan diperlukan dukungan pemerintah sebagai fasilitator dengan mengadakan berbagai penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pendidikan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat sebagai

(26)

pengalaman belajar untuk mempermudah adaptasi secara sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Dengan berjalannya waktu kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan tercipta dan derajat kesehatan yang tinggi akan tercapai.

Peningkatan derajat kesehatan sebagai salah satu komponen inti dari pembangunan manusia sejalan dengan visi pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu daerah potensial di propinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang cukup besar serta wilayah yang cukup luas. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut menjadikan upaya peningkatan derajat kesehatan membutuhkan strategi yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada. Salah satu indikator yang mempengaruhi derajat kesehatan adalah angka kematian bayi (AKB). Meningkatnya derajat kesehatan di suatu wilayah salah satunya ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi.

Penurunan angka kematian bayi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah terutama dalam melakukan intervensi terhadap problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus tetap diprioritaskan terutama pada daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi seperti di wilayah Bandung bagian selatan. Dengan demikian angka kematian bayi di Kabupaten Bandung dapat ditekan.

(27)

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi. Salah satu faktor penyebab kematian bayi adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk mempercayakan proses persalinan terhadap tenaga ahli kesehatan. Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menangani proses persalinan. Persalinan yang dilakukan oleh tenaga ahli seperti dokter atau bidan tentu akan lebih aman jika dibandingkan dengan dukun atau tenaga non medis lainnya.

Upaya yang dilakukan pemerintah di Kabupaten Bandung untuk mengintervensi problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi, dan anak telah tergambarkan dengan capaian yang cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil survei beberapa tahun terakhir diperlihatkan bahwa peranan tenaga kesehatan sudah semakin dominan, dan setiap tahun terus ditingkatkan. Kondisi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penanganan persalinan oleh tenaga kesehatan yang mencakup dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya mencapai 63,55 persen. Sedangkan persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis seperti dukun bersalin dan lainnya adalah sebesar 36,45 persen.

Pada tahun 2010 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis meningkat menjadi sebesar 43,64 persen. Setahun berjalan dengan berbagai upaya dari pemerintah untuk terus menggalakkan peranan tenaga kesehatan dalam membantu persalinan, akhirnya pada tahun 2011 peranan tenaga non medis dalam menangani persalinan dapat diturunkan menjadi sebesar 26,01 persen.

Pada tahun 2012 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis menurun kembali menjadi sebesar 22,20 persen. Hal yang cukup

(28)

menggembirakan diperlihatkan berdasarkan kondisi hasil survei terakhir pada tahun 2013, dimana peranan tenaga non medis dalam menangani proses persalinan menurun cukup signifikan hingga mencapai 16,50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan sudah semakin baik dan kesadaran masyarakat di wilayah Kabupaten Bandung sudah cukup tinggi akan pentingnya peranan tenaga kesehatan dalam membantu proses persalinan.

Grafik 3.1.

Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Penanganan persalinan oleh tenaga non medis memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan

5,59 57,51 0,45 36,18 0,27 7,88 47,87 0,61 42,94 0,70 5,08 68,91 - 25,31 0,70 5,88 70,59 1,33 22,01 0,19 7,89 75,12 0,49 16,32 0,18 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya

(29)

yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Oleh karena itu, peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun bersalin pada proses persalinan, maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun bersalin, maupun kemitraan dukun bersalin dengan tenaga kesehatan.

Dalam proses persalinan kerap terjadi beberapa kasus rujukan dikarenakan terjadi satu dan lain hal selama persalinan. Pada umumnya hal ini terjadi pada kasus persalinan yang ditangani oleh dukun bersalin atau tenaga non medis lainnya. Ketika terjadi sesuatu di luar kemampuan dukun bersalin/tenaga non medis lainnya selama proses persalinan biasanya dukun bersalin tersebut melakukan rujukan ke bidan/dokter untuk membantu menangani persalinan.

Pada gambar 3.1. dan 3.2. terlihat bahwa selama lima tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter. Pada tahun 2009 pertolongan pertama oleh dukun bayi sebesar 36,18 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 34,43 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 5,94 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,59 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 59,01 persen (dari penolong pertama kelahiran 75,12 persen).

Pada tahun 2012 pertolongan pertama persalinan oleh dukun bayi sebesar 22,01 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 21,63

(30)

persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 7,21 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,88 persen) dan oleh bidan sedikit menurun menjadi 69,26 persen (dari penolong pertama kelahiran 70,59 persen). Demikian pula pada tahun 2013 pertolongan pertama oleh dukun bayi tercatat sebesar 16,32 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 12,79 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 9,00 persen (dari penolong pertama kelahiran 7,89 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 77,39 persen (dari penolong pertama kelahiran 58,73 persen).

Grafik 3.2.

Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013 5,94 59,01 0,45 34,43 0,17 7,80 48,46 0,41 41,80 1,53 5,40 72,41 0,31 21,88 0,00 7,21 69,26 1,71 21,63 0,19 9,00 77,39 0,64 12,79 0,18 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya

(31)

Tinggi rendahnya angka kematian bayi (AKB) juga berkaitan erat dengan faktor yang ditinjau dari sisi ibu yang melahirkan. Salah satu diantaranya adalah usia perkawinan pertama. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat perempuan semakin dewasa dalam membina rumahtangganya, termasuk dalam perilaku kesehatannya. Perempuan dengan usia yang matang lebih siap memiliki keturunan. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, usia perkawinan pertama perempuan di Kabupaten Bandung rata-rata terjadi pada usia 22 tahun.

Grafik 3.3.

Angka Kematian Bayi (AKB) dan

Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Perempuan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

36,02 34,75 34,17 34,05 34,01

22,56 22,35 22,03 21,64 22,14

2009 2010 2011 2012 2013

(32)

Disamping akibat faktor penanganan pada saat persalinan dan pengaruh usia perkawinan pertama, tinggi rendahnya angka kematian bayi juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, pada umumnya balita yang telah diberi ASI selama lebih dari satu tahun tercatat sebesar 86,43 persen. Dari total balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 5,58 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan, dan 8,00 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Dan sebagian besar balita (41,03 persen) diberi ASI sampai berumur diatas dua tahun. Dengan demikian terlihat bahwa kesadaran masyarakat di Kabupaten Bandung untuk memberikan ASI kepada buah hatinya semakin meningkat.

Grafik 3.4.

Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 1 - 5 bulan 5,58 % 6 - 11 bulan 8,00 % 12 - 17 bulan 22,57 % 18 - 23 bulan 22,83 % > 24bulan 41,03 %

(33)

Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi kebutuhan bayi. Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI.

Disamping peningkatan lamanya pemberian ASI, berdasarkan data hasil survei tahun 2013 ditemukan indikasi adanya peningkatan jumlah balita yang pernah diberi ASI dibandingkan dengan tahun 2012. Secara umum balita yang pernag diberi ASI pada tahun 2013 mencapai 95,23 persen.

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 95,00 %

5,00 % Grafik 3.5. Persentase Balita Laki-laki Menurut Pernah atau Tidaknya

Diberi ASI

di Kabupaten Bandung Tahun 2013

Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI

95,47 % 4,53 % Grafik 3.6.

Persentase Balita Perempuan Menurut Pernah atau Tidaknya

Diberi ASI

di Kabupaten Bandung Tahun 2013

Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI

(34)

Sebagian besar balita laki-laki pernah diberi ASI selama 6 bulan atau lebih dengan persentase sebesar 95,00 persen sedangkan sisanya sebesar 5,00 persen tidak pernah diberi ASI sama sekali. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan balita perempuan yang pernah diberi ASI mencapai 95,47 persen. Hanya sebagian kecil yakni sebesar 4,53 persen balita perempuan yang tidak pernah diberi ASI. Kondisi tersebut menunjukkan kesadaran para orang tua semakin tinggi akan pentingnya membangun kebersamaan dalam membesarkan anak-anak, tanpa adanya perbedaan perlakuan dalam pemenuhan kebutuhan gizinya termasuk dalam pemberian ASI.

Derajat kesehatan di suatu wilayah ditentukan oleh kesadaran setiap individu terhadap pentingnya menjaga kesehatan baik fisik maupun mental. Dari segi fisik, tubuh manusia memerlukan makanan untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Tubuh yang kurang menerima asupan gizi akan mudah mengalami berbagai keluhan kesehatan. Orang yang mengalami kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh dibawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya.

(35)

Grafik 3.7.

Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung

Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Pada tabel 3.7. terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung menurun dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2012 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Namun selama tahun 2013 terjadi sedikit kenaikan jumlah penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Hal ini dikarenakan faktor luar dimana cuaca ekstrim yang sering terjadi akhir-akhir ini cukup mengganggu daya tahan tubuh. Secara umum, gambaran di atas memberikan indikasi bahwa kualitas kesehatan

25,36 27,72 21,43 23,32 27,64 27,84 28,66 22,57 25,20 27,19 26,6 28,19 21,99 24,25 27,41 2009 2010 2011 2012 2013

(36)

penduduk di Kabupaten Bandung dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah semakin baik. Hal ini dapat merupakan akibat dari pola hidup sehat masyarakat yang lebih baik, juga didukung oleh promosi serta pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Grafik 3.8.

Persentase Lamanya Sakit

Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Kualitas kesehatan penduduk juga dapat digambarkan melalui lamanya penduduk menderita sakit. Semakin banyak penduduk yang menderita sakit dengan jangka waktu yang singkat maka kualitas

2009 2010 2011 2012 2013 22-30 3,49 8,15 5,46 2,81 4,09 15-21 1,45 3,11 2,88 1,00 1,85 8-14 6,14 10,01 5,23 4,80 5,03 4-7 36,02 40,43 37,51 31,61 31,2 <=3 52,90 38,80 48,92 59,78 57,82 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

(37)

kesehatan penduduk semakin membaik. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa persentase lamanya sakit penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan perbaikan. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa sebagian besar penduduk menderita sakit selama seminggu atau kurang. Dari tahun ke tahun, persentase lamanya hari menderita sakit cenderung bergeser menjadi semakin singkat. Pada umumnya proses penyembuhan penyakit sekitar seminggu bahkan kurang dari seminggu.

3.2. Capaian Derajat Kesehatan

Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo)/Expectation of Life at Birth (e0), Angka Kematian Bayi (AKB)/Infant Mortality Rate (IMR), angka kematian kasar, dan status gizi merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan. Dari beberapa indikator tersebut yang disepakati untuk digunakan sebagai acuan dalam mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHHo).

Gambar 3.7. memperlihatkan bahwa selama periode tahun 2009– 2013 Angka Harapan Hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup Kabupaten Bandung meningkat dari 68,42 tahun pada tahun 2009, menjadi 70,34 tahun pada tahun 2013. Seiring dengan teori yang ada, Angka Harapan Hidup berbanding terbalik dengan angka kematian (bayi lahir mati, kematian bayi dibawah 1 tahun, kematian anak dibawah lima tahun dan kematian ibu). Semakin tinggi kualitas kesehatan maka angka kematian semakin rendah dan berakibat kepada meningkatnya harapan untuk hidup.

(38)

Perbandingan dua indikator bidang kesehatan di kabupaten Bandung diperlihatkan pada grafik berikut:

Grafik 3.9.

Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Grafik 3.9 di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun angka kematian bayi di Kabupaten Bandung menunjukkan tren yang menurun. Pada tahun 2009 angka kematian bayi tercatat sebesar 36 bayi per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan pada tahun 2013 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 34 bayi per 1000 kelahiran hidup.

68,94 69,40 70,06 70,28 70,34 36,02 34,75 34,17 34,05 34,01 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2009 2010 2011 2012 2013 AHH AKB

(39)

Dalam rentang waktu lima tahun angka kematian bayi mengalami penurunan yang sangat signifikan sebagai dampak pelaksanaan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnya ada intervensi program kesehatan yang dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Bandung.

Teori menurut "B-Pichart classification"-Stan D'Souza (1984) dalam Brotowasisto (1990) tentang angka Kematian bayi diuraikan sebagai berikut:

Angka kematian Bayi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yaitu:

1. Daerah dengan AKB diatas 100 per seribu kelahiran bayi hidup sebagai daerah soft-rock, di mana sebagian besar kejadian kematian bayi disebabkan oleh penyakit menular.

2. Daerah dengan AKB 30-100 per seribu kelahiran hidup dikategorikan sebagai daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.

3. Daerah dengan AKB di bawah 30 per seribu kelahiran bayi hidup diklasifikasikan sebagai daerah hard-rock, yaitu hanya sebagian kecil saja kematian yang disebabkan oleh penyakit menular dan sebagian besar disebabkan oleh kelahiran bawaan atau congenital.

Berdasarkan kriteria diatas, maka dengan tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2013, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya.

(40)

Pendapat Singarimbun (1988: vii-viii) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki kekuatan dalam menurunkan angka kematian, khususnya kematian bayi dan anak, diuraikan sebagai berikut: a. Adanya kemajuan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup;

b. Adanya kemajuan teknologi kesehatan;

c. Adanya kesadaran perbaikan sanitasi dan higiena; dan

d. Adanya peningkatan persediaan makanan dan perbaikan gizi. Resiko kematian bayi lebih besar bagi bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan gizi dibandingkan dengan ibu yang memiliki gizi cukup. Pada umumnya kekurangan gizi berkorelasi positif dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Penyebab tingginya angka kematian bayi selain karena masalah infeksi/penyakit dan berat bayi lahir rendah, juga berkaitan erat dengan kondisi pada fase kehamilan, pertolongan kelahiran yang aman, dan perawatan bayi pada saat dilahirkan.

Dampak dari menurunnya angka kematian bayi adalah meningkatnya angka harapan hidup. Dalam rentang waktu lima tahun angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pada tahun 2010 angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung sebesar 69,40 tahun (naik sebesar 0,46 poin dibandingkan tahun 2009). Demikian pula pada tahun 2011, angka harapan hidup kembali meningkat hingga mencapai 70,06 tahun. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012 dan 2013 dimana angka harapan hidup penduduk Kabupaten Bandung masing-masing naik sebesar 0,22 poin dan 0,06 poin hingga mencapai 70,28 tahun dan 70,34 tahun. Meningkatnya

(41)

angka harapan hidup sejalan dengan naiknya indeks kesehatan Kabupaten Bandung yang pada tahun 2013 tercatat sebesar 75,56.

Grafik 3.10.

Pertumbuhan Angka Harapan Hidup (AHH) Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Upaya perbaikan derajat kesehatan yang ditunjukkan dengan makin meningkatnya angka harapan hidup dan terus menurunnya angka kematian bayi harus tetap menjadi prioritas. Berbagai kasus kesehatan, terutama kasus yang mewabah harus dapat ditekan perkembangannya. Penanggulangan terhadap keluhan kesehatan yang ditunjukkan dengan adanya indikasi peningkatan pada tahun 2013 harus lebih ditingkatkan lagi. 0,46 0,66 0,22 0,06 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013

(42)

Apabila ditinjau menurut kecamatan, sebaran pencapaian angka harapan hidup di tiap-tiap kecamatan cukup menggembirakan. Hal ini terlihat dari banyaknya kecamatan yang memiliki pencapaian angka Angka Harapan Hidup diatas rata-rata Kabupaten Bandung yakni lebih dari 50 persen. Menurut data Survei Khusus IPM 2013, dari 31 kecamatan di Kabupaten Bandung terdapat sekitar tujuh belas kecamatan yang memiliki Angka Harapan Hidup di atas rata-rata kabupaten. Kecamatan yang memiliki angka harapan hidup tertinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi yang mencapai 72,82 tahun, kemudian disusul oleh Kecamatan Rancaekek (72,50 tahun), Majalaya (72,23 tahun), Ibun (72,15 tahun), Banjaran (71,39 tahun), Cilengkrang (71,29 tahun), Pasirjambu (71,26 tahun), Pangalengan (71,22 tahun), Soreang (71,11 tahun), Cangkuang (71,10 tahun), Baleendah (70,98 tahun), Margaasih (70,97 tahun), Pameungpeuk (70,93 tahun), Ciparay (70,86 tahun), Nagreg(70,81 tahun), Cimaung (70,80 tahun), Dayeuhkolot (70,73 tahun).

Sementara itu, terdapat 14 kecamatan yang memiliki angka harapan hidup dibawah rata-rata Kabupaten Bandung yakni Kecamatan Cikancung (66,29 tahun), Solokan Jeruk (67,62 tahun), Pacet (67,68 tahun), Kertasari (67,82 tahun), Cicalengka (68,54 tahun), Paseh (69,14 tahun), Bojongsoang (69,33 tahun), Cimenyan (69,38 tahun), Rancabali (69,44 tahun), Katapang (69,45 tahun), Arjasari (69,83 tahun), Ciwidey (69,85 tahun), Kutawaringin (70,15 tahun) dan Margahayu (70,21 tahun).

(43)

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 62,00 64,00 66,00 68,00 70,00 72,00 74,00 Cikancung Solokanjeruk Pacet Kertasari Cicalengka Paseh Bojongsoang Cimenyan Rancabali Katapang Arjasari Ciwidey Kutawaringin Margahayu Kab. Bandung Dayeuhkolot Cimaung Nagreg Ciparay Pameungpeuk Margaasih Baleendah Cangkuang Soreang Pangalengan Pasirjambu Cilengkrang Banjaran Ibun Majalaya Rancaekek Cileunyi Grafik 3.11.

Pencapaian Angka Harapan Hidup Menurut kecamatan di Kabupaten Bandung

(44)

BAB IV

PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG PENDIDIKAN

4.1. Kondisi Pendidikan

Paradigma pembangunan manusia yang ditinjau dari aspek pendidikan menitikberatkan pada tercapainya kualitas sumber daya manusia yang berintelektual tinggi. Adam Smith (1952), pakar ekonomi klasik, menyatakan bahwa pendidikan dan latihan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Kesejahteraan dan kekayaan suatu bangsa sangat bergantung pada keunggulan intelegensi dan intelektual.

Investasi di bidang pendidikan sangat menguntungkan baik dilihat dari sisi sosial maupun ekonomi. Begitu banyak negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat, tidak lain karena menjadikan pembangunan pendidikan sebagai prioritas penting. Bahkan pembangunan pendidikan menjadi pilar utama penopang pembangunan lainnya.

Pentingnya pembangunan manusia di bidang pendidikan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Tujuan mulia tersebut akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 ayat 31 dinyatakan bahwa “ setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa : “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

(45)

wajib membiayainya”. Pada tahun 2013 ini, Pemerintah melalui Kemendiknas telah mencanangkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun yang merupakan wujud komitmen kesinambungan dari wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Sehingga diharapkan sebagian besar generasi penduduk Indonesia di masa yang akan datang mampu mengenyam pendidikan sampai dengan SLTA.

Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Menjelang era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan yang semakin penting. Hal ini dikarenakan SDM yang berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM di negara lain. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemenuhan

(46)

kebutuhan pendidikan bagi masyarakatnya untuk mewujudkan SDM yang bermutu sebagai syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju.

Terdapat beberapa indikator yang dapat memberikan gambaran mengenai partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, yakni Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak yang berusia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah.

Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut.

Sebagai ilustrasi, pada grafik 4.1 terlihat bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 105,90 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,90 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD. Hal ini menunjukan bahwa telah tumbuh kesadaran bahwa seorang anak harus bersekolah sesuai dengan usianya.

(47)

Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP maupun SLTA menurut data hasil survei tahun 2013, APK murid perempuan relatif sama dengan APK laki-laki. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin sampai pada tingkat pendidikan dasar. Disamping itu, dari grafik juga terlihat adanya peningkatan partisipasi sekolah sampai pada tingkat sekolah menengah pertama. Hal ini dimungkinkan karena penerapan wajib belajar 9 tahun yang sudah berlangsung selama ini telah menunjukkan capaiannya.

Grafik 4.1.

APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

104,19 107,57 105,9 81,05 88,28 85,64 48,2 51,88 49,73 8,28 11,71 10,02 0 20 40 60 80 100 120

Laki-laki Perempuan Total SD SLTP SLTA PT

(48)

Bila dibandingkan dengan data APK tahun 2012, APK tingkat SLTP dan SLTA mengalami kenaikan. APK SLTP meningkat dari 85,48 menjadi 85,64, demikian pula APK SLTA meningkat dari 48,83 menjadi 49,73. Hal ini menujukkan partisipasi sekolah penduduk di jenjang SLTP dan SLTA semakin banyak. Demikian pula untuk APK SD mengalami kenaikan dari 103,17 di tahun 2012 menjadi 105,90 di tahun 2013. Sementara itu, APK Pergurun tinggi turun dari 13,58 menjadi 10,02.

Tabel 4.1.

APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012-2013

Jenjang Pendidikan 2012 2013 L P L+P L P L+P SD 104,14 101,36 103,17 104,19 107,57 105,90 SLTP 80,46 94,80 85,48 81,05 88,28 85,64 SLTA 48,46 48,59 48,83 48,20 51,88 49,73 PT 15,42 10,15 13,58 8,28 11,71 10,02

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012-2013

Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukkan oleh APM. APM selalu lebih rendah dibandingkan APK

(49)

karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut.

Grafik 4.2.

Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2013 adalah

105,9 85,64 49,73 10,02 94,12 67,87 41,58 9,34 SD SLTP SLTA PT APK APM

(50)

sebesar 94,12 persen, artinya sekitar 94 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya.

Grafik 4.3.

APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2013 sebesar 105,90 persen, masih relatif cukup besar disparitasnya

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00

Laki-laki Perempuan Total

SD 94,64 92,84 94,12

SLTP 61,97 71,39 67,87

SLTA 40,29 42,93 41,58

(51)

dengan capaian APM SD yang sebesar 94,12 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 11,78 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang.

Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah.

APM perempuan biasanya lebih rendah daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTA keatas. Pada jenjang ini mulai

(52)

terjadi perbedaan pandangan antara orang tua yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga.

Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Grafik 4.4 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya karena berbagai faktor, seperti: faktor biaya, melakukan perkawinan, ataupun karena bekerja. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang (terutama di perdesaan) yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD atau SLTP, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan.

Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang harus terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah

(53)

berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah?

Grafik 4.4.

APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

Dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa

99,21 99,40 99,30

85,93 93,37 89,68

53,96 59,40 56,62

10,06 12,67 11,38

Laki-laki Perempuan Total

(54)

pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Grafik 4.5.

Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas

Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2012-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2011-2012

13,22 34,32 24,44 21,98 6,04 9,78 38,16 23,81 22,53 5,72

< SD

SD

SLTP

SLTA

PT

(55)

Dari sisi pemerataan pendidikan khususnya bagi penduduk perempuan masih relatif rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Menurut data survei tahun 2013, penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang mampu melanjutkan pendidikan SLTP keatas sekitar 49,32 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2012, yaitu 49,42 persen. Namun kondisi ini jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebesar 46,47 dan 44,95 persen. Ada sedikit perbedaan atara penduduk laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 2013, penduduk laki-laki yang mampu menyelesaikan pendidikan SLTP keatas mencapai 54,80 persen, sedangkan penduduk perempuan sebesar 49,32 persen. Atau selisih sebesar 5,48 persen.

Dari perkembangan data pendidikan yang ditamatkan, dapat terlihat bahwa masih ada sebagian masyarakat yang mengedepankan pendidikan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, namun tidak terlalu mencolok. Hal ini ditandai oleh kondisi pada setiap jenjang pendidikan terutama sampai dengan tingkat SLTP, kesenjangan pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan relatif tidak jauh berbeda. Menurut data survei tahun 2013, persentase penduduk perempuan yang tamat SD mencapai 40,21 persen relatif lebih baik dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 36,12 persen. Pola yang sama terjadi pula pada tingkat pendidikan SLTP, persentase penduduk perempuan yang tamat SLTP mencapai 23,91 persen sedikit diatas penduduk laki-laki yang mencapai 23,71 persen.

(56)

Perbedaan mulai terlihat pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat pendidikan SLTA, pada tahun 2013 persentase penduduk perempuan yang menamatkan pendidikan SLTA baru mencapai 20,05 persen jauh lebih rendah dibandingkan penduduk laki-laki yang mencapai 25,01 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya lokasi sekolah SLTA relatif lebih jauh, sehingga ada kecenderungan orang tua untuk lebih berani mengirimkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk bersekolah ke tempat yang relatif jauh. Selain itu karena ada pemikiran bahwa suatu saat setelah dewasa, anak laki-laki lebih berkewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perlu bekal pendidikan yang cukup sebagai bekal untuk mencari nafkah pada saat memasuki dunia kerja.

Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Penduduk yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai jalur pendidikannya diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam berbagai kegiatan, sehingga dimasa mendatang mereka dapat hidup lebih layak.

Gambar

Grafik 6.1  Komposisi Penduduk   Kabupaten Bandung Tahun 2013
Tabel Lampiran 1.
Tabel Lampiran 2.
Tabel Lampiran 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

pengabdian kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam kontrak kerja sama antara Direktur Badan Layanan Umum Politeknik Kesehatan

Pada tahun 2011 unit usaha KUD Misaya Mina Eretan Wetan terdapat 4 unit usaha, diantaranya: unit tempat pelelangan ikan, unit bahan alat perikanan (BAP) dan solar packer

bahwa pengajaran sastra semakin menjauhkan anak didik dari karya sastra. Pendapat tersebut mengacu terhadap penggunaan satu sumber belajar dan pemberian contoh

Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian, dimana kebijakan, rencana dan/atau program menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang

pakai yang lain tadi diluar pak diluar emas, perak, uang kita munculkan mulai dari perniagaan ini adalah trade incomes, ini beda dengan industry, pabrik sepatu

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis uji-t dua sampel yang independen untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan civic disposition siswa antara

Prediksi yang dibuat siswa tidak dibatasi oleh guru, sehingga guru juga dapat mengerti miskonsepsi apa yang banyak terjadi pada diri siswa. Hal ini penting bagi guru dalam