• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Kesehatan

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 25-37)

PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG KESEHATAN

3.1. Kondisi Kesehatan

Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan. Salah satu faktor penting dalam konsep pembangunan manusia adalah pembangunan di bidang kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

Defini kesehatan adalah keadaan sejahtera dari fisik dan jiwa seseorang yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan tidak hanya terbebas dari penyakit semata melainkan merupakan kondisi dinamis yang meliputi kesehatan jasmani, rohani, dan sosial.

Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah kesadaran individu untuk memelihara kesehatan. Memelihara kesehatan menunjukkan adanya upaya untuk menanggulangi dan

mencegah gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,

pengobatan dan perawatan termasuk kondisi kehamilan dan persalinan. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan diperlukan dukungan pemerintah sebagai fasilitator dengan mengadakan berbagai penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pendidikan kesehatan ini diberikan kepada masyarakat sebagai

pengalaman belajar untuk mempermudah adaptasi secara sukarela terhadap perilaku yang kondusif bagi kesehatan. Dengan berjalannya waktu kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan akan tercipta dan derajat kesehatan yang tinggi akan tercapai.

Peningkatan derajat kesehatan sebagai salah satu komponen inti dari pembangunan manusia sejalan dengan visi pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah yaitu tercapainya penduduk dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu daerah potensial di propinsi Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang cukup besar serta wilayah yang cukup luas. Dengan jumlah penduduk yang besar tersebut menjadikan upaya peningkatan derajat kesehatan membutuhkan strategi yang tepat sesuai dengan kondisi yang ada. Salah satu indikator yang mempengaruhi derajat kesehatan adalah angka kematian bayi (AKB). Meningkatnya derajat kesehatan di suatu wilayah salah satunya ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi.

Penurunan angka kematian bayi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah terutama dalam melakukan intervensi terhadap problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Peningkatan akses terhadap layanan kesehatan harus tetap diprioritaskan terutama pada daerah yang memiliki persebaran AKB yang cukup tinggi seperti di wilayah Bandung bagian selatan. Dengan demikian angka kematian bayi di Kabupaten Bandung dapat ditekan.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi. Salah satu faktor penyebab kematian bayi adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk mempercayakan proses persalinan terhadap tenaga ahli kesehatan. Peranan tenaga kesehatan sangat penting dalam menangani proses persalinan. Persalinan yang dilakukan oleh tenaga ahli seperti dokter atau bidan tentu akan lebih aman jika dibandingkan dengan dukun atau tenaga non medis lainnya.

Upaya yang dilakukan pemerintah di Kabupaten Bandung untuk mengintervensi problem-problem kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi, dan anak telah tergambarkan dengan capaian yang cukup menggembirakan. Berdasarkan hasil survei beberapa tahun terakhir diperlihatkan bahwa peranan tenaga kesehatan sudah semakin dominan, dan setiap tahun terus ditingkatkan. Kondisi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa penanganan persalinan oleh tenaga kesehatan yang mencakup dokter, bidan dan tenaga kesehatan lainnya mencapai 63,55 persen. Sedangkan persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis seperti dukun bersalin dan lainnya adalah sebesar 36,45 persen.

Pada tahun 2010 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis meningkat menjadi sebesar 43,64 persen. Setahun berjalan dengan berbagai upaya dari pemerintah untuk terus menggalakkan peranan tenaga kesehatan dalam membantu persalinan, akhirnya pada tahun 2011 peranan tenaga non medis dalam menangani persalinan dapat diturunkan menjadi sebesar 26,01 persen.

Pada tahun 2012 persalinan yang dibantu oleh tenaga non medis menurun kembali menjadi sebesar 22,20 persen. Hal yang cukup

menggembirakan diperlihatkan berdasarkan kondisi hasil survei terakhir pada tahun 2013, dimana peranan tenaga non medis dalam menangani proses persalinan menurun cukup signifikan hingga mencapai 16,50 persen. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan sudah semakin baik dan kesadaran masyarakat di wilayah Kabupaten Bandung sudah cukup tinggi akan pentingnya peranan tenaga kesehatan dalam membantu proses persalinan.

Grafik 3.1.

Persentase Balita Berdasarkan Penolong Pertama Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Penanganan persalinan oleh tenaga non medis memiliki peluang yang lebih besar untuk terkena infeksi atau perawatan pasca persalinan

5,59 57,51 0,45 36,18 0,27 7,88 47,87 0,61 42,94 0,70 5,08 68,91 - 25,31 0,70 5,88 70,59 1,33 22,01 0,19 7,89 75,12 0,49 16,32 0,18 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya

yang kurang baik dibandingkan dengan persalinan yang ditolong oleh tenaga medis seperti dokter, bidan, maupun tenaga paramedis. Oleh karena itu, peranan tenaga medis dalam pertolongan persalinan harus terus ditingkatkan. Karena berbagai hal, masyarakat masih menggunakan bantuan dukun bersalin pada proses persalinan, maka upaya untuk meningkatkan kualitas penanganan persalinan agar dilakukan, baik dengan cara pelatihan bagi dukun bersalin, maupun kemitraan dukun bersalin dengan tenaga kesehatan.

Dalam proses persalinan kerap terjadi beberapa kasus rujukan dikarenakan terjadi satu dan lain hal selama persalinan. Pada umumnya hal ini terjadi pada kasus persalinan yang ditangani oleh dukun bersalin atau tenaga non medis lainnya. Ketika terjadi sesuatu di luar kemampuan dukun bersalin/tenaga non medis lainnya selama proses persalinan biasanya dukun bersalin tersebut melakukan rujukan ke bidan/dokter untuk membantu menangani persalinan.

Pada gambar 3.1. dan 3.2. terlihat bahwa selama lima tahun terakhir terlihat banyak terjadi kasus rujukan persalinan yang dilakukan oleh dukun bayi kepada bidan atau dokter. Pada tahun 2009 pertolongan pertama oleh dukun bayi sebesar 36,18 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 34,43 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 5,94 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,59 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 59,01 persen (dari penolong pertama kelahiran 75,12 persen).

Pada tahun 2012 pertolongan pertama persalinan oleh dukun bayi sebesar 22,01 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 21,63

persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 7,21 persen (dari penolong pertama kelahiran 5,88 persen) dan oleh bidan sedikit menurun menjadi 69,26 persen (dari penolong pertama kelahiran 70,59 persen). Demikian pula pada tahun 2013 pertolongan pertama oleh dukun bayi tercatat sebesar 16,32 persen dan pertolongan terakhir menurun menjadi 12,79 persen. Sementara itu penolong terakhir persalinan oleh dokter meningkat menjadi 9,00 persen (dari penolong pertama kelahiran 7,89 persen) dan oleh bidan meningkat menjadi 77,39 persen (dari penolong pertama kelahiran 58,73 persen).

Grafik 3.2.

Persentase Balita Berdasarkan Penolong Terakhir Kelahiran di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

5,94 59,01 0,45 34,43 0,17 7,80 48,46 0,41 41,80 1,53 5,40 72,41 0,31 21,88 0,00 7,21 69,26 1,71 21,63 0,19 9,00 77,39 0,64 12,79 0,18 Dokter Bidan Nakes Lain Dukun Lainnya

Tinggi rendahnya angka kematian bayi (AKB) juga berkaitan erat dengan faktor yang ditinjau dari sisi ibu yang melahirkan. Salah satu diantaranya adalah usia perkawinan pertama. Usia perkawinan pertama yang semakin meningkat, akan membuat perempuan semakin dewasa dalam membina rumahtangganya, termasuk dalam perilaku kesehatannya. Perempuan dengan usia yang matang lebih siap memiliki keturunan. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, usia perkawinan pertama perempuan di Kabupaten Bandung rata-rata terjadi pada usia 22 tahun.

Grafik 3.3.

Angka Kematian Bayi (AKB) dan

Rata-rata Umur Perkawinan Pertama Perempuan di Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

36,02 34,75 34,17 34,05 34,01

22,56 22,35 22,03 21,64 22,14

2009 2010 2011 2012 2013

Disamping akibat faktor penanganan pada saat persalinan dan pengaruh usia perkawinan pertama, tinggi rendahnya angka kematian bayi juga dipengaruhi oleh kualitas gizi berupa pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan makanan, serta pemberian imunisasi. Berdasarkan data Survei Khusus IPM Tahun 2013, pada umumnya balita yang telah diberi ASI selama lebih dari satu tahun tercatat sebesar 86,43 persen. Dari total balita yang pernah diberi ASI, sebanyak 5,58 persen diberi ASI kurang dari 6 bulan, dan 8,00 persen diberi ASI hanya sampai berumur satu tahun. Dan sebagian besar balita (41,03 persen) diberi ASI sampai berumur diatas dua tahun. Dengan demikian terlihat bahwa kesadaran masyarakat di Kabupaten Bandung untuk memberikan ASI kepada buah hatinya semakin meningkat.

Grafik 3.4.

Persentase Balita Menurut Lamanya Diberi ASI di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013 1 - 5 bulan 5,58 % 6 - 11 bulan 8,00 % 12 - 17 bulan 22,57 % 18 - 23 bulan 22,83 % > 24bulan 41,03 %

Pemberian ASI yang seharusnya didapat seorang anak dengan berbagai keunggulannya, mungkin saja tidak dapat dilakukan karena berbagai alasan, seperti meninggalnya ibu pasca persalinan, ASI yang tidak keluar, atau keluar tapi volumenya tidak mencukupi kebutuhan bayi. Asupan gizi lain bisa diberikan sebagai makanan pendamping ASI.

Disamping peningkatan lamanya pemberian ASI, berdasarkan data hasil survei tahun 2013 ditemukan indikasi adanya peningkatan jumlah balita yang pernah diberi ASI dibandingkan dengan tahun 2012. Secara umum balita yang pernag diberi ASI pada tahun 2013 mencapai 95,23 persen.

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

95,00 % 5,00 %

Grafik 3.5. Persentase Balita Laki-laki Menurut Pernah atau Tidaknya

Diberi ASI

di Kabupaten Bandung Tahun 2013

Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI

95,47 % 4,53 %

Grafik 3.6.

Persentase Balita Perempuan Menurut Pernah atau Tidaknya

Diberi ASI

di Kabupaten Bandung Tahun 2013

Pernah Diberi ASI Tidak Pernah Diberi ASI

Sebagian besar balita laki-laki pernah diberi ASI selama 6 bulan atau lebih dengan persentase sebesar 95,00 persen sedangkan sisanya sebesar 5,00 persen tidak pernah diberi ASI sama sekali. Demikian pula tidak jauh berbeda dengan balita perempuan yang pernah diberi ASI mencapai 95,47 persen. Hanya sebagian kecil yakni sebesar 4,53 persen balita perempuan yang tidak pernah diberi ASI. Kondisi tersebut menunjukkan kesadaran para orang tua semakin tinggi akan pentingnya membangun kebersamaan dalam membesarkan anak-anak, tanpa adanya perbedaan perlakuan dalam pemenuhan kebutuhan gizinya termasuk dalam pemberian ASI.

Derajat kesehatan di suatu wilayah ditentukan oleh kesadaran setiap individu terhadap pentingnya menjaga kesehatan baik fisik maupun mental. Dari segi fisik, tubuh manusia memerlukan makanan untuk menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan gizi bervariasi sesuai dengan tingkatan umur. Seiring dengan perkembangan usia, semakin besar, anak membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Kebutuhan gizi remaja akan berbeda dengan bayi dan balita, sama halnya dengan kebutuhan gizi dewasa akan berbeda dengan kebutuhan gizi remaja maupun orang tua. Tubuh yang kurang menerima asupan gizi akan mudah mengalami berbagai keluhan kesehatan. Orang yang mengalami kekurangan zat gizi berpeluang besar mengalami hambatan dalam pertumbuhan, baik itu fisik maupun mental. Secara lahiriah salah satunya dapat terlihat dari ukuran tubuh dibawah rata-rata ukuran tubuh normal, kurangnya kecerdasan, selalu lesu, mata minus, dan berbagai permasalahan akibat kurang gizi lainnya.

Grafik 3.7.

Persentase Penduduk Yang Mengalami Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung

Tahun 2009-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Pada tabel 3.7. terlihat bahwa penduduk yang mengalami keluhan kesehatan cenderung menurun dalam kurun waktu 2010 sampai dengan 2012 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Namun selama tahun 2013 terjadi sedikit kenaikan jumlah penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Hal ini dikarenakan faktor luar dimana cuaca ekstrim yang sering terjadi akhir-akhir ini cukup mengganggu daya tahan tubuh. Secara umum, gambaran di atas memberikan indikasi bahwa kualitas kesehatan

25,36 27,72 21,43 23,32 27,64 27,84 28,66 22,57 25,20 27,19 26,6 28,19 21,99 24,25 27,41 2009 2010 2011 2012 2013

penduduk di Kabupaten Bandung dalam kurun waktu lima tahun terakhir sudah semakin baik. Hal ini dapat merupakan akibat dari pola hidup sehat masyarakat yang lebih baik, juga didukung oleh promosi serta pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Grafik 3.8.

Persentase Lamanya Sakit

Penduduk Kabupaten Bandung, Tahun 2009-2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2009-2013

Kualitas kesehatan penduduk juga dapat digambarkan melalui lamanya penduduk menderita sakit. Semakin banyak penduduk yang menderita sakit dengan jangka waktu yang singkat maka kualitas

2009 2010 2011 2012 2013 22-30 3,49 8,15 5,46 2,81 4,09 15-21 1,45 3,11 2,88 1,00 1,85 8-14 6,14 10,01 5,23 4,80 5,03 4-7 36,02 40,43 37,51 31,61 31,2 <=3 52,90 38,80 48,92 59,78 57,82 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00

kesehatan penduduk semakin membaik. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa persentase lamanya sakit penduduk Kabupaten Bandung menunjukkan perbaikan. Berdasarkan grafik 3.8. terlihat bahwa sebagian besar penduduk menderita sakit selama seminggu atau kurang. Dari tahun ke tahun, persentase lamanya hari menderita sakit cenderung bergeser menjadi semakin singkat. Pada umumnya proses penyembuhan penyakit sekitar seminggu bahkan kurang dari seminggu.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 25-37)

Dokumen terkait