• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Pendidikan

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 44-57)

PEMBANGUNAN MANUSIA DI BIDANG PENDIDIKAN

4.1. Kondisi Pendidikan

Paradigma pembangunan manusia yang ditinjau dari aspek pendidikan menitikberatkan pada tercapainya kualitas sumber daya manusia yang berintelektual tinggi. Adam Smith (1952), pakar ekonomi klasik, menyatakan bahwa pendidikan dan latihan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Kesejahteraan dan kekayaan suatu bangsa sangat bergantung pada keunggulan intelegensi dan intelektual.

Investasi di bidang pendidikan sangat menguntungkan baik dilihat dari sisi sosial maupun ekonomi. Begitu banyak negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat, tidak lain karena menjadikan pembangunan pendidikan sebagai prioritas penting. Bahkan pembangunan pendidikan menjadi pilar utama penopang pembangunan lainnya.

Pentingnya pembangunan manusia di bidang pendidikan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara adalah untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Tujuan mulia tersebut akan dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh karena itu, pada UUD 1945 ayat 31 dinyatakan bahwa “ setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan dalam ayat 2 ditegaskan bahwa : “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya”. Pada tahun 2013 ini, Pemerintah melalui Kemendiknas telah mencanangkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) atau wajib belajar 12 tahun yang merupakan wujud komitmen kesinambungan dari wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Sehingga diharapkan sebagian besar generasi penduduk Indonesia di masa yang akan datang mampu mengenyam pendidikan sampai dengan SLTA.

Untuk mengaktualisasikan amanah UUD 1945 tersebut, maka pemerintah Indonesia mengatur penyelenggaraan pendidikan melalui Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003. Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi untuk

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah Kabupaten Bandung telah mengedepankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan baik formal maupun non formal. Menjelang era globalisasi, pendidikan merupakan kebutuhan yang semakin penting. Hal ini dikarenakan SDM yang berkualitaslah yang akan mampu bersaing dengan SDM di negara lain. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memfasilitasi pemenuhan

kebutuhan pendidikan bagi masyarakatnya untuk mewujudkan SDM yang bermutu sebagai syarat utama bagi terbentuknya peradaban yang maju.

Terdapat beberapa indikator yang dapat memberikan gambaran mengenai partisipasi penduduk Kabupaten Bandung terhadap pendidikan, yakni Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Indikator-indikator tersebut menunjukkan seberapa besar anak yang berusia menurut tingkat pendidikan tertentu berada dalam lingkup pendidikan dan penyerapan dunia pendidikan formal terhadap penduduk usia sekolah.

Angka partisipasi kasar menunjukkan proporsi anak sekolah baik laki-laki maupun perempuan pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka ini memberikan gambaran secara umum mengenai jumlah anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu, dan biasanya tidak memperhatikan umur siswa. APK suatu jenjang pendidikan mungkin saja mempunyai nilai lebih dari 100. Hal ini disebabkan oleh adanya siswa yang berusia di luar batasan usia sekolah (baik lebih muda ataupun lebih tua), namun bersekolah pada jenjang sekolah usia tersebut.

Sebagai ilustrasi, pada grafik 4.1 terlihat bahwa APK SD untuk kedua jenis kelamin di Kabupaten Bandung adalah 105,90 persen (lebih dari 100 persen). Artinya masih terdapat sekitar 5,90 persen penduduk diluar usia 7-12 tahun yang berstatus murid SD. Hal ini menunjukan bahwa telah tumbuh kesadaran bahwa seorang anak harus bersekolah sesuai dengan usianya.

Dari sudut kesetaraan jender, pada tingkat SLTP maupun SLTA menurut data hasil survei tahun 2013, APK murid perempuan relatif sama dengan APK laki-laki. Artinya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin sampai pada tingkat pendidikan dasar. Disamping itu, dari grafik juga terlihat adanya peningkatan partisipasi sekolah sampai pada tingkat sekolah menengah pertama. Hal ini dimungkinkan karena penerapan wajib belajar 9 tahun yang sudah berlangsung selama ini telah menunjukkan capaiannya.

Grafik 4.1.

APK Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

104,19 107,57 105,9 81,05 88,28 85,64 48,2 51,88 49,73 8,28 11,71 10,02 0 20 40 60 80 100 120

Laki-laki Perempuan Total

Bila dibandingkan dengan data APK tahun 2012, APK tingkat SLTP dan SLTA mengalami kenaikan. APK SLTP meningkat dari 85,48 menjadi 85,64, demikian pula APK SLTA meningkat dari 48,83 menjadi 49,73. Hal ini menujukkan partisipasi sekolah penduduk di jenjang SLTP dan SLTA semakin banyak. Demikian pula untuk APK SD mengalami kenaikan dari 103,17 di tahun 2012 menjadi 105,90 di tahun 2013. Sementara itu, APK Pergurun tinggi turun dari 13,58 menjadi 10,02.

Tabel 4.1.

APK Menurut Jenis Kelamin, dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2012-2013

Jenjang Pendidikan 2012 2013 L P L+P L P L+P SD 104,14 101,36 103,17 104,19 107,57 105,90 SLTP 80,46 94,80 85,48 81,05 88,28 85,64 SLTA 48,46 48,59 48,83 48,20 51,88 49,73 PT 15,42 10,15 13,58 8,28 11,71 10,02 Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2012-2013

Proporsi anak sekolah pada satu kelompok umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya dapat ditunjukkan oleh APM. APM selalu lebih rendah dibandingkan APK

karena pembilangnya lebih kecil sementara penyebutnya sama. APM membatasi usia siswa sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikan sehingga angkanya lebih kecil. APM adalah indikator yang menunjukkan proporsi penduduk yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan dan usianya sesuai dengan usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut.

Grafik 4.2.

Perbandingan APK dan APM Menurut Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

APM yang bernilai 100 menunjukkan bahwa semua penduduk bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya. APM SD di Kabupaten Bandung pada tahun 2013 adalah

105,9 85,64 49,73 10,02 94,12 67,87 41,58 9,34 SD SLTP SLTA PT APK APM

sebesar 94,12 persen, artinya sekitar 94 persen siswa usia sekolah SD bersekolah tepat waktu, sesuai dengan usia sekolah dan jenjang pendidikannya.

Grafik 4.3.

APM Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

Ketidaksesuaian usia dengan jenjang pendidikan yang diikuti dapat dilihat dengan jelas dari selisih antara APK dan APM. Pada jenjang pendidikan SD misalnya, capaian APK SD Kabupaten Bandung pada tahun 2013 sebesar 105,90 persen, masih relatif cukup besar disparitasnya

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00

Laki-laki Perempuan Total

SD 94,64 92,84 94,12

SLTP 61,97 71,39 67,87

SLTA 40,29 42,93 41,58

dengan capaian APM SD yang sebesar 94,12 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 11,78 persen murid yang bersekolah di SD tidak sesuai dengan kelompok umur pendidikannya (7-12 tahun). Besarnya kesenjangan tersebut utamanya disebabkan karena sudah ada anak usia pra sekolah (di bawah usia 7 tahun) sudah sekolah di SD, dan ada siswa yang berusia 12 tahun keatas masih bersekolah di SD. Yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai kesenjangan tersebut terjadi karena cukup banyaknya murid yang mengulang kelas. Karena hal ini erat hubungannya dengan kualitas pendidikan, dan kondisi ini dapat mengakibatkan terhambatnya pencapaian rata-rata lama sekolah dan pendidikan yang ditamatkan di masa mendatang.

Pencapaian rata-rata lama sekolah di suatu daerah dewasa ini masing sangat tergantung kemajuan partisipasi murid pada pendidikan formal, utamanya pada jenjang pendidikan SLTP keatas. Dengan besaran APK pada jenjang pendidikan SLTP keatas di Kabupaten Bandung yang masih belum begitu menggembirakan, tampaknya diperlukan langkah-langkah terobosan dan akseleratif oleh segenap komponen; baik jajaran dinas pendidikan, swasta, dan masyarakat agar anak-anak usia sekolah dapat menikmati pendidikan secara baik dan berkelanjutan (sustainable). Perlu diingat, bahwa penghitungan angka rata-rata lama sekolah dihitung hanya untuk golongan usia dewasa (15 tahun keatas). Sehingga apabila partisipasi sekolahnya rendah, maka pertumbuhan angka rata-rata lama sekolahnya cenderung rendah.

APM perempuan biasanya lebih rendah daripada APM laki-laki utamanya pada jenjang pendidikan SLTA keatas. Pada jenjang ini mulai

terjadi perbedaan pandangan antara orang tua yang masih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuannya. Kebanyakan mereka masih menganut paham laki-laki harus diutamakan dalam segala hal, karena laki-laki nantinya akan jadi pemimpin, terutama dalam lingkup paling kecil yaitu keluarga.

Pendidikan yang sedang diikuti digambarkan secara umum oleh Angka Partisipasi Sekolah (APS). Grafik 4.4 memperlihatkan bahwa pada APS penduduk laki-laki relatif lebih rendah dibandingkan APS penduduk perempuan pada kelompok umur pendidikan SD dan SLTP, namun untuk kelompok umur pendidikan yang lebih tinggi, angka partisipasi laki-laki lebih tinggi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena perempuan di Kabupaten Bandung banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya karena berbagai faktor, seperti: faktor biaya, melakukan perkawinan, ataupun karena bekerja. Selain itu masih melekatnya faktor budaya nenek moyang (terutama di perdesaan) yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan terlalu tinggi karena ujung-ujungnya akan ke dapur juga. Sehingga begitu mereka menamatkan SD atau SLTP, tidak perlu lagi melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebagian mereka segera menikah dan sebagian lagi bekerja di dapur atau langsung bekerja untuk membantu mendapatkan penghasilan.

Adalah tugas bersama untuk membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya investasi di bidang pendidikan. Banyak alasan yang harus terjawab, salah satunya adalah apakah pendidikan yang lebih tinggi dapat menjanjikannya masa depan bagi putra putri mereka? Dan apakah

berpendidikan tinggi akan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak dibandingkan dengan mereka yang tidak melanjutkan sekolah?

Grafik 4.4.

APS Menurut Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Kabupaten Bandung, Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2013

Dunia kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah, seolah-olah menggambarkan bahwa kesempatan masuk ke dunia kerja masih terbuka lebar meskipun dengan tingkat pendidikan yang relatif terbatas. Sehingga memunculkan anggapan di masyarakat bahwa

99,21 99,40 99,30

85,93 93,37 89,68

53,96 59,40 56,62

10,06 12,67 11,38

Laki-laki Perempuan Total

pendidikan tinggi belum menjadi jaminan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan. Rendahnya kesempatan kerja di Kabupaten Bandung tidak saja dirasakan oleh mereka yang berpendidikan rendah, namun juga bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Pada akhirnya orangtua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya guna membantu usaha orang tua atau meringankan beban ekonomi keluarga ketimbang menyekolahkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Grafik 4.5.

Persentase Penduduk Usia 10 Tahun Keatas

Menurut Pendidikan Yang Ditamatkan dan Jenis kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2012-2013

Sumber : BPS Kabupaten Bandung, Survei Khusus IPM 2011-2012

13,22 34,32 24,44 21,98 6,04 9,78 38,16 23,81 22,53 5,72

< SD

SD

SLTP

SLTA

PT

Dari sisi pemerataan pendidikan khususnya bagi penduduk perempuan masih relatif rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Menurut data survei tahun 2013, penduduk perempuan usia 10 tahun keatas yang mampu melanjutkan pendidikan SLTP keatas sekitar 49,32 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2012, yaitu 49,42 persen. Namun kondisi ini jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebesar 46,47 dan 44,95 persen. Ada sedikit perbedaan atara penduduk laki-laki dan perempuan dalam melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 2013, penduduk laki-laki yang mampu menyelesaikan pendidikan SLTP keatas mencapai 54,80 persen, sedangkan penduduk perempuan sebesar 49,32 persen. Atau selisih sebesar 5,48 persen.

Dari perkembangan data pendidikan yang ditamatkan, dapat terlihat bahwa masih ada sebagian masyarakat yang mengedepankan pendidikan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, namun tidak terlalu mencolok. Hal ini ditandai oleh kondisi pada setiap jenjang pendidikan terutama sampai dengan tingkat SLTP, kesenjangan pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan relatif tidak jauh berbeda. Menurut data survei tahun 2013, persentase penduduk perempuan yang tamat SD mencapai 40,21 persen relatif lebih baik dibandingkan laki-laki yang hanya mencapai 36,12 persen. Pola yang sama terjadi pula pada tingkat pendidikan SLTP, persentase penduduk perempuan yang tamat SLTP mencapai 23,91 persen sedikit diatas penduduk laki-laki yang mencapai 23,71 persen.

Perbedaan mulai terlihat pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pada tingkat pendidikan SLTA, pada tahun 2013 persentase penduduk perempuan yang menamatkan pendidikan SLTA baru mencapai 20,05 persen jauh lebih rendah dibandingkan penduduk laki-laki yang mencapai 25,01 persen. Kondisi ini dapat dimaklumi, karena pada umumnya lokasi sekolah SLTA relatif lebih jauh, sehingga ada kecenderungan orang tua untuk lebih berani mengirimkan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk bersekolah ke tempat yang relatif jauh. Selain itu karena ada pemikiran bahwa suatu saat setelah dewasa, anak laki-laki lebih berkewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perlu bekal pendidikan yang cukup sebagai bekal untuk mencari nafkah pada saat memasuki dunia kerja.

Pendidikan merupakan elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu, masyarakat dan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, semakin baik kualitas sumber dayanya. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Penduduk yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai jalur pendidikannya diharapkan dapat meningkatkan partisipasinya dalam berbagai kegiatan, sehingga dimasa mendatang mereka dapat hidup lebih layak.

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 44-57)

Dokumen terkait