• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA

4.1 Kondisi Geografi

Kelurahan Kebonlega merupakan satu dari enam kelurahan di wilayah Kecamatan Bojongloa Kidul, Kotamadya Bandung. Wilayah ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kelurahan ini 117,85 Ha, yang terbagi atas 11 Rukun Warga (RW) dan 70 Rukun Tetangga (RT). Secara administrasi Kelurahan Kebonlega berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara : Kelurahan Situsaer b. Sebelah Selatan : Kelurahan Cibaduyut c. Sebelah Barat : Kelurahan Babakan Ciparay d. Sebelah Timur : Kelurahan Mekarwangi

Berdasarkan kondisi geografis tersebut, wilayah ini cukup strategis sebagai daerah yang bisa dijadikan alternatif bagi kaum pekerja migran dalam mencari pekerjaan di bidang sektor informal dikarenakan terdapatnya sarana sosial berupa terminal bus Leuwipanjang, kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut. Kondisi ini juga secara tidak langsung akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, termasuk masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.

Penggunaan lahan di wilayah Kelurahan Kebonlega pada saat ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan Kebonlega, 2006

No Penggunaan Lahan Luas (Hektar) %

1 Perumahan /Pemukiman 85,35 72,42

2 Areal Perdagangan/pertokoan 10,25 8,69

3 Sekolah dan Perkantoran 9,50 8,06

4 Sarana Peribadatan 2,40 2,03

5 Sarana Jalan 9,00 7,63

6 Tanah kebun dan lainnya 1,35 1,14

Jumlah 117,85 100

43 Berdasarkan tingkat penggunaan lahan tersebut, sebagian besar lahan yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega digunakan untuk perumahan/pemukiman yaitu 85,35 Hektar (72,42%). Kondisi ini seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah ini baik melalui proses fertilitas maupun proses migrasi. Untuk lebih jelasnya peruntukan lahan di Kelurahan Kebonlega dapat dilihat pada gambar 2:

KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN

Perumahan / Pemukiman Areal perdagangan/pertokoan Sekolah/perkantoran Sarana peribadatan Jalan

Tanah Kebun dan Lainnya

Gambar 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006

Jarak dari pusat pemerintahan kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan 2,5 km. Jarak ke pusat pemerintahan kotamadya 9 kilometer, dan jarak ke pusat pemerintahan propinsi 11 kilometer. Lokasi Kelurahan Kebonlega dilalui jalan protokol yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Wilayah ini juga sebagai pintu masuk dari arah Barat, yaitu dengan adanya Terminal Bus Leuwipanjang. Keberadaan sarana terminal ini sangat memberikan peluang bagi usaha ekonomi sektor informal. Kelurahan ini juga merupakan bagian dari areal sektor industri sepatu Cibaduyut. Industri Sepatu Cibaduyut adalah salah satu sektor yang ditawarkan Kota Bandung dalam wisata belanja.

Keberadaan terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang, secara langsung dapat memberikan dampak bagi warga masyarakatnya. Di samping memberi peluang usaha bagi sektor informal, juga memberikan dampak lain berupa munculnya perumahan padat sekitar terminal, maraknya premanisme di areal terminal, maraknya dunia hiburan malam seiring dengan maraknya prakek prostitusi. Kondisi ini secara langsung menjadi penyebab timbulnya penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA

44 4.2. Kondisi Demografi

Jumlah penduduk Kelurahan Kebonlega pada bulan Nopember 2006 tercatat 18.267 jiwa, terdiri dari 9.231 jiwa (50,54 persen) laki-laki dan 9.036 jiwa (49,46 persen) perempuan. Tingkat kepadatan penduduk sebanyak 16.340 jiwa per kilometer persegi. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan, penduduk di Kelurahan Kebonlega sangat heterogen dari berbagai budaya dan etnis. Dari jumlah penduduk tersebut jumlah warga negara keturunan sebanyak 728 jiwa (3,98 persen). Piramida penduduk dapat dilihat pada Gambar 3.

: Laki-laki Perempuan

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Laki-laki (dalam ratusan) Perempuan

Gambar 3. Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega tahun 2006

Jumlah penduduk pada kelompok umur 15 sampai 44 tahun menempati jumlah terbanyak yaitu 9.181 jiwa (50,25 persen ) dari jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Kebonlega. Kondisi tersebut bahwa di wilayah ini memiliki tenaga produktif yang juga merupakan satu pontensi dalam sumberdaya manusia apabila diberdayakan secara optimal. Pada sisi yang lain, golongan usia tersebut termasuk golongan usia yang rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kondisi ini juga menandakan bahwa penduduk wilayah ini dalam katagori penduduk muda, artinya usia muda produktif mendominasi dari kalkulasi golongan umur yang lebih tua. Pada kelompok umur di bawah lima tahun menjadi urutan ketiga terbanyak, yaitu

> 65 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 0 - 04

45 9,09 persen dari total penduduk. Penduduk Kelurahan Kebonlega mempunyai jumlah penduduk usia produktif relatif banyak, hal ini dikarenakan wilayah ini dijadikan satu alternatif tujuan para pekerja migran untuk mencoba menggantungkan nasibnya di wilayah ini baik sebagai buruh lepas atau pekerja serabutan, usaha jualan kaki lima. Kebiasaan pekerja sektor ini pada umumnya dilakukan setelah musim tanam telah selesai dimana kurangnya aktivitas yang dilakukan di desanya. Keberadaan pekerja migran terbagi pada wilayah RW 09, RW 11, dan RW 13. Lokasi tersebut dikategorikan sebagai wilayah pemukiman padat dan kumuh. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara warga perumahan golongan atas (real estate), terutama di wilayah RW 9 dan RW 10 dengan pemukiman yang padat dan kumuh, tidak layak huni baik segi kesehatan, sosial dan keamanan. Secara tindak langsung kondisi seperti demikian bisa menjadi pemicu timbulya permasalahan sosial berupa semakin melebarnya jarak pemisah antara kaum berekonomi tinggi dengan perumahan padat.

Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, dapat pengkaji jelaskan bahwa keberadaan etnis keturunan China yang berada di pemukiman masyarakat lokal sudah terjadi proses pembauran dengan warga sekitar, sementara yang memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha di sepanjang jalan yang strategis pada umumnya relatif eksklusif dengan warga. Dalam menghadapi berbagai kegiatan yang memerlukan dukungan partisipasi dari masyarakat, pada umumnya warga keturunan relatif lebih memberikan bentuk partisipasinya dalam bentuk dana ataupun materi lainnya.

Tingginya usia produktif membawa implikasi pada tingginya angkatan kerja. Kondisi tersebut jika tidak dibarengi dengan upaya-upaya berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja, maka akan terjadi penumpukan jumlah angkatan kerja (pengangguran). Situasi seperti ini secara langsung dapat menimbulkan munculnya berbagai konflik sosial sebagai akibat timbulnya pergesekan berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Munculnya berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan satu konsekuensi dari kehidupan di wilayah perkotaan yang heterogen, konsumtif, individualis, dan sarat dengan kompetitif.

46 4.3 Sistem ekonomi

Mata pencaharian penduduk Kelurahan Kebonlega sangat beragam sebagaimna gambaran penduduk perkotaan pada umumnya. Sektor jasa dan informal merupakan pilihan sebagian besar penduduk wilayah ini. Pada sektor swasta, umumnya sebagai besar warga masyarakat sebagai pekerja/buruh. Adanya keterbatasan kemampuan dalam mengakses lembaga-lembaga pemberi pelayanan yang sudah terbentuk dalam jejaring sosial (networking), serta rumitnya prosedur dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebagai akibat adanya birokrasi yang berbelit-belit, menyebabkan sebagian besar warga memilih mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal, seperti pedagang kecil dengan modal terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:. Tabel 5. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut

Mata Pencaharian Tahun 2007

No Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) %

1 PNS/TNI/POLRI 565 5,63 2 Buruh/Karyawan Swasta 5.920 59,05 3 Pedagang 3.442 34,33 4 Petani ladang 14 0,14 5 Pengrajin 83 0,82 Jumlah 10.024 100

Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006

Pihak swasta memberikan kontribusi yang relatif besar dalam penyerapan tenaga kerja terutama sektor jasa dan hiburan. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan yang ditandai cepatnya pertumbuhan sektor industri dan jasa, menjadikan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh/karyawan di perusahaan domestik maupun asing. Wilayah ini juga merupakan alternatif bagi pekerja migran untuk memperoleh fasilitas kerja, terutama sejak dioperasionalkannya terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang. Sebagai gambaran penduduk pendatang yang masuk untuk periode Nopember 2006 saja di Kelurahan Kebonlega tercatat 35 orang, sementara yang pindah sebanyak 19 orang (Mantis Kecamatan Bojongloa Kidul), secara langsung

47 pergerakan penduduk/mobilitas penduduk wilayah ini termasuk tinggi. Rata-rata dalam setiap tahunnya penduduk pendatang yang masuk wilayah ini sebanyak tercatat 365 orang/tahun, sementara yang pindah dari wilayah Kelurahan Kebonlega sebanyak 120 orang/tahun.

Usaha mikro kecil dan menengah yang ada di Kelurahan Kebonlega sangat bervariasi dari mulai pengrajin sepatu, tas, konpeksi, pembuat roti, usaha jasa servis motor, jasa servis barang elektronik, jasa tambal ban, sampai pada pembuat makanan lokal. Proses produksi dijalankan sebagai usaha kerajinan rumah tangga. Terdapat pula usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama (UBE) berdasarkan jenis produksi yang sama.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah banyak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini menurut pengamatan pengkaji, korban PHK tersebut beralih profesi menjadi pelaku usaha sektor informal. Masalah yang sering muncul berkenaan dengan terbatasnya lahan usaha yang tidak jarang di razia petugas penertiban satuan polisi pamong praja. Sebab keberadaan para pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan kota. Kondisi ini menjadikan satu dilema baik pihak pemerintahan kota, juga sebaliknya bagi pelaku usaha sektor informal berupa pedagang kaki lima.

Keberadaan masyarakat di Kelurahan Kebonlega yang merupakan kaum pendatang yang bergerak pada sektor informal pada umumnya berpendidikan relatif rendah, secara langsung bisa memunculkan kondisi yang akrab dengan berbagai keterbatasan yang cenderung menjadi miskin. Sangat beralasan mengapa para pelaku usaha sektor informal memilih lembaga keuangan model rentenir dalam modal usahanya. Dampak klasik dari praktek ini adalah warga masyarakat mulai terbelit dengan bunga pinjaman yang membelit dan berakar. Kondisi ini tidak gampang dalam upaya penanganannya, justru pada sisi yang lain kebijakan pemerintah yang lebih memihak pelaku usaha bermodal besar daripada bermitra kerja dengan pelaku usaha yang modalnya kecil, tidaklah berlebihan justru kondisi diciptakan kemiskinan yang tersetruktur. Hal ini ditandai dengan: beratnya persyaratan yang harus dilengkapi, birokrasi yang berbelit, ketidak-percayaan pihak perbankan kepada sektor informal, juga akibat dari pelaku usaha sektor informal sendiri dalam proses mengakses pelayanan modal tersebut.

Dokumen terkait