• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA,

PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF

(Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul,

Kota Bandung)

SUGIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustakan di bagian akhir tugas ini.

Bogor, Maret 2008.

Sugianto

NRP. I. 354060045

(3)

ABSTRACT

SUGIANTO, Strengthening of Religious Institution in Preventing Narcotic and Drugs Misuse. Under direction of DJUARA P.LUBIS and. CAROLINA NITIMIHARDJO

Narcotic and drugs misuse issues are the complex problems if they are seen from their causal and consequential factors appeared by them in relation with physical, physicis, economic, spiritual and environmental security factors. This problem impact is seen as a serious issue, therefore it is required for a comprehensive effort and include all community elements. One of effors conducted is related with this problem is a preventive effort. A research was carried out at Subdistrict of Kebonlega which has characteristic as a sensitive area for narcotic and drugs misuse, such presence of public facilities as the Leuwi panjang’s intercity and inter-provincial buses terminal. In other hand, it is located here the Banceuy’s I A Class Special Narcotic and Drug Jail which can provide some contribution on this preventive effort. This research was performed in three phases from social mapping, identification of society developmental program, and society developmental review. Some preventive effort in this research is throughout implementation of religious institutional strengthening conducted by Mesjid Al-Hudda Family Board. This institutional existence as a social force for counteraction power in improving religious values and other social norms. Some instances that must be strengthened by religious institution in this investigation include human resources factor, institutional capacity factor in increasing its ability to develop networks and competency to collect institutional fund. Data collection are performed by making of primary and secondary data inventory. Meanwhile problem and demand analysis for religious institution are carried out with problematic tree analogy. And activities alternative formulation in this research are improvements for individual, institutional, and family institutional capacities. This research obyective is to improve community ability in preventing of narcotic and drugs misuse.

(4)

RINGKASAN

SUGIANTO

.

Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan CAROLINA NITIMIHARDJO.

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) merupakan permasalahan yang kompleks baik dilihat dari faktor penyebabnya maupun dampak yang ditimbulkannya. Penyebabnya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk fisik, kejiwaan pelaku, serta faktor lingkungan baik makro maupun mikro. Dampak buruk yang ditimbulkannya juga sangat kompleks dan luas, tidak hanya terhadap pelakunya, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, ekonomi bagi orang tua dan keluarga. Permasalahan sosial ini, untuk saat sekarang sudah menembus berbagai lapisan usia dan berbagai lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan proses upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA memerlukan strategi yang bias mewujudkan adanya penguatan rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan NAPZA melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan social, dan pengembangan idiologi. Menyadari bahwa permasalahan ini sangat kompleks dan bersifat holistik, maka dipandang perlu adanya upaya yang menyeluruh melibatkan semua elemen masyarakat. Keberadaan lembaga keagamaan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) Al-Hudda dipandang sebagai suatu institusi lokal yang keberadaannya sudah melembaga ditengah-tengah kehidupan masyarakat, yang memiliki daya tangkal terhadap pengaruh kehidupan negatif.

Penguatan lembaga keagamaan berkolerasi dengan melembaganya nilai-nilai keimanan berdasarkan agama yang dianutnya. Keimanan akan memandu kaidah-kaidah dasar kesehatan dan prilaku preventif. Keimanan akan menuntun untuk mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis, sehingga dalam melakukan kegiatan selalu dengan proporsional. Melalui penguatan lembaga keagamaan ini diharapkan akan lebih melembaga nilai dan kaidah ajaran agama yang dianutnya.

Penilitian dilakukan di Kelurahan Kebonlega yang memiliki nilai strategi dalam dunia usaha karena dilalui jalan utama penghubung dengan darah sekitar wilayah selatan Jawa Barat. Wilayah ini juga berkarakteristik sebagai wilayah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Kondisi tersebut diperkuat adanya sarana sosial berupa terminal bus antar kota-antar propinsi Leuwipanjang yang secara tidak langsung menciptakan satu kondisi perumahan padat kumuh, munculnya sarana penginapan murah yang disinyalir terdapat praktek prostitusi secara terselubung, dan maraknya hiburan malam sebagai areal yang rawan sebagai penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Pada sisi lain di wilayah ini terdapat Lembaga Pemasyarakatn Khusus Narkotika Klas II A Banceuy

(5)

sebagai lembaga pemerintah yang bertugas membina para narapidana kejahatan NAPZA. Lembaga ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar dalam rangka upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA.

Satu upaya pencegahan yang diterapkan dalam upaya preventif ini yaitu dengan penguatan lembaga keagamaan Dewan Keluarga Mesjid (DKM) Al-Hudda. Keberadaan DKM Al-Hudda dianggap sudah melembaga pada masyarakat sekitarnya dan memiliki daya yang kuat untuk menangkal penyalahgunaan NAPZA, atas dasar menguatnya nilai-nilai agama yang dianutnya. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada proses pengumpulan data, pengkaji menggunakan teknik wawancara mendalam, diskusi kelompok, observasi dan studi dokumentasi. Dalam mengalanisa masalah kajian, pengkaji menggunakan metode Logical Framework Analysis (LFA) dengan alasan metode ini dapat dipergunakan untuk evaluasi dan perencanaan program dalam bentuk kajian aksi pengembangan masyarakat.

Kata kunci : Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif dan lembaga keagamaan

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau keseluruhan karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penuyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN DALAM

PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA,

PSIKOTROPIKA DAN ZAT ADIKTIF

(Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul,

Kota Bandung)

SUGIANTO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tugas Akhir : Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Kasus di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung)

Nama : SUGIANTO NRP. : I. 354060045

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS. Dr. Carolina Nitimihardjo Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana, Profesional Pengembangan

Masyarakat,

Dr. Ir. Djuara P.Lubis, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, MS.

(9)

PRAKATA

Puji Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuria-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir pengembangan masyarakat dengan judul: ” Penguatan Lembaga Keagamaan Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif ” di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung.

Penulisan ini sebagai tugas akhir bagi mahasiswa Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai aplikasi dari materi perkuliahan dan melalui proses Praktek Lapangan I berupa Pemetaan sosial masyarakat dan Praktek Lapangan II berupa Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat. Penulisan tugas akhir ini telah diselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun material sejak pengkajian sampai penulisan laporan ini. Maka bersama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo dan Bapak Dr.Ir Djuara P.Lubis, MS sebagai komisi pembimbing, di sela berbagai kesibukan senantiasa meluangkan waktu telah memberikan barbagai saran dan masukan untuk penyempurnaan kajian. 2. Bapak Ketua Program Studi dan dosen-dosen yang memberi perkuliahan pada

Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Jurusan Ilmu Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor sehingga penulis behasil menyelesakan tugas kajian akhir ini

3. Bapak Budi Sarwono, Bc.IP, SH selaku Kepala Kantor Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (RUPBASAN) Klas I Bandung atas rekomendasi dan dukungannya, sehingga penulis diberikan kesempatan mengikuti pendidikan pascasarjana.

4. Bapak Drs. Momon Setiawan, selaku Sekretaris Kecamatan Bojongloa Kidul yang telah banyak membantu penulis sehingga berhasil menyusun kajian pengengembangan masyarakat.

5. Bapak Kepala Kelurahan Kebonlega beserta jajarannya atas perkenan dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik. 6. Bapak dan ibu tokoh masyarakat Kelurahan Kebonlega, Pekerja Sosial

Masyarakat, Pengelola lembaga keagamaan DKM Al-Hudda atas segala bantuan yang tiada terhingga sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan karya ilmiah kajian pengembangan masyarakat dengan baik dan tepat waktu.

7. Ibunda yang mulia, Istri tercinta Tety Rusyati, dan anak-anakku tersayang Fauzan Adhima dan Fadlan Mahardhika yang selalu memberikan doa, dukungan penuh dari mulai awal perkuliahan sampai terselesaikannya tugas akhir ini.

(10)

8. Rekan-rekan Anggkatan IV Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat yang banyak membantu terselesaikannya penulisan kajian.

Semoga amal perbuatan baiknya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, serta semoga kajian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah kepada pihak-pihak terkait dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 9 Oktober 1966 dari pasangan Bapak Rosidi dan Ibu S.Talka. Penulis adalah anak ke empat dari lima bersaudara.

Pada tahun 1979 menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Gegesik Lor. Tahun 1982 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri Gegesik. Tahun 1985 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas PGRI Arjawinangun. Tahun 1997 menyelesaikan pendidikan Tugas Belajar di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung.

Sejak tahun 1989 hingga tahun 1999, penulis bekerja di Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sulawesi Utara. Pada Tahun 2000, penulis mulai bekerja di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara salah satu Unit Pelaksana Teknis Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan HAM Jawa Barat.

Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat tahun 2006 dengan beasiswa pendidikan dari Departemen Sosial Republik Indonesia.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1.1 NAPZA Dan Penyalahgunaan NAPZA ... 8

2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA ... 10

2.1.3 Komunitas Yang Beresiko Tinggi Terhadap NAPZA ... 15

2.1.4 Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA ... 16

2.1.5 Penguatan Lembaga Keagamaan ... 19

2.1.5 Modal Sosial ... 27

2.2 Kerangka Pemikiran ... 29

III. METODOLOGI PENELITIAN 32

3.1 Metode Kajian ... 32

3.2 Tempat Kajian... ... 32

3.3 Waktu dan Tahapan Kajian ... 34

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.4 Sumber Data dan Cara Menentukannya ... 39

3.5 Pengolahan Data ... 39

3.6 Metode Analisis Masalah dan Rancangan Penyusunan Program... 40

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA 42

4.1. Kondisi Geografis ... 42

4.2 Kondisi Demografi ... 44

4.3. Sistem Ekonomi ... ... 46

4.4 Pendidikan ... 48

4.5 Gambaran Sosial Budaya dan Struktur Komunitas... 48

4.6 Kelembagaan dan Organisasi Sosial ... 50

4.7 Potensi Penguatan Lembaga Keagamaan ... .. 51

4.8 Evaluasi Program Pencegahan Narkoba Berbasis Keluarga. 53

4.8.1 Program Kegiatan... 55

4.8.2 Kepengurusan ... 56

4.8.3 Sumber Dana ... 57

V. PERFORMA LEMBAGA KEAGAMAAN DIKELURAHAN KEBONLEGA 59

(13)

5.2.1 Struktur Kepengurusan DKM Al-Hudda... 67

5.2.2 Karakteristik Pengurus DKM Al-Hudda... 68

5.2 Kapasitas Lembaga DKM Al-Hudda... 69

5.2.1 Kapasitas Individu Pengelola Lembaga DKM AL-Hudda ... 71

5.3 Performa Lembaga Keagamaan DKM Al-Hudda... 72

5.3.1 Manajemen... ... 72

5.3.2 Kepemimpinan ... 74

5.3.3 Pengaksesan Sistem Sumber ... 75

5.3.4 Jejaring Sosial... 76

5.3.5 Kelengkapan Fisik ... 77

VI. RENCANA STRATEGIS PENGUATAN LEMBAGA KEAGAMAAN 79

6.1 Analisis Masalah dan Kebutuhan ... 80

6.2. Analisis Tujuan ... 82

6.3 Analisis Alternatif Kegiatan ... 83

6.4 Analisis Pihak Terkait ... 84

6.5 Potensi Pendukung Program Penguatan Lembaga Keagamaan ... 85

6.6 Program Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA... 86

6.7 Strategi Penguatan Lembaga Keagamaan... 90

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 95

7.1 Kesimpulan ... 95

7.2 Rekomendasi Kebijakan... 96

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jadwal Pelaksanaan (Bulan dan Tahun) Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul,

Kota Bandung... 35

2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega,

Tahun 2007... 38 3 Sumber Data, Tipe dan jumlah subyek Kajian Lembaga

Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007... 39 4 Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan

Kebonlega, 2006... 42 5 Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega

Menurut Mata Pencaharian, Tahun 2007... 46 6 Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega

Menurut Pendidikan... 48 7 Profil Lembaga Keagamaan DKM Al-Hudda, Kerukunan

Pemuda Gereja Filadelfia dan Persaudaraan Muda Dharma 65 8 Nama, Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, dan Lama

Bergabung dengan DKM Subyek Kajian Di Kelurahan

Kebonlega... 68 9 Jadwal Kegiatan Bidang Pendidikan DKM Al-Hudda

Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007... 70 10 Matrik Alternatif Kegiatan Dalam Penguatan Lembaga

Keagamaan... 84 11 Analisis Pihak Terkait Dalam Penguatan Lembaga

Keagamaan... 85 12 Rencana Kegiatan Dalam Rangka Penguatan Lembaga

Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, 2008... 89 13 Materi dan Isi Upaya Pencegahan NAPZA... 91 14 Metode, Teknik dan Media Upaya Pencegahan NAPZA... 92

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan Alur Kerangka Pemikiran... 30 2 Klasifikasi Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega,

2006... 43 3 Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega

Tahun 2006... 44 4 Kepengurusan Kegiatan Pencegahan NAPZA

Berbasis Keluarga... 56 5 Organigram DKM AL-Hudda Kelurahan Kebonleg,

Tahun 2007... 67 6 Analisis Permasalahan Dalam Rangka Penguatan

Lembaga Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega... 81 7 Analisis Tujuan Dalam Rangka Penguatan Lembaga

Keagamaan Di Kelurahan Kebonlega... 83 8 Strategi Penguatan Lembaga Keagamaan di

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta Wilayah Kelurahan Kebonlega, 2006... 102 2 Panduan Wawancara Pengelolah Lembaga

Keagamaan... 103 3 Panduan Wawancara Petugas Instansi/Lembaga

Terkait/Kelurahan ... 106 4 Pedoman Wawancara Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat... 108 5 Panduan Diskusi Kelompok Terarah... 109 6 Panduan Diskusi Kelompok Terarah (Perencanaan

Partisipatif)... 110 7 Panduan Observasi... 112 8 Panduan Studi Dokumentasi... 114 9 Hasil Pertemuan Diskusi Kelompok Perumusan masalah dan

Kebutuhan DKM Al-Hudda Dalam Penguatan lembaga... 115 10 Kode Instrumen dan Banyaknya

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif atau sering disebut NAPZA, di Indonesia saat ini sangat memperhatinkan berbagai kalangan. Laporan Survey nasional penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (2003), antara lain menyebutkan bahwa keprihatinan tersebut berhubungan dengan makin meningkatnya jumlah pelaku penyalahgunaan NAPZA. Jenis NAPZA yang disalahgunakan juga makin beragam dan makin luas distribusinya. Seiring denganhal tersebut, peningkatan kejahatan NAPZA yang ditangani Kepolisian Republik Indonesia juga mengalami peningkatan, baik segi pelakunya maupun jumlah barang yang disita. Indonesia saat ini tidak lagi sekedar daerah transit NAPZA, melainkan sudah menjadi wilayah pemasaran, bahkan sudah menjadi produsen NAPZA dari sindikat internasional, seperti yang ditunjukkan dengan terbongkarnya pabrik NAPZA di daerah Tangerang, Medan dan tempat yang lain (BNN : 2006).

Penyalahgunaan NAPZA merupakan permasalahan yang kompleks baik dilihat dari faktor penyebabnya maupun dampak yang ditimbulkannya. Penyebanya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk faktor fisik, faktor kejiwaan pelaku, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, ekonomi bagi orang tua dan keluarga. Secara umum penyalahgunaan NAPZA bisa menimbulkan kerugian berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia.

Masalah penyalahgunaan NAPZA untuk saat sekarang sudah menembus berbagai lapisan usia dan berbagai lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor penyebab, antara lain: (a) faktor individu yang rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA, mencakup individu yang kurang mendapat perhatian dariorang tua, individu-individu berasal dari keluarga yang pecah/pisah cerai, individu yang pola asuh keluarga salah terutama

(18)

Minimnya segi penanaman nilai-nilai agama dan nilai sosial masyarakat lainnya, (b) faktor lingkungan, antara lain mencakup lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaandan peredaran gelap NAPZA sehingga tingkat penyalahgunaan makin bertambah baik segi kuantitas maupun kualitasnya, dan sudah dianggap sebagai gaya hidup yang ngetrend pada komunitas tertentu, dan (c) faktor obat/zat, antara lain mencakup adanya kemudahan dalam mengakses NAPZA dan harganya relatif terjangkau (Depertemen Sosial RI, 2005).

Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasioanal (BNN), untuk periode Juli 2006 di Indonesia, penyandang masalah ini didominasi oleh golongan usia produktif yaitu umur 16 sampai 29 tahun, yaitu sebanyak 9.848 kasus atau 61,39 persen dari total penyalahgunaan NAPZA sebanyak 16.040 kasus ( Direktorat Informasi IV BNN : 2006). Kondisi ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia, bila dikaitkan keadaan generasi muda sebagai pewaris cita-cita perjuangan bangsa.

Perekonomian nasional dibebani oleh biaya pengobatan rehabilitasi, penegakkan hukum, dan operasi pemberantasan pengedar gelap NAPZA. Pada saat yang bersamaan, masyarakat harus memikul biaya sosial dari dampak penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA dalam bentuk meningkatnya tindak kejahatan dalam kehidupan masyarakat sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi menurunnya produktivitas nasional.

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan proses upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Pencegahan merupakan suatu upaya membantu individu menghindari memulai atau mencoba menyalahgunakan NAPZA, dengan menjalani cara dan gaya hidup sehat, serta mengubah kondisi kehidupan yang membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan NAPZA.

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA memerlukan strategi yang bisa mewujudkan adanya penguatan rasa takut, rasa bersalah, rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan NAPZA, melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan sosial, dan pengembangan idiologi. Upaya yang dijadikan kajian penelitian adalah penguatan lembaga keagamaan dengan harapan

(19)

akan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA.

Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat holistik, maka dipandang perlu adanya upaya yang menyeluruh melibatkan semua eleman masyarakat. Salah satu bentuk upaya tersebut yaitu dalam bentuk kajian melalui penerapan strategi penguatan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam upaya-upaya bersifat preventif. Menguatnya nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat yang digerakkan oleh lembaga keagamaan yang ada secara tidak langsung akan mengurangi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA. Penguatan lembaga merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku, organisasi dan sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, serta merupakan suatu strategi untuk meningkatkan daya dukung kelembagaan dalam mengatasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi (Sumpeno, 2002).

Kelurahan Kebonlega sebagai ibukota Kecamatan Bojongloa Kidul memiliki nilai strategis yaitu selain dilalui Jalan Soekarno-Hatta sebagai jalur ekonomi yang menghubungkan dengan wilayah selatan Jawa Barat, juga memiliki sarana sosial berupa terminal Leuwipanjang yang merupakan terminal bus antar kota antar propinsi. Keberadaan terminal ini menjadikan wilayah Kelurahan Kebonlega menjadi salah satu pintu masuk para pendatang dari luar wilayah Kota Bandung. Kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan dampak bagi masyarakat sekitarnya antara lain munculnya perumahan padat dan kumuh, menjamurnya tempat-tempat hiburan malam yang berkaitan dengan maraknya praktek prostitusi, dan penyalahgunaan NAPZA. Salah satu faktor pendukung timbulnya penyalahgunaan NAPZA adalah pengaruh lingkungan sosial buruk yang ditandai oleh keberadaan pemukiman padat dan kumuh serta meningkatnya angka tindak kriminalitas yang memiliki korelasi penyalahgunaan NAPZA.

Pada sisi lain, di wilayah ini Kelurahan Kebonlega terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas IIA Banceuy sebagai lembaga yang membina warga binaan pemasyarakatan/narapidana yang terkait dengan tindak kejahatan NAPZA. Keberadaan lembaga pem,asyarakatan ini merupakan salah

(20)

satu sistem sumber yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar yaitu dengan dipakainya tenaga pengajar agama setempat dari unsur lembaga DKM untuk memberikan pembelajaran para warga binaan pemasyarakatan dalam pembinaan agama yang dianutnya. Pada tugas dan fungsi seksi bimbingan kemasyarakatan di Lapas ini diterangkan bahwa seksi tersebut selain memberikan penyuluhan kepada keluarga warga binaan menjelang bebas, juga ada jenis kegiatan bersifat penyuluhan kepada lembaga sosial yang ada di masyarakat, termasuk lembaga keagamaan sebagai upaya bersifat preventif tersebut kurang berjalan secara optimal. Dengan demikian seksi ini belum memberikan kontribusinya kepada lembaga sosial dan masyarakat pada umumnya.

Lembaga keagamaan yang ada di Kelurahan Kebonlega pada umumnya belum dilibatkan secara langsung dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini secara eksplisit belum diterapkannya program kegiatan dengan masalah tersebut. Kondisi ini berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan tentang NAPZA bagi pengelola lembaga keagamaan yang ada. Berdasarkan hasil informasi yang berhasil diidentifikasi oleh pengkaji, secara inplisit upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA masih dalam wujud himbauan untuk menjauhi NAPZA sudah dilaksanakan melalui kotbah dan cerama agama.

Satu upaya dalam mewujudkan strategi pencegahan penyalahgunaan NAPZA adalah dengan penguatan kapasitas lembaga-lembaga di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut idealnya memiliki performa lembaga yang ditopang dengan berbagai kridibilitas bagi segi pelembagaan norma-norma, kapasitas kepemimpinan, keberadaan program, ketersediaan sumberdaya. Keragaan lembaga dipengaruhi juga oleh faktor keluasan jaringan kerja dan kualitas pengurus.

Berdasarkan hasil studi dokumentasi dan wawancara yang dilakukan pengkaji di wilayah Kelurahan Kebonlega pada tahun 2003, pernah ada upaya berupa kegiatan anti narkoba berbasis keluarga. Kegaiatan yang dilakukan terkait dalam Program Pencegahan Berbasis Keluarga. Kegiatan ini berlatar belakang dari inisiatip beberapa keluarga yang salah satu atau lebih anggota keluarganya menjadi penyandang masalah penyalahgunaan narkoba yang ingin berbagi pengalaman kepada keluarga-keluarga lain tentang bahaya dari masalah

(21)

penyalahgunaan NAPZA. Pada kenyataannya program ini tidak berjalan lama disebabkan oleh berbagai hal terutama berkaitan dengan pengelolanya banyak yang pindah domisili, tidak adanya upaya-upaya dalam kaderisasi dan keterbatasan sebagian masyarakat tentang pengetahuan tentang NAPZA dengan berbagai dampaknya.

Pada proses pembangun diperlukan adanya keterlibatan langsung dari berbagai unsur komunitas masyarakat, salah satunya adalah perlunya pelibatan unsur lembaga keagamaan. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa dalam kehidupan yang sarat kompetitif, sarat pancaroba, munculnya berbagai krisis seperti krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis kepercayaan yang pada gilirannya munculnya kesenjangan sosial yang berdampak langsung dengan kondisi sosial yang relatif rentan dengan munculnya berbagai permasalahan sosial di masyarakat, termasuk salah satunya adalah masalah penyalahgunaan NAPZA (Kartono, 1996).

Eksistensi lembaga keagamaan sebagai salah satu lembaga sosial masyarakat bila diberdayakan bisa menjadi kekuatan sosial yang memiliki kemampuan mengatasi permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Lembaga keagamaan yang memiliki kapasitas yang baik dalam menjalankan peran dan fungsinya, dianggap memiliki daya tangkal yang kuat pada upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai agama dan nilai sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut bisa meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah masalah penyalahgunaan NAPZA.

Menguatnya lembaga keagamaan sangat berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai keimanan berdasarkan ajaran agama yang dianutnya. Keimanan akan memandu kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntun untuk dapat mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis. Keimanan juga yang membuat individu melakukan segala sesuatu dengan proporsional. Peranan keimanan dalam bidang kesehatan jiwa adalah kemampuannya untuk meningkatkan dan memperkuat imunitas jiwa. Keimanan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan hingga mampu membuat individu

(22)

lebih besar dalam menghadapi kondisi hidup bagaimanapun, serta akan memandang segala dengan baik dan positif (Izzamuddin, 2006).

Atas dasar pemikiran tersebut maka perlunya penguatan dan pemberdayaan lembaga keagamaan yang ada sebagai satu upaya preventif yang memiliki daya tangkal terhadap berbagai penyakit masyarakat termasuk masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang sudah menjadi masalah besar bagi kehidupan manusia.

Dari gambaran latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan pokok kajian ini adalah: “Bagaimana Penguatan Lembaga Keagamaan dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA?”

1.2 Perumusan Masalah

Mengembangkan kapasitas sangat berkaitan dengan proses membangun kemandirian dalam pembangunan masyarakat. Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai oleh suatu komunitas, sehingga komunitas tersebut dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berdasarkan kekuatannya sendiri (Kartasasmita, 1996).

Lembaga keagamaan yang akan dianalisis ini merupakan lembaga yang tumbuh dari masyarakat. Diharapkan dengan dilakukannya kajian terhadap penguatan lembaga keagamaan dapat disusun suatu rencana dan program pembangunan komunitas yang sesuai dengan azas kemandirian, kejujuran, kesetaraan dan keberlanjutan sehingga dapat dijadikan acuan bagi pengembangan lembaga-lembaga sejenis lainnya.

Dari gambaran latar belakang dan permasalahan di atas, maka perumusan masalah adalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana performa lembaga keagamaan khususnya yang berkaitan dengan masalah NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung?

b. Bagaimana strategi dan program yang tepat dalam penguatan dan pengembangan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan permasalahan di atas, secara umum tujuan kajian ini adalah mengkaji kapasitas lembaga keagamaan yang dimiliki masyarakat lokal melalui penguatan kapasitasnya di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kemampuan masyarakat berkaitan dengan pencegahan penyalahgunaan NAPZA di wilayahnya. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kajian pengembangan ini secara khusus adalah :

a. Mendeskripsikan performa lembaga keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung

b. Menyusun strategi dan program penguatan lembaga keagamaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat mencegah penyalahgunaan NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini dapat ditinjau dalam perspektif praktis dan akademis, yaitu:

a. Manfaat praktis, memberikan masukan bagi instansi pemerintah yang terkait serta lembaga swadaya masyarakat untuk merumuskan kebijakan dan program yang aspiratif dan partisipatif, serta memberikan masukan alternatif teknik dan model pemberdayaan masyarakat bagi elemen penggiat pengembangan masyarakat yang peduli terhadap pengembangan masyarakat. b. Manfaat akademis, mengkayakan literatur tentang teori dan praktek

pengembangan masyarakat model partisipatif dan komprehensif yang dialkukan melalui penguatan lembaga keagamaan

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 NAPZA dan Penyalahgunaan NAPZA

NAPZA adalah akronim dari kata narkoba, psitropika, dan zat adiktif yang meliputi zat alami atau sintetis, bilamana dikonsumsi menimbulakan perubahan fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan (Departemen Sosial RI, 1992).

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sinetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1, UU No.22 Tahun 1997, tentang Narkotika).

Jenis narkotika yang paling banyak disalahgunakan dan diedarkan secara ilegal antara lain meliputi opium, opioda, codein, tabein, heroin, hidromorfin, oksikodon, etorfin, dan metadon (BNN : 2004).

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1, UU No.5 Tahun 1997, tentang Psikotropika). Contoh dari psikoytopika adalah amphetamine dan ats (amphetamine tipe stimulan), seperti shabu, ectacy, dan obat penenang.

Zat adiktif berasal dari tanaman maupun bukan tanaman, sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menimbulkan ketergantungan. Misalnya nikotin yang terdapat pada tembakau, minuman beralkohol, termasuk inhalan antara lain lem auca aibon, tiner, spirtus, jamur kotoran kerbai dan kecubung (BNN : 2004)

Zat psikopat adalah suatu zat yang masuk dalam tubuh, akan merubah fungsi dan struktur organ tubuh, juga berpengaruh pada otak sehingga dapat menimbulkan perubahan sistem kesadaran, sistem pola pikir, sistem perasaan, sistem persepsi panca indera pelaku (BNN : 2004).

Penyalahgunaan NAPZA adalah pengguna NAPZA bukan untuk tujuan pengobatan, yang menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan tanpa resep dan pengawasan dokter (BNN : 2004).

(25)

Penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah yang kompleks dan terkait dengan berbagai aspek, seperti aspek penegakan hukum, kesehatan, sosial dan yang lainnya. Oleh karena itu, upaya penanggulangan masalah ini bersifat holistik serta melibatkan berbagai pihak. Pada tingkat nasional, berbagai lembaga pemerintah dan organisasi sosial/lembaga swadaya masyarakat telah melaksanakan berbagai program untuk mengatasi penyelahgunaan dan peredaran gelap NAPZA. Leading Sector dari upaya rehabilitasi masalah ini adalah Departemen Sosial RI (UU No.22 : 2006).

Berbagai dampak dari penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Dampak fisik.

1. Dampak fisik langsung, berupa gangguan sampai kegagalan fungsi organ tubuh vital seperti; susunan syaraf pusat, jantung, paru-paru, ginjal, saluran pencernaan, organ reproduksi serta menurunnya daya kekebalan tubuh. 2. Dampak fisik tidak langsung, yaitu: sangat beresiko dengan HIV/AIDS dan

blood borne lainnya sebagai akibat penggunaan NAPZA dengan sarana jarum suntik yang tidak steril, secara bergilir, serta komplikasu lainnya. b. Dampak Psikis

Dampak ini adalah timbulnya gangguan daya ingat dan daya kognisi, gannguan mental, euphoria, insomenia, depresi, cemas, halusunasi paranoid dan agresifitas.

c. Dampak sosial dan ekonomi

1. Bagi pelaku, yaitu adanya pengucilan, putus sekolah, putus pekerjaan, kehilangan penghasilan, keluarga pecah, beban biaya ekonomi tinggi, yerlibat tindak kejahatan, dan hancurnya masa depan.

2. Bagi keluarga dan masyarakat, yaitu mincul persepsi sebagai aib keluarga, menjadi beban keluarga, hilangnya harapan orang tua, gangguan ketertiban dan keamanan

d. Dampak spiritual, pelaku semakin jauh dari kehidupan agama, semakin meninggalkan nilai-nilai agama dan nilai moral kehidupan sehingga dapat dikatagorikan pelaku tidak peduli bahkan tidak mengenal agama yang

(26)

dianutnya, hingga pada gilirannya akan mudah terjerumus pada dunia kriminalitas dan kejahatan NAPZA.

2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Masalah penyalahgunaan NAPZA disebabkan oleh faktor individu, faktor lingkungan keluarga/sosial, dan obat/zat. Penjabarannyta dapat dilihat sebagaimana dijelaskan olegh Departemen Sosial RI (2005)

A. Faktor Individu

Faktor ini sangat bergantung pada kapasitas individunya terhadap kebaradaan NAPZA. Kondisi ini ditandai: (a) bermula dari rasa ingin tahu/ingin coba-coba, (b) ingin diterima atau masuk dalam kelompok tertentu, (c) ingin menunjukkan kebebasan atau kedewasaan atau ikut trend, (d) ingin memperoleh kenikmatan dari efek obat, (e) ingin menghilangkan rasa sakit dan percaya obat dapat mengatasi segala persoalan, (f) ingin protes terhadap sistem sosial yang berlaku, (g) ingin mendapat perhatian orang tua, dan (h) kurang pemahaman dan penghayatan nilai-nilai agama dan nilai sosial kemasyarakatan lainnya.

B. Faktor Lingkungan keluarga/sosial

Kialitas sebuah keluarga sangat berkaitan dengan masalah penyalahgunaan NAPZA. Beberapa hal yang melatar-belakangi faktor lingkungankeluarga/sosial yaitu: (a) hubungan orang tua-anak tidak dekat dan tidak terbuka, (b) kurangnya pengawasan orang tua, (c) tempat tinggalnya di lingkungan pengguna NAPZA, (d) sekolah di lingkungan yang rawan penyalahgunaan NAPZA, (e) bergaul dengan para pengedar dan pemakai, (f) kurang kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaan NAPZA, (g) gaya hidup yang dianggap ngetrend mengikuti perkenbangan jaman, dan (h) tekanan kelompok sebaya/peer pressure.

C. Faktor Obat/Zat

Sebagaimana yang ada di masyarakat, peredaran gelap dan penyalahgunaan NAPZA senakin hari semakin bertambah dari segi kualitas maupun kuantitasnya yang secara langsung dapat mempengaruhi kehidupan

(27)

berbangsa dan bernegara. Faktor ini sebagai akibat: (a) adanya kemudahan dalam mengakses NAPZA, (b) zat yang digunakan menimbulkan ketergantungan bagi pemakai sehingga kehilangan kontrol diri, dan (c) harganya relatif terjangkau.

Faktor penyebab penyalahgunaan NAPZAm dapat dilihat dari berbagai perspektif, yaitu:

a. Perspektif psikologis

Faktor kepribadian dan faktor konstitusi merupakan dua faktor yang menentukan seseorang tergolong beresiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA. Faktor lingkungan yang langsung adalah keluarga, seperti adanya keluarga pecah, keluarga tidak harmonis, kurang komunikasi, kurang perhatian dan kasih sayang. Faktor ini berkaitan dengan bentuk pola asuh anak seperti yang dikemukakan Baunmint (1971), meliputi:

” 1. Pola asuh permisif, adalah pola asuh dengan ciri kendali orang tua rendah, orang tua tidak demokratis, tuntutan prestasi rendah, kasih sayang tinggi

2. Pola asuh otatiter, adalah pola asuh dengan ciri kendali orang tua tinggi, tuntutan prestasi tinggi, kasih sayang rendah.

3. Pola asuh otoritatif, adalah pola suh dengan ciri kendali orang tua tinggi, tetapi bersikap demokratis, tuntutan prestasi tinggi, dan kasih sayang tinggi.”

Pada penjelasan psikologis ini, hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh lingkungan teman sebaya. Sebagian besar pelaku penyalahgunaan NAPZA adalah remaja dan pemuda. Masa-masa tersebut dalam perspektif ini merupakan masa yang paling rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Terdapat tujuh predisposisi

(28)

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Metode Kajian

Kajian pengembangan masyarakat dilaksanakan sebagai upaya untuk mendeskripsikan kebuthan dan masalah yang dihadapi lembaga keagamaan DKM Al-Hudda. Kebutuhan yang dirasakan oleh lembaga keagamaan ini yaitu kelengkapan sarana fisik, baik yang berkaitan dengan sarana kerja maupun sarana transportasi. Adapun masalah yang dihadapi oleh lembaga keagamaan ini menyangkut sumberdaya manusia terutama yang berkaitan dengan orang pendukung, penyusunan program kerja, penciptaan jejaring sosial, dan penggalangan dana. Kajian ini bersifat deskriptif, sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kebutuhan yang dibutuhkan dan hambatan yang ditemui dalam melaksanakan program kegiatannya

Kajian ini lebih banyak menggunakan pendekatan kualitatif agar diperoleh informasi secara mendalam dan mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat. Melalui pendekatan ini bisa dibangun pemahaman tentang berbagai aspek yang dapat menunjukkan peranan lembaga keagamaan tersebut sebagai kekuatan sosial dalam meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi menanggulangi permasalahan sosial yang ada secara mandiri berdasarkan kekuatan komunitasnya sendiri, sehingga diperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh dari pola perilaku, tindakan dan interaksi anggota lembaga keagamaan tersebut. Dengan mempertimbangkan aras kajian tersebut, maka tipe kajian ini menggunakan aras kajian subyektif-mikro, yaitu sebagai upaya memahami manajemen lembaga, pola kelakuan, orang pendukung, dan pelengkap fisik, penggalangan dana dan kemitraan kerja yang ada di lembaga keagamaan.

3.2 Tempat dan Waktu Kajian

Kajian pengembangan masyarakat dilakukan di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung. Wilayah ini memiliki karakteristik sebagai daerah yang memiliki potensi terhadap penyalahgunaan NAPZA dengan adanya sarana sosial terminal bus antar kota, antar provinsi Leuwipanjang sebagai

(29)

30 pintu masuk bagi pendatang dari wilayah bagian Barat. Kondisi ini secara langsung memberikan dampak bagi warga masyarakat seperti munculnya praktek premanisme yang sarat kompetisi di sekitar terminal, tumbuhnya penginapan-penginapan yang disertai dengan praktek prostitusi terselubung. Keberadaan wilayah yang berkarakteristik tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah sosial termasuk masalah penyalahgunaan NAPZA.

Di wilayah Kelurahan Kebonlega terdapat tujuh orang mantan penyalahguna NAPZA yang sudah menjalani rehabilitasi dan bisa hidup sesuai harapan di tengah-tengah masyarakat. Dari hasil wawancara, keberadaan mantan pemakai NAPZA tidak gampang diterima oleh masyarakat karena adanya stigma buruk terhadap mantan pemakai NAPZA dan tidak sedikit dari masyarakat menganggap pemakai NAPZA adalah sebuah aib keluarga. Anggapan sebuah aib keluarga menjadikan para penyalahgunaa NAPZA keberadaannya pada umumnya dirahasiakan serta ditutup-tutupi oleh pihak keluarganya.

Menurut informasi yang diperoleh Polisi Sektor Bojongloa Kidul, jumlah penyalahguna NAPZA yang masih aktif disinyalir masih banyak di tempat-tempat tertentu. Karena tertutupnya komunitas tersebut menjadikan tidak gampang menjangkau komunitas pemakai NAPZA. Jumlah penyalahguna NAPZA yang berhasil ditangkap dan sudah menjalani proses pembinaan di Lapas Narkotika Banceuy terdapat tujuh orang. Informasi lain yang diperoleh adalah dengan berdirinya terminal bus Leuwihpanjang, jumlah pelaku tindak kejahatan berupa pencopetan, penodongan, penipuan dan pencurian cenderung mengalami peningkatan sekitar 75 persen dari sebelum ada sarana sosial ini. Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi timbulnya tindak kejahatan, polisi sektor Bojongloa Kidul lebih kontinu melalukan patroli di sekitar terminal bus tersebut.

Informasi lain yang diperoleh dari pihak ulama setempat, bahwa seorang yang menjadi penyandang masalah merupakan perbuatan dosa yang bisa “menjolimi” diri sendiri dan merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam. Hal serupa juga diperoleh dari pihak pendeta di Gereja Filadelfia Musa dan pihak bhiksu dari wihara setempat, bahwa pada

(30)

31 dasarnya seorang menjadi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA merupakan perbuatan dosa dan harus dijauhi dari kehidupan sebagai umat beragama. Dari ketiga tokoh agama tersebut, diperoleh informasi yang memiliki persamaan dalam memandang dari sisi latar belakang penyebabnya yaitu dikarenakan melemahnya nilai-nilai kadar keimanan sebagai benteng pertahanan diri sehingga relatif muda tergelincir dalam perbuatan dosa termasuk penyalahgunaan NAPZA. Hal ini tidak bisa ditampik lagi sebagai akibat kehidupan yang penuh pancaroba sehingga banyak terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada dikehidupan masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan.

Pada sisi yang lain, di Kelurahan Kebonlega terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas II Banceuy sebagai lembaga pemerintah untuk membimbing dan membina para narapidana yang telah melakukan kejahatan NAPZA. Keberadaan lembaga ini, di samping sebagai media pembelajaran, juga diharapkan adanya konstribusi kepada warga masyarakat terutama dalam upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA.

Di wilayah kelurahan ini aspek kehidupan beragamanya relatif beragam yang ditandai adanya berbagai sarana ibadah seperti masjid, gereja, dan wihara. Keberadaan tempat peribadatan tersebut secara langsung berkaitan dengan adanya beberapa lembaga keagamaan yang akan dipergunakan sebagai media untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pencegahan masalah penyalahgunaan NAPZA.

3.3 Tahapan Kajian

Proses kajian dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu: (a) tahap Praktek Lapangan I berupa pemetaan sosial Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Desember 2006 sampai Januari 2007, (b) tahap Praktek Lapangan II berupa evaluasi program pengembangan masyarakat di Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama dua bulan yaitu dari bulan Mei sampai Juni 2007, dan (c) tahap Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, dilaksanakan selama empat bulan dari bulan Agustus sampai Desember 2007.

(31)

32 Berikut waktu kajian pengembangan masyarakat di Kelurahan Kebonlega Kecamatan Bojongloa Kidul:

Tabel 1.Jadwal Pelaksanaan (Bulan dan Tahun) Kajian Pengembangan Masyarakat di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung No. Kegiatan 2006 2007

12 1 5 6 8 9 10 11 12

1. Pemetaan Sosial (PL I) 2. Evaluasi Program ( PL II) 3. Penyusunan Proposal dan

Kolokium

4. Pengumpulan data kajian 5. Pengolahan, analisis data dan

pengolahan laporan KPM

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan yang lainnya ( Lofland seperti yang dikutip Moleong, 1998).

Proses pengumpulan data dilakukan melalui tiga sumber utama yaitu; (a) data primer yang diperoleh dari responden dan informan kunci/key informant, (b) sumber data sekunder dan tertulis seperti laporan dinas, potensi kelurahan, statistik wilayah, dan (c) Observasi lapangan secara langsung.

Data primer diperoleh dari responden dan informan, terdiri dari; (a) dari unsur pengelola DKM Al-Hudda antara lain; H. Saeful Anwar sebagai

ketua DKM Al-Hudda, Ahmad Rusdi pada seksi kemakmuran mesjid, Ahmad Efendi pada seksi perlengkapan, Insan Kamil pada seksi sosial/humas dan dua anggota yaitu Anton dan Siti, (b) dari unsur pemerintahan setempat; Ahmad Fachrozi, S.Sos selaku Kepala Kelurahan Kebonlega, Kardono selaku sekretaris kelurahan Kebonlega, Nining Astuti sebagai pekerja sosial masyarakat setempat (c) dari unsur tokoh agama; Sulton Aulia selaku iman sholat di mesjid Al-Hudda, Heri Timotheus selaku pendeta geraja filadelfia musa, dan Sidharta Muda Bahana selaku pimpinan wihara.

(32)

33 Data Sekunder diperoleh dari laporan-laporan dinas sektoral yang terkait meliputi Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Sosial Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Kantor Agama Kota Bandung, Polisi Sektor Bojongloa Kidul, Lapas Banceuy, dan BNK, dokumen-dokumen hasil penelitian dan pengkajian terdahulu dengan program sejenis atau dokumen lainnya. Observasi lapangan dilaksanakan dalam periode tertentu di lokasi penelitian sehingga diperoleh gambaran utuh mengenai masalah yang dikaji.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini meliputi: a. Wawancara Mendalam

Wawancara dilakukan untuk memahami pandangan aparat kelurahan Kebonlega, tokoh masyarakat (para pimpinan rumah ibadah, PKK, Ketua RW dan RT) tentang perkembangan Kelurahan Kebonlega. Teknik ini dilakukan dengan maksud diperoleh informasi kapasitas yang dimiliki lembaga tersebut dalam menghadapi permasalahan, hambatan-hambatan yang dihadapi, serta harapan-harapan di masa yang akan datang.

Dalam menggunakan teknik wawancara ini, penulis menunjuk individu-individu yang berkenaan dengan aktivitas lembaga keagamaan atau memanfaatkan keberadaan seseorangan memiliki pengetahuan luas mengenai salah satu aspek kehidupan di masyarakat yaitu pimpinan rumah ibadah, yang terdiri dari Imam sholat di masjid, Pendeta di geraja Filadelfia Musa, dan seorang Bhiksu di wihara sebagai informan selama pengkajian.

Untuk mempermudah penulis dalam proses pencarian data di Kelurahan Kebonlega, penulis meminta bantuan dan dukungan dari segenap aparat kelurahan Kebonlega dan seorang Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang membantu penulis dalam menggali informasi yang dibutuhkan yaitu dalam bentuk data primer maupun data sekunder yang berkaitan dengan kajian ini. Alasan penulis menggunakan informan-informan di atas karena adanya keyakinan bahwa informan tersebut adalah orang yang mengetahui permasalahan atau peristiwa yang sedang terjadi atau pernah terjadi di Kelurahan Kebonlega.

(33)

34 b. Diskusi Kelompok

Diskusi kelompok dilakukan terhadap pimpinan, pengelola dan anggota lembaga keagamaan, kelompok tokoh masyarakat, dan kelompok lembaga terkait lainnya. Dari diskusi ini diperoleh informasi kondisi lembaga keagamaan beserta permasalahan dan hambatan yang dihadapi, serta harapan-harapan di masa yang akan datang.

Diskusi kelompok ini dilakukan pada saat membahas dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang ada pada lembaga keagamaan, menyusun alternatif pemecahan masalah yang dibutuhkan dan penyusunan program. c. Pengamatan atau Observasi

Observasi menurut Adimihardja dan Hikmat (2004), merupakan metode perolehan informasi yang mengandalkan pengamatan langsung di lapangan, baik yang menyangkut obyek, kejadian, proses hubungan maupun kondisi masyarakat dan lingkungannya yang berkaitan dengan proses dialog. Dalam observasi langsung, penulis ke lokasi penelitian selama beberapa kali sesuai dengan kalender kegiatan hingga data dapat diperoleh selengkap mungkin. Jenis data yang diperoleh adalah data primer. Observasi yang dilakukan penulis adalah mengamati keberadaan DKM Al Hudda dalam kapasitasnya sebagai salah satu kekuatan sosial yang diharapkan mampu memfasilitasi masyarakat dalam mengatasi suatu permasalahan sosial yang ada, sekaligus kelemahan-kelemahan yang dimiliki dari lembaga tersebut.

d. Studi Dokumentasi

Menurut Yin (2002), penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber yang lain. Data ini disebut data kedua, penulis mempelajari dokumen tersebut berupa data numerik dan non-numerik. Kajian dokumentasi dilakukan dengan menelaah beberapa laporan atau catatan, termasuk dalam bentuk foto dokumentasi dari pihak lain.

Kegiatan ini dilakukan dengan menelaah beberapa laporan atau catatan termasuk foto yang relevan dengan masalah pengkajian. Pada akhirnya diperoleh informasi data profil desa (jumlah penduduk, mata pencaharian

(34)

35 penduduk, pendidikan, dan lembaga-lembaga termasuk lembaga keagamaan yang ada di kelurahan, potensi-potensi kelurahan, program-program pengembangan masyarakat, dan program kerjasama lintas sektoral yang memiliki korelasi dengan bahasan kajian, seperti Lapas Khusus Narkotika Klas II Banceuy, Dinas Sosial Kota Bandung, Kantor Agama Kota Bandung, Dinas Pendidikan Kota Bandung, Dinas Kesehatan Kota Bandung, Kepolisian Sektor Bojongloa Kidul, BNP/BNK Kota Bandung. Berikut adalah gambaran teknik pengumpulan data berdasarkan sumber dan jenis data yang diperoleh :

Tabel 2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penguatan Lembaga Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007

Jenis Data Sumber Data

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

P GD W SD

1 2 3 4 5 6

1. Aktivitas Lembaga Keagamaan

a. Pendidikan Pimpinan, Pengelola dan anggota lembaga keagamaan

f.C f.B1 f.A1 f.D

b. Sosial Kemasyarakatan f.C f.B1 f.A1 f.D 2. Performa Lembaga Keagamaan

a. Pimpinan Pimpinan, Pengurus, Anggota lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, aparat kelurahan f.A f.B1 f.B2 f.A1 f.A2 f.A3 f.D b. Penggalangan dana f.A f.B1 f.B2 f.B3 f.A1 f.A2 f.A3 f.D c. Manajemen f.A f.B1 f.B2 f.B3 f.A1 f.A2 f.A3 f.D d. Kelengkapan Fisik f.A f.B1 f.B2 f.B3 f.A1 f.A2 f.A3 f.D e. Jejaring f.A f.B1 f.B2 FB.3 f.A1 f.A2 f.A3 f.D

(35)

36

1 2 3 4 5 6

3. Lembaga Terkait (Lapas, Kantor Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan , BNK/BNP)

a. Kemitraan Pimpinan /Pegawai Instansi terkait

F.A4 f.D

b. Kontribusi F.A4 f.D

Keterangan

W = Wawancara f.A2 = Pedoman Wawancara Pengurus (Lamp.5) P = Pengamatan/Observasi f.A3 = Pedoman Wawancara tokoh masyarakat GD = Group Disscusion (Lamp.6)

SD = Studi Dokumnetasi f.B1 = Pedoman diskusi kelompok

f.A1 = Pedoman wawancara anggota Identifikasi masalah (lamp.8) Lembaga Keagamaan

f.B2 = Pedoman diskusi kelompok f.C. = Pedoman Observasi (Lamp.10) rancangan program (Lamp.9) f.D = Pedoman studi dokumentasi (11)

3.5 Sumber Data dan Cara Menentukannya

Sumber data dalam kajian ini adalah pimpinan lembaga keagamaan, pengurus lembaga keagamaan, anggota lembaga keagamaan, aparat kelurahan, tokoh masyarakat, stakeholders dari lembaga terkait lainnya. Penetapan informan dilakukan dengan menunjuk orang-orang yang langsung berkenaan dengan kegiatan lembaga keagamaan, seperti pengelola dan pemimpinnya, sebagian dari anggota pada lembaga keagamaan seperti; DKM, Kerukunan Pemuda Gereja Philadelpia Musa, Persaudaraan Muda Dharma.. Penetapan informan lainnya yakni; Lurah Kebonlega, Ketua RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat pengurus lembaga baik formal maupun informal. Penetapan subyek kajian adalah berdasarkan kebutuhan dalam kajian, untuk lebih jelasnya seperti pada tabel berikut :

(36)

37 Tabel 3. Sumber Data, Tipe dan jumlah subyek Kajian Lembaga Keagamaan di

Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007

Sumber Data Subyek Kajian Jumlah

Dewan Keluarga Masjid (DKM)

Pimpinan, pengurus dan anggota lembaga keagamaan DKM

5 orang Kerukukan Remaja Gereja

Filadelfia Musa

Pimpinan, pengurus dan anggota 2 orang Persaudaraan Muda Dharma Pimpinan, pengurus dan anggota 2 orang Aparat Pemerintahan lokal Kepala Kelurahan, Katua RW 001,Ketua

RW 011 dan Ketua RW 013

3 orang Tokoh Agama H.Sukron sebagai imam mesjid

Al-Hudda, Pendeta Heri Timotheus, dan bhiksu Sidarta Muda Bahana.

3 orang

Jumlah Subyek kajian 15 orang

3.6 Pengolahan Data

Pengolahan data kualitatif adalah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi data dengan cara mengorganisasikan data ke dalam katagori, menjabarkan ke dalam unit-unit, menyusun pola yang muda dipahami.

Pengolahan data disesuaikan dengan kebutuhan kajian. Sumber data dalam kajian ini adalah pimpinan lembaga keagamaan, pengurus lembaga keagamaan, anggota lembaga keagamaan, aparat kelurahan, tokoh masyarakat, stakeholders dari lembaga terkait lainnya. Adapun proses pengolahan data melalui tahapan sebagai berikut :

1. Analisis data hasil wawancara yang dilakukan dengan tokoh formal dan informal, pengelola lembaga sehingga dapat diketahui pelaksanaan kerja lembaga. Berdasarkan data primer tersebut dilakukan triangulasi, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui:

a. membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.

b. membandingkan isi wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan c.membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai

(37)

38 2. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan tranformasi data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan berdasarkan keabsahan data sebagai tahap penapsiran data.

3.7 Metode Analisa Masalah dan Penyusunan Rancangan Program

Dalam menganalisis masalah kajian ini menggunakan metode Logical Framework Analysis (LFA). Alasan penulis menggunakan metode ini karena dapat dipergunakan untuk evaluasi (analisis) dan untuk perencanaan. Pada sisi lain kajian ini merupakan kajian aksi yang pada akhirnya diharapkan dapat membuat suatu rancangan kegiatan untuk mengatasi permasalahan yang ada dan tahapan pada metode ini untuk mempermudah penulis dalam menganalisis masalah, tujuan hingga penyusunan program. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sumardjo dan Saharuddin (2003) dengan tahapan sebagai berikut :

a. Tahap pertama, menganalisis dan mengidentifikasi potensi serta masalah yang dihadapi lembaga sehingga diperoleh faktor pendukung dan penghambat kinerja pada satu kelembagaan. Hasil ini kemudian dikonfirmasikan melalui diskusi kelompok dengan peserta dari responden dan informan yang sebelumnya telah di wawancarai. Dari hasil masukan responden mengenai identifikasi masalah, kemudian oleh penulis dituangkan pada pohon sebab-akibat yang menggambarkan masalah inti, penyebab dan sebab-akibatnya (Gambar 7).

b. Tahap kedua, menganalisis tujuan berdasarkan analisis masalah yang dirumuskan. Kegiatan ini sebagai upaya menemukan prioritas masalah sekaligus sebagai upaya menganalisis diskusi kelompok parsial.Tahap ini dirumuskan setelah peserta diskusi menyepakati masalah inti penyebab dan akibatnya untuk membuat tindakan dalam bentuk pohon tujuan yang menggambarkan tindakan hasil ( Gambar 8).

c. Tahap ketiga, menganalisis beberapa alternatif pilihan yang dilengkapi dengan faktor kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif yang di

(38)

39 tawarkan. Dari hasil masukan peserta diskusi, mengenai alternatif masalah kemudian oleh penulis dituangkan dalam bentuk matrik alternatif kegiatan yang menggambarkan tindakan dan hasil. Dari masukan responden mengenai

alternatif kegiatan yang menggambarkan tindakan dan hasil ( Tabel 9).

d. Tahap keempat, mengidentifikasi pihak-pihak terkait yang bisa membantu dalam perancangan program dengan tetap menganalisis kekuatan dan kelemahan dari stakeholders yang ada. Tahap ini dilakukan dengan diskusi kelompok, dimana setiap peserta mengidentifikasi stakeholders yang potensial memberikan kontribusi pelaksanaan program dengan menuliskannya pada satu kartu. Kemudian secara bersama-sama mengidentifikasi kekuatan dan keterbatasan masing-masing stakeholders, serta menentukan upaya apa yang harus dilakukan untuk peningkatan peran ( Tabel 10)

e. Tahap keenam, Menyusun matrik strategi perencanaan program berdasarkan analisis alternatif dan analisis stakeholders. Dalam proses penyusunan program, terlebih dulu penulis melakukan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan dalam penguatan lembaga keagamaan. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi kuantitas dan kualitas potensi yang dapat digunakan dalam proses peningkatan kemampuan masyarakat melalui penguatan lembaga keagamaan. Dari pertemuan itu, diperoleh rancangan program atau rencana kegiatan dalam rangka penguatan lembaga keagamaan di Kelurahan Kebonlega ( Tabel 11)

(39)

IV. PETA SOSIAL KELURAHAN KEBONLEGA

4.1 Kondisi Geografi

Kelurahan Kebonlega merupakan satu dari enam kelurahan di wilayah Kecamatan Bojongloa Kidul, Kotamadya Bandung. Wilayah ini berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah kelurahan ini 117,85 Ha, yang terbagi atas 11 Rukun Warga (RW) dan 70 Rukun Tetangga (RT). Secara administrasi Kelurahan Kebonlega berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara : Kelurahan Situsaer b. Sebelah Selatan : Kelurahan Cibaduyut c. Sebelah Barat : Kelurahan Babakan Ciparay d. Sebelah Timur : Kelurahan Mekarwangi

Berdasarkan kondisi geografis tersebut, wilayah ini cukup strategis sebagai daerah yang bisa dijadikan alternatif bagi kaum pekerja migran dalam mencari pekerjaan di bidang sektor informal dikarenakan terdapatnya sarana sosial berupa terminal bus Leuwipanjang, kawasan sentra industri sepatu Cibaduyut. Kondisi ini juga secara tidak langsung akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, termasuk masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA.

Penggunaan lahan di wilayah Kelurahan Kebonlega pada saat ini dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan Kebonlega, 2006

No Penggunaan Lahan Luas (Hektar) %

1 Perumahan /Pemukiman 85,35 72,42

2 Areal Perdagangan/pertokoan 10,25 8,69

3 Sekolah dan Perkantoran 9,50 8,06

4 Sarana Peribadatan 2,40 2,03

5 Sarana Jalan 9,00 7,63

6 Tanah kebun dan lainnya 1,35 1,14

Jumlah 117,85 100

(40)

43 Berdasarkan tingkat penggunaan lahan tersebut, sebagian besar lahan yang ada di wilayah Kelurahan Kebonlega digunakan untuk perumahan/pemukiman yaitu 85,35 Hektar (72,42%). Kondisi ini seiring dengan pertambahan penduduk di wilayah ini baik melalui proses fertilitas maupun proses migrasi. Untuk lebih jelasnya peruntukan lahan di Kelurahan Kebonlega dapat dilihat pada gambar 2:

KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN

Perumahan / Pemukiman Areal perdagangan/pertokoan Sekolah/perkantoran Sarana peribadatan Jalan

Tanah Kebun dan Lainnya

Gambar 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006

Jarak dari pusat pemerintahan kelurahan ke pusat pemerintahan kecamatan 2,5 km. Jarak ke pusat pemerintahan kotamadya 9 kilometer, dan jarak ke pusat pemerintahan propinsi 11 kilometer. Lokasi Kelurahan Kebonlega dilalui jalan protokol yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Wilayah ini juga sebagai pintu masuk dari arah Barat, yaitu dengan adanya Terminal Bus Leuwipanjang. Keberadaan sarana terminal ini sangat memberikan peluang bagi usaha ekonomi sektor informal. Kelurahan ini juga merupakan bagian dari areal sektor industri sepatu Cibaduyut. Industri Sepatu Cibaduyut adalah salah satu sektor yang ditawarkan Kota Bandung dalam wisata belanja.

Keberadaan terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang, secara langsung dapat memberikan dampak bagi warga masyarakatnya. Di samping memberi peluang usaha bagi sektor informal, juga memberikan dampak lain berupa munculnya perumahan padat sekitar terminal, maraknya premanisme di areal terminal, maraknya dunia hiburan malam seiring dengan maraknya prakek prostitusi. Kondisi ini secara langsung menjadi penyebab timbulnya penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA

(41)

44 4.2. Kondisi Demografi

Jumlah penduduk Kelurahan Kebonlega pada bulan Nopember 2006 tercatat 18.267 jiwa, terdiri dari 9.231 jiwa (50,54 persen) laki-laki dan 9.036 jiwa (49,46 persen) perempuan. Tingkat kepadatan penduduk sebanyak 16.340 jiwa per kilometer persegi. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan, penduduk di Kelurahan Kebonlega sangat heterogen dari berbagai budaya dan etnis. Dari jumlah penduduk tersebut jumlah warga negara keturunan sebanyak 728 jiwa (3,98 persen). Piramida penduduk dapat dilihat pada Gambar 3.

: Laki-laki Perempuan

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Laki-laki (dalam ratusan) Perempuan

Gambar 3. Piramida Penduduk Kelurahan Kebonlega tahun 2006

Jumlah penduduk pada kelompok umur 15 sampai 44 tahun menempati jumlah terbanyak yaitu 9.181 jiwa (50,25 persen ) dari jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Kebonlega. Kondisi tersebut bahwa di wilayah ini memiliki tenaga produktif yang juga merupakan satu pontensi dalam sumberdaya manusia apabila diberdayakan secara optimal. Pada sisi yang lain, golongan usia tersebut termasuk golongan usia yang rawan terhadap penyalahgunaan NAPZA. Kondisi ini juga menandakan bahwa penduduk wilayah ini dalam katagori penduduk muda, artinya usia muda produktif mendominasi dari kalkulasi golongan umur yang lebih tua. Pada kelompok umur di bawah lima tahun menjadi urutan ketiga terbanyak, yaitu

> 65 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 05 - 09 0 - 04

(42)

45 9,09 persen dari total penduduk. Penduduk Kelurahan Kebonlega mempunyai jumlah penduduk usia produktif relatif banyak, hal ini dikarenakan wilayah ini dijadikan satu alternatif tujuan para pekerja migran untuk mencoba menggantungkan nasibnya di wilayah ini baik sebagai buruh lepas atau pekerja serabutan, usaha jualan kaki lima. Kebiasaan pekerja sektor ini pada umumnya dilakukan setelah musim tanam telah selesai dimana kurangnya aktivitas yang dilakukan di desanya. Keberadaan pekerja migran terbagi pada wilayah RW 09, RW 11, dan RW 13. Lokasi tersebut dikategorikan sebagai wilayah pemukiman padat dan kumuh. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara warga perumahan golongan atas (real estate), terutama di wilayah RW 9 dan RW 10 dengan pemukiman yang padat dan kumuh, tidak layak huni baik segi kesehatan, sosial dan keamanan. Secara tindak langsung kondisi seperti demikian bisa menjadi pemicu timbulya permasalahan sosial berupa semakin melebarnya jarak pemisah antara kaum berekonomi tinggi dengan perumahan padat.

Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, dapat pengkaji jelaskan bahwa keberadaan etnis keturunan China yang berada di pemukiman masyarakat lokal sudah terjadi proses pembauran dengan warga sekitar, sementara yang memiliki tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha di sepanjang jalan yang strategis pada umumnya relatif eksklusif dengan warga. Dalam menghadapi berbagai kegiatan yang memerlukan dukungan partisipasi dari masyarakat, pada umumnya warga keturunan relatif lebih memberikan bentuk partisipasinya dalam bentuk dana ataupun materi lainnya.

Tingginya usia produktif membawa implikasi pada tingginya angkatan kerja. Kondisi tersebut jika tidak dibarengi dengan upaya-upaya berkaitan dengan penyediaan lapangan kerja, maka akan terjadi penumpukan jumlah angkatan kerja (pengangguran). Situasi seperti ini secara langsung dapat menimbulkan munculnya berbagai konflik sosial sebagai akibat timbulnya pergesekan berbagai kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Munculnya berbagai masalah sosial dalam kehidupan masyarakat merupakan satu konsekuensi dari kehidupan di wilayah perkotaan yang heterogen, konsumtif, individualis, dan sarat dengan kompetitif.

(43)

46 4.3 Sistem ekonomi

Mata pencaharian penduduk Kelurahan Kebonlega sangat beragam sebagaimna gambaran penduduk perkotaan pada umumnya. Sektor jasa dan informal merupakan pilihan sebagian besar penduduk wilayah ini. Pada sektor swasta, umumnya sebagai besar warga masyarakat sebagai pekerja/buruh. Adanya keterbatasan kemampuan dalam mengakses lembaga-lembaga pemberi pelayanan yang sudah terbentuk dalam jejaring sosial (networking), serta rumitnya prosedur dan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebagai akibat adanya birokrasi yang berbelit-belit, menyebabkan sebagian besar warga memilih mata pencaharian sebagai pelaku usaha sektor informal, seperti pedagang kecil dengan modal terbatas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:. Tabel 5. Jumlah dan Persentasi Penduduk Kelurahan Kebonlega Menurut

Mata Pencaharian Tahun 2007

No Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) %

1 PNS/TNI/POLRI 565 5,63 2 Buruh/Karyawan Swasta 5.920 59,05 3 Pedagang 3.442 34,33 4 Petani ladang 14 0,14 5 Pengrajin 83 0,82 Jumlah 10.024 100

Sumber : Profil Kelurahan Kebonlega, 2006

Pihak swasta memberikan kontribusi yang relatif besar dalam penyerapan tenaga kerja terutama sektor jasa dan hiburan. Sebagaimana pada umumnya penduduk di wilayah perkotaan yang ditandai cepatnya pertumbuhan sektor industri dan jasa, menjadikan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh/karyawan di perusahaan domestik maupun asing. Wilayah ini juga merupakan alternatif bagi pekerja migran untuk memperoleh fasilitas kerja, terutama sejak dioperasionalkannya terminal bus antar kota dan antar propinsi Leuwipanjang. Sebagai gambaran penduduk pendatang yang masuk untuk periode Nopember 2006 saja di Kelurahan Kebonlega tercatat 35 orang, sementara yang pindah sebanyak 19 orang (Mantis Kecamatan Bojongloa Kidul), secara langsung

(44)

47 pergerakan penduduk/mobilitas penduduk wilayah ini termasuk tinggi. Rata-rata dalam setiap tahunnya penduduk pendatang yang masuk wilayah ini sebanyak tercatat 365 orang/tahun, sementara yang pindah dari wilayah Kelurahan Kebonlega sebanyak 120 orang/tahun.

Usaha mikro kecil dan menengah yang ada di Kelurahan Kebonlega sangat bervariasi dari mulai pengrajin sepatu, tas, konpeksi, pembuat roti, usaha jasa servis motor, jasa servis barang elektronik, jasa tambal ban, sampai pada pembuat makanan lokal. Proses produksi dijalankan sebagai usaha kerajinan rumah tangga. Terdapat pula usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama (UBE) berdasarkan jenis produksi yang sama.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah banyak menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini menurut pengamatan pengkaji, korban PHK tersebut beralih profesi menjadi pelaku usaha sektor informal. Masalah yang sering muncul berkenaan dengan terbatasnya lahan usaha yang tidak jarang di razia petugas penertiban satuan polisi pamong praja. Sebab keberadaan para pedagang kaki lima dianggap mengganggu keindahan kota. Kondisi ini menjadikan satu dilema baik pihak pemerintahan kota, juga sebaliknya bagi pelaku usaha sektor informal berupa pedagang kaki lima.

Keberadaan masyarakat di Kelurahan Kebonlega yang merupakan kaum pendatang yang bergerak pada sektor informal pada umumnya berpendidikan relatif rendah, secara langsung bisa memunculkan kondisi yang akrab dengan berbagai keterbatasan yang cenderung menjadi miskin. Sangat beralasan mengapa para pelaku usaha sektor informal memilih lembaga keuangan model rentenir dalam modal usahanya. Dampak klasik dari praktek ini adalah warga masyarakat mulai terbelit dengan bunga pinjaman yang membelit dan berakar. Kondisi ini tidak gampang dalam upaya penanganannya, justru pada sisi yang lain kebijakan pemerintah yang lebih memihak pelaku usaha bermodal besar daripada bermitra kerja dengan pelaku usaha yang modalnya kecil, tidaklah berlebihan justru kondisi diciptakan kemiskinan yang tersetruktur. Hal ini ditandai dengan: beratnya persyaratan yang harus dilengkapi, birokrasi yang berbelit, ketidak-percayaan pihak perbankan kepada sektor informal, juga akibat dari pelaku usaha sektor informal sendiri dalam proses mengakses pelayanan modal tersebut.

Gambar

Tabel 1.Jadwal Pelaksanaan (Bulan dan Tahun) Kajian Pengembangan Masyarakat  di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung
Tabel 2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Penguatan Lembaga  Keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Tahun 2007
Tabel 4. Penggunaan Luas Lahan dan Persentasinya Di Kelurahan  Kebonlega, 2006
Gambar 2. Penggunaan Lahan Kelurahan Kebonlega, 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Iklim kerja berada pada tingkat individu dan organisasi, di saat iklim kerja masuk pada tatanan individu, maka hal ini disebut iklim psikologikal (psychological

Mengucap Puji Syukur sebesar-besarnya Kepada Allah swt atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “pengaruh

Namun dengan instalasi nirkabel ini, yang menarik untuk diteliti adalah seberapa handal sistem nirkabel ini dalam melakukan fungsi pengiriman notifikasinya, seberapa layak

Melalui kegiatan VCT ini telah dilaporkan banyak terjaring orang dengan HIV-AIDS akan tetapi data ini tidak dijadikan sebagai acuan untuk jumlah kasus HIV-AIDS di Kota

Berdasarkan tanggapan 90 responden sebagian besar menagatakan bahwa pemerintah desa dalam mewujudkan bina lingkungan yang baik dengan meningkatkan pembinaan terhadap

sebut juga mendukung hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa wanita yang mengalami in- kontinensia urin pada periode tiga bulan nifas lebih rendah 20% pada kelompok

sangat bermanfaat menjadi entry point bagi orang lain guna mengikuti presentasi dgn lebih efektif.. sesuai

Tujuan dari penelitian ini bagaimana merancang transmisi roda gigi yang diaplikasikan pada PLTA pico hydro1. Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam merancang