• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

5.2 Kondisi Hidrologi Kelurahan Harapan Jaya

Berdasarkan hasil inventarisasi potensi air tanah seluruh Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan pada tahun 1993 yang dikutip

55 oleh Naryanto et al. (2007), wilayah Bekasi berada pada sistem Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta dan CAT Karawang-Jatibarang. Kemudian Naryanto et al. (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa di bagian utara Kota Bekasi banyak dijumpai pemboran air tanah yang menghasilkan sumur-sumur artesis positif. Keberadaan sumur-sumur bor ini yang berada di antara Kali Bekasi dan Kali Cikarang yang mengindikasikan adanya suatu sistem air tanah berproduktifitas tinggi. Dari data-data pemboran, berdasarkan kedalamannya maka akuifer air tanah di kawasan Bekasi dan sekitarnya (Jabodetabek) dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok akuifer produktif, yaitu kelompok akuifer dengan kedalaman kurang dari empat puluh meter (< 40 m), kelompok akuifer dengan kedalaman 40–140 m, dan kelompok akuifer dengan kedalaman lebih dari seratus empat puluh meter (>140 m).

Produktivitas akuifer yang tinggi di daerah Bekasi terdapat baik pada akuifer dalam maupun akuifer dangkal. Seluruh sumur bor mengambil air dari kelompok akuifer kedua yaitu pada kedalaman saringan antara 40 – 140 m di bawah muka tanah setempat. Walaupun jumlah data tersebut belum mencukupi untuk mengetahui secara pasti bagaimana karakteristik produktivitas pada setiap kelompok akuifer di atas, karena masing-masing sumur menyadap air tanah pada dua atau tiga kelompok akuifer.

Berdasarkan interpretasi rekonstruksi geometri akuifer yang dilakukan oleh Naryanto et al. (2007), maka dapat disimpulkan bahwa di Kota Bekasi terdapat dua lapisan akuifer, yaitu lapisan akuifer tertekan (confined aquifer) dan lapisan akuifer tidak tertekan (unconfined aquifer). Kedalaman akuifer tertekan sangat bervariasi, namun akuifer yang berpotensi sebagai akuifer produktif berada

56 pada kedalaman rata-rata antara 100 – 140 m. Ketebalan akuifer yang mencukupi dan mempunyai penyebaran yang luas memberikan cadangan air tanah yang baik. Walaupun demikian, hal ini akan sangat dipengaruhi juga oleh jumlah resapan air tanah yang dapat masuk ke dalam akuifer.

Kawasan yang menjadi daerah resapan akuifer terletak di bagian selatan yang letaknya lebih tinggi, yakni Kabupaten Bogor dan sebagian Kelurahan Bojong Menteng dan merupakan kawasan di luar daerah penelitian. Jumlah resapan air tanah dapat dihitung melalui jumlah simpanan air tanah (storage) hasil perhitungan neraca keseimbangan dan luas wilayah resapan masing-masing akuifer. Data mengenai perhitungan volume resapan air pada akuifer tertekan dan akuifer tidak tertekan di Kota Bekasi secara umum dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perhitungan Volume Resapan Air pada Akuifer Tertekan dan

Akuifer Tidak Tertekan di Kota Bekasi Secara Umum

Jenis Akuifer Luas wilayah resapan

(m2)

Jumlah simpanan air (mm)

Volume resapan (m3)

Akuifer tertekan 4.246.266 363 1540 x 109

Akuifer tidak tertekan 212.313 363 77 x 109

Total 167 x 109

Sumber : Naryanto, et.al., 2007

Apabila melihat pada kondisi saat ini, dimana daerah resapan seperti Kabupaten Bogor ataupun Kelurahan Bojong Menteng di bagian selatan Kota Bekasi telah berada dalam kondisi yang juga cukup mengkhawatirkan. Kawasan yang seharusnya dipertahankan menjadi daerah resapan (recharge area) telah berubah fungsi menjadi kawasan industri baru yang diikuti dengan pembangunan pemukiman yang juga semakin pesat. Kondisi ini juga semakin diperburuk dengan kegiatan ekstraksi air tanah yang berlebihan baik oleh industri maupun domestik secara kolektif seperti yang kini terjadi di Kelurahan Harapan Jaya.

57 Berdasarkan hasil pemantauan kondisi air tanah yang dilakukan oleh BPLH Kota Bekasi pada tahun 2006 diperoleh bahwa kondisi air tanah di Kelurahan Harapan Jaya telah masuk ke dalam kategori zona rawan hingga rusak. Pengelompokan zonasi air tanah ini didasarkan pada empat parameter utama yakni tingkat eksploitasi air tanah, tingkat penurunan muka air tanah, tingkat penurunan kualitas air tanah dan dampak negatif lingkungan yang timbul akibat adanya migrasi antar sistem akuifer ataupun masuknya zat pencemar ke dalam sistem akuifer. Kategori zona air tanah ditentukan berdasarkan pemantauan dan pengujian teknis oleh pihak BPLH Kota Bekasi dengan menggunakan keempat parameter tersebut untuk dapat menentukan kondisi air tanah di suatu wilayah tertentu. Kondisi air tanah di Kota Bekasi berdasarkan zonasinya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kondisi Air Tanah Berdasarkan Zonasi Air Tanah di Kota Bekasi, Tahun 2006

Zona Lokasi Keterangan

Aman  Kec. Bekasi Barat

 Kec. Bekasi Utara (sebagian besar)

 Kec. Medan Satria (bagian tengah)

 Kel. Jaka Setia

 Kel. Jaka Mulya

 Akuifer 45-145 m

 Kedalaman muka air tanah 18 m

Rawan  Kel. Medan Satria

 Kel. Pejuang

Kel. Harapan Jaya

 Kel. Bojong Menteng

 Kel. Kaliabang (sebagian)

 Kel. Marga Jaya

 Akuifer 45-98 m

 Kedalaman muka air tanah 18- 27 m

Kritis  Kec. Medan Satria

 Kel. Pejuang

Kel. Harapan Jaya

 Akuifer 45-98 m

 Kedalaman muka air tanah 27- 36 m

Rusak  Kel. Medan Satria

 Kel. Pejuang

Kel. Harapan Jaya

 Akuifer 45-98 m

 Kedalaman muka air tanah <36 m

Sumber: Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bekasi, 2006

Pencemaran air tanah saat ini tidak dapat dihindari lagi akibat peningkatan populasi penduduk yang disertai dengan perkembangan pemukiman yang semakin

58 pesat, rapat dan tidak teratur di Kelurahan Harapan Jaya. Menurut Saeni (1997), kondisi pemukiman yang cenderung rapat dan tidak teratur dapat merusak kualitas air tanah akibat perembesan zat pencemar yang berasal dari kebocoran pada saluran pembuangan limbah yang konstruksinya kurang memadai ke dalam sistem akuifer. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan mengakibatkan permasalahan yang cukup serius di masa yang akan datang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saeni (1997) mengenai kualitas air tanah dangkal daerah pemukiman di Kota Bekasi secara umum ditemukan bahwa terdapat beberapa parameter yang telah melebihi baku mutu yang telah ditentukan menurut PP. No.20 Tahun 1990, KEP.02/MENKLH/I/1988, dan PERMENKESH No.01/BIRHUKMAS/I/1975. Kondisi tersebut menyebabkan air tanah (air sumur) tidak lagi layak untuk dikonsumsi secara langsung, misalnya untuk keperluan minum. Gambaran umum mengenai kualitas air di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun parameter yang melebihi (tidak sesuai) baku mutu antara lain :

1. Kemasaman air tanah latosol rata-rata berkisar 4,6 – 5,6. Tingkat kemasaman air ini terlalu rendah, sehingga apabila digunakan untuk keperluan minum kurang layak dan tidak baik untuk kesehatan gigi.

2. Kekeruhan rata-rata berkisar 5,2 – 10,0 NTU. Bahkan dibeberapa lokasi ditemukan tingkat kekeruhan yang cukup tinggi yakni Kelurahan Harapan Jaya, Perumnas I, Perumnas III, dan Desa Setya Mekar yang mencapai 18 – 27 NTU. Adapun batas maksimum kekeruhan yang ditentukan oleh untuk air minum adalah 5 NTU.

59 3. Ammonia bebas rata-rata berkisar 0 – 0,182 mg/l. Menurut PERMENKESH No. 01/BIRHUKMAS/I/1975 telah melebihi baku mutu air minum baku. Pada beberapa tempat juga dijumpai pula ammonia bebas yang melewati ambang batas untuk perikanan dan peternakan, yaitu 0,02 mg/l, yakni daerah Pasar Kranji, Desa Harapan Jaya, Desa Setya Mekar, dan Bojong Menteng.

4. Besi berkisar 0,61 – 1,25 mg/l. Hampir di seluruh tempat lokasi penelitian memiliki kandungan besi yang cukup tinggi. Adapun batas maksimum yang ditetapkan oleh PERMENKESH No. 01/BIRHUKMAS/I/1979 yaitu 1 mg/l. 5. Kandungan Mangan berkisar 0,05 – 0,057 mg/l. Lokasi penelitian yang

kandungan mangannya tinggi adalah PERUMNAS I, di Kelurahan Kranji, mencapai 0,70 mg/l.

6. Bahan organik total (BOT) rata-rata berkisar 12,49 – 20,50 mg/l. Kandungan BOT di seluruh lokasi telah melampaui baku mutu, baik menurut PP No. 20 maupun pada PERMENKESH No. 01. Demikian pula untuk keperluan perikanan minimum adalah 3 mg/l.

7. Oksigen – terlarut rata-rata berkisar 20,3 – 2,59 mg/l. Batas minimum yang diperbolehkan untuk air minum baku minimum adalah 3 mg/l, sehingga air ini tidak layak sebagai air minum baku. Demikian pula untuk keperluan perikanan minimum adalah 3 mg/l.

8. Deterjen berkisar 0,491 – 2,117 mg/l. Kandungan deterjen di seluruh lokasi telah melewati ambang batas dalam PP No. 20 Tahun 1990 golongan A dan B, kecuali di Desa Bojong Menteng. Baku mutu untuk keperluan perikanan dan peternakan adalah 0,2 mg/l.

60 9. Sulfida berkisar 0,77 – 2,26 mg/l. Batas maksimum yang diperbolehkan dalam PP No. 20 Tahun 1990 golongan B adalah 0,1 mg/l, sehingga kandungan sulfida di semua sumur telah melampaui ambang batas yang telah ditetapkan. Batas maksimum yang diperbolehkan untuk perikanan dan peternakan adalah 0,002 mg/l, sehingga air ini juga tidak layak jika dipergunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.

10. Jumlah Coliform berkisar 46 – 508 individu/100 ml. Batas yang ditetapkan dalam PERMENKESH No. 01 adalah 3 individu/100 ml, sehingga pada umumnya sumur di daerah penelitian tercemar bakteri koliform.

11. Kandungan bakteri E.Coli berkisar 41 – 457 individu/100 ml. Batas yang ditetapkan dalam PERMENKESH No. 01 adalah 0, sehingga pada umumnya di daerah penelitian telah tercemar E.coli.

Dokumen terkait