I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan
arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Sumberdaya alam seperti air, lahan, udara, hutan,
ikan, minyak, dan lain-lain merupakan sumberdaya yang sangat esensial bagi
kelangsungan hidup manusia. Kerusakan atau kehilangan atas sumberdaya
tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Keberadaan
sumberdaya ini tidak saja untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun
juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa.
Pengelolaan sumberdaya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan
manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan
berdampak buruk bagi umat manusia. Oleh karena itu, menurut Fauzi (2006)
persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah
bagaimana agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia
dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.
Dalam konsep ekonomi klasik, sumberdaya diidentikan dengan input
produksi dari alam yang diperlukan untuk menghasilkan output atau barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian, pengertian sumberdaya tersebut
tidak terbatas sebagai faktor input saja karena proses produksi dan konsumsi tidak hanya menghasilkan keuntungan dan kepuasan bagi pengguna, namun juga
menghasilkan residual atau limbah yang menyebabkan terjadinya eksternalitas
2
ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut.
Dalam pendekatan ekonomi tradisional, dampak dari residual tersebut tidak secara
eksplisit diakomodasikan dalam model produksi dan konsumsi. Padahal dengan
mengabaikan dampak eksternalitas tersebut, bukan saja syarat optimimalitas
produksi dan konsumsi tidak bisa terpenuhi, namun juga mengabaikan biaya
sosial yang sebenarnya harus ditanggung oleh maysarakat.
Sumberdaya air adalah salah satu sumberdaya yang sering dimanfaatkan
oleh manusia yang memberikan manfaat dalam mewujudkan kesejahteraan umat
manusia di segala bidang. Kontribusi sumberdaya air terhadap pembangunan
ekonomi dan sosial sangat vital. Awal peradaban manusia dan lahirnya
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi juga dimulai dari sumber-sumber air, seperti sungai
dan mata air. Seiring dengan bertambahnya penduduk dan ekskalasi pembangunan
ekonomi, menyebabkan fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena
semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Bahkan
dilihat dari sisi geopolitik, para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber
konflik di abad 21 ini (Fauzi, 2006).
Pada dasarnya Indonesia yang terletak di kawasan tropika basah memiliki
sumberdaya air yang cukup melimpah, namun jika dikaji secara mendalam, maka
sumberdaya air tersebut tidak selalu tersedia sesuai keinginan kita. Disamping
penyebarannya secara geografis tidak merata, juga dapat kita catat adanya
perubahan yang drastis karena unsur waktu dan musim serta perilaku manusia
yang sering menganggap sumberdaya air sebagai sesuatu yang tidak berharga dan
3
inilah yang kemudian mengarah pada krisis sumberdaya air (Kodoatie dan Sjarief,
2008).
Air tanah sebagai bagian dari sumberdaya air juga mengalami
permasalahan serupa. Air tanah di Indonesia hingga kini sering diperlakukan
sebagai barang bebas atau free good yang tidak memiliki nilai ekonomi. Air tanah masih dianggap sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui, padahal seharusnya
air tanah dikategorikan sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan karena
meskipun memiliki kemampuan memulihkan kembali (recharge rate) lewat hujan, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan recharge, maka sumberdaya ini dapat terdeplesi. Apabila sumberdaya ini terdeplesi, maka
membutuhkan waktu yang relatif lama yakni berupa proses geologi yang
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk membuatnya pulih
kembali (Fauzi, 2006).
Menurut Putranto dan Kusuma (2009), pengambilan air tanah terjadi
karena adanya pengaruh dari pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin tinggi,
sehingga mengakibatkan kebutuhan air akan semakin besar. Kebutuhan air yang
besar mendorong manusia untuk mencari pengganti air sungai yang merupakan
sumber utama air bersih karena sudah mulai tercemar oleh berbagai macam
limbah. Oleh karena itu, sebagai pengganti air sungai penduduk beralih
menggunakan air tanah sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Sebagai imbas dari peralihan penduduk yang menggunakan air tanah
sebagai air bersih, maka banyak muncul sumur-sumur gali dan dilakukan
4
melakukan proses produksi. Kegiatan eksplorasi air tanah yang berlebihan ini
merupakan sumber utama timbulnya masalah air tanah pada daerah perkotaan.
Selain itu menurut Saeni (1997), pertumbuhan penduduk yang pesat
berbanding lurus dengan perkembangan pemukiman yang juga semakin pesat dan
tidak teratur, sehingga cenderung akan merusak kualitas air tanah. Keterbatasan
dan mahalnya harga lahan menyebabkan perbandingan antara luas bangunan dan
tanah terbuka menjadi tidak serasi. Permasalahan kualitas air tanah muncul
terutama di daerah yang rapat dengan sarana tangki septik yang berdekatan
dengan sumur air minum. Disamping itu pengambilan air tanah dangkal yang
berlebihan dapat menyebabkan turunnya muka air tanah. Jika keadaan demikian
tidak dapat dikendalikan, dapat mengakibatkan masuknya zat pencemar asal
saluran pembuangan limbah rumah tangga yang konstruksinya kurang baik ke
dalam akuifer air tanah dangkal. Perembesan air selokan atau tangki septik
tersebut dapat efektif bila terjadi penurunan muka air tanah dangkal yang dalam
terutama pada musim kemarau. Akibatnya banyak zat pencemar yang masuk ke
dalam sistem akuifer. Bila musim hujan tiba pencemar tersebut akan terlarut.
Demikian proses tersebut berjalan, sehingga air tanah dangkal menjadi tercemar
oleh limbah domestik, misalnya ammonia, nitrit, nitrat, deterjen, dan E. coli. Pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya yang sangat
pesat telah mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan kota yang cepat pula.
Hal ini seringkali mengakibatkan suatu kota tidak siap dalam memberikan
pelayanan sarana dan prasarana kepada masyarakatnya. Fenomena ini terjadi di
banyak kota besar di Indonesia dan salah satunya adalah Kota Bekasi. Kota
5
dan penyangga pusat ibukota yang berfungsi sebagai penyeimbang DKI Jakarta.
Fungsi Kota Bekasi sebagai penyangga ibukota menyebabkan jumlah penduduk
cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010,
jumlah penduduk kota Bekasi meningkat dari 1.663.802 jiwa di tahun 2000
menjadi 2.336.498 jiwa pada tahun 2010. Dalam rentang sepuluh tahun ini
penduduk Kota Bekasi meningkat sebesar 40,43% dengan laju pertumbuhan
penduduk setiap tahun mencapai 3,48%.1 Peningkatan jumlah penduduk di Kota
Bekasi tersebut seharusnya disertai dengan perbaikan dan peningkatan jumlah
pelayanan publik, khususnya pada sektor sanitasi dan air bersih. Namun
keterbatasan anggaran dan sistem yang tidak mendukung menyebabkan akses
masyarakat Kota Bekasi masih terbatas terhadap pelayanan sanitasi dan air bersih
yang baik.
Kota Bekasi yang kini berkembang dengan sangat pesat tersebut, ternyata
masih belum mampu memberikan pelayanan air bersih kepada seluruh
masyarakatnya. Jangkauan pelayanan PDAM baru mencapai 36% dari total
kebutuhan masyarakat Kota Bekasi. Terbatasnya pelayanan air bersih akan
dirasakan oleh semua pihak, namun akan sangat berpengaruh bagi masyarakat
miskin perkotaan di Kota Bekasi yang pada tahun 2010 totalnya mencapai sekitar
97.000 kepala keluarga (Dinas Kependudukan Kota Bekasi, 2011).2 Keterbatasan
layanan air bersih tersebut mengharuskan masyarakat golongan ekonomi lemah
tersebut untuk mencari alternatif sumber air lain, seperti air tanah dangkal dari
sumur gali atapun air isi ulang depot dan air kemasan yang lebih mudah untuk
diperoleh, namun kemungkinan besar sudah rawan oleh zat pencemar.
1 http://www.bekasikota.bps.go.id. diakses pada tanggal 4 Februari 2011.
6
Tercemarnya air tanah sebagai salah satu sumber air bersih utama yang
masih digunakan oleh penduduk menyebabkan mereka harus melakukan berbagai
tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air bersih
dalam upaya menghindari kemungkinan dampak negatif yang akan terjadi.
Menurut Traore et al. (1999), beberapa tindakan pencegahan yang lazim dilakukan penduduk pada umumnya adalah mengganti air minum mereka dengan
membeli air dalam kemasan, memasak atau merebus air yang akan dikonsumsi
terlebih dahulu, ataupun upaya penjernihan air dengan pemasangan filter.
Beberapa tindakan pencegahan yang mereka lakukan tersebut akan menyebakan
korbanan biaya yang harus mereka keluarkan demi memperoleh kualitas dan
kuantitas air yang baik. Korbanan biaya tersebut merupakan biaya sosial akibat
dari eksternalitas negatif yang terjadi akibat tercemarnya sumber air tanah yang
seharusnya dapat mereka konsumsi secara bebas.
1.2 Perumusan Masalah
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi di Kota Bekasi
mengakibatkan kebutuhan air bersih juga akan semakin besar. Menurut Putranto
dan Kusuma (2009), kebutuhan air bersih yang besar mendorong masyarakat
untuk beralih menggunakan sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan air
bersih sehari-harinya akibat sumber air permukaan yang selama ini mereka
gunakan tidak lagi mencukupi dan cenderung telah tercemar. PDAM yang
diandalkan sebagai salah satu penyedia kebutuhan air bersih masih belum mampu
menjangkau seluruh kebutuhan masyarakat karena keterbatasan volume air bersih
dan jangkauan perpipaan yang tersedia. Sebagai imbasnya maka banyak muncul
7
domestik akibat peralihan masyarakat menggunakan air tanah sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan air bersih. Fenomena ini terjadi di banyak kota besar di
Indonesia dan salah satunya adalah Kelurahan Harapan Jaya sebagai salah satu
pusat kegiatan industri di Kota Bekasi bagian utara.
Saat ini ekstraksi air tanah besar-besaran yang dilakukan baik oleh industri
maupun domestik secara kolektif di Kelurahan Harapan Jaya telah menyebabkan
penurunan pada muka air tanah akibat semakin keringnya sumber air tanah. Selain
itu, perkembangan pemukiman penduduk yang semakin pesat dan tidak teratur
juga telah merusak kualitas air tanah. Menurut Saeni (1997), permasalahan
kualitas air tanah ini muncul akibat rapatnya pemukiman penduduk, sehingga
jarak antara sarana pembuangan limbah dengan air sumur warga cenderung saling
berdekatan dan berakibat pada rawannya sumber air bersih warga terhadap
perembesan zat pencemar dari limbah yang berasal dari aktivitas domestik.
Penduduk Kelurahan Harapan Jaya pada umumnya merasakan kerugian
akibat tercemarnya sumber air bersih mereka. Perubahan secara fisik telah
dirasakan oleh penduduk melalui indikator warna, rasa, bau, serta tingkat
kekeruhan pada sumber air tanah yang mereka gunakan. Perubahan tersebut
menyebabkan air tanah tidak lagi dapat dikonsumsi secara bebas. Berkurangnya
jumlah air bersih akibat perubahan kondisi air tanah ini merupakan kerugian bagi
penduduk setempat. Oleh karena itu, penduduk akan melakukan berbagai tindakan
pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air bersih mereka
dalam upaya menghindari dampak negatif dari pencemaran air tanah yang terjadi.
8
biaya yang harus mereka keluarkan demi memperoleh kualitas dan kuantitas air
yang lebih baik.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan
penelitian yang perlu dikaji yaitu:
1. Bagaimana pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk di
Kelurahan Harapan Jaya?
2. Berapa besar kerugian ekonomi penduduk akibat adanya pencemaran air
tanah di Kelurahan Harapan Jaya?
3. Apa sajakah faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk untuk
melakukan tindakan pencegahan akibat adanya pencemaran air tanah di
Kelurahan Harapan Jaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahn yang terdapat dalam perumusan masalah
sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk
Kelurahan Harapan Jaya
2. Mengestimasi nilai kerugian ekonomi penduduk akibat adanya
pencemaran air tanah di Kelurahan Harapan Jaya
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk
untuk melakukan tindakan pencegahan akibat adanya pencemaran air
9 1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang estimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran air
tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya diharapkan dapat bermanfaat,
yakni:
1. Bagi Akademisi dan Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan khazanah
pengetahuan dan informasi kepada akademisi dan peneliti dalam
pelaksanaan penelitian yang berkaitan dengan estimasi nilai kerugian
ekonomi akibat adanya pencemaran air tanah.
2. Bagi Pemerintah Kelurahan Harapan Jaya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah,
khususnya pemerintah Kelurahan Harapan Jaya dalam mengevaluasi
berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dan pendayagunaan
air tanah agar dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan.
3. Bagi Masyarakat Kelurahan Harapan Jaya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan insentif
perilaku bagi masyarakat Kelurahan Harapan Jaya untuk dapat menjaga
kelestarian sumberdaya air tanah dengan melakukan ekstraksi sumberdaya
air tanah sesuai dengan aturan hak guna pakai air agar ketersediaan
sumberdaya air tanah dapat terjaga dan masih dapat terus dimanfaatkan
oleh generasi di masa yang akan datang.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
10
1. Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya untuk mengestimasi nilai
kerugian ekonomi akibat pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan
Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
2. Responden adalah rumah tangga yang berdomisili di sekitar kawasan
industri di Kelurahan Harapan Jaya.
3. Estimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran air tanah adalah untuk
tahun 2011.
4. Estimasi nilai kerugian yang dilakukan adalah berdasarkan pada
biaya-biaya pencegahan dan kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga
akibat adanya pencemaran pada sumber air tanah yang digunakan oleh
penduduk yang berada di Kelurahan Harapan Jaya.
5. Estimasi nilai kerugian dilakukan pada tahun 2011, sehingga tingkat harga
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekonomi Sumberdaya Air
Air merupakan bagian penting dari sumberdaya alam yang mempunyai
karakteristik unik dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Menurut Fauzi
(2006), air dapat diklasifikasikan ke dalam sumberdaya yang terbarukan maupun
tidak terbarukan, tergantung pada sumber dan pemanfaatannya. Air permukaan
atau surface water seperti air yang diperoleh dari sungai maupun danau dapat dikategorikan sebagai sumberdaya terbarukan karena adanya proses siklus
hidrologi dari bumi. Adapun air yang bersumber dari bawah tanah atau
groundwater diperoleh melalui proses geologi selama ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga meskipun memiliki kemampuan untuk memulihkan kembali
(recharge rate) lewat hujan, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan
recharge, groundwater sering dikatakan sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan.
Pembahasan mengenai ekonomi sumberdaya air tidak terlepas dari
pertanyaan tentang bagaimana memanfaatkan sumberdaya air dengan
sebaik-baiknya dengan tidak mengorbankan kelestariannya. Menurut Fauzi (2006), air
juga memiliki nilai intrinsik dan pemanfaatannya memiliki nilai tambah karena
dari ekstraksi sampai pemanfaatan langsung untuk konsumsi menimbulkan biaya
yang cukup substansial. Seperti barang dan jasa lingkungan lainnya, nilai air
diturunkan dari arti penting dan kontribusi air bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya. Nilai air dapat diidentifikasi dari peranan air yang meliputi: (1) sumber
12
antara (intermediate input) dalam proses produksi, terutama untuk sektor pertanian (irigasi) dan industri, serta menjaga fungsi dan proses ekologi; dan (3)
digunakan untuk tujuan rekreasi, estetika, sosial, dan keagamaan (cultural services). Dari sudut pandang ekonomi, peranan air tersebut dapat diringkas menjadi tiga jenis, yaitu sebagai barang akhir untuk dikonsumsi, input antara
untuk produksi, dan penyedia jasa lingkungan dan ekosistem.
2.1.1 Nilai Ekonomi Air Tanah
Sebagai bagian dari sumberdaya air, saat ini air tanah lebih cenderung
diapresiasi dengan nilai yang rendah (undervalued), terutama dalam kondisi dimana air tanah tersebut bersifat common property. Menurut Fauzi (2006), hal ini disebabkan karena pada saat sumberdaya tersebut tidak dimiliki dengan jelas, ia
akan menjadi common pool dimana setiap pengguna sumberdaya air meyakini bahwa ekstraksi yang dilakukannya tidak akan mempengaruhi stok sumberdaya
air, sehingga deplesi dari sumberdaya air dinilai tanpa harga (zero price). Lebih lanjut lagi Kemper et al. (2006) menyebutkan bahwa pada kondisi tersebut, pengguna sumberdaya air tanah akan menerima manfaat penuh dari keberadaan
sumberdaya air tanah, namun mengabaikan biaya-biaya yang harus dibayarkan
atas ekstraksi sumberdaya air tanah yang mereka lakukan.
Menurut Kemper et al. (2006), biaya yang dibayarkan oleh pengguna air tanah pada umumnya hanya berkisar pada biaya untuk memperoleh air tanah
seperti biaya pengeboran (capital cost) dan biaya pengoperasian serta pemeliharaan pompa untuk ekstraksi air tanah (Operation and Mantainance Cost), namun mengabaikan biaya-biaya lainnya seperti biaya eksternalitas dan biaya
13
pandang ekonomi, kondisi undervaluation ini akan menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan sumberdaya air tanah. Biaya-biaya ekstraksi sumberdaya air
tanah dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Kemper et al., 2006
Gambar 1.Biaya-Biaya Ekstraksi Sumberdaya Air Tanah
Menurut Jones et al. (2000), estimasi nilai ekonomi total air seharusnya melibatkan semua nilai, baik nilai guna (use value) maupun nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna langsung (direct use value) dari air merujuk pada penggunaan air untuk menunjang kehidupan dan aktivitas ekonomi manusia,
sedangkan nilai guna tidak langsung (indirect use value) terkait dengan fungsi air sebagai suatu ekosistem. Nilai pilihan (option value) merupakan nilai untuk mempertahankan nilai air yang akan digunakan di waktu yang akan datang, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, nilai bukan guna (non-use value) meliputi nilai pengetahuan tentang ketersediaan air untuk generasi mendatang (bequest value) dan nilai intrinsik dari ekosistem air (existance value). Adapun National Research Council (1997) mengklasifikasikan nilai
sumberdaya air tanah berdasarkan dua terminologi, yakni berdasarkan nilai air
14
(economic terminology). Secara fisik air tanah terdiri dari nilai guna (extractive value) yaitu apabila air tanah dimanfaatkan atau digunakan untuk berbagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan nilai in-situ yaitu manfaat atas air tanah apabila dibiarkan tetap dalam kondisi aslinya. Nilai guna air tanah terdiri
dari kegunaan air tanah untuk berbagai keperluan domestik, pertanian, dan
industri, sedangkan nilai in-situ terdiri dari manfaat ekologis, manfaat buffering, nilai pencegahan atas amblesan tanah dan muka air tanah (land subsidence avoidance values) dan instrusi air laut serta manfaat rekreasi.
Tabel 1. Nilai Sumberdaya Air Tanah
Physical State Terminology Economic Terminology
A.Extractive Values
Selanjutnya apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomi (economic terminology), nilai air tanah diklasifikasikan menjadi nilai guna (use values) dan nilai bukan guna (non-use values). Nilai guna merujuk pada penggunaan air baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencakup semua nilai pada
extractive value yang identik dengan nilai guna langsung (direct use value) dan
in-situ value yang identik dengan nilai guna tidak langsung (indirect use value). Adapun untuk nilai bukan guna terdiri dari nilai keberadaan (existance value) dan
Use Value
15
nilai warisan (bequest value). Nilai sumberdaya air tanah berdasarkan dua terminologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
2.1.2 Metode Valuasi Ekonomi Air Tanah
Ekstraksi yang berlebihan oleh industri dan domestik secara kolektif pada
sumber air tanah di Kelurahan Harapan Jaya menyebabkan menurunnya kuantitas
dan kualitas air tanah. Kondisi ini semakin diperburuk oleh perkembangan
pemukiman penduduk yang semakin pesat dan tidak teratur sehingga
menyebabkan masuknya zat pencemar yang berasal dari kebocoran pada saluran
pembuangan limbah ke dalam sistem akuifer atau air tanah, sehingga
menyebabkan air tanah tidak dapat lagi dikonsumsi secara bebas. Pencemaran
yang terjadi pada sumber air tanah ini merupakan kerugian bagi penduduk
setempat karena berkurangnya sumber air bersih yang dapat mereka manfaatkan
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Salah satu pendekatan untuk mengukur kehilangan ekonomi akibat
pencemaran adalah berdasarkan perilaku pencegahan (averting behaviour method). Perilaku pencegahan adalah tindakan yang dilakukan rumah tangga yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari bahaya akibat kerusakan pada
suatu ekosistem. Menurut Fauzi (2006), metode tersebut merupakan salah satu
teknik valuasi ekonomi non-pasar berbasiskan biaya (cost-based approach) yang mengandalkan harga implisit dimana keinginan membayar seseorang terungkap
melalui model yang dikembangkan (revealed willingness to pay).
Menurut National Research Council (1997), sedikitnya terdapat tiga
respon yang terkait dengan upaya yang dilakukan oleh rumah tangga dalam
16 goods, misalnya alat-alat penyaring (filter) untuk memberikan perlakuan semacam
water treatment terhadap air tanah sebelum dikonsumsi; (2) membeli nondurable goods, misalnya air galon; dan (3) merubah kebiasaan sehari-hari untuk menghindari dampak kerusakan akibat pencemaran, misalnya (a) memasak atau
mendidihkan air yang digunakan untuk keperluan memasak dan minum atau (b)
mengurangi frekuensi atau lamanya penggunaan air tanah untuk keperluan
mencuci ataupun mandi apabila adanya indikasi bahan pencemar, baik organik
maupun kimia dalam kandungan air tanah tersebut.
Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa rumah tangga merespon
perubahan pada harga, kuantitas dan kualitas sumberdaya non-market dengan melihat pembelian barang pasar yang serupa atau memiliki hubungan dengan
sumberdaya non-market tersebut. Biaya-biaya tersebut akan mengestimasi kemampuan membayar maksimum dari masyarakat untuk perbaikan kualitas air
tanah atau air sumur. Namun, menurut Brouwer dan Pearce (2005), biaya dari
perilaku pencegahan ini memiliki kekurangan. Pertama, pengeluaran atau biaya
seringkali menaksir terlalu rendah nilai pada kualitas sumberdaya. Kedua,
pendekatan ini hanya berlaku ketika terdapat perilaku pencegahan yang memilki
nilai pasar.
Untuk memperoleh nilai kerugian atas pencemaran air tanah yang terjadi
digunakan teknik yang relevan dengan pendekatan averting behavior method
yakni metode biaya pencegahan (preventive expenditure). Pendekatan ini merupakan teknik yang memperkirakan valuasi minimal dari individu, habitat
atau kualitas lingkungan dalam hal kesedian mengeluarkan biaya agar terhindar
17
pengeluaran yang sesungguhnya yang mampu dilakukan orang agar terhindar dari
kerusakan yang disebabkan degradasi lingkungan. Pendekatan tersebut
memberikan nilai pada hal-hal di dalam lingkungan yang dirasa negatif dengan
mencari bagaimana individu atau kelompok membelanjakan uang agar terhindar
dari dampak negatif. Dalam hal ini dampak negatif belum terjadi, namun individu
atau kelompok percaya akan mengalami dampak negatif jika pengeluaran untuk
tindakan pencegahan tidak dilakukan (Jones et al., 2000).
Menurut Jones et al. (2000), individu atau kelompok sering mengeluarkan uang untuk menghindari atau mengeliminasi kerusakan yang disebabkan dampak
lingkungan yang merugikan. Biaya pencegahan ini menciptakan harga implisit
dari kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati yang baik, namun dianggap
merupakan estimasi minimum dari keuntungan perbaikan lingkungan tersebut.
Dalam teknik ini diasumsikan bahwa individu mengeluarkan uangnya untuk
mencapai perbaikan kualitas lingkungan yang setidaknya setara dengan
sumberdaya yang hilang.
Selain kerugian berupa biaya pencegahan yang harus dikeluarkan oleh
rumah tangga atas upaya mereka untuk melakukan tindakan pencegahan akibat
pencemaran air tanah yang terjadi, terdapat pula biaya lain yang timbul akibat
rumah tangga masih menggunakan sumber air tanah yang telah tercemar sebagai
pemenuhan kebutuhan sehari-harinya karena kesulitan untuk memperoleh
alternatif sumber air bersih lainnya. Menurut National Research Council (1997),
berdasarkan berbagai kasus pencemaran air tanah yang telah terjadi, konsumsi
atas air tanah yang tercemar dapat menyebabkan pengkonsumsinya terkena
18
Peningkatan resiko terkena penyakit tersebut menyebabkan peningkatan pula pada
biaya berobat, kehilangan waktu untuk kegiatan luang atau bersantai (leisure time), kehilangan pendapatan ataupun pekerjaan serta kerugian-kerugian lain yang ditanggung oleh manusia sebagai akibat atas konsumsi air tanah yang telah
tercemar tersebut. Oleh karena itu untuk menghitung biaya-biaya tersebut
digunakan pendekatan biaya kesehatan (cost of illness) yang juga merupakan salah satu teknik valuasi ekonomi yang berbasiskan biaya (cost-based approach).
Cost of Illness merupakan salah satu pendekatan yang bertujuan untuk memberikan nilai pada perubahan kesehatan manusia atau kesejahteraan yang
muncul dari perubahan kualitas lingkungan. Menurut Yakin (1997), pendekatan
ini terdiri dari faktor-faktor berikut:
1. Biaya kesehatan langsung seperti biaya medis, biaya-biaya asuransi medis,
dimana biaya pengeluaran medis terdiri dari biaya medis, biaya rumah sakit,
biaya obat, biaya rehabilitasi, dan nilai hilangnya waktu yang sama dengan
hilangnya upah atau pendapatan.
2. Nilai hilangnya waktu orang yang sakit (pendapatan yang hilang dan
kesenangan yang hilang)
2.2 Air Tanah
Air tanah merupakan salah satu komponen dalam peredaran air di bumi
yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi, air tanah juga
mempunyai peran sebagai salah satu mata rantai yang berfungsi sebagai reservoir,
yang melepaskannya secara perlahan ke dalam sungai atau danau, sehingga
kesinambungan aliran terjaga (Notodarmojo, 2005). Namun menurut Fauzi
19
(recharge rate), jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi kemampuan recharge, maka sumberdaya ini dapat terdeplesi. Apabila sumberdaya ini terdeplesi, maka
membutuhkan waktu yang relatif lama yakni berupa proses geologi yang
membutuhkan waktu ratusan bahkan ribuan tahun untuk membuatnya pulih
kembali. Oleh karena itu sumberdaya air tanah ini sering diklasifikasikan sebagai
sumberdaya yang tidak terbarukan.
Menurut UU No. 7 Tahun 2004, air tanah adalah air yang terdapat dalam
lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sedangkan menurut
Kodoatie dan Sjarief (2008), air tanah merupakan salah satu komponen dalam
daur hidrologi (hydrologic cycle) yang berlangsung di alam. Sumber ini terbentuk dari air hujan yang meresap ke dalam tanah di daerah imbuhan (recharge area) dan mengalir melalui lapisan batuan, terutama lapisan pembawa air (akuifer)
dalam satu cekungan air bawah tanah (groundwater basin) yang berada di bawah permukaan tanah menuju ke daerah lepasan (discharge area). Air tanah dapat berupa air sumur dalam maupun air sumur dangkal. Air sumur dalam ialah air
yang telah merembes melalui lapisan-lapisan mineral masuk ke tanah, dimana
selama perembesan bahan-bahan organiknya tertahan, air sumur dalam dapat
diminum karena bebas bakteri. Sebaliknya air sumur dangkal tidak dapat langsung
diminum karena rawan perembesan oleh zat pencemar yang berasal dari limbah
buangan kegiatan domestik, pertanian, ataupun indsutri.
2.2.1 Pencemaran Air Tanah
Menurut Undang Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4
Tahun 1982, pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukannya
20
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam
sehingga kualitas turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya dan
telah melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Baku mutu
lingkungan hidup atau kriteria lingkungan hidup merupakan ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Pencemaran lingkungan hidup ini terdiri dari pencemaran tanah, pencemaran
udara, pencemaran suara, dan pencemaran air.
Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tidak dapat digunakan
sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran air
(Kristanto, 2004). Sampai saat sekarang ini sebagian besar masyarakat masih
menggunakan air tanah sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan air besih
sehari-sehari. Oleh karena itu kualitas air tanah menjadi sangat penting karena
sebagian besar pengguna air tanah menggunakan air tersebut secara langsung.
Meskipun ada beberapa yang melakukan pengolahan, namun hanya terbatas pada
pengolahan fisik atau kimia yang sederhana. Beragamnya kontaminan dengan
tingkat bahaya (toksisitas) yang bervariasi dan mahalnya biaya untuk pemulihan
kualitas (remediasi), maka menjaga kualitas air tanah akan lebih baik daripada
mencemari kemudian memperbaikinya. Beberapa kontaminan mempunyai sifat
kumulatif dan resistan, kadang-kadang secara kasat mata tidak terlihat
keberadaannya atau berbau, seperti misalnya organo-klorin sebagai pestisida atau
21
meningkatkan risiko bagi manusia sebagai pengguna air tanah (Notodarmojo,
2005).
Harus diakui bahwa tanah sebagai tempat buangan akhir bagi limbah
merupakan alternatif yang menarik dan mudah untuk dilakukan. Disamping itu,
cara ini juga telah dipraktikkan sejak adanya kehidupan manusia. Pencemaran
pada air tanah telah terjadi di beberapa tempat, baik dalam skala kecil maupun
regional. Degradasi kualitas air tanah dan tanah sebagai mediumnya dapat terjadi
karena berbagai hal. Menurut Notodarmojo (2005) beberapa diantaranya adalah
perkolasi dari efluen tangki septik, rembesan aliran air permukaan yang telah
tercemar, tempat pembuangan akhir sampah, ataupun tumpahan (spilling) dari zat pencemar yang tidak disengaja, merupakan penyebab yang sering dijumpai. Jenis
sumbernya pun dapat berupa sumber tersebar (diffuse source), terpusat (point source) ataupun dalam bentuk memanjang (line source). Kemudian seberapa jauh kontaminan tersebut dapat bersifat racun terhadap manusia dan lingkungannya
tergantung pada berbagai faktor, seperti misalnya sifat resistansi dan akumulasi
dalam tubuh ataupun kepekaan manusia terhadap kontaminan tersebut.
Pencemaran air minum oleh air limbah dapat disebabkan karena sumber
air yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat mengandung organisme seperti
bakteri dan virus. Selain disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme,
pencemaran air juga dapat terjadi akibat adanya kandungan zat atau senyawa
kimia dalam sumber air yang melebihi ambang batas konsentrasi yang diizinkan.
Kontaminasi kandungan zat atau senyawa kimia ini dapat terjadi secara alami
ataupun akibat aktivitas manusia seperti limbah rumah tangga dan industri.
22
misalnya logam berat, pestisida, senyawa mikro polutan hidrokarbon, zat-zat radio
aktif alami atau buatan dan sebagainya. Kontaminasi baik oleh mikroorganisme
maupun oleh zat atau senyawa kimia terhadap sumber air yang digunakan oleh
masyarakat akan menyebabkan pengkonsumsinya dapat rentan terhadap berbagai
penyakit (Said, 1999).
Menurut Said (1999), beberapa penyakit yang berhubungan dengan air
yang paling sering berjangkit akibat kontaminasi zat-zat pencemar ke dalam
sumber air yang dikonsumsi oleh warga antara lain adalah disentri, thypus dan
parathypus, kholera, hepatitis A, polio, dermatritis (penyakit kulit) serta diare. Seringkali penyebab penyakit tersebut diakibatkan oleh kondisi lingkungan rumah
yang tidak sehat dan perilaku individu yang tidak menjaga kebersihan dirinya dan
lingkungannya. Salah satu faktor yang penting untuk menanggulangi hal tersebut
yakni dengan cara meningkatkan kebersihan lingkungan, meningkatkan pelayanan
air bersih yang sehat, meningkatkan sistem pembuangan limbah yang memenuhi
syarat, serta meningkatkan peran dan fungsi pemerintah dengan memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan.
2.2.2 Pengelolaan dan Pendayagunaan Air Tanah
Berdasarkan definisi pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
43 Tahun 2008 tentang air tanah menyebutkan bahwa pengelolaan air tanah
adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian
daya rusak air tanah yang berlandaskan pada strategi pelaksanaan pengelolaan air
tanah dengan keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air
23 groundwater merupakan contoh menarik untuk memahami kasus sumberdaya yang bersifat common property dalam bentuknya yang paling asli (the purest common pool problem). Hal ini disebabkan karena pada saat sumberdaya tersebut tidak dimiliki dengan jelas, ia akan menjadi common pool dimana setiap pengguna sumberdaya air meyakini bahwa ekstraksi yang dilakukannya tidak akan
mempengaruhi stok sumberdaya air, sehingga deplesidari sumberdaya air dinilai
tanpa harga (zero price). Namun demikian, jika tidak diatur, ekstraksi akan terlalu besar sehingga menyebabkan ketersediaan air menurun dan menyebabkan biaya
yang terlalu besar (Fauzi, 2006).
Neher (1990) dalam Fauzi (2006) melihat bahwa deplesi sumberdaya air
bawah tanah ini menyebabkan dampak ekonomi dalam tiga hal. Pertama,
sumberdaya air bisa menjadi langka (extinct) melalui pemanfaatan yang berlebihan (overuse) yang pada gilirannya akan menyebabkan kolapsnya kanal yang dapat berakibat pada biaya ekonomi yang sangat mahal. Kedua, air bawah
tanah dapat diibaratkan uang di bank yang dapat dijadikan cadangan pada saat
curah hujan menurun akibat musim kemarau. Jika cadangan ini habis karena
terdeplesi, ia akan menyebakan bencana yang menumbulkan biaya ekonomi yang
sangat mahal. Ketiga, ketika ketersediaan air dalam tanah (water table) habis, biaya ekstraksi akan meningkat. Dalam rejim pengelolaan yang tidak terkendali,
biaya ini akan sangat mahal, sehingga salah satu tujuan utama dari pengelolaan
sumber daya air bawah tanah adalah bagaimana mengendalikan biaya tersebut.
Sedangkan pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara
24
air tanah pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat secara adil
dan berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Kodoatie dan Sjarief (2008) menjelaskan
bahwa pendayagunaan sumber daya air tanah dilakukan dengan mengutamakan
fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip
pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dan dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Prinsip pemanfaat membayar biaya jasa
pengelolaan adalah penerima manfaat ikut menanggung biaya pengelolaan
sumberdaya air baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan ini tidak
diberlakukan kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari
dan pertanian rakyat.
Pengelolaan sumberdaya air sangat penting untuk menjaga kualitas dan
kuantitas air tanah secara adil dan berkelanjutan. Saat ini data pemanfaatan air
tanah menunjukan bahwa 80% kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan dan
pedesaan berasal dari air tanah. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat
menyebabkan kebutuhan akan air bersih turut meningkat. Peningkatan akan
kebutuhan air bersih ini akan merubah nilai dari sumberdaya air tanah yang
sebelumnya merupakan barang bebas (free good) menjadi barang yang bernilai ekonomi (economic good) dan diperdagangkan seperti komoditi lain. Perkiraan dalam sepuluh tahun mendatang, nilai strategis sumberdaya air bawah tanah akan
semakin besar sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang diikuti
dengan meningkatnya pembangunan pemukiman, bangunan publik, perhotelan,
industri makanan, minuman, obat-obatan, dan indsutri lainnya yang memerlukan
25 2.3 Penelitian Terdahulu
Topik penelitian mengenai estimasi nilai kerugian ekonomi akibat
degradasi lingkungan atau kerusakan sumberdaya dapat dilihat pada penelitian
yang dilakukan oleh Perkasa (2010) yang berjudul “Estimasi Nilai Kerugian
Ekonomi dan Willingness To Pay Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah”
diperoleh bahwa kerugian ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Kelurahan
Kapuk Muara akibat adanya pencemaran air tanah adalah berupa korbanan biaya
yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh sumber air bersih
alternatif selain air tanah, biaya untuk menyaring air tanah, dan biaya kesehatan.
Total nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan perilaku pencegahan (averting behaviour method) dengan menggunakan teknik valuasi replacement cost, prevventive expenditure, dan cost of illness. Total kerugian yang harus dibayar oleh masyarakat Kapuk Muara akibat pencemaran air tanah yang terjadi adalah sebesar Rp 9.926.489.524
per tahun. Adapun nilai total Willingness To Pay masyarakat untuk upaya
perbaikan kualitas air tanah di Kelurahan Kapuk Muara diestimasi dengan
menggunakan teknik valuasi Contingent Valuation Method (CVM) dan diperoleh nilai sebesar Rp 62.958.646 dari populasi Kelurahan Kapuk Muara.
Wicaksono (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Estimasi Nilai
Kerugian Masyarakat Akibat Bencana Banjir dan Kesediaan Membayar Masyarakat Terhadap Program Perbaikan Lingkungan”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengestimasi nilai kerugian akibat banjir yang terjadi di Kampung Pulo.
Estimasi nilai kerugian dilakukan dengan menghitung biaya-biaya yang
26
datangnya banjir yakni berupa biaya peninggian rumah, biaya penanaman pohon,
biaya membangun tanggul, dan biaya kebersihan dengan menggunakan
pendekatan Damage Cost Avoided (DCA). Berdasarkan biaya-biaya tersebut, maka total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Kampung Pulo yaitu
sebesar Rp 50.384.428.043. Adapun nilai total kesediaan masyarakat membayar
untuk program perbaikan lingkungan adalah sebesar Rp 9.040.696/bulan/KK.
Adapun hasil penelitian Bujagunasti (2009) yang berjudul “Estimasi
Manfaat dan Kerugian Masyarakat Akibat Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir” didapatkan bahwa kerugian yang dirasakan oleh masyarakat Ciketing Udik
akibat adanya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang diantaranya
adalah pengurangan estetika, sarang penyakit, pencemaran udara, dan pencemaran
air. Total nilai kerugian yang dialami oleh masyarakat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan perilaku pencegahan (averting behaviour method) dengan menggunakan teknik valuasi replacement cost untuk menghitung biaya yang dikeluarkan masyarakat atas upaya mereka untuk mengganti air bersih akibat
air yang tercemar dan cost of illness untuk menghitung biaya berobat masyarakat akibat pencemaran air dan udara yang terjadi di lokasi penelitian tersebut. Total
kerugian yang dialami oleh masyarakat Ciketing Udik akibat pencemaran yang
terjadi adalah sebesar Rp 13.385.300 per tahun.
2.4 Perbedaan Terhadap Penelitian Terdahulu
Perbedaan penelitian kali ini terhadap penelitian terdahulu dapat dilihat
dari tujuan, metode penelitian, dan hasil estimasi nilai kerugian yang diperoleh.
27 Tabel 2. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Air Tanah” dengan Penelitian Sebelumnya
Judul Skripsi/tesis Tujuan Metode Penelitian Hasil
*Estimasi nilai
Cost Avoided - Total nilai kerugian adalah
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini berisi landasan teori yang
menjadi dasar dalam menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang diuraikan
meliputi konsep dasar dari metode perilaku pencegahan (averting behavior method) beserta teknik valuasi yang digunakan untuk mengetahui nilai kerugian yang dirasakan oleh penduduk akibat pencemaran air tanah yang terjadi dan
analisis model regresi logistik yang akan digunakan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk untuk melakukan tindakan
pencegahan akibat pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya.
3.1.1 Metode Biaya Pencegahan dan Biaya Kesehatan
Pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya
menyebabkan sumber air tanah tidak lagi dapat dikonsumsi secara bebas.
Berkurangnya jumlah air bersih akibat pencemaran pada sumber air tanah
merupakan kerugian bagi penduduk setempat. Penduduk akan melakukan
berbagai tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air
bersih mereka dalam upaya menghindari kemungkinan dampak negatif dari
pencemaran air tanah yang terjadi. Beberapa tindakan pencegahan yang mereka
lakukan akan menyebakan korbanan biaya yang harus mereka keluarkan demi
memperoleh kualitas dan kuantitas air yang lebih baik.
Salah satu pendekatan untuk mengukur kehilangan ekonomi akibat
29
bertujuan untuk mengurangi atau menghindari bahaya akibat kerusakan pada
suatu ekosistem. Menurut Yakin (1997), pendekatan ini menaksir nilai dari
komoditi non-market seperti air tanah, melalui jumlah yang rela dibayarkan individu untuk barang dan jasa yang memiliki nilai pasar untuk mengurangi
eksternalitas lingkungan atau mencegah utilitas yang hilang dari degradasi
lingkungan ataupun untuk mengubah perilaku individu untuk memperoleh
kualitas lingkungan yang lebih baik. Biaya-biaya tersebut akan mengestimasi
kemampuan membayar maksimum dari masyarakat untuk perbaikan kualitas air
tanah atau air sumur.
Adapun untuk memperoleh nilai kerugian atas pencemaran air tanah yang
terjadi digunakan teknik yang relevan dengan pendekatan averting behavior method yakni metode biaya pencegahan (preventive expenditure). Pendekatan ini merupakan teknik yang memperkirakan valuasi minimal dari individu, habitat
atau kualitas lingkungan dalam hal kesedian mengeluarkan biaya agar terhindar
dari pengaruh kurang baik pada habitat atau lingkungan. Pendekatan ini mengkaji
pengeluaran yang sesungguhnya yang mampu dilakukan orang agar terhindar dari
kerusakan yang disebabkan degradasi lingkungan (Jones et al., 2000). Pengeluaran masyarakat yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengeluaran
penduduk dalam upayanya untuk mencegah dampak negatif yang terjadi akibat
pencemaran air tanah yakni berupa biaya pembelian alat penyaring air (water treatment devices) dan biaya untuk memperoleh sumber air bersih alternatif pengganti air tanah yang tercemar.
Selain itu, menurut Said (1999), konsumsi atas air tanah yang tercemar
30 parathypus, kholera, hepatitis A, polio, dermatritis (penyakit kulit) serta diare. Kondisi tersebut merupakan kerugian bagi penduduk karena harus mengeluarkan
sejumlah uang untuk mengobati penyakit yang dideritanya akibat pencemaran air
tanah yang terjadi. Menurut National Research Council (1997), biaya-biaya
tersebut dapat berupa biaya kesehatan langsung seperti biaya medis, biaya rumah
sakit, biaya obat, biaya rehabilitasi, dan nilai hilangnya waktu yang sama dengan
hilangnya upah atau pendapatan. Oleh karena itu untuk menghitung biaya-biaya
tersebut digunakan pendekatan biaya kesehatan (cost of illness).
Cost of Illness merupakan salah satu pendekatan yang bertujuan untuk memberikan nilai pada perubahan kesehatan manusia atau kesejahteraan yang
muncul dari perubahan kualitas lingkungan. Pengeluaran masyarakat atas biaya
kesehatan yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi hanya pada biaya-biaya yang
dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh pengobatan ke rumah sakit,
puskesmas, ataupun dokter praktek atas penyakit yang dideritanya akibat mereka
masih mengkonsumsi air tanah yang telah tercemar tersebut.
3.1.2 Teori Model Regresi Logistik
Regresi logistik merupakan suatu model analisis untuk mengetahui
pengaruh variabel-variabel prediktor yang berskala metrik (kontinyu) atau
kategorik (nominal) terhadap variabel respon yang berskala kategorik (Juanda,
2009). Adapun tujuan dari penggunaan regresi logistik dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang secara nyata mempengaruhi
keputusan penduduk dalam melakukan tindakan pencegahan akibat adanya
pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya. Tindakan
31
galon yang diasumsikan dapat mewakili tindakan pencegahan yang dilakukan
oleh rumah tangga secara keseluruhan. Adapun faktor-faktor yang akan
diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi penggunaan sumber air tanah oleh
penduduk, tingkat pendidikan, lama tinggal penduduk, status kepemilikan tempat
tinggal penduduk, dan kekhawatiran penduduk terhadap kondisi air tanah.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Pertambahan jumlah penduduk yang semakin tinggi di Kota Bekasi
mengakibatkan kebutuhan air bersih juga akan semakin besar. Menurut Putranto
dan Kusuma (2009), kebutuhan air bersih yang besar mendorong masyarakat
untuk beralih menggunakan sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan air
bersih sehari-harinya akibat sumber air permukaan yang selama ini mereka
gunakan tidak lagi mencukupi dan cenderung telah tercemar. PDAM yang
diandalkan sebagai salah satu penyedia kebutuhan air bersih masih belum mampu
menjangkau seluruh kebutuhan masyarakat karena keterbatasan volume air bersih
dan jangkauan perpipaan yang tersedia.
Saat ini ekstraksi air tanah besar-besaran yang dilakukan baik oleh industri
maupun domestik secara kolektif di Kelurahan Harapan Jaya telah menyebabkan
penurunan pada muka air tanah akibat semakin keringnya sumber air tanah. Selain
itu, perkembangan pemukiman penduduk yang semakin pesat dan tidak teratur
juga telah merusak kualitas air tanah. Menurut Saeni (1997), permasalahan
kualitas air tanah ini muncul akibat rapatnya pemukiman penduduk, sehingga
jarak antara sarana pembuangan limbah dengan air sumur warga cenderung saling
berdekatan dan berakibat pada rawannya sumber air bersih warga terhadap
32
Pencemaran yang terjadi pada sumber air tanah ini merupakan kerugian
bagi penduduk setempat karena berkurangnya sumber air bersih yang dapat
mereka manfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penduduk akan
melakukan berbagai tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas
pasokan air bersih mereka dalam upaya menghindari kemungkinan dampak
negatif dari pencemaran air tanah yang terjadi. Beberapa tindakan pencegahan
yang mereka lakukan akan menyebakan korbanan biaya yang harus mereka
keluarkan demi memperoleh kualitas dan kuantitas air yang lebih baik.
Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan
keterkaitan antara tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yakni mengidentifikasi pola dan perilaku
penggunaan air bersih oleh penduduk, mengestimasi nilai kerugian ekonomi
penduduk dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
penduduk dalam melakukan tindakan pencegahan akibat adanya pencemaran
tanah di Kelurahan Harapan Jaya. Keseluruhan data yang digunakan untuk
menjawab ketiga tujuan penelitian ini diperoleh melalui metode survei dengan
unit analisis rumah tangga yang masih menggunakan sumber air tanah sebagai
sumber pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari disamping sumber alternatif
lainnya. Kajian mengenai pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk
dianalisis secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum
mengenai pola penggunaan air bersih berdasarkan jenis sumber dan volume
konsumsi air bersih oleh penduduk serta perilaku penduduk terhadap kondisi air
33
Selanjutnya, kajian mengenai estimasi nilai kerugian ekonomi akibat
pencemaran air tanah dianalisis melalui pendekatan perilaku pencegahan (averting behavior method) dengan menggunakan metode biaya pencegahan (preventive expenditure). Metode biaya pencegahan digunakan untuk mengetahui besaran biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga atas pembelian alat penjernih air
(water treatment devices) dan pembelian sumber air alternatif pengganti berupa air galon yang terdiri dari air minum dalam kemasan (AMDK) dan air minum isi
ulang (AMIU). Selain biaya pencegahan, penduduk juga mengalami kerugian
berupa biaya yang harus dikeluarkan atas upayanya untuk mengobati
penyakit-penyakit yang timbul akibat pencemaran pada air tanah yang mereka konsumsi,
baik yang digunakan untuk konsumsi secara langsung ataupun hanya untuk
keperluan MCK. Adapun metode yang digunakan untk menghitung biaya tersebut
adalah metode biaya kesehatan (cost of illness). Metode biaya kesehatan digunakan untuk mengetahui besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah
tangga untuk mengobati penyakit-penyakit yang timbul akibat pencemaran pada
air tanah. Total dari biaya-biaya tersebut merupakan nilai kerugian yang dirasakan
oleh masyarakat atas tercemarnya sumber air tanah. Nilai kerugian tersebut
menggambarkan kemampuan membayar maksimum dari masyarakat untuk
perbaikan kualitas air tanah yang tercemar dan juga menggambarkan nilai
minimum dari kerusakan sumberdaya air tanah akibat pencemaran yang terjadi di
Kelurahan Harapan Jaya.
Adapun kajian mengenai identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
keputusan penduduk untuk melakukan tindakan pencegahan akibat pencemaran
34
variabel-variabel independen yang berpengaruh nyata dalam keputusan penduduk
untuk melakukan tindakan pencegahan akibat pencemaran air tanah yang terjadi
di Kelurahan Harapan Jaya. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran tersebut,
maka alur kerangka berpikir terkait dengan rencana penelitian tersaji pada
35
Perbaikan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Air Tanah di Kelurahan Harapan Jaya
yang pesat, rapat dan tidak teratur
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data untuk keperluan penelitian dilakukan di Kelurahan
Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Kawasan ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki pemukiman padat penduduk yang berada di sekitar
kawasan industri, dimana air tanahnya diduga rawan pencemaran akibat
perembesan zat pencemar oleh saluran pembuangan limbah domestik yang
memiliki konstruksi kurang memadai. Berdasarkan kondisi tersebut, maka
diharapkan penduduk yang berada di Kelurahan Harapan Jaya akan lebih
memiliki pengalaman dalam melakukan berbagai upaya pencegahan akibat
pencemaran air tanah dibandingkan penduduk di lokasi lainnya di Kota Bekasi.
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan. Pengambilan data primer dilakukan
pada bulan Agustus - Desember 2011.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui kuisioner.
Data primer meliputi data mengenai karakteristik sosial ekonomi penduduk,
sumber dan volume air bersih yang digunakan oleh penduduk, biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh penduduk atas upaya pencegahan terhadap kondisi air tanah
yang tercemar, serta data lainnya yang diperlukan dalam penelitian. Adapun
data-data pendukung yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui studi
37
Kota Bekasi, PDAM Tirta Patriot dan Puskesmas Seroja) dan literatur-literatur
yang relevan dengan penelitian.
4.3 Metode Pengambilan Contoh
Penelitian ini akan menganalisis responden pada unit rumah tangga. Hal
ini dikarenakan rumah tangga memiliki peran penting dalam pengambilan
keputusan dan penentuan pengalokasian sumberdaya (Sumarwan, 2002).
Responden adalah pihak yang dapat memberikan keterangan atau informasi
mengenai dirinya sendiri. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk di
Kelurahan Harapan Jaya yang berada disekitar kawasan industri yang masih
menggunakan sumber air tanah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air bersih
sehari-hari disamping sumber alternatif lainnya. Pengambilan sampel (responden)
dilakukan dengan purposive sampling dengan metode survei (non-probability sampling). Pada metode ini tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama untuk dijadikan anggota sampel. Pengambilan sampel dilakukan di
Kelurahan Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa
Barat. Jumlah responden atau sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini
ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin. Rumus Slovin digunakan karena
ukuran populasi diketahui dan asumsi bahwa populasi menyebar normal
(Prasetyo, 2006). Penentuan jumlah sampel yang akan dijadikan responden dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan persamaan (4.1) berikut:
38
Keterangan:
N : Ukuran Populasi
n : Ukuran Sampel/Responden
e : Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditoleransi yaitu 10 persen.
Berdasarkan persamaan (4.1) yang digunakan, maka diperoleh jumlah
penduduk yang akan dijadikan sampel (responden) dalam penelitian ini yakni
berjumlah 100 kepala keluarga dari 19.266 kepala keluarga yang berada di
Kelurahan Harapan Jaya.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan kuisioner. Pengolahan dan analisis data
dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007 dan Minitab 14.0 for Windows. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer. Data primer meliputi data mengenai
karakteristik sosial ekonomi penduduk, sumber dan volume air bersih yang
digunakan oleh penduduk, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penduduk atas
upaya pencegahan terhadap kondisi air tanah yang tercemar, serta data lainnya
yang diperlukan dalam penelitian.
Data-data tersebut digunakan untuk mengkaji ketiga tujuan dari penelitian
ini yakni mengidentifikasi pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh
penduduk, mengestimasi nilai kerugian ekonomi penduduk serta mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penduduk dalam melakukan upaya
39
penelitian, jenis dan sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam
peneltian tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Matriks Keterkaitan Tujuan, Jenis dan Sumber Data, serta Metode Analisis Data
Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Metode Analisis
Data
4.4.1 Identifikasi Pola dan Perilaku Penggunaan Air Bersih oleh Penduduk
Identifikasi pola dan perilaku penggunaan air bersih oleh penduduk akan
diidentifikasi dengan menggunakan analisis deskriptif. Menurut Prasetyo (2006),
analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti suatu sistem pemikiran
maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat
suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
40
untuk mengidentifikasi pola penggunaan air bersih dilihat dari jenis sumber air
bersih dan seberapa banyak volume air yang digunakan oleh penduduk dari tiap
sumber setiap bulannya. Data mengenai jenis sumber air dan volume air yang
digunakan tersebut dimasukkan ke dalam bentuk tabel agar terlihat kombinasi dari
keduanya. Kombinasi volume air yang digunakan dari setiap sumber air ini yang
nantinya akan membentuk suatu pola dalam penggunaan air tanah.
Selanjutnya, perilaku penduduk terhadap kondisi air tanah akan dikaji
secara deskriptif dengan mengklasifikasikan perilaku responden menjadi dua
jenis, yakni perilaku pada responden yang mengalami pencemaran dan yang tidak
mengalami pencemaran pada sumber air tanah yang mereka gunakan. Kemudian
berdasarkan dari kedua jenis perilaku tersebut akan dikaji jenis-jenis tindakan
pencegahan yang dilakukan oleh responden atas kondisi pada air tanah yang
digunakan oleh masing-masing kelompok rumah tangga sesuai sumber air bersih
yang digunakan. Matriks mengenai identifikasi pola dan perilaku penggunaan air
bersih oleh penduduk tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Matriks Pola dan Perilaku Penggunaan Air Bersih oleh Penduduk
Indikator Parameter
1. Pola Penggunaan Air Bersih Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji jenis sumber air bersih dan besaran volume air yang digunakan dari tiap sumber setiap bulannya.
2. Perilaku Penduduk Terhadap Kondisi Air Tanah
Analisis dilakukan secara deskriptif dengan mengkaji jenis perilaku
pencegahan penduduk terhadap kondisi air tanah yang digunakan.
4.4.2 Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Penduduk Akibat Pencemaran Air Tanah
Pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Harapan Jaya
41
Berkurangnya jumlah air bersih akibat pencemaran pada sumber air tanah
merupakan kerugian bagi penduduk setempat. Penduduk akan melakukan
berbagai tindakan pencegahan untuk menjaga kualitas dan kuantitas pasokan air
bersih mereka dalam upaya menghindari kemungkinan dampak negatif dari
pencemaran air tanah yang terjadi. Beberapa tindakan pencegahan yang mereka
lakukan akan menyebakan korbanan biaya yang harus mereka keluarkan demi
memperoleh kualitas dan kuantitas air yang lebih baik.
Salah satu pendekatan untuk mengukur kehilangan ekonomi akibat
pencemaran adalah berdasarkan perilaku pencegahan (averting behaviour method). Perilaku pencegahan adalah tindakan yang dilakukan rumah tangga yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari bahaya akibat kerusakan pada
suatu ekosistem. Perilaku pencegahan responden yang akan dikaji dalam
penelitian ini adalah berdasarkan upaya mereka untuk membeli alat penjernih air
(water treatment devices) dan sumber air bersih pengganti air tanah yakni berupa air galon untuk menghindari dampak negatif akibat tercemarnya sumber air tanah.
Oleh karena itu untuk memperoleh nilai kerugian atas pencemaran air tanah yang
terjadi digunakan teknik yang relevan dengan pendekatan averting behavior method yakni metode biaya pencegahan (preventive expenditure).
Selain biaya pencegahan, penduduk juga mengalami kerugian berupa
biaya yang harus dikeluarkan atas upayanya untuk mengobati penyakit-penyakit
yang timbul akibat pencemaran pada air tanah yang mereka konsumsi, baik yang
digunakan untuk konsumsi secara langsung ataupun hanya untuk keperluan MCK.
Adapun metode yang digunakan untuk menghitung biaya tersebut adalah metode
42
yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi hanya pada biaya-biaya yang dikeluarkan
masyarakat untuk memperoleh pengobatan ke rumah sakit, puskesmas, ataupun
dokter praktek atas penyakit yang dideritanya akibat mereka masih
mengkonsumsi air tanah yang telah tercemar tersebut. Matriks mengenai analisis
nilai kerugian ekonomi masyarakat akibat pencemaran air tanah dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Matriks Analisis Nilai Kerugian Ekonomi Penduduk Akibat Pencemaran Air Tanah
Indikator Parameter
1. Kerugian atas perilaku pencegahan (averting behavior) oleh penduduk akibat pencemaran air tanah
Analisis dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung pengeluaran penduduk atas biaya pencegahan untuk pembelian alat penjernih air dan sumber air bersih pengganti (air galon) 2. Kerugian atas penyakit yang diderita
oleh penduduk terkait pencemaran
Kerugian ekonomi penduduk dapat diestimasi dengan menggunakan
metode biaya pencegahan (preventive expenditure). Metode ini digunakan untuk mengetahui besaran biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga atas pembelian
alat penjernih air (water treatment devices) serta pembelian sumber air alternatif pengganti berupa air galon dalam upaya untuk mencegah dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kondisi air tanah yang tercemar. Besaran biaya yang dikeluarkan
oleh rumah tangga untuk pembelian alat penjernih air diperoleh dengan
mengumpulkan informasi dari rumah tangga responden mengenai jenis alat
43
tercemarnya sumber air tanah beserta biaya yang dikeluarkan setiap bulannya
untuk memperoleh alat penjernih air tersebut.
Selain pembelian alat penjernih air, rumah tangga responden juga
melakukan tindakan pencegahan dengan mengganti sumber air tanah mereka
dengan air galon. Penggantian sumber air bersih ini diasumsikan sebagai suatu
tindakan pencegahan oleh rumah tangga untuk menghindari dampak negatif
akibat tercemarnya sumber air tanah. Besaran biaya yang dikeluarkan oleh rumah
tangga untuk pembelian sumber air pengganti diperoleh dengan mengumpulkan
informasi dari rumah tangga responden mengenai jenis sumber air pengganti yang
dipilih oleh rumah tangga responden untuk mengurangi atau agar tidak
mengkonsumsi air tanah lagi secara langsung, jumlah atau frekuensi penggunaan
sumber air bersih pengganti yang dipilih oleh rumah tangga responden, serta biaya
yang dikeluarkan oleh rumah tangga responden untuk memperoleh sumber air
bersih pengganti tersebut setiap bulannya.
Masing-masing data biaya pengeluaran rumah tangga responden untuk
melakukan tindakan pencegahan melalui upaya-upaya pembelian alat penjernih
air maupun alternatif sumber air bersih pengganti akan ditabulasikan ke dalam
tabel yang berisi jenis tindakan pencegahan yang dilakukan, jumlah rumah tangga
responden yang melakukan tindakan pencegahan, biaya rata-rata yang dikeluarkan
serta total biaya untuk setiap tindakan pencegahan yang dilakukan oleh rumah
tangga responden. Rata-rata dari masing-masing biaya pencegahan dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (4.2), dimana total jumlah uang yang