• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KONDISI HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG DAN HATI EMPAT JENIS IKAN DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR

Pendahuluan

Logam berat Pb bersifat persisten dan toksik serta dapat terakumulasi dalam rantai makanan. Demikian juga dengan Cu, walau dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk aktivitas metabolisme tubuh namun dapat terakumulasi dalam tubuh organisme jika konsentrasi di perairan tinggi. Hal ini membahayakan manusia yang mengkonsumsi organisme (ikan) yang terkontaminasi mengingat logam berat bersifat teratogenik (Riani et al. 2014) serta dapat mengakibatkan kerusakan

berbagai organ tubuh (Riani 2015). Pencemaran logam berat dapat menyebabkan perubahan struktur komunitas perairan, jaring-jaring makanan, tingkah laku, efek fisiologis, genetika dan resistensi. Selain terhadap lingkungan, akumulasi logam berat dalam tubuh organisme berpengaruh terhadap perubahan kondisi jaringan atau histopatologi organ ikan yang hidup di dalamnya.

Paparan logam berat dalam jaringan organ tubuh ikan menghambat aktifitas enzim dan metabolisme. Ion logam berat diangkut melalui sirkulasi darah keseluruh jaringan tubuh ikan dan berikatan secara kovalen dengan gugus amina – NH, sulfur –SH, karboksilat –COOH, hidroksil –OH. Hal ini terjadi karena ion- ion logam berat dapat mengganti atom hydrogen (H) (Rajamanickam and Muthuswamy 2008). Paparan logam berat yang melebihi ambang toleransi dapat menghambat aktivitas enzim dan metabolisme. Akumulasi logam berat pada jaringan organ tubuh ikan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya konsentrasi logam dalam air, sedimen dan makanan ikan. Pada konsentrasi tertentu, paparan logam berat dapat menyebabkan edema, lisis, hipertrofi, atrofi dan nekrosis sel-sel lamella insang ikan; lisis, hipertrofi, atrofi, hiperplasia dan nekrosis sel-sel hati dan ginjal; nekrosis pada sel-sel kulit dan otot. Pada kondisi tertentu menyebabkan kematian yang berimbas terhadap penurunan populasi ikan.

Hasil penelitian sebelumnya menemukan adanya akumulasi logam Cu dan Pb dalam air dan sedimen sebagai media hidup ikan. Selanjutnya akumulasi juga dijumpai di dalam organ empat jenis ikan konsumsi yang terdapat di Sungai Musi bagian hilir. Ikan yang menjadi target penelitian terdiri atas empat jenis yang penyebarannya terbagi ke dalam dua kelompok ekosistem. Pertama adalah ekosistem sungai yang diwakili oleh ikan seluang (Rasbora sp, merupakan ikan

herbivor dan hidup di permukaan perairan atau ikan pelagis) dan ikan juaro (Pangasiuspolyuranodon, merupakan ikan karnovor yang hidup di dasar perairan

atau ikan demersal). Kedua adalah ekosistem estuaria diwakili oleh ikan belanak (Mugil chepalus, merupakan ikan omnivor yang hidup di permukaan perairan dan

mencari makan di substrat) dan ikan sembilang (Paraplotosus albilabris,

merupakan ikan karnivor yang hidup di dasar perairan). Umumnya akumulasi tertinggi logam Cu dan Pb berturut-turut ditemukan pada organ hati, insang dan daging, hal ini berlaku pada semua jenis ikan yang diamati. Pemantauan logam berat yang meliputi pengukuran di kolom air dan sedimen belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Dibutuhkan informasi lebih lanjut tentang dampak atau kelainan yang timbul pada jaringan organ insang dan hati.

48

Metode Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dari bulan September 2014 hingga November Januari 2015 di dua stasiun penelitian dan dalam setiap stasiunnya terdapat tiga substasiun. Stasiun 1 (02059’44,44” S - 104050’13,8” E) adalah

daerah sungai yang terletak di tengah kota Palembang, merupakan kawasan perkotaan, industri (PT. Pusri, Pertamina dan stockpile batu bara) serta jalur

transportasi kapal. Stasiun 2 (02016’56,4” S - 104055’25,0” E) adalah kawasan

estuaria yang berada di sekitar muara Sungai Musi (Sungsang), merupakan daerah pemukiman, transpotasi kapal dan darmaga kapal-kapal nelayan (Gambar 13).

Gambar 13 Lokasi stasiun penelitian

Alat dan Bahan

Ikan yang menjadi target penelitian adalah ikan seluang (Rasbora sp), ikan

juaro (Pangasius polyuranodon), ikan belanak (Mugil chepalus) dan ikan

sembilang (Paraplotosus albilabris). Ikan yang tertangkap diidentifikasi jenisnya,

ditimbang dan dipisahkan organ yang menjadi target yaitu insang, daging dan hati. Ketiga organ kemudian diawetkan dengan larutan BNF (buffer normal formalin

10%) untuk selanjutnya dibawa ke Laboratorium Histopatologi FKH-IPB dan dibuatkan preparatnya. Pengamatan preparat dilakukan di Laboratorium Genetika Departemen Budidaya Perikanan FPIK-IPB menggunakan mikroskop compound dengan perbesaran 40-1000x. Selanjutnya, hasil pengamatan dibawah mikroskop di foto sehingga nantinya dapat dijelaskan kerusakan yang terdapat pada organ hati dan insang setiap ikan target.

49

Pembuatan Preparat Histologi Pengawetan (fiksasi) sampel

Analisis histopatologi setiap organ ikan (insang, hati dan daging) dilakukan sesuai dengan melakukan prosedur persiapan dan analisis histopatologi di Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, FKH- IPB.

Proses penghilangan air (dehidrasi)

Proses ini merupakan proses penarikan air dari jaringan yang dilakukan dengan cara merendam jaringan kedalam alkohol secara bertingkat mulai dari alkohol 80%, 90% dan 95% sampai ke alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat bertujuan selain untuk menarik air juga mencegah terjadinya pengerutan.

Proses penjernihan (clearing)

Menghilangkan pengaruh alkohol yang terdapat dalam jaringan dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam larutan xylol. Setelah dilakukan penjernihan maka jaringan akan terlihat lebih transparan dan berwarna lebih tua.

Proses infiltrasi

Jaringan yang telah mengalami proses penjernihan selanjutnya direndam ke dalam paraffin secara bertingkat pada suhu 60 0C (paraffin keras). Penggunaan paraffin keras bertujuan agr dapat dilakukan pemotongan yang tipis.

Proses penanaman (embedding)

Proses infiltrsi adalah penanaman organ ke dalam paraffin. Proses ini harus dilakukan di dekat Bunsen dan seluruh alat-alat yang digunakan harus dalam keaadan hangat guna mencegah paraffin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Peletakan jaringan di dalam wadah harus sedemikian rupa sehingga memudahkan pada saat pemotongan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur paraffin didinginkan untuk mengeraskan parafinnya. Blok yang sudah mengeras kemudian diletakkan pada blok kayu untuk disimpan dalam kulkas minimal enam jam sebelum dipotong.

Proses pemotongan blok jaringan

Blok jaringan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan jaringan 5 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40 0C) lalu

diletakkan di atas gelas objek. Selanjutnya gelas objek diletakkan di atas hotplate selama 10-15 menit sampai seluruh air yang berada diantara jaringan dan gelas objek menguap. Gelas objek harus disimpan di dalam inkubator (37

0C- 40 0C) selama satu malam sebelum digunakan pada proses berikutnya.

Proses pewarnaan Hematoksilin-eosin

Proses pewarnaan ini terdiri atas beberapa tahap :

1. Deparafinisasi dengan xylol : dilakukan untuk menghilangkan parafin yaitu dengan cara merendam gelas objek berisi jaringan ke dalam larutan xylol secara bertahap mulai dari xylol III, II dan I.

50

2. Rehidrasi : dilakukan untuk memasukkan air kedalam jaringan yaitu dengan cara merendam gelas objek ke dalam alcohol secara bertahap mulai dari alcohol absolute III sampai ke alkohol 70 %. Kemudian perendaman dilanjutkan ke dalam air mengalir dan aquades.

3. Pewarnaan hematoksilin.

4. Perendaman ke dalam air mengalir : perlu diketahui bahwa semakin lama berada di dalam air mengalir maka warna biru yang timbul akan semakin menyolok.

5. Perendaman ke dalam aquades : dilakukan untuk menghilangkan proses pewarnaan biru.

6. Pengecekan di bawah mikroskop : jika warna yang timbul terlalu tua maka harus dipucatkan dengan cara mencelup secara cepat ke dalam larutan HCl 1 N. Sebaliknya jika warna terlalu pucat maka dapat dicelupkan lagi ke dalam hematoksilin.

7. Pewarnaan eosin

8. Dehidrasi dalam alkohol bertingkat secara cepat mulai dari alkohol 70 % sampai dengan 95 %. Kemudian dilanjutkan dengan perendaman ke dalam alkohol absolute I selama 1-2 menit. Dilakukan pengecekan dibawah mikroskop untuk melihat kontras warna biru dan merah. Jika warna merah kurang kontras maka dilakukan kembali pewarnaan eosin, sebaliknya jika warna tersebut sudah kontras maka perendaman dilanjutkan sampai pada alkohol absolute III.

9. Clearing dengan xylol secara bertingkat mulai dari xylol I sampai xylol III.

10. Mounting : preparat diberi perekat menggunakan kanada balsam, tutup

dengan kaca penutup, dikeringkan dan diamati diamati perubahan mikroanatominya menggunakan mikroskop.

Analisa Data

Analisis kerusakan jaringan insang dan hati semua jenis ikan dilakukan secara deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan ada dan tidaknya kerusakan yang terjadi akibat logam berat Cu dan Pb dalam kedua organ ikan tersebut.

Hasil dan Pembahasan Kondisi histologi insang

Beberapa organ yang terpengaruh oleh toksisitas logam berat adalah insang, alat pencernaan, hati dan ginjal. Insang merupakan organ yang dimiliki ikan sebagai alat utama pernafasan. Selain sebagai alat pernafasan, insang juga digunakan sebagai pengatur tekanan osmotik dalam tubuh ikan (Fernandez and Mazon 2003). Kerusakan pada insang dapat menyebabkan terhambatnya sistem transpor elektron dan fosforilasi oksidatif pada pernafasan yang pada akhirnya mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan.

Hasil pengamatan menunjukkan lamela primer insang semua jenis ikan berada dalam kondisi normal (Gambar 14), jaringan kartilago umumnya masih tampak utuh, kecuali pada jaringan kartilago insang ikan seluang yang tampak mengalami kerusakan. Namun kondisi berbeda dijumpai pada lamela sekunder

51 yang tampak mengalami hyperplasia epitel (penambahan sel) sehingga ujungnya lebih tebal. Hyperplasia adalah meningkatnya jumlah sel dalam jaringan. Beberapa penyebab utamanya adalah iritasi kronis oleh logam, infeksi beberapa virus seperti papiloma dan herpes, parasit serta pengaruh endokrin (Putra 2013). Penambahan jumlah sel menyebabkan lapisan epitel lamela sekunder menjadi lebih menumpuk sampai ke ujung lamela sekunder, kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya fusi lamela sekunder karena meningkatnya sel interlamela. Menurut Chevile (2006) proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan sel dalam suatu organ diekspresikan melalui hiperplasia sel.

Gambar 14 Struktur histologi insang (a) ikan seluang, ( b) ikan juaro, (c) ikan belanak dan (d) ikan sembilang. Ket : (H); hiperplasia dan (F); fusi; skala 10 µm; pembesaran 40x.

Gambar 15 Struktur histologi insang normal. Sumber (a) Putra (2013); (b) Lagler

et al. (1977) b H H F d c a b a d F

52

Selain itu pada Gambar 14 terlihat bahwa insang ikan belanak dan sembilang mengalami hiperplasia yang lebih parah dan sudah mengarah ke kondisi fusi. Bahkan pada insang ikan sembilang, selain fusi juga ditemukan lamela sekunder sebagian mengalami kerontokan. Kondisi berbeda ditemukan pada insang ikan yang normal (Gambar 15). Menurut Takasima and Hibiya (1995), umumnya ikan teleostei mempunyai lima pasang lembar insang. Insang terdiri atas sepasang filamen insang, dimana setiap filamen terdiri dari serat melintang yang tertutup epithelium yang tipis disebut lamella. Lamella primer bentuknya tipis, berupa dua garis melengkung ke belakang dan saling berhubungan. Lamella sekunder berbentuk setengah lingkaran mengelilingi semua bagian dari lamella primer, lamella sekunder kaya akan eritrosit (Lagler et al.1977).

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, konsentrasi logam Cu dan Pb dalam insang ikan belanak dan sembilang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Diduga akumulasi logam Cu dan Pb yang tinggi pada insang kedua jenis ikan berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Fusi atau penggabungan beberapa lamela sekunder terjadi karena meningkatnya jumlah (hiperplasia) sel- sel pada interlamela. Menurut Mallat (1985) kondisi fusi ini akan mempengaruhi kinerja respirasi ikan, sehingga ikan akan lebih sulit bernafas karena membutuhkan energi yang semakin besar untuk penyerapan dan transportasi ion dan oksigen. Hoole et al. (2001) menyebutkan bahwa kondisi hiperplasia akan

mengurangi efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal bahkan kematian. Difusi gas terganggu karena luas permukaan serap pada lamela sel sekunder insang menyempit. Kejadian fatal dapat terjadi apabila hiperplasia sel-sel lamela sekunder telah bersifat kronis sehingga hampir semua lamelanya mengalami fusi.

Organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat akan mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Palar 1994). Sejalan dengan laporan Wardoyo (1975 dalam Sabilu 2010) bahwa salah satu

jaringan tubuh organisme yang cepat mengakumulasi logam berat adalah jaringan insang, sehingga menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas- gas melalui insang. Oleh karena itu, kerusakan struktur lamella yang sangat ringan sekalipun dapat mempengaruhi proses respirasi pada ikan. Heath (1987) mengemukakan bahwa logam berat dapat menyebabkan kerusakan insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epitelium. Terganggunya fungsi insang akibat toksisitas logam dapat menimbulkan stress yang berakibat pada imunitas tubuh ikan sehingga infeksi parasit akan lebih mudah terjadi. Dengan kata lain, efek toksisitas logam merupakan infeksi primer yang kemudian diikuti infeksi sekunder oleh parasit. Penyakit timbul akibat terjadinya gangguan keseimbangan dari kondisi lingkungan, agen patogen dan kondisi ikan itu sendiri (Irianto 2005).

Kondisi histologi organ hati

Selain insang, hati juga merupakan organ target akumulasi logam di dalam tubuh. Hati memiliki fungsi detoksikasi komponen pencemar yang masuk serta bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya menjadi zat-zat yang tidak berbahaya dan kemudian diekskresi oleh ginjal. Menurut Palar (2004) hati

53 merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik karena merupakan organ detoksifikasi dan berperan penting dalam proses metabolisme serta transformasi bahan pencemar dari lingkungan. Akumulasi logam berat dalam organ hati dikarenakan hati banyak mengandung protein metallothionin yang

dapat mengikat logam berat (Yumiarti et al. 1996) sehingga sangat mudah terkena

efek toksik. Struktur utama hati adalah sel hati atau hepatosit yang bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu. Sel kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dalam sistem retikuloendotelial tubuh. Sel kupffer merupakan sistem monositmakrofag dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam darah. Dengan demikian hati merupakan salah satu organ utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan agen toksik (Anderson 1995).

Hasil pengamatan (Gambar 16) menunjukkan bahwa sel hati mengalami pembengkakan sel hati (edema). Pembekakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat hepatosit membengkak yang menyebakan sinusoid menyempit. Hal tersebut sangat berbeda dengan struktur jaringan hati normal yang menunjukkan hepatosit terlihat jelas, inti bulat letaknya sentralis dan sinusoid tampak jelas, vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak berbentuk bulat dan kosong (Gambar 17).

Gambar 16 Struktur histologi hati (a dan b) ikan juaro, (c) ikan sembilang dan (d) ikan belanak. Ket: (E) ; Edema; skala 10 µm; pembesaran 100x.

c d E E E E a b

54

Gambar 17 Struktur histologi hati ikan normal (Martinez 2007; Mumford et al

2007)

Pembengkakan sel terjadi karena muatan elektolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler

ke dalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Hal ini akan menyebabkan sel membengkak sehingga sel akan kehilangan integritas membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar kemudian akan terjadi kematian sel (nekrosis) (Setyowati et al 2010). Jika pengaruh zat toksik

berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut. Lebih lanjut, inti sel hepatosit akan menghilang (karyolisis) yang disebabkan oleh nekrosis. Hepatosit yang mengalami peradangan ditandai dengan adanya sel radang dan inti mengalami karyolisis. Pembengkakan sel hati yang lebih parah terjadi pada hati ikan sembilang dan belanak, sel hepatositnya kehilangan inti dan dikelilingi sel radang. Sama halnya dengan insang, jika dikaitkan dengan konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam hati, maka hati ikan belanak dan sembilang mengakumulasi Cu dan Pb yang lebih tinggi dibandingkan ikan lainnya. Diduga akumulasi logam Cu dan Pb yang tinggi pada hati kedua jenis ikan berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi.

Konsentrasi logam berat dalam organ hati akan mempengaruhi struktur sel hati yang pada akhirnya dapat menyebabkan fungsi hati juga terganggu. Kerusakan hati akibat logam berat disebabkan aktifitas logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim dan hormon proteolitik (Lu 1995). Enzim terdiri dari protein kompleks yang dalam kerjanya memerlukan adanya aktivator atau kofaktor. Logam berat yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator (berikatan dengan enzim menggantikan aktivator/kofaktor) sehingga enzim tidak dapat bekerja dan akan menghambat kerja sel yang nantinya akan menyebabkan kerusakan jaringan (Palar 2004). Hal ini sesuai pernyataan Ochiai dalam Connel

dan Miller (1995), bahwa salah satu mekanisme toksisitas ion logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang essensial dalam biomolekul, misalnya protein dan enzim. Hasil penelitian Harteman (2011) menyebutkan bahwa akumulasi logam berat dalam organ hati, insang, ginjal dan kulit ikan Badukan di Sungai Kahayan Kalimantas Selatan telah menyebabkan kerusakan struktur jaringan masing-masing organ. Akumulasi dan kerusakan paling nyata ditemukan pada organ hati.

55

Simpulan

Pengamatan terhadap jaringan organ insang menunjukkan insang semua jenis ikan mengalami hiperplasia dan sebagian sudah mengarah pada terjadinya fusi di lamela sekunder. Organ hati umumnya mengalami edema yang ditandai dengan adanya ruang-ruang kosong dalam sel hati. Akumulasi logam berat Cu dan Pb dalam kedua jenis organ berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi.

56

Dokumen terkait