• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas perairan Sungai Musi sudah terindikasi mengalami penurunan. Peningkatan konsentrasi logam berat di kolom air merupakan salah satu indikasinya. Penelitian ini memberikan informasi baru tentang keberadaan logam berat Cu dan Pb di kolom air, partikel dan sedimen dengan konsentrasi yang telah melebihi konsentrasi normal di perairan. Hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian sebelumnya, Birmansyah (2008) menemukan logam berat Pb terakumulasi dalam fraksi sedimen di sepanjang aliran Sungai Musi bagian hilir dengan konsentrasi berkisar antara 0,0196-1,747 µg/g. Disebutkan bahwa logam Pb terkonsentrasi lebih tinggi pada daerah-daerah industri, transportasi dan sarana pelabuhan yaitu di sekitar Jembatan Ampera dan Pusri. Hasil penelitian Aryawati dan Agustriani (2004) menemukan Cu dan Zn pada sampel kerang darah

Anadara granosa Linnaeus yang berasal dari perairan pesisir timur Sumatera

Selatan (0,387 –28,621 ppm). Selanjutnya, Purwiyanto dan Lestari (2012), konsentrasi Pb dan Cu di kolom air dan sedimen pesisir timur Muara Sungai Banyuasin telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Selain itu juga ditemukan adanya kandungan Pb dan Cu pada daging kepiting Scylla serrata yang

dikonsumsi oleh masyarakat setempat.

Secara alamiah logam-logam ini dapat berasal dari faktor alam melalui proses pelapukan (weathering) tanah dan batuan yang terdapat di bagian hulu

Sungai Musi. Peningkatan pengembangan wilayah Sungai Musi untuk berbagai aktivitas manusia di sepanjang aliran sungai dari hulu hingga hilir (seperti pertanian, perkebunan, industri, transportasi, pemukiman dan pelabuhan serta lain sebagainya) diduga juga berkontribusi terhadap peningkatan komponen Cu dan Pb di perairan. Penggunaan pupuk dan pestisida untuk kegiatan pertanian dan perkebunan di bagian hulu Sungai Musi berpotensi menyumbang logam berat Cu dan Pb di perairan. Data dari BRPPU (2011) menyebutkan bahwa pada bagian hulu Sungai Musi (sub DAS Komering dan Lematang) terdapat kegiatan pertanian dan perkebunan yang menghasilkan limbah sisa-sisa pupuk dan pestisida. Menurut Alloway (1995), kisaran Cu dan Pb dalam pupuk fosfat yang digunakan dalam kegiatan pertanian berkisar 1-300 mg/kg Cu dan 7-225 mg/kg Pb, sedangkan Pb dalam pupuk nitrat biasanya berkisar 2-27 mg/kg. Selain pupuk, kelompok fungisida biasanya mengandung logam Cd, Cu, Fe, Mn dan Hg adapun kelompok insektisida biasanya mengandung Cl, Pb dan Mg (Sastrawijaya 2000). Selain itu juga terdapat aktivitas pengolahan minyak bumi dan kelapa sawit yang menghasilkan logam berat (BRPPU 2010) serta penambangan emas di sub DAS Rawas yang menyebabkan logam-logam ikutan seperti Cd dan Hg lepas ke perairan. Bagian hilir Sungai Musi, aktivitas yang berpotensi menghasilkan limbah mengandung Pb adalah berbagai macam industri (yang terbesar adalah PT. Pupuk Sriwijaya dan Pertamina Sungai Gerong) dan industri kecil lainnya, transportasi dan pelabuhan. Informasi yang ada menunjukkan bahwa masih terdapat sistem pengelolaan limbah yang minim sebelum di buang ke lingkungan dan ini terjadi pada beberapa perusahaan yang beroperasi di Sungai Musi bagian hilir. Data dari Bapedalda Provinsi Sumatera Selatan (2006) menyebutkan bahwa tercatat sekitar 20 industri yang berlokasi di sepanjang aliran Sungai Musi diantaranya industri pupuk, keramik, dok kapal, detergen, minyak, gas, cold storage, electroplating, industri minuman ringan, pengilangan minyak,

57 pengolahan karet alam, kayu lapis dan lain-lain. Sebagian besar industri tersebut

diketahui belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang optimal dengan kata lain kualitas buangan limbah padat dan limbah cair tergolong belum baik.

Sumber lain kontaminan logam Cu dan Pb di Sungai Musi bagian hilir adalah proses pencucian dan pemeliharaan kapal-kapal nelayan serta ceceran bahan bakar minyak yang digunakan dalam kegiatan transportasi dan hal ini diduga berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi logam Cu dan Pb di perairan. Menurut Rochyatun et al. (2004) dan Naria (2005), daerah pelabuhan

umumnya menjadi salah satu penyumbang bagi keberadaan Pb di air laut. Hal ini disebabkan umumnya bahan bakar minyak mendapat zat tambahan tetraetyl yang

mengandung Pb untuk meningkatkan mutu bahan bakar khususnya bensin yaitu sebagai anti knocking (anti letup), pencegah korosi, anti oksidan, diaktifator logam,

anti pengembunan dan zat pewarna. Ditambahkan oleh Sudarso et al. (2005)

bahwa di negara-negara maju dan negara sedang berkembang seperti Indonesia, penggunaan logam berat Pb dalam bensin premium merupakan salah satu sumber bahan pencemar dominan. Demikian juga dengan bahan bakar kapal yang umumnya merupakan campuran bensin dan oli.

Memperhatikan sebaran konsentrasi logam berat di Sungai Musi bagian hilir, ada dugaan jika Cu dan Pb yang masuk ke perairan sangat dipengaruhi oleh sumber kontaminan. Secara umum, konsentrasi logam dalam air cenderung relatif tinggi di wilayah Stasiun 1-Stasiun 8 yang merupakan daerah industri, jalur transportasi kapal serta, serta batu bara dibandingkan dengan Stasiun 9-Stasiun 11 yang merupakan kawasan muara yang dipadati pemukiman nelayan, pelabuhan serta jalur transportasi. Logam Cu dan Pb (terlarut dan tersuspensi) masuk ke dalam air sungai dan mengalir ke arah muara saat perairan surut, namun tertahan saat terjadi pasang, sehinga memberikan pengaruh terhadap variabilitas konsentrasi logam dalam kolom air. Logam tidak saja tertransportasi, tetapi juga mengalami pengendapan di sedimen. Tingkat pengendapan ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik perairan termasuk arus sungai dan pasut. Pengendapan logam berat dalam sedimen nampak lebih baik di wilayah sungai St 1-St 5) dibandingkan dengan wilayah muara (Stasiun 9-Stasiun 11) yang ditunjukkan dengan konsentrasi logam Cu dan Pb sedimen yang cenderung lebih tinggi pada stasiun yang terdapat di dalam sungai. Selanjutnya, konsentrasi logam Cu dan Pb di sedimen cenderung lebih rendah pada stasiun yang terdapat di aliran Sungai Telang (Stasiun 6-Stasiun 8). Hal ini diduga disebabkan oleh jumlah aktivitas industri, transportasi dan pemukiman yang masih sedikit jika dibandingkan dengan aliran utama Sungai Musi. Konsentrasi logam berat di sedimen merefleksikan keberadaan dan keberlimpahan logam berat terhadap dinamika perairan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Daerah penelitian yang merupakan daerah aliran sungai yang membawa banyak sekali partikel tersuspensi yang berasal dari daratan berpotensi mengikat logam terlarut yang menyebabkan tingginya konsentrasi Cu dan Pb dalam bentuk tersuspensi dan juga berperan penting dalam mentranspor logam hingga daerah muara dan laut. Logam Cu dan Pb juga ditemukan terakumulasi di dalam komponen terlarut, tersuspensi dan sedimen di sepanjang aliran Sungai Musi bagian hilir.

Selain proses absorpsi-desorpsi dan deposisi, logam berat juga akan diserap oleh organisme yang hidup didalmnya melalui proses bioakumulasi dan

58

biomagnifikasi. Hal ini diindikasikan dengan terdeteksinya logam berat dalam plankton dan ikan selama penelitian. Proses akumulasi berbeda diantara kedua jenis organisme di mana plankton sebagai organisme renik fotosintetik, akumulasi logam terlarut terjadi bersamaan dengan penyerapan nutrient. Namun pada organisme zooplankton dan ikan, akumulasi dapat terjadi melalui penyerapan dan juga melalui pemangsaan (grazing). Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara fitoplankton dan zooplankton dan data menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam plankton lebih tinggi dibandingkan konsentrasi dalam air. Chen et al (2000) menyebutkan bahwa tingginya konsentrasi Cu dan Pb di dalam

organisme plankton disebabkan kemampuan plankton mengakumulasi logam berat. Konsentrasi Cu yang lebih tinggi dalam plankton dibandingkan konsentrasi Cu terlarut dapat disebabkan oleh perpindahan logam dari badan air ke dalam organisme plankton. Beberapa hasil penelitian juga menemukan hal serupa. Awalina (2011) menyebutkan bahwa konsentrasi logam Pb dalam fitoplankton yang hidup di beberapa situ di Kota Bogor berkisar antara 20-200 mg/kg. Demikian juga dengan Bahnasawy et al. (2009) menyebutkan konsentrasi Cu

dalam organisme plankton di Danau Manzala Mesir berkisar antara 20-110 mg/kg dan Pb berkisar 17-100 mg/kg. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi Cu dan Pb pada sampel air dan ikan. Selanjutnya Elmaci et al. (2007),

kosentrasi Cu pada sampel plankton berkisar 670-2380 mg/kg dan Pb 100-1060 mg/kg di Danau Uluabat Turki.

Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan logam berat dalam air telah berdampak pada komponen tropik level pertama dan kedua (fito dan zooplankton) dari sistem rantai makanan dan tidak tertutup kemungkinan, ikan yang berada pada tropik level selanjutnya juga mengalami hal yang sama. Sebagaimana kita ketahui, logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme perairan melalui beberapa cara, pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Absorpsi logam melalui pernafasan umumnya cukup besar, sedangkan melalui pencernaan dan kulit hanya beberapa persen saja. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi oleh darah, berikatan dengan protein darah kemudian disitribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Darmono 2006). Akumulasi logam berat pada tubuh ikan terjadi karena logam berat yang sudah masuk ke dalam tubuh cenderung membentuk senyawa kompleks dengan zat organik yang terdapat dalam tubuh. Hal ini menyebabkan logam terfiksasi dan tidak disekresi sehingga cenderung menumpuk di dalam tubuh. Hasil penelitian menemukan adanya akumulasi logam Cu dan Pb pada semua jenis dan organ ikan. Akumulasi Cu dan Pb tertinggi terdapat pada organ hati pada keempat jenis ikan yang menjadi objek penelitian, setelah itu insang dan akumulasi terendah ditemukan pada organ daging. Hal ini disebabkan karena organ hati merupakan organ yang aktif dalam mengambil dan menyimpan logam berat karena sejumlah besar induksi metallothionein terjadi di jaringan hati ikan (Heath 1987; Hodson 1988; Langston, 1990; Marafante, 1976). Lebih lanjut, Dinata (2004); Jezierska and Witeska (2006) menambahkan bahwa tingginya akumulasi logam dalam hati menyebabkan organ ini paling sering mengalami kerusakan. Hal ini terbukti setelah dilakukan pengamatan histologi terhadap jaringan hati. Umumnya sel hati semua jenis ikan mengalami pembengkakan sel (edema). Akumulasi logam Cu dan Pb dalam organ hati berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang terjadi. Jika pengaruh zat toksik berlangsung lama, ada kemungkinan sel tidak dapat mentolerir kerusakan sehingga inti sel hepatosit akan

59 menghilang (karyolisis). Kerusakan hati akibat logam berat disebabkan aktifitas logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim dan hormon proteolitik (Lu 1995). Enzim terdiri dari protein kompleks yang dalam kerjanya memerlukan adanya aktivator atau kofaktor. Logam berat yang masuk kedalam tubuh dapat menonaktifkan aktivator (berikatan dengan enzim menggantikan aktivator/ kofaktor) sehingga enzim tidak dapat bekerja dan akan menghambat kerja sel yang nantinya akan menyebabkan kerusakan jaringan.

Selain hati, akumulasi logam Cu dan Pb dalam organ insang juga relatif tinggi. Hasil pengamatan histologi terhadap jaringan insang semua jenis ikan menunjukkan bahwa umumnya telah terjadi hiperplasia epitel pada lamela sekunder insang. Hyperplasia adalah meningkatnya jumlah sel dalam jaringan, jika dibiarkan berlanjut hiperplasia dapat memicu terjadinya fusi pada lamela sekunder yang berakibat pada terganggunya sistem pengambilan oksigen dari lingkungan oleh organisme ikan. Menurut Mallat (1985) kondisi fusi ini akan mempengaruhi kinerja respirasi ikan, sehingga ikan akan lebih sulit bernafas karena membutuhkan energi yang semakin besar untuk penyerapan dan transportasi ion dan oksigen. Hoole et al. (2001) menyebutkan bahwa kondisi

hiperplasia akan mengurangi efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal bahkan kematian. Difusi gas terganggu karena luas permukaan serap pada lamela sel sekunder insang menyempit. Terganggunya fungsi insang akibat toksisitas logam dapat menimbulkan stress yang berakibat pada imunitas tubuh ikan, maka infeksi parasit akan lebih mudah terjadi. Dengan kata lain, efek toksisitas logam merupakan infeksi primer yang kemudian diikuti infeksi sekunder oleh parasit. Kejadian fatal dapat terjadi apabila hiperplasia sel-sel lamela sekunder telah bersifat kronis sehingga hampir semua lamelanya mengalami fusi. Insang ikan belanak dan sembilang mengalami hiperplasia yang lebih parah dibandingkan lainnya. Akumulasi logam Cu dan Pb yang lebih tinggi dalam insang kedua jenis ikan tersebut berkontribusi terhadap kerusakan yang terjadi.

Faktor bioakumulasi menggambarkan kemampuan organ atau organisme tertentu dalam mengakumulasi logam di jaringan tubuhnya. Hasil penelitian menemukan adanya variasi nilai faktor bioakumulasi antar jenis ikan dan organ yang diamati. Diketahui bahwa kemampuan ikan belanak dalam mengakumulasi logam Cu lebih tinggi dibandingkan ikan lainnya. Daging ikan belanak mampu mengakumulasi logam Cu 123 kali lebih tinggi dibandingkan ketersediaan logam tersebut di perairan, insang 524 kali dan hati 3051 kali. Tingginya kemampuan ikan belanak dalam mengakumulasi logam dapat disebabkan oleh kebiasaan makan ikan belanak yang mencari makan di sedimen. Ada kemungkinan logam Cu yang terdapat dalam sedimen, release kembali ke kolom air dan masuk ke

dalam tubuh ikan belanak. Selanjutnya, daging dan insang ikan juaro memiliki kemampuan akumulasi Pb yang lebih tinggi dibandingkan ikan lainnya yaitu 83 kali dan 158 kali dibandingkan konsentrasi logam tersebut di perairan. Berdasarkan ambang batas yang ditetapkan oleh beberapa negara dan lembaga, dapat disimpulkan bahwa logam Pb dan Cu dalam semua organ dan jenis ikan belum tergolong ke dalam kriteria akumulatif (BAF ≤ 5000 l/kg). Meskipun demikian, akumulasi logam Cu pada hati ikan belanak dan seluang perlu diwaspadai karena lebih tinggi dibandingkan organ lainnya.

Jika sebelumnya telah dijelaskan akumulasi logam pada semua jenis ikan dan telah pula dilihat pengaruhnya terhadap kerusakan jaringan, maka sekarang

60

kita coba mengkaji bagaimana keamanan konsumsi semua jenis ikan yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini kita mengacu pada FAO (1983) bahwa konsentrasi maksimum Pb yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah 1,5 mg /kgbb dan 10 mg/kg bb untuk Cu. Jika dibandingkan dengan beberapa negara (Soegianto 2008) yang menerapkan ambang batas logam berat dalam makanan laut (Tabel 6) dan FAO (1983), dapat disimpulkan bahwa konsentrasi logam berat dalam daging semua jenis ikan yang diamati masih berada dalam batas aman untuk dikonsumsi. Meskipun demikian, kondisi ini dapat dijadikan “warning” bagi masyarakat dan pemerintah setempat agar

kedepannya lebih waspada dalam mengelola lingkungan. Jika konsentrasi Cu dan Pb terus meningkat dan mengakibatkan akumulasi dalam daging ikan-ikan konsumsi, hal ini tentu akan membahayakan kesehatan manusia.

Tabel 6 Ambang batas logam berat dalam makanan di beberapa negara (mg/kg bb) No Jenis logam berat UK (mg/kg) Australia (mg/kg) Hongkong (mg/kg bb) European Regulation (mg/kg) Indonesia*) (mg/kg) 1 Kadmium - 0,2 2,4 0,2 - 2 Timbal - 1,8 7,2 0,5 2,4 3 Chromium - - 1,2 - - 4 Tembaga 24 - - - 24 5 Seng 60 - - - 121 6 Arsenik - - - - 1,2 7 Nikel - - - - -

* KeputusanDirektur JenderalPengawasan Obat dan Makanan Nomor 03725/B/SK/VII/89

tentang batas maksimum logam dalam makanan

Terkait dengan hasil penelitian ini, peningkatan konsentrasi logam Cu dan Pb yang lebih tinggi di kolom air dibandingkan dengan konsentrasi alaminya, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. Jika peningkatan konsentrasi Cu dan Pb terus terjadi, dikhawatirkan akumulasi logam Cu dan Pb dalam ikan-ikan konsumsi juga akan meningkat karena kemampuan organ beberapa jenis ikan dalam mengakumulasi logam berkisar antara 60-3000 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi di media (air). Hal ini tentu akan berdampak terhadap kesehatan dan kualitas ikan yang dikonsumsi yang pada akhirnya berujung pada akumulasi logam pada manusia sebagai organisme yang menempati tropik level tertinggi. Selain itu dipandang perlu melihat dan menelaah akumulasi yang terjadi dalam cakupan yang lebih besar seperti melibatkan hewan- hewan yang hidup di dasar perairan yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi seperti udang, rajungan dan kepiting serta ikan-ikan yang hidup di karamba. Pergerakan yang terbatas memungkinkan akumulasi logam dalam organ tubuhnya dapat lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang berenang bebas.

Langkah awal yang dapat ditempuh oleh pemerintah setempat adalah pendataan ulang industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Musi terutama bagian hilir. Industri yang dimaksud mulai dari skala kecil hingga besar, dibutuhkan data jenis limbah yang dihasilkan serta jenis pengolahan limbah yang dimiliki industri tersebut. Setelah itu, konsentrasi komponen kimia yang dihasilkan setiap industri hendaknya teridentifikasi dengan baik sehingga dapat diperhitungkan beban pencemar yang masuk ke sungai. Hal ini agar konsentrasi

61 komponen kimia yang masuk ke dalam sungai terukur dengan pasti dan dapat terpantau dengan baik sehingga tidak terjadi peningkatan yang melebihi daya dukung lingkungan dalam menerima limbah nantinya. Mengingat ikan sebagai salah satu sumber protein dan bahan dasar berbagai jenis makanan di Sumatera Selatan serta terkait dengan akumulasi daging ikan terhadap logam, maka menjadi penting untuk senantiasa memantau keberadaan logam berat di perairan. Selain itu, mengedukasi masyarakat tentang bahaya logam berat juga mesti ditingkatkan, pemahaman tentang sumber, akumulasi dan efek yang ditimbulkan oleh logam tersebut. Selanjutnya, dalam jangka panjang, penggunaan bioindikator lainnya seperti bivalvia (mussel) mungkin akan bermanfaat sebagai bioremediasi logam berat di perairan. Seperti halnya “mussel watch program” yang telah digunakan di

beberapa negara guna memantau dan meremediasi akumulasi logam berat dalam tubuh bivalvia dalam jangka panjang.

62

7 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait