• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan contoh biota

Biota yang diambil adalah plankton dan ikan yang mewakili rantai makanan pelagis. Alat yang digunakan adalah planktonet dengan spesifikasi mesh size 20

μm, lebar mulut jaring 50 cm, panjang jaring 1,5 m dan panjang tali penarik jaring plankton sekitar 25 meter. Jaring plankton ditarik pada lapisan permukaan (10 cm) dengan jarak sekitar 20 m (Bahnasawy 2009). Selanjutnya botol penampung plankton diambil dan isinya dituangkan ke dalam toples plastik. Pengambilan contoh plankton dilakukan sebanyak empat sampai enam kali. Contoh plankton yang tersimpan dalam toples plastik disimpan lagi di dalam coolbox dan dibawa

ke darat.

Ikan yang menjadi target penelitian terdiri atas empat jenis yang penyebarannya terbagi ke dalam dua kelompok ekosistem. Pertama adalah ekosistem sungai yang diwakili oleh ikan seluang (Rasbora sp, merupakan ikan

herbivor dan hidup di permukaan perairan atau ikan pelagis) dan ikan juaro (Pangasiuspolyuranodon, merupakan ikan karnovor yang hidup di dasar perairan

atau ikan demersal). Kedua adalah ekosistem estuaria diwakili oleh ikan belanak (Mugil chepalus, merupakan ikan omnivor yang hidup di permukaan perairan dan

mencari makan di substrat) dan ikan sembilang (Paraplotosus albilabris,

merupakan ikan karnivor yang hidup di dasar perairan). Ikan yang tertangkap diidentifikasi jenisnya, ditimbang dan dipisahkan organ yang menjadi target yaitu insang, daging dan hati. Ketiga organ kemudian diawetkan dengan cara menyimpan di dalam coolbox dan freezer. Untuk analisa kandungan logam berat,

ikan harus berada dalam kondisi segar tanpa formalin dan pengawet lainnya.

Analisa logam berat yang terkandung dalam plankton

Contoh plankton yang didapatkan di lapangan tidak dapat langsung di destruksi karena didalamnya banyak terkandung partikel lumpur dan serasah. Oleh karena itu dilakukan pemisahan antara contoh plankton dengan komponen lainnya dengan teknik pemisahan menggunakan larutan gula (Harteman 2011). Ketika sampai di darat, contoh plankton yang didapatkan di lapangan segera dimasukkan dalam toples transparan berisi 2 liter larutan gula (dengan komposisi 70% aquades dan 30% gula pasir). Biarkan selama 1,5-2 jam. Setelah 1,5 jam lakukan pengamatan apakah contoh plankton sudah terpisah dengan komponen lainnya. Plankton akan mengapung di atas permukaan larutan gula sedangkan lumpur dan pasir akan mengendap. Plankton yang mengapung diambil dengan cara disedot menggunakan selang berdiameter 0,5 cm. Plankton hasil sedotan ditampung dalam botol plastik dan disaring menggunakan kertas saring whatman no 42 dengan ukuran pori 45 μm. Hasil saringan disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4 OC (Murphie 1985 dalam Harteman 2011). Contoh plankton yang

35

Analisa logam berat yang terkandung pada ikan

Sesampainya di laboratorium, contoh organ biota diletakkan dalam cawan penguap dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 12 jam, setelah

dingin contoh tersebut digerus agar homogen. Contoh organ biota 4 gram didestruksi dalam beaker glass dengan 10 ml HNO3 pekat diatas hot plate pada

suhu 85oC selama 8 jam. Satu jam sebelum proses destruksi berakhir, ke dalam

contoh jaringan biota ditambahkan 3 ml H2O2. Fase cair dipindahkan ke dalam

labu ukur dan volume ditepatkan menjadi 20 ml dengan menambahkan air suling bebas ion dan didiamkan semalam untuk selanjutnya dianalisis dengan spektofotometer serapan atom (AAS) jenis SpektrA A-20 Varian plus menggunakan nyala campuran Udara – Asetilen (Arifin 2011). Batas deteksi alat AAS SpectrAA-20 Plus Varian untuk Cu 0,003 μg/kg dan Pb 0,01 μg/kg. Agar menjamin mutu pengukuran, dilakukan juga pengukuran terhadap bahan yang bersertifikat (Certified Reference Material) menggunakan DORM-3 dari Institute for National Measurement Standards, National Research Council of Canada.

Satuan konsentrasi Cu dan Pb yang digunakan adalah µg/kg berat basah.

Analisa Data

Analisis diskriminan digunakan untuk melihat perbedaan akumulasi logam berat Cu dan Pb dalam setiap jenis dan organ ikan menggunakan program SPSS. Selanjutnya, hubungan antara konsentrasi logam berat di lingkungan dan di dalam jaringan tubuh biota dinyatakan dengan faktor bioakumulasi (BAF =

bioacumulation factor). Parameter ini merupakan nisbah antara konsentrasi suatu

senyawa di lingkungan dan konsentrasi senyawa yang sama dalam jaringan makhluk hidup. Selanjutnya akan dipelajari pola bioakumulasi logam berat dalam tubuh organisme dan rantai makanan secara deskriptif. Pendugaan biomagnifikasi didekati menggunakan persamaan Bioaccumulation factor (BAF) (Mason 2002).

Hasil dan Pembahasan Cu dan Pb dalam Plankton

Penelitian ini menggabungkan antara zooplankton dan fitoplankton sebagai satu kesatuan saat pengambilan sampel dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi Cu dan Pb dalam plankton berturut-turut berkisar antara 1,82-3,70 mg/kg dan 1,01-2,87 mg/kg (Gambar 10).

36

Gambar 10 Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb dalam plankton

Hasil penelitian Awalina (2011) menyebutkan bahwa konsentrasi logam Pb dalam fitoplankton yang hidup di beberapa situ di Kota Bogor berkisar antara 20- 200 mg/kg. Hasil penelitian Bahnasawy et al. (2009) menyebutkan konsentrasi Cu

dalam organisme plankton di Danau Manzala Mesir berkisar antara 20-110 mg/kg dan Pb berkisar 17-100 mg/kg. Elmaci et al. (2007) juga mencatat kisaran

kosentrasi Cu yang lebih tinggi pada sampel plankton (670-2380 mg/kg) dibandingkan Pb (100-1060 mg/kg) di Danau Uluabat Turki. Tulonen et al.

(2006) menemukan konsentrasi Cu dalam organisme zooplankton berkisar antara 53-520 mg/kg dan Pb 1-61 mg/kg di beberapa danau yang ada di Finlandia Selatan. Chen et al (2000) menyebutkan bahwa tingginya konsentrasi Cu dan Pb

di dalam organisme plankton disebabkan kemampuan plankton mengakumulasi logam berat. Selanjutnya hasil penelitian Bahnasawy et al. (2009) menemukan

konsentrasi logam yang lebih tinggi pada sampel plankton di Danau Manzala Mesir dibandingkan pada sampel air dan ikan

Secara umum terlihat bahwa logam Cu dalam plankton ditemukan lebih tinggi dibandingkan Pb pada hampir seluruh stasiun penelitian. Hasil penelitian Bahnasawy et al. (2009) menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu

kecenderungan konsentrasi logam berat dalam tubuh plankton berturut-turut adalah Zn>Cu>Pb>Cd. Kondisi yang sama juga terjadi pada konsentrasi logam terlarut (Cu>Pb). Konsentrasi Cu yang lebih tinggi dalam plankton dibandingkan konsentrasi Cu terlarut dapat disebabkan oleh akumulasi logam Cu dan Pb dalam organisme plankton. Hasil penelitian Yigit and Altindag (2006), menemukan konsentrasi Cd, Pb dan Cr yang tinggi pada sampel plankton yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi logam tersebut dalam kolom air di Danau Egirdir. Luoma (1983) juga menyebutkan bahwa kemampuan organisme akuatik mengambil ion logam dalam bentuk terlarut lebih cepat dibandingkan dalam bentuk partikulat. Dilaporkan bahwa di Danau Uluabat Turki, organisme dalam hal ini plankton mampu mengakumulasi elemen logam antara 100-1000 kali lebih tinggi dibandingkan dengan medianya (Elmaci et al. 2007). Ditambahkan oleh

Elmaci et al. (2007), selain konsentrasi dalam fase terlarut, logam berat dalam

37 Logam berat seperti Cd, Cu, Zn dan Pb mampu berikatan dengan permukaan sel fitoplankton dan selanjutnya dapat ditransfer kepada zooplankton yang memangsa fitoplankton. Hal ini berkaitan dengan luas permukaan organisme plankton serta metabolisme tubuh yang aktif, sehingga memicu penyerapan bermacam polutan dengan cepat (Ravera 2001; Bahnasawy et al. 2009).

Disebutkan juga bahwa beberapa spesies algae memiliki mekanisme perlindungan diri dengan cara mengakumulasi polutan seperti logam pada dinding polisakarida yang dimilikinya. Sementara untuk zooplankton, proses akumulasi terjadi melalui peristiwa grazer terhadap fitoplankton. Ditambahkan oleh Elmaci et al. (2007)

bahwa akumulasi logam berat pada plankton dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti produktivitas badan air, fisika kimia plankton, kapasitas penyerapan logam berat oleh plankton dan musim.

Cu dan Pb dalam Organ Ikan

Konsentrasi rata-rata logam berat bervariasi pada setiap jenis dan organ ikan (Gambar 11). Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb pada daging ikan Rasbora sp

adalah 0,281 mg/kg Cu dan 0,157 mg/kg Pb, pada insang 1,157 mg/kg Cu dan 0,222 mg/kg Pb serta pada hati 2,384 mg/kg Cu dan 0,996 mg/kg Pb. Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb pada daging ikan Pangasius polyuranodon adalah 0,232

mg/kg Cu dan 0,179 mg/kg Pb, pada insang 0,807 mg/kg Cu dan 0,327 mg/kg Pb serta pada hati 1,957 mg/kg Cu dan 0,625 mg/kg Pb. Akumulasi Pb yang ditemukan pada semua organ selama penelitian lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Harteman dan Aunurrafik (2013) yang melakukan penelitian di Muara Sungai Kahayan dan Katingan Kalimantan Selatan. Mereka menemukan kisaran Pb pada insang ikan Seluang berkisar antara 0,007-0,023 mg/kg, hati 0,012-0,022 mg/kg dan otot 0,001-0,0017 mg/kg.

Terdapat variasi konsentrasi Cu dan Pb diantara ketiga organ yang diamati. Gambar 11 menunjukan organ hati mengakumulasi Cu lebih tinggi dibandingkan daging dan insang. Hal ini didukung oleh analisa diskriminan terhadap semua jenis dan organ ikan yang diamati yang menunjukkan bahwa akumulasi Cu tertinggi terdapat dalam organ hati semua jenis ikan pada tingkat kepercayaan 90% (Lampiran 4). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kecenderungan akumulasi logam dalam organ ikan berturut-turut adalah hati>insang>daging. Hal ini sejalan dengan El-Moselhi et al. (2014) yang menyebutkan bahwa sebagian

besar hasil penelitian menemukan bahwa hati merupakan organ target bagi akumulasi logam berat seperti Cu, Zn dan Fe. Demikian juga Yilmaz et al. (2007);

Yilmaz (2009) dan Riani (2015) yang menemukan logam berat umumnya terkonsentrasi lebih tinggi pada jaringan hati dan insang dibandingkan dalam daging yang lebih kecil. Dural et al. (2007) menyebutkan hati merupakan organ

yang aktif dalam mengambil dan menyimpan logam berat. Hal ini disebabkan sejumlah besar induksi metallothionein terjadi di jaringan hati ikan (Heath 1987; Hodson 1988; Langston, 1990; Marafante, 1976). Menurut Zhao et al. (2012)

akumulasi logam berat essensial dalam hati berkaitan dengan peranannya dalam metabolisme. Gorur et al. (2012); Dural et al. (2007) menambahkan bahwa Cu

dalam jaringan hati berikatan dengan protein pengikat seperti metallotionin (MT)

yang berperan sebagai essential metal store untuk memenuhi kebutuhan enzimatik

dan metabolis lainnya. Tingginya konsentrasi logam dalam hati dapat mewakili penimbunan produk asing dalam organ tersebut (Tepe et al. 2008).

38

Gambar 11 Konsentrasi Cu dan Pb (mg/kg) pada daging, insang dan hati jenis ikan (a) Rasbora sp; (b) Pangasius polyuronodon; (c) Mugil chepalus

dan (d) Paraloptosus albilabris

0 2 4 6 8 10 12 14 Cu Pb Ra ta -r a ta g /k g w w ) a) Rasborasp Daging Insang Hati 0 2 4 6 8 10 12 14 Cu Pb R a ta -ra ta ( µ g /k g w w ) b) Pangasius polyuranodon Daging Insang Hati 0 2 4 6 8 10 12 14 Cu Pb Ra ta -ra ta ( µ g /k g w w ) c) Mugil chepalus Daging Insang Hati 0 2 4 6 8 10 12 14 Cu Pb Ra ta -ra ta g /k g w w ) d) Paraloptosus albilabris Daging Insang Hati

39 Lebih lanjut, Dinata (2004); Jezierska and Witeska (2006) menambahkan bahwa tingginya akumulasi logam dalam hati menyebabkan organ ini paling sering mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan hati menjadi pintu gerbang semua bahan yang masuk ke dalam tubuh, sehingga organ ini sangat potensial menderita keracunan lebih dahulu sebelum organ lain. Yilmaz (2009) menyebutkan bahwa hati adalah organ target dalam akumulasi logam karena kemampuannya dalam penyimpanan dan ekskresi. Beberapa penelitian percobaan maupun studi kasus menemukan bahwa organ target seperti hati, gonad, ginjal dan insang merupakan jaringan metabolis aktif dan dapat mengakumulasi logam dengan tingkat yang lebih tinggi.

Setelah hati, insang adalah organ yang mampu mengakumulasi logam berat dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan daging. Hal ini disebabkan insang merupakan organ yang berperan sebagai pintu masuk pertama logam ke dalam tubuh ikan. Menurut Jezierska and Witeska (2001), insang merupakan bagian yang mengikat dan menyerap logam dalam bentuk ion dalam air. Selain itu, umumnya konsentrasi logam berat meningkat khususnya pada permulaan waktu pemaparan untuk kemudian masuk kedalam tubuh organisme. Tingginya kandungan logam dalam jaringan insang dapat dikaitkan dengan fakta bahwa insang ikan memainkan peran penting dalam penyerapan logam dari lingkungan. Karena fungsi pernapasan, insang senantiasa memiliki kontak langsung dengan air, selain itu insang juga memiliki epitel paling halus dari semua organ (Coetzee

et al. 2002). Beberapa penelitian lain juga melaporkan bahwa insang memiliki

kecenderungan yang tinggi untuk mengakumulasi logam berat (Wong et al. 2001;

Coetzee et al. 2002; Yigit and Altindag, 2006). Hal ini dapat disebabkan adanya metal complexing dengan mucus yang tidak memungkinkan dibersihkan dengan

sempurna dari lamela sebelum analisis dilakukan (Heath 1987; Yilmaz 2009). Lebih lanjut menurut Riani (2012) logam berat umumnya tidak larut dalam lipid sehingga akumulasi logam berat umumnya terjadi pada jaringan-jaringan yang kaya senyawa nonlipid seperti insang.

Cu berpotensi memberikan efek negatif apabila masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai ambang batas. Penurunan laju pertumbuhan terjadi seiring dengan meningkatnya konsentrasi Cu yang menyebabkan gangguan terhadap kinerja insang, sehingga mengalami gangguan dalam proses osmoregulasi (Sihono et al. 2014). Ikan akan mengalami kesulitan

dalam respirasi yang menyebabkan stres dan selanjutnya berpengaruh pada menurunnya nafsu makan dan akibatnya dapat mempengaruhi kecepatan tumbuh ikan tersebut. Hal ini diperparah oleh dampak toksik dari Cu yang merusak sistem sensorik penciuman ikan (McIntyre et al. 2008), sehingga ikan mengalami

kesulitan dalam merespon makanan. Selain itu, dampak fisiologis dari paparan logam Cu adalah rendahnya pertumbuhan karena meningkatnya pengeluaran metabolisme untuk detoksifikasi dan pemeliharaan homeostasis. Tubuh memiliki fungsi check and balance sehingga ketika Cu berlebih dalam tubuh, maka

produksi protein yang mengikat metal seperti metallothionein dan seruloplasmin ikut meningkat (Kim and Kang 2004; Shao et al. 2010). Produksi protein ini

menguras kebutuhan energi tubuh dan dampaknya adalah berkurangnya energi yang digunakan untuk pertumbuhan somatik.

Insang, hati dan ginjal merupakan organ tubuh yang paling sensitif terhadap toksisitas logam berat. Toksisitas logam berat terhadap organ-organ tersebut dapat

40

mengganggu fungsi lamella insang, sel-sel hepatosit hati, fungsi glomerulus dan tubulus ginjal. Kalisinska dan Salicki (2010) menyebutkan bahwa akumulasi Pb dalam otot<hati<ginjal. Riani (2012) dan Riani (2015) menjelaskan bahwa konsentrasi Pb di dalam insang ikan berkorelasi positif dengan tingkat kerusakan organ bahkan dapat mengancam kehidupan organisme. Selain itu jika berada dalam tubuh organisme dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam menyerap ion-ion mineral dari lingkungan yang justru dibutuhkan oleh tubuh. Konsentrasi logam berat dalam insang ikan merefleksikan konsentrasinya dalam air sebagai media tempat ikan hidup, sedangkan konsentrasi logam berat dalam hati menandakan terjadinya penyimpanan logam dalam organ tersebut (Rao and Padmaja, 2000). Lebih lanjut disebutkan bahwa hati dan insang ikan lebih layak direkomendasikan sebagai organ indikator dalam pencemaran lingkungan dibandingkan organ ikan lainnya (Karadede et al. 2004). Hal ini disebabkan

kemampuan akumulasi kedua organ ini lebih tinggi dibandingkan daging.

Daging adalah organ yang paling sedikit mengakumulasi logam berat Cu dan Pb dibandingkan hati dan insang, namun penting diteliti mengingat bagian ini merupakan bagian yang dikonsumsi oleh manusia. Lebih lanjut, Miller et al.

(1992) menyebutkan bahwa daging adalah indikator paling lemah dalam mendeteksi kontaminasi Cu dan Zn dalam taraf yang rendah. Hal ini juga berlaku pada hampir sebagian besar logam lainnya kecuali merkuri (Hg) yang menunjukkan daya ikat (afinitas) yang lebih tinggi pada daging dibandingkan organ lainnya. Allen-Gil and Martynov (1995) menyebutkan bahwa rendahnya konsentrasi Cu dan Zn dalam daging dapat disebabkan oleh rendahnya kemampuan otot atau daging dalam mengikat protein. Selain hal tersebut, menurut Riani (2016, belum dipublikasikan), kondisi ini disebabkan karena logam berat yang masuk ke dalam tubuh terlebih dahulu akan berusaha didetoksifikasi oleh berbagai organ tubuh seperti lambung, hati dan ginjal, setelah itu baru ke daging. Oleh karena itu maka kandungan logam berat dalam daging lebih rendah dibandingkan organ tubuh lainnya.

Selain itu, hasil penelitian juga menemukan variasi konsentrasi Cu dan Pb diantara keempat jenis ikan yang diamati. Gambar 12 memperlihatkan setiap spesies ikan mengakumulasi Cu dan Pb dalam jumlah yang berbeda dalam setiap organnya. Insang dan hati ikan Mugil chepalus mengakumulasi Cu lebih besar

dibandingkan ikan jenis lainnya dengan nilai berturut-turut 1,26 mg/kg dan 8,42 mg/kg. Hal ini dapat disebabkan oleh kebiasaan mencari makan ikan Mugil chepalus di substrat berlumpur sehingga logam berat yang terakumulasi dalam

sedimen mengalami resuspensi ke badan air pada saat ikan tersebut mencari makan. Selama penelitian, ditemukan konsentrasi logam Cu di daerah muara tempat hidup ikan Mugil cephlus berkisar antara 11,24-15,28 mg/kg. Konsentrasi

logam dalam insang dan hati ikan belanak lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Dural et al. (2007) di Laguna Tuzla Turki, konsentrasi Cu tertinggi

terdapat di dalam hati ikan Mugil cephalus sebesar 12 mg/kg. Demikian juga

dengan konsentrasi Cu dalam organ hati Mugil cephalus (71 mg/kg) di Sungai

41

42

El-Moselhy (2014) menyebutkan bahwa perbedaan kebiasaan makan, habitat dan lingkungan tempat tinggal mempengaruhi akumulasi yang terjadi. Menurut Zhao et al. (2012) akumulasi dan distribusi logam pada organ bersifat

interspesifik. Banyak faktor dapat mempengaruhi pengambilan logam berat oleh organisme ikan seperti jenis kelamin, ukuran, umur, siklus reproduksi, pola pergerakan, kebiasaan makan dan lingkungan. Telah dilakukan analisa diskriminan terhadap perbedaan karakteristik habitat (sungai dan muara, tempat mencari makan) semua jenis ikan yang diamati kaitannya dengan akumulasi logam Cu dan Pb. Hasil analisa diskriminan menunjukkan tidak terdapat perbedaan akumulasi logam Cu dan Pb dalam setiap organ pada dua jenis ikan yang hidup di sungai (Lampiran 5). Kondisi sedikit berbeda ditemukan pada ikan yang hidup di muara, hasil analisis diskriminan (Lampiran 6) menemukan adanya perbedaan akumulasi logam Cu (pada hati dan daging, sig < 0,1) pada tingkat kepercayaan 90% diantara kedua jenis ikan yang hidup di muara. Hati dan daging ikan belanak mengakumulasi logam Cu lebih tinggi dibandingkan hati dan daging ikan sembilang. Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan kebiasaan makan diantara kedua ikan tersebut. Ikan belanak yang merupakan ikan omnivora dan mencari makan di substrat perairan, sehingga logam berat yang terakumulasi di dalam sedimen dapat masuk ke dalam tubuh saat mencari makan di substrat yang berlumpur. Adapun ikan sembilang merupakan ikan karnivora cenderung predator yang memangsa ikan-ikan kecil serta moluska yang terdapat di dasar perairan.

Selanjutnya hasil analisa diskriminan menunjukkan tidak ada perbedaan akumulasi logam (Cu dan Pb) antara ikan pelagis yang hidup di Sungai Musi bagian hilir dengan yang hidup di daerah muara (Lampiran 7). Berbeda dengan ikan demersal yang hidup di sungai dan muara, hasil analisa diskriminan menunjukkan adanya perbedaan akumulasi logam Cu dalam organ hati ikan juaro dan ikan sembilang (Lampiran 8). Akumulasi Cu lebih tinggi terdapat pada hati ikan sembilang dibandingkan ikan juaro. Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan akumulasi logam adalah jenis logam, faktor lingkungan, jenis ikan, usia dan kebiasaan makan. Zhao et al. (2012) menyebutkan bahwa bioakumulasi

logam oleh ikan dan distribusinya dalam organ bersifat sangat inter-spesifik. Selain itu, banyak faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan logam seperti seks, usia, ukuran, siklus reproduksi, pola berenang, kebiasaan makan dan kondisi lingkungan. Selanjutnya ditambahkan oleh Yilmaz et al. (2007) bahwa perbedaan

konsentrasi logam berat dalam daging, hati dan insang menunjukkan kapasitas setiap organ dalam mengakumulasi logam berat.

Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, mekanisme masuk dan terakumulasinya logam berat Cu dan Pb dalam tubuh ikan dapat melalui pernafasan, makanan dan adsorpsi melalui permukaan kulit (Palar 2004). Demikian juga halnya dalam penelitian ini, logam berat Cu dan Pb dapat masuk dan terakumulasi dalam organ ikan melalui pernafasan yang melibatkan organ insang (absorbsi), melalui peristiwa makan-memakan yang melibatkan rantai makanan serta melalui kulit. Menurut Palar (2004) rata-rata 10-30% logam berat yang terinhalasi akan diabsorbsi oleh paru-paru dan sekitar 5-10% dari yang tertelan akan diabsorbsi melalui saluran cerna. Sebanyak 30-40% logam yang diabsorbsi melalui saluran pernafasan akan masuk ke aliran darah. Selanjutnya, logam yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan akan melewati hati sebelum melewati bagian tubuh lainnya.

43

Bioakumulasi Cu dan Pb dalam plankton dan ikan

Ivanciuc et al. (2006) menyatakan bahwa bioakumulasi bahan kimia dalam

suatu perairan merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi kondisi ekologi dan tingkat pencemaran suatu lingkungan. Tingkat pencemaran perairan oleh bahan kimia seperti logam berat dapat diukur melalui biokonsentrasi dan bioakumulasi logam tersebut dalam biota yang hidup didalamnya. Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa bioakumulasi adalah masuknya bahan pencemar secara langsung dari air sebagai media hidup organisme melalui jaringan seperti insang atau kulit. Adapun bioakumulasi adalah masuknya bahan pencemar dari media atau lingkungan melalui pernafasan, kulit dan makanan. Sementara biomagnifikasi adalah proses dimana bahan pencemar konsentrasinya semakin meningkat dengan meningkatnya posisi makhluk hidup pada suatu rantai makanan. Melalui proses bioakumulasi, konsentrasi suatu komponen kimia di dalam tubuh organisme dapat lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya di lingkungan atau dalam makanan organisme tersebut. Perhitungan bioakumulasi dapat diukur menggunakan bioaccumulation factor (BAF). Menurut Gobas and Morrisons

(2000), BAF dinyatakan dalam bentuk rasio antara konsentrasi komponen kimia dalam organisme terhadap konsentrasi komponen kimia dalam air. Gabriel et al.

(2013) menyebutkan bahwa jika konsentrasi bahan kimia dalam organisme dinyatakan dalam mg/kg dan konsentrasi logam berat dalam air sebagai mg/l

Dokumen terkait