• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok nelayan merupakan suatu kelompok yang dibentuk berdasarkan jenis mata pencaharian atau profesi, dalam hal ini adalah sebagai nelayan. Di Kecamatan Tobelo terdapat 17 kelompok nelayan yang tersebar diberbagai desa pesisir, yaitu di Desa Rawajaya, Tagalaya, Kakara dan Desa Kumo (Gambar 9). Dalam kajian ini dipilih 3 kelompok nelayan yang paling besar secara keorganisasian dan mewakili dua wilayah yang berbeda yaitu wilayah pulau dan daratan. Ketiga kelompok nelayan dimaksud adalah Kelompok Nustalenta di Desa Rawajaya, Kelompok Karunia dan Imanuel di desa Kumo.

Setiap kelompok nelayan memiliki identitas atau karakter tersendiri. Identitas tersebut merupakan cerminan kondisi internal dari suatu kelompok. Kondisi internal yang membentuk atau menjadi identitas suatu kelompok nelayan antara lain kondisi lingkungan tempat kelompok nelayan berada, karakteristik keanggotaan, sarana prasarana kelompok dan aturan kelompok yang berlaku (Satria A. 2001).

Kondisi lingkungan berperan besar dalam membentuk identitas suatu kelompok nelayan. Kondisi lingkungan tersebut dapat berupa kondisi sosial-ekonomi dan kondisi fisik lingkungan. Kelompok Nustalenta merupakan kelompok nelayan yang berada pada wilayah perkotaan yang memiliki kondisi sosial-ekonomi relatif heterogen. Berbagai profesi, agama dan status sosial masyarakat ditemukan di wilayah tersebut.

Sebagai komunitas kelompok masyarakat nelayan, keberadaannya tidak dapat terhindar dari fenomena kemiskinan. Kemiskinan terbentuk dari ketidakmampuan masyarakat nelayan dalam membentuk kehidupan sosial, ekonomi dan budaya yang bekerja sebagai nelayan. Kepemilikan alat tangkap menjadi salah satu aspek dari karakteristik masyarakat nelayan di Desa Kumo (pulau Kumo) dan Desa Rawajaya di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara.

4.2.1 Kondisi sosial ekonomi

Kemampuan masyarakat desa yang masih tradisional dalam membangun struktur ekonomi sangat dipengaruhi oleh ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis, sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip produksi semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit oriented). Landasan struktur ekonomi masyarakat desa diletakkan pada prinsip hemat, ingat, dan istirahat(Boeke, 1983). Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa karakter masyarakat yang tinggal di desa dengan karakter masyarakat yang tinggal di perkotaan sangat berbeda. Begitu juga dengan karakter kelompok masyarakat nelayan Imanuel dan kelompok nelayan Karunia (keduanya tinggal di Desa Kumo di Pulau Kumo), memiliki karakter yang sangat berbeda dengan kelompok masyarakat nelayan Nustalenta yang tinggal di Desa Rawa Jaya Kecamatan Tobelo yang berada di ibukota kabupaten.

Bagi masyarakat Kecamatan Tobelo, tak terkecuali kelompok-kelompok nelayan yang ada saat ini, laut dianggap sebagai tempat memenuhi kebutuhan keluarga dan mencari nafkah ekonomi. Selain itu, laut juga dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka yang harus dijaga dan penggunaannya untuk seluruh keturunan masyarakat Kecamatan Tobelo. Kelompok-kelompok nelayan juga melakukan uparaca-upacara adat yang diperuntukkan agar terjadi keseimbangan alam atas dieksploitasinya sumberdaya perikanan dan kelautan. Pemanfaatan perikanan Kecamatan Tobelo sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Tobelo pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan subsistem mereka. Perkembangan masyarakat dan kebutuhan ekonomi sudah membuat mereka lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan keluarga dan pasar, walaupun dalam skala yang masih sederhana. Kesederhanaannya masih dapat dilihat dari cara mereka menggunakan teknologi penangkapan ikan yang masih bersifat tradisional dan skala kecil.

Mayoritas mata pencaharian penduduk Kecamatan Tobelo di desa pesisir dan pulau-pulau kecil adalah petani dan nelayan. Mereka yang berprofesi sebagai

nelayan ada yang melaut secara sendiri-sendiri, dan ada pula yang melaut secara bersama-sama (berkelompok). Mereka yang bersama-sama membentuk kelompok dalam melakukan penangkapan, membagi hasil tangkapan secara adil sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Walaupun sistem bagi hasil ini didasarkan atas peran dan tanggung jawab, namun masyarakat nelayan juga tetap mengedepankan kebersamaan dan budaya gotong royong.

4.2.2 Kondisi sosial budaya

Secara umum, sejarah “kaum Tobelo” atau Tobelohoka tidak bisa dilepaskan dari konsep “the origin” atau cikal bakal, yang dalam bahasa Tobelo disebut dengan istilah: o ahali. Konsep yang dibangun oleh kaum Tobelo atau Tobelohoka tersebut mempunyai keterkaitan dengan migrasi-koloni bangsa Non-Austronesia dan Non-Austronesia di kepulauan bagian utara dari Maluku Utara pada masa Pleistosen. Ditinjau dari kondisi dan letak geografisnya, kawasan perkotaan Tobelo Selatan memiliki potensi pengembangan kegiatan pertanian lahan basah, perikanan dan kelautan yang cukup besar, sehingga dapat dijadikan sebagai sentra produksi bagi kawasan perkotaan Tobelo dan Kao. Salah salah desa di Kecamatan Tobelo yang berpotensi untuk itu adalah Desa Rawajaya yang ada di pusat kota Tobelo dan Desa Kumo yang berada di Pulau Kumo.

Secara umum, kelompok nelayan di Desa Kumo masih bersifat homogen dari segi suku dan kebudayaan, termasuk kebijakan-kebijakan lokal (local wishdom) terhadap lingkungan laut. Suku Tobelo yang tergabung dalam kelompok nelayan adalah sebagian kecil dari kelompok imigran yang secara besar-besaran berasal dari negeri Yunan yang terjadi secara bertahap, dalam kurun waktu yang berbeda. Dalam penyebarannya, orang Tobelo terbagi dua kelompok yaitu Tobelo Boenge menetap di pesisir pantai dan di wilayah Kao sampai Teluk Wasilei dan kelompok yang lain dikenal dengan Tobelo Togu’tilli yang menyusuri hilir sungai menuju udik dan bermukim di Talaga Lina. Suku Tobelo yang menetap di teluk dalam Halmahera Tengah merasa belum menemukan tempat yang ideal untuk didiami sebagai O Tobeloho. Mereka terpecah lagi sebagian menuju utara dan tiba di pesisir pantai yang berhadapan dengan Pulau Gerebongo (Kecamatan Kao saat ini). Mereka menetap bersama sampai

terjadinya perpecahan besar-besaran karena mereka berbeda pendapat, dan terjadilah perang saudara yang membuat kelompok ini terpecah dua. Selanjutnya kelompok yang mendiami pesisir pantai dikenal dengan Tobelo Boenge, berkembang pesat dan tampil sebagai pembuat perahu O Julu-julu yang handal dan perahu ini dipakai untuk mengarungi samudra dalam misi Yo canga-canga. Kelompok lain menuju udik dan menetap di Ta’aga Lina dikenal sebagai Tobelo Togu’tilli dan penyebarannya kemudian menuju Utara meliputi wilayah Tobelo saat ini.

4.2.3 Kondisi fisik lingkungan

Perbedaan perilaku dan tabiat masing-masing kelompok nelayan terhadap lingkungannya sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya. Bagi kelompok nelayan yang tinggal di Desa Kumo (pulau Kumo), lingkungan laut tidak bisa dipisahkan dari lingkungan darat. Hal ini disebabkan karena laut merupakan sumber utama penghidupan mereka, sedangkan darat merupakan termpat mereka bermukim. Mereka tetap menjaga hutan mangrove tetap lestari karena mengandung banyak bahan mineral bergizi yang bermanfaat bagi biota lain yang ada di sekitarnya.

Masyarakat nelayan di Desa Kumo menganggap bahwa eksistensi biota laut amat penting dalam kehidupan masyarakat, karena sumber mata pencaharian mereka yang utama berasal dari laut. Komunitas nelayan di Desa Kumo sebagai bagian dari masyarakat Halmahera Utara berusaha melestarikan biota yang ada di laut termasuk hutan mangrove yang ada di pesisir agar menghasilkan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Dengan demikian, biota laut dapat berkembang memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan di sekitarnya.

Dalam kepercayaan kelompok masyarakat nelayan di Desa Kumo, segala bentuk kerusakan lingkungan, baik di laut maupun di darat, apalagi jika ditambah dengan pencemaran sebagai dampak dari aktivitas ekonomi manusia, pasti menimbulkan kerusakan lingkungan laut dan mengancam kehidupan biotanya. Apabila hal ini terjadi, maka yang dirugikan adalah masyarakat nelayan karena laut tidak lagi menyediakan makanan bergizi dan sehat. Selain itu, laut adalah satu ekosistem yang harus dilindungi.

Sedangkan bagi kelompok nelayan yang tinggal di daerah perkotaan seperti kelompok nelayan Nustalenta yang ada di Desa Rawajaya, kepedulian mereka terhadap lingkungan pesisir sangat kecil. Meskipun sebagian dari sumber penghidupan mereka berasal dari laut seperti ikan-ikan yang berkembang biak di sekitar hutan mangrove, tingkat keperdulian mereka dalam menjaga kelestarian sumberdaya pesisir lebih rendah dibandingkan dengan kelompok nelayan di Desa Kumo.

Kelompok masyarakat nelayan Nustalenta yang tinggal di daerah perkotaan tidak memiliki tingkat kesadaran yang cukup baik terhadap lingkungannya. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya intensitas pembabatan hutan mangrove di sekitar mereka, justru dibiarkan hingga kondisi lingkungan semakin kritis. Salah satu faktor penyebabnya diduga karena heterogenitas dari kelompok masyarakat. Keberadaan suku dan ras yang beraneka ragam ini yang membuat tidak adanya kekompakan dalam melakukan gerakan bersama memelihara lingkungan. Indikasi kurangnya tingkat kesadaran nelayan Nusalenta terlihat dari kerusakan hutan mangrove di dekat daerah pemukiman mereka. Perananan tokoh masyarakat dalam mengajak warganya yang heterogen ini juga sangat terbatas, bahkan sulit mendapatkan tokoh yang bisa diikuti dan dituruti perintahnya oleh anggota masyarakat.

Dokumen terkait