• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Status taman nasional ini pada awalnya adalah kawasan suaka margasatwa yang ditetapkan pada tahun 1935 berdasarkan Besluit van Gouverneur General van Nederlandsch Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I (SS I) dengan luas 356.800 ha. Kemudian kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 dengan luas 365.000 hektar. Dalam perkembangannya terdapat revisi luasan berdasarkan SK Menhut No.489/KPTSII/1999 tanggal 29 Juni 1999 sehingga luas total kawasan darat TNBBS 355.511 ha. Taman nasional ini juga memiliki kawasan laut berupa Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan dengan SK Menhut No. 256/KPTS-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 seluas 17.280,75 ha.

Kawasan TNBBS memiliki nilai penting bagi upaya konservasi beberapa satwa langka antara lain Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pertimbangan sebagai berikut :

1) Dipilihnya TNBBS sebagai kawasan prioritas utama konservasi Gajah Sumatera oleh IUCN.

2) Ditunjuknya kawasan TNBBS sebagai prioritas utama konservasi Harimau Sumatera (Tiger Conservation Unit/TCU) oleh WCS dan WWF (Dinerstein, 1997).

Di kawasan TNBBS ini telah teridentifikasi 90 jenis mamalia, dan 322 jenis burung (diantaranya 9 jenis burung rangkong), 52 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi) serta 51 jenis ikan hidup di kawasanTNBBS. Menurut Red Data Book IUCN tercatat 6 jenis mamalia besar yang terancam punah yaitu : Gajah Asia (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), dan Ajag (Cuon alpinus).

Kawasan TNBBS diperkirakan sedikitnya terdapat 100 – 130 ekor gajah. Populasi gajah ini terdiri dari beberapa kelompok dan tersebar masing-masing di

beberapa lokasi. Sebaran gajah diduga berada di 9 lokasi yaitu sekitar Sekincau, Lemong, Bengkunat, Sumberejo, Pemerihan, Way Haru, Tampang Belimbing, Way Nipah, dan Sukaraja.

Organisasi Pengelola TNBBS

a. Tugas Pokok dan Fungsi

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut Nomor P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Februari 2007, Balai Besar TNBBS memiliki tugas pokok dan fungsi. Secara garis besar tupoksi Balai Besar TNBBS adalah sebagai berikut :

1) Melakukan penyusunan rencana dan program pengembangan taman nasional. 2) Melakukan pemangkuan kawasan, perlindungan, pengawetan, pelestarian

flora fauna beserta ekosistemnya.

3) Melakukan pemanfaatan dan promosi serta memberikan informasi. 4) Melakukan urusan tata usaha.

b. Struktur Organisasi

Organisasi Balai Besar TNBBS adalah unit pelaksana teknis setingkat eselon II b, yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Adapun struktur organisasinya adalah sebagai berikut (Gambar 4.1) :

Aksesibilitas

Akses menuju TNBBS dari Kota Bandar Lampung relatif mudah. Rute dan lama perjalanannya: Bandar Lampung – Kotaagung – Sedayu – TNBBS (Sukaraja) – Pemerihan dengan jarak ±137 km dapat ditempuh selama ± 4 jam. Jika dari Bandara Radin Intan Bandar Lampung menuju Pemerihan menjadi 4,5 jam.

Iklim

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika curah hujan rata-rata tahunan, kawasan TNBBS dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu bagian barat taman nasional dengan curah hujan cukup tinggi yaitu berkisar antara 3000 – 3500 mm per tahun dan bagian timur taman nasional berkisar antara 2500 – 3000 mm per tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh rantai pegunungan Bukit Barisan Selatan sehingga kawasan bagian timur lebih kering.

Berdasarkan klasifikasi Scmidt dan Ferguson,bagian barat kawasanTNBBS termasuk dalam tipe ilkim A sedangkan di bagian timur termasuk dalam tipe ilkim B. Musim hujan berlangsung dari bulan November sampai Mei. Sedangkan musim

Kepala Balai Besar TNBBS

Bid. Teknis Konservasi TN

Seksi

Perlindungan,Pengawe tan & Perpetaan (Kotaagung) Seksi

Pemanfaatan & Pelayanan (Kotaagung)

KBTU

Bid. Pengel.TN Wil I(Semaka) Seksi Pengelolaan TN I(Sukaraja) Kelompok Jabatan Fungsional

-

POLHUT

-

PEH Seksi Pengelolaan TN II(Bengkunat) Sub Bag Perencanaan Dan Kerjasama (Kotaagung) Sub Bag Umum

(Kotaagung)

Sub Bag Data Evaluasi & laporan dan Humas (Kotaagung)

Bid. Pengel.TN Wil II (Liwa)

Seksi Pengel. TN III(Krui)

Seksi Pengelolaan. TN IV(Bintuhan)

kemarau dari bulan Juni sampai Agustus. Bulan-bulan agak kering adalah September

– Oktober.Jumlah hari hujan di musim penghujan rata-rata tiap bulannya 10 – 16 hari dan dimusim kemarau 4 – 8 hari. Keadaan angin musim hujan lebih besar dari musim kemarau.

Geologi

Menurut Peta Geologi Sumatera yang disusun oleh Lembaga penelitian Tanah (1966), kawasan TNBBS terdiri dari batuan endapan yaitu Miosin Bawah, Neogen,Paleosik Tua, Aluvium. Sedangkan batuan vulaknik (Recent,Kuatener Tua, Andesit Tua, Basa Intermediet) dan Batuan plutonik (Batuan Asam) dimana yang tersebar paling luas adalah batuan Vulkanik yang dijumpai di bagian tengah dan utara taman nasional.

Kawasan TNBBS berdasarkan Peta Lereng dan Kemampuan Tanah Propinsi Lampung, berada pada Zona Sesar Semangka yang rawan gempa,tanah longsor, banjir dan peka terhadap erosi. Terbentuk dari depresitektonik yang ditutupi oleh sediment-sedimen dari celah vulkanik yang menutupi Wilayah Bukit Barisan pada zaman kuarter. Patahan aktif akan terus bergerak sehingga menimbulkan kerusakan didalam dan di atas permukaan tanah. Pada siklus waktu, pergeseran ini akan menimbulkan gempa dengan kekuatan yang cukup besar (Bappeda Lampung Barat, 1993). Gempa bumi besar pernah terjadi pada tahun 1933 yang diakibatkan oleh meletusnya Gunung Ratu yang memunculkan Gunung Loreng di dalam kawasan TNBBS. Kemudian pada tahun 1994 kembali terjadi gempa bumi besar berskala 6,9 Scala Richter yang mengakibatkan sebagian Gunung Loreng tenggelam.

Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Sekitar

Masyarakat sekitar kawasan TNBBS secara administrasi pemerintahan terdapat 115 desa yang tersebar di Kabupaten Tanggamus dan KabupatenLampung Barat, dan Kabupaten Kaur,serta Kabupaten OKU Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat sekitar yang berada di Propinsi Lampung sangat plural, terdiri dari

berbagai macam suku bangsa dengan keanekaragaman budaya masyarakat. Suku dominan adalah suku Jawa, sedangkan suku asli Lampung hanya sekitar 15%.

Di dalam kawasan TNBBS terdapat 4 (empat) wilayah enclave. Enclave merupakan areal yang terlokalisir dihuni masyarakat turun temurun dan menetap di dalam kawasan. Adapun lokasi dan luas masing-masing enclave adalah enclave Way Haru (4.900 ha), Pengekahan (671 ha), Kubu perahu (100 ha), dan Suoh (15.000 ha) yang seluruhnya masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lampung Barat.

Mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan sebagian besar di sektor pertanian dan perkebunan. Budaya pertanian terbuka dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan pertanian tertutup berbentuk kebun campuran tanaman keras oleh masyarakat asli semakin terbatas di daerah Pesisir Barat Kabupaten Lampung Barat Propinsi Lampung. Salah satu contoh pertanian masyarakat asli Lampung adalah Repong (kebun) Damar Mata Kucing di sepanjang Pesisir Kabupaten Lampung Barat.

Kebiasaan masyarakat setempat untuk menanami bekas ladangnya dengan tanaman damar telah menjadikan hutan setempat pulih secara fisik dan ekologis. Ladang-ladang baru jika dibutuhkan dapat dibuat pada areal hutan alam, namun hutan damar itu sendiri tidak diganggu lagi. Pohon damar yang tidak produktif ditebang dan diganti dengan bibit damar yang telah disiapkan beberapa tahun sebelumnya. Budaya demikian merupakan suatu proses perubahan/konversi hutan alam yang heterogen. Repong Damar merupakan salah satu alternatif upaya pembinaan daerah penyangga dan perluasan habitat satwa liar dalam bentuk sabuk hijau sepanjang sisi barat taman nasional.

Area Home Range Gajah

Penerapan metode MCP menunjukan hasil bahwa ukuran home range gajah di Resort Pemerihan-Way Haru mencakup area seluas 15 301.20 ha (Gambar 5.1). Jika dibandingkan dengan ukuran home range Gajah Asia maka luasan tersebut ternyata tidak jauh berbeda seperti yang dilaporkan Sukumar (1989; di dalam Suhartono et al. 2007:6) tentang ukuran home range gajah di India Selatan berkisar antara 10 500 ha - 32 000 ha. Begitu pula menurut IUCN (2012:1) yang melaporkan bahwa home range gajah betina di Sri Langka seluas 3 000 ha-16 000 ha.

Gambar 5.1. Peta penutupan lahan di dalam home range gajah di Resort Pemerihan-Way Haru TNBBS.

Uuran home rangenya Gajah Afrika jauh lebih luas, seperti yang dilaporkan Mpanduji dan Ngomello, (2007:1) di Tanzania luas home range yang didapatkan adalah antara 32 800 ha – 690 500 ha. Osborn (2004: 42) menduga bahwa perbedaan home range dipengaruhi oleh besarnya curah hujan. Ukuran home range berbanding terbalik dengan curah hujan; apabila curah hujan rendah maka ukuran home range tinggi dan sebaliknya. Namun demikian, penelitiannya di Zimbabwe menunjukkan bahwa walaupun curah hujan mendekati nilai yang sama, ternyata terjadi perbedaan home range gajah yang signifikan antara di kawasan lindung dan di area milik masyarakat.

Ukuran home range bukan saja dapat dipengaruhi oleh iklim dan manusia, namun juga dipengaruhi oleh perilaku makan gajah. White dan Garrott (1990: di dalam Osborn, 2004:37) melaporkan bahwa dispersal pergerakan gajah kadang-kadang bisa ke luar dari area pergerakan normalnya sebagai respon atas kelangkaan sumberdaya pakan di dalam home range normalnya. Informasi ini menunjukkan bahwa penambahan luas home range bersifat temporal dan kelompok gajah akan kembali pada jalur seperti biasanya.

Dikaitkan dengan pemanfaatan home range untuk aktivitas ekowisata gajah di TNBBS maka data yang ada menunjukkan bahwa selama ini ternyata hanya sebagian kecil home range yang telah dimanfaatkan untuk aktivitas ekowisata gajah. Area yang selama ini dimanfaatkan untuk ekowisata gajah di TNBBS hanyalah seputar Camp Elephant Patrol (CEP), meliputi area seluas 475 ha. Atas hal ini, dapat dibayangkan betapa besarnya potensi pengembangan kegiatan ekowisata yang tersia-sia selama ini di TN BBS. Dikaitkan dengan status kepemilikan lahan, maka nampaknya 31% (4 732.31 Ha) area home range gajah di TN BBS adalah berada di tanah warga, sedangkan sisanya seluas 10 568.89 ha (69%) berada dalam kawasan hutan. Walaupun demikian, data dari Metoda Kernel menunjukan bahwa intensitas keberadaan gajah lebih terpusat di perbatasan tanah warga dan kawasan hutan.

Pemusatan pergerakan gajah berada di area perbatasan antara Desa (Pekon) Pemerihan dan Sumberejo dengan kawasan hutan; yang mencakup Intensitas Kernel 25% dengan luas area mencakup 702 ha (Gambar 5.2). Diduga kondisi tersebut dipengaruhi oleh ketersedian pakan yang melimpah di lahan pertanian atau pun kebun

dan juga dilalui Sungai Pemerihan yang biasa digunakan gajah untuk minum, dan

berkubang. Menurut Pe’rez-Garci’a et al. (2012:1) pola pergerakan satwa dan penggunaan ruang tergantung pada sumberdaya lingkungan (seperti ketersediaan pakan, air dan lainnya) serta interaksi interspesifik dan intraspesifik.

Gambar 5.2. Peta intensitas pergerakan gajah berdasarkan Metode Kernel di home range gajah, TNBBS

Hasil pengamatan menunjukan kelompok gajah bergerak keluar dari hutan dan masuk ke lahan pertanian pada malam hari, untuk kemudian masuk kembali ke dalam hutan pada pagi harinya. Pola pergerakan ini akan berlangsung terus menerus dimana rombongan gajah akan berbaris menuju kebun atau lahan pertanian dan kemudian berpencar satu sama lain ketika makan. Tanaman pertanian yang disukai gajah adalah jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), coklat (Teobroma cacao) dan kelapa (Cocos nucifera).

Kelerengan dan Iklim di dalam Home range

Berdasarkan kelas kelerengan di dalam home range, karakteristik habitat gajah didominasi oleh kelerengan landai dengan luasan 9 218.98 ha (60.25 %). Kelerengan berbukit hanya 316.78 ha (2%) dan terjal hanya sebagian kecil 12.99 ha atau (0,08%); berada di bagian utara home range yang bervegetasi hutan primer (Gambar 5.3).

Gambar 5.3. Karakteristik habitat berdasarkan kelas kelerengan di home range gajah TNBBS.

Kondisi kelerengan ini sebagai petunjuk untuk merancang infrastruktur dan fasilitas yang perlu di bangun pada jalur ekowisata gajah yang akan diselenggarakan. Selain itu, informasi kelerengan tersebut juga dapat dipergunakan sebagai bahan pemikiran dalam merancang intensitas tingkat kesulitan aktivitas rekreasi ekowisata gajah yang akan ditawarkan pada wisatawan di TNBBS.

Iklim di dalam home range gajah di TNBBS menunjukan bahwa curah hujan bulanan tergolong sedang hingga tinggi. Curah hujan terendah sebesar 163 mm pada bulan April dan tertinggi bulan Oktober sebesar 642.2 mm pada tahun 2010. Rata-rata

curah hujan bulanan sebesar 335.1 mm. Bulan-bulan kering dimana curah hujan < 100 mm sepanjang tahun 2010 tidak ada. Merujuk pola pergerakan yang telah dipaparkan di atas, maka curah hujan tersebut tampaknya tidak mempengaruhi jarak tempuh gajah (Tabel 5.1). Kondisi iklim ini juga menjadi penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengeliminasi hambatan program rekreasi yang disebabkan oleh kondisi iklim.

Tabel 5.1. Curah hujan bulanan dan rata-rata jarak tempuh gajah di Resort Pemeruhan-Way Haru, TNBBS (WCS, 2010)

Bulan Curah hujan

(mm) Jarak (km) Suhu (oC) Min maks Januari 206.6 120 21,77 34,63 Pebruari 263.5 108 21,41 35,80 Maret 356.7 185 21,65 37,65 April 163,0 261 22,08 34,08 Mei 290,0 212 22,15 32,16 Juni 255.7 164 21.28 29.23 Juli 457.1 145 21.21 29.06 Agustus 219.6 117 21.79 32.77 September 309.9 54 22.15 35.22 Oktober 642.2 145 22.18 36.79 November 472.9 96 22.38 35.82 Desember 386.8 73 22.27 35.29 Rata-rata 335.3 140 22,27 34.45

Karakteristik Vegetasi Di Dalam Home range

Berbagai tipe ekosistem di dalam home range gajah, bukan saja memperlihatkan berbagai tipe ekosistem, namun juga membuktikan adanya peran manusia terhadap perubahan hutan yang mempengaruhi pola pergerakan gajah. Dalam konteks penelitian ini akan dideskripsikan penutupan vegetasi yang berisi spesies pepohonan kayu di hutan primer, hutan sekunder, semak dan kebun.

1. Komposisi dan Struktur Vegetasi